Wednesday, 5 December 2012

David Foster and Friends: Tentang Sebuah Konser (dan Cerita Lainnya)


Jumat, 9 November 2012
14:07
Mendung di luar. Langit gelap. Saya arahkan pandangan ke jendela lebar di samping kanan dari lantai dua tempat saya bekerja; jalanan Jakarta akhir pekan sudah merayap. Jangan sampai hujan sore ini... Macet di Jakarta akan semakin parah dan itu akan mengacaukan rencana saya petang nanti.

Rupanya hujan memang harus turun. Deras. Angin memainkan pepohonan, membuatnya meliuk-liukan badan. Suara hujan timbul tenggelam melawan Winter Games yang saya putar. Jangan sampai hujan turun malam nanti...

16:30
Lewat dari jam empat. Begitu jarum panjang menyentuh angka 6, segera saya matikan komputer. Saya hentikan semua yang sedang saya lakukan; saatnya untuk pulang.

Hujan di luar sudah reda, syukurlah. Saya rapikan meja kantor, meluruskan keyboard, memasukkan kursi ke bagian bawah meja. Setelah pamit pada bos, saya melesat pulang ke kosan.

18:25
Selepas sholat Maghrib, saya kembali cek barang bawaan saya. Tiket, ok. Kamera, ok. Handphone, ok. Dompet, ok. Kado, ok. DVD A New Journey, ok. Spidol, ok. Tripod, ok. Kacamata, ah..hampir tertinggal!

Ojek langganan sudah menunggu di depan kosan. Saya sudah bilang padanya untuk datang setelah sholat. Dia menanyakan tujuannya. 

“MEIS, Pak. Ancol.”

***


Petang itu saya akan menonton konser David Foster and Friends di Mata Elang International Stadium (MEIS), Ancol. Tiketnya sudah saya beli sejak hari pertama penjualan, 1 September 2012. Saya bukan penggemar berat David Foster, dan melihat lokasi konser yang berada jauh di ujung utara, saya tak akan mungkin berniat menonton kalau bukan karena satu orang: Hayley Westenra.

Hayley Westenra adalah penyanyi classical crossover dari New Zealand, kelahiran 10 April 1987. Tahun lalu ia datang ke Jakarta bersama Andrea Bocelli. Saya sempat menuliskan tentang konser itu di sini. Tahun ini, ia kembali datang; kali ini bersama David Foster. Andrea Bocelli dan David Foster, dua nama yang jadi jaminan mutu untuk industri musik dunia. Well, itu saja sudah menjelaskan keistimewaan kualitas vokal Hayley Westenra.

Tahun lalu saya memang tak bisa bertemu langsung dengan Hayley. Tapi tahun ini berbeda. Dengan sedikit keberuntungan, saya bisa bertatap muka dengan penyanyi idola saya itu. Bukan hanya tanda-tangan dan foto bersama, yang lebih membuat gembira adalah karena Hayley mengenali saya di Twitter. Kisah tersebut bisa dilihat di komik ini, atau di sini kalau ingin tahu versi utuhnya.

Saya sudah mempersiapkan diri untuk konser ini jauh-jauh hari sebelumnya. Saya membuat kaos desain sendiri, juga membuat kartu ucapan dan menyiapkan kado untuk Hayley. Saya senang melakukannya. Saya senang disibukkan untuk membuat sesuatu yang personal untuk orang yang jadi favorit saya.


Petang itu saya harus naik ojek. Kosan saya di Jakarta Selatan bertolak-belakang dengan MEIS, Ancol di Jakarta Utara. Jalanan Jakarta di hari-hari biasa saja identik dengan macet, apalagi menjelang akhir pekan, terlebih setelah hujan. Naik taksi akan lebih nyaman memang, tapi tidak kalau harus jalan merayap dengan argo yang terus berputar. Naik busway tak pernah ada dalam opsi yang saya buat. Terlalu penuh, tidak manusiawi.
 
Ah, Jakarta! Bahkan ojek-pun tak leluasa bergerak. Macet parah dimulai dari Menteng. Banyaknya lampu merah membuat arus kendaraan tersendat. Sampai di Gunung Sahari Raya pun keadaan tak jadi lebih baik. Macet tetap mengular. Baru ketika sampai di Ancol, saya bisa bernapas lega.

Untuk menuju MEIS, ternyata masih cukup jauh perjalanan yang harus ditempuh dari pintu masuk Ancol. Badan sudah terasa pegal, sudah hampir satu jam duduk di atas motor. Menjelang masuk kawasan MEIS, saya lihat mobil-mobil sudah ramai mengantri. Saya yang naik motor bebas melaju. Sampai di venue konser, ratusan orang masih tertahan di depan pintu masuk.


***

19:20
Hanya ada satu pintu masuk ke dalam venue. Pantas saja antrian masih sangat panjang begini! Saking panjangnya antrian, kami sampai hampir berbatasan dengan pantai di belakang. Pasir pantai membuat saya tak nyaman melangkah. Saya tak tahu bagaimana mereka yang memakai high heels super tinggi bisa bertahan sebegitu lama.

Di samping kanan kami ada panggung yang menyuguhkan live music. Beberapa orang ikut bernyanyi. Tiba-tiba rombongan perempuan muda di depan saja maju ke depan. Saya ikut maju. Baru saya sadari kalau mereka menerobos antrian dengan berjalan dari sisi kiri. Tapi toh tak ada yang peduli. Semua sibuk mengobrol satu sama lain. Lagipula tak ada batasan antrian yang jelas. Terlanjur basah, saya terus ikut berjalan. Dalam hitungan menit, saya sudah ada di barisan terdepan. Pun, itu masih perlu menunggu cukup waktu sampai kami diijinkan naik ke atas untuk pemeriksaan barang bawaan.

Setelah gelombang penonton di depan mulai meyusut, saya masuk ke gelombang selanjutnya. Ada dua pintu masuk. Di sebelah kiri untuk penonton Gold dan Silver, di sebelah kanan untuk Bronze dan Tribun. Saya antri di sebelah kanan.

Ketika sampai giliran saya, petugas mengecek sampai ke bagian bawah tas tempat saya menaruh kamera.

“Kamera tidak boleh masuk!”

“Tapi ini bukan kamera SLR, Pak.”

“Tetap saja tidak boleh karena lensanya tele! Silahkan ke panitia sebelah sana.”

Inilah yang saya takutkan, kamera Sony Nex 3 yang saya pinjam dari teman tidak boleh masuk. Kamera ini memang bukan SLR, bukan termasuk jenis kamera profesional. Kamera ini lebih cocok disebut kamera hybrid, perpaduan antara SLR dengan kamera saku. Untuk kualitas, Sony Nex 3 bisa dibilang punya kualitas juara. Itulah kenapa saya mesti repot-repot meminjam kamera itu.

Saya berjalan ke panitia sebelah. Rupanya beberapa orang juga terkena razia kamera. Kami diminta melepaskan baterai kamera dan menaruhnya di amplop putih. Kami mesti menuliskan nama dan nomor KTP di atas amplop itu.

Well, untung saya masih tetap membawa kamera saku saya.

***

Itu adalah kali pertama saya menonton di MEIS. Venue yang disebut-sebut stadion indoor terbesar di Asia Tenggara ini ternyata jauh dari ekspektasi saya. Selain karena pintu masuk yang cuma satu dan membuat antrian panjang jadi tak terhindarkan, bangunan ini juga ternyata belum jadi. Begitu masuk ke dalamnya, saya tak bisa mengabaikan dinding dan lantai yang masih berlapis semen. Untuk menuju tempat pertunjukan, kami mesti berjalan menyusuri karpet yang tergelar panjang. Saya seperti tak sedang menuju tempat konser musisi sekelas David Foster akan digelar.

Sampai di tempat acara, saya segera mencari-cari tempat duduk di Bronze I. Posisi saya cukup di tengah, namun kursi yang tidak berundak membuat pandangan saya terhalang penonton di depan. Masalah yang sama juga ada di Ritz Carlton ketika dulu saya menonton konser Andrea Bocelli dan Il Divo di sana. Kursi hanya berundak setelah beberapa baris. Beruntunglah bagi yang mendapat kursi deret pertama untuk tiap-tiap undakan.

Saya perhatikan tata panggung di depan. Sudah ada piano di tengah-tengah panggung. Di sisi kiri dan kanan ada layar besar. Kursi sebagian besar sudah dipenuhi penonton. Belakangan saya ketahui jika jumlah penonton konser ini mencapai enam sampai tujuh ribu orang. Saya lihat jam tangan, sudah jam delapan lewat. Sudah terlambat dari jadwal acara yang seharusnya.

***

20.35
Layar besar di kiri-kanan panggung mulai menampilkan cuplikan-cuplikan video klip lagu-lagu hits ciptaan atau yang albumnya diproduseri oleh David Foster. Lagu-lagu yang enak di telinga, easy listening, dan mungkin sudah digadang-gadang jadi legenda pada masanya. Beberapa kru sudah berada di panggung, siap dengan alat musiknya masing-masing.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah depan. Teriakan antusias dan jeritan-jeritan kecil memaksa saya menaruh perhatian pada sisi depan-kanan panggung. Segala handphone dan kamera saku berbagai merk sudah teracung. Pun, demikian juga tablet – yang seharusnya dilarang dibawa ke venue. Semuanya mengarah ke satu titik yang sama. Lampu panggung menyorot satu sosok yang menjadi sumber ‘keributan’ itu, dan dari layar di depan, tahulah saya kalau David Foster muncul dari tengah-tengah penonton menuju panggung.

Meskipun dikawal ketat oleh bodyguard, David Foster tetap bisa menerima jabat tangan atau ajakan untuk berfoto bersama dari penonton. Massa semakin padat menyemut, membuatnya sulit bergerak. Ketika David Foster akhirnya tiba di panggung, ia segera duduk menghadap piano, jari-jemarinya lincah memainkan tuts piano. Energi positif yang terpantul dari tiap-tiap jeritan dan tepuk tangan penonton membuatnya gembira. Wajahnya berseri-seri. Winter Games menjadi lagu pembuka untuk konser malam ini.

***

Tepuk tangan untuk David Foster masih belum sepenuhnya hilang ketika ia mulai berdiri dan berkisah tentang pertemuannya dengan seorang gadis kecil, bertahun-tahun yang lalu. Ia berkata bahwa sejak dulu, ia selalu tahu bahwa si gadis cilik ini akan menjadi penyanyi hebat. Prediksinya tak meleset. Sekarang, di usia yang sudah menginjak 25, si gadis cilik telah tumbuh menjadi wanita muda dengan pengalaman menyanyi di hadapan ratu-raja. Bahkan sebelum David Foster menyebut namanya, saya sudah tahu siapa yang ia maksud: Hayley Westenra.

Hayley muncul dengan rambut kecoklatan tergerai di sisi bahu sebelah kiri. Ia memakai dress panjang, sama seperti yang ia pakai di konser Singapura. Untuk sesaat, saya masih tak percaya kalau dua hari sebelumnya saya menemuinya dan berfoto bersama.


Hayley menyanyikan I Dreamed A Dream, sesuatu yang saya antisipasi karena sebelumnya sudah melihat konser David Foster and Friends di Singapura dan Bangkok melalui YouTube. Saya sibuk mengeluarkan kamera saku untuk merekam gambar ketika cewek di sebelah saya mulai berkomentar ini-itu. Omongan saja mungkin masih mending, tapi saya tak tahan ketika ia mulai berteriak-teriak takjub; terlebih ketika Hayley mengambil nada-nada tinggi.

Sebenarnya, bukan itu saja yang membuat saya kesal. Jarak saya yang jauh dari panggung ditambah kursi yang tidak berundak membuat saya kesulitan mengambil gambar. Saya jadi menyesal tidak mengambil kelas tiket yang lebih baik.

Saya menyerah untuk mengambil gambar atau bahkan memotret. Akhirnya saya fokuskan untuk menikmati Hayley menyanyikan lagunya. Dan seperti selalu, mendengarkan suara Hayley secara live memunculkan sensasi yang berbeda.

Setelah I Dreamed A Dream, Hayley langsung menyanyikan Amazing Grace – yang juga ia nyanyikan di konser Andrea Bocelli tahun lalu – lalu disambung dengan duet bareng Fernando Varela di lagu The Prayer. Ketika lagu ketiga itu usai, selesai juga konser itu di mata saya. Apalagi? Sudah tidak ada yang dinanti-nanti.

Selain itu, saya agak khawatir karena harus pulang larut ke kos yang jauh di ujung selatan; sendirian. Melihat ribuan orang penonton, saya takut tak kebagian taksi untuk pulang nanti. Baru awal konser tapi saya sudah memikirkan penuhnya antrian pulang.

Namun pikiran itu teralihkan ketika saya googling daftar lagu-lagu yang Hayley nyanyikan di Singapura dan Bangkok. Ada Wuthering Heights di daftarnya! Saya memutuskan untuk tinggal, barangkali nanti Hayley muncul lagi.

Setelah Hayley dan Fernando Varela, ada Paul Young, Dirty Loops, Kenneth Edmonds ‘Babyface’, satu-satunya penyanyi Indonesia yang tampil Raisa, dan Chaka Khan yang tampil memukau dengan gayanya yang energik dan suaranya yang melengking. Saya tak paham benar lagu-lagu yang mereka nyanyikan; asing buat saya. Kecuali lagu yang dibawakan oleh Raisa, tentu saja. Ia dengan gayanya menyanyikan I Have Nothing yang dipopulerkan oleh Whitney Houston.

Jeda antara satu penampil dengan penampil lainnya biasanya dimanfaatkan oleh David Foster untuk berinteraksi dengan penonton, seolah mengingatkan bahwa ini adalah konsernya. Ia menjadikan seseorang dari deretan kursi terdepan – dan termahal – bernama Pri sebagai pusat perhatian. Tanyakan tentang Pri pada siapa saja yang menonton konser malam itu. Semua orang akan tahu saking Pri sangat populer karena ‘ledekan-ledekan’ David Foster yang diarahkan padanya. Bahkan, nama Pri masuk dalam lirik lagu yang diciptakan mendadak oleh Babyface.

Oya, tentang lagu dadakan ini, saya punya satu cerita yang lumayan menjadi salah satu highlight dalam konser David Foster. Jadi, Babyface akan membuat satu lagu dadakan dan meminta penonton untuk menyumbang tiga buah kata untuk dimasukkan dalam lagu tersebut. David Foster sudah titip nama ‘Pri’, tinggal dua lagi. Seorang penonton mengusulkan nama Obama, yang baru saja terpilih menjadi presiden Amerika Serikat untuk kali kedua. Tinggal satu kata lagi.

David Foster menghampiri seorang perempuan muda, meminta usulan kata. Dengan wajah berseri-seri, ia bilang karena ia berasal dari Kuala Lumpur, ia ingin KL dimasukkan dalam lagu. Hening. Satu dua orang memberikan ‘huuuu...’ samar-samar. Paham situasi, David Foster meminta kata yang lain.  Si perempuan muda menyebut ‘Malaysia’. Sekarang seluruh venue dipenuhi ‘huuuu...’ lebih keras. Tak diduga, cewek di sebelah saya berteriak lantang.

“WOIII! SALAH NEGARA, MBAK!”

Ah, harusnya saya tidak terkejut ia bisa berteriak sebegitu kencang.

Akhirnya si perempuan muda mengalah. Setelah agak kebingungan mencari kata lain – mungkin karena gugup diteriaki penonton – ia memilih kata ‘rainbow’. Selesai sudah drama kecil untuk menciptakan satu lagu ini.

Pun demikian, pikiran saya masih dibayang-bayangi teriakan tadi. Saya separuh yakin, kalau perempuan itu dari negara lain – apapun itu selain Malaysia – mungkin penonton tidak seagresif itu. Ini konser David Foster, lho. Dari awal acara penonton sangat manis, tepuk tangan tak sungkan diberikan, teriakan-teriakan yang ada hanya berisi sanjungan. Penonton pun banyak yang dari negara luar. Salah satu penonton luar bahkan ada yang didaulat menyanyi oleh David Foster, penonton mengapresiasi dengan tepukan. Tapi ketika ‘KL’ dan ‘Malaysia’ hendak dimasukkan ke lagu dalam sebuah konser di Indonesia, ada luka yang kembali terbuka. Malam ini milik kami! Mungkin itu kira-kira pesan yang ingin disampaikan lewat ‘huuu...’ tadi.

Sampai Chaka Khan selesai tampil, tak ada tanda-tanda Hayley akan kembali muncul. Ah ya, tentu Hayley kembali – bersama-sama semua penyanyi yang lain – untuk menyanyikan Earth Song, tapi itu adalah lagu terakhir.

Lagu belum usai ketika saya sudah berjalan meninggalkan venue. Beberapa penonton juga mulai beranjak dari kursinya. Saya membawa kado untuk Hayley, tapi saya tak tahu mesti kemana. Saya coba titipkan ke panitia dari promotor, tapi semua panitia yang saya temui bukan dari Dyandra Production. Setelah mengambil baterai kamera yang sempat ditahan panitia, saya memutuskan untuk pulang.

Masalahnya, tak ada taksi di sekitaran MEIS. Saya harus naik ojek ke depan Ancol untuk mencari taksi di sana. Saya agak-agak takut juga ketika naik ojek; sudah hampir tengah malam. Supaya tahu kalau tukang ojeknya orang baik-baik, saya ajak ngobrol terus dia sepanjang jalan. Dari obrolan singkat itu, saya tahu kalau dia ojek resmi Ancol. Dia malah menawarkan mengantarkan saya langsung ke kosan daripada saya naik taksi yang tak jelas namanya; tidak aman. Entah kenapa, tapi saya percaya saja.

Tapi, saya masih punya ganjalan tentang kado untuk Hayley. Tahun kemarin saya tak bisa memberikan kado buat Hayley, menitipkannya pun tidak. Saya tidak ingin kejadian tahun lalu terulang. Saya minta si tukang ojek untuk putar balik. Saya kembali ke venue.

Eskalator sudah mati. Saya berjalan melawan arah dengan satu-dua penonton yang baru keluar dari venue. Saya masuk lagi ke tempat konser dengan canggung. Ada beberapa orang yang mulai membongkar panggung. Tak ada panitia dari promotor di sana, yang ada hanya panitia dari MEIS. Kado untuk Hayley saya titipkan padanya, supaya kembali dititipkan lagi pada panitia dari Dyandra, untuk kemudian diberikan pada Hayley. Selesai memberikan kado, saya pulang.

***

Sampai saya menulis ini, saya tak tahu apakah kado itu sampai ke tangan Hayley atau tidak. Kalau saya beruntung, kado itu akan sampai padanya. Kalau tidak, well, saya masih menganggap diri saya beruntung karena pernah bertemu dengan Hayley Westenra.


Monday, 12 November 2012

The Comic Project for Hayley

When I know Hayley Westenra will come to Jakarta for the Asia tour with David Foster, I decided to make something to give to her. It should be something personal, something that I make it myself. Yes, I make my own card for her – but I want something more. That’s why I have the (sort of) comic project for Hayley.

This comic is the simple one; just a story with some pictures. I hope you enjoy it!

  

If you want to know about the details, you can read this.


Two Days Before the Show

I still keep the little gift for Hayley. Maybe God has a better plan. Who knows? 

I wrote it here a year ago when Hayley Westenra first came to Jakarta for the concert with Andrea Bocelli. Broken-hearted, for I couldn’t meet her in person. I thought it was the only chance I could see her, unless I had an infinite amount of money to travel to England or New Zealand to watch her concerts there. Indonesia – unlike Japan and Taiwan – is new for Hayley. I was afraid she wouldn’t come again. So when I lost this once in a lifetime opportunity, it didn’t feel good. It didn’t feel good at all. I was that close!

What I didn’t know is that one year later,  God would show me one of His best surprises. Universe always finds a way for those who want to live their dreams.

It began with a direct message from my twitter friend in early August, 2012. It was another ordinary sunny Sunday, but what he told me was not ordinary. He said that Hayley might come to Jakarta for the concert with David Foster on November. How could on earth I didn’t know about it? I searched on Google, then found out the promoter of the show. I couldn’t be happier when they confirmed that Hayley would be one of the performers. I had the second chance!

I bought the ticket in the very first day of selling. I downloaded a countdown application on my phone so I didn’t have to count how many days left to watch her concert. I designed my own t-shirt, I made a card and a simple comic as well. All is because I was too excited to watch the concert and to see Hayley again in Jakarta.

It was DVD Celtic Woman A New Journey that introduced me to Hayley Westenra. I bought it in 2010, not long after Songs from the Heart. She stole my attention since The Sky and the Dawn and the Sun, but I loved her in Scarborough Fair and Lascia Ch’io Pianga. I knew she was no longer the member of the girls, so I started looking for her own music.

Why Hayley? Well, why not? She is amazing. Her voice is unbelievable. You have to listen to her songs to know how beautiful her voice is. Watching her singing live – or even better, meeting her in person – would be like a dream comes true for me.

Learning from previous experience, I understood that it might not be easy to meet Hayley. After the show was my biggest chance, but MEIS – the venue – was totally new for me. I didn’t even know where the backstage is or where to wait. See, even in smaller venue like Ritz for last year concert, I didn’t meet Hayley. I prepared myself if I lost the opportunity again.

I had no idea that this one place I visited a lot near my house – not MEIS or any other places I ever thought – would witness the highlight of my life this year.

Hayley came to Jakarta on Tuesday, November 6th while the concert would be three days later. From those days, I just knew that Hayley would be in MEIS on Friday. The rest were mystery.

But hey, she came with David Foster! This upcoming concert in Jakarta would be the third for him. From the old articles I read, I learned that he would have a press conference one or two days before the show. In the previous concert, he did press conference in Kempinski Hotel. It’s not that far from my house. I could go and wait there if he didn’t change the place.

Wednesday evening, November 7th. I was on twitter when I found out from the promoter that David Foster was having press conference. From some random people on twitter, I knew they did it in Epicentrum Walk. It means Hayley was there, too! This place is so near from my house. I could walk there just for about 15 minutes. Problem is, the tweet was from an hour before. I was afraid that press conference was done. I still went there though, to make sure.

When I arrived in Epicentrum Walk, I didn’t see any crowd or journalists with ID card. I didn’t know where to go in this big place. Twitter showed me its power again. Another random people tweeted that the press conference was in Mango Three Bistro. I went there but it was too late. The press conference was done.

I almost gave up and went home when finally there was a tweet from the other people. He said he was in Ming Restaurant for David Foster Gala Dinner. Ming is still in Epicentrum Walk; lucky me. I went there and found out that the restaurant was closed by a big black curtain. There was a girl in a black dress to welcome the guests.

I waited  a few meters from Ming. It was very quiet. I was the only one there. I couldn’t hear a thing from outside. I was not sure if Hayley – or even David Foster – was there. I just got one tweet from this random person, and he could be wrong. I asked the girl about David Foster Gala Dinner, and she said she didn’t know anything about it. She just said that the restaurant was booked for a private party.

A man suddenly came out from the restaurant. When I asked him the same question, he said that Gala Dinner was for the committee. No David Foster there. Something told me he was lying.

It was 8 pm. I could wait for two or three hours for the uncertainty, or I could go home and watch TV. I chose the first option. I would wait. I bought a book to help me kill the time.

I was in the middle of the book I read when I heard Winter Games played live. I could hear the crowds. I could hear the claps. My heart beat faster. I was in the right direction!

After that, a few songs sung. I kept reading; it was not Hayley’s voice. Some people came out from Ming and I recognized it was Paul Young with some bodyguards – if I could say. I kept reading; it was not Hayley. I was going closer to Ming when I saw Dirty Loops. I kept walking; it was not Hayley.

I’d continued my reading before I heard this very familiar voice. It was Hayley’s! I started to get nervous, I could feel chills on the back of my neck. I moved closer to the elevator near restaurant. She would use it, I swore. It was just about the time that she would finally come. I would meet her tonight!

I waited..and waited..and waited.

Then I saw her. Hayley Westenra. It’s HAYLEY WESTENRA, you guys!! She was heading to elevator with some people – maybe the ones from the promoter. She looked adorable with her dress. She was prettier than I thought.

Heyyyy, Hayley!”

After that, it could be disaster. She could just ignore me. She could just walk away. She could be in hurry. These uncertainty killed me.

What happened next was better than what I expected.

She smiled. I smiled. I got closer to her. I asked her for her signature.

“Sure,” she said.

I didn’t think the people around us were happy. They kept standing still; one person was ready next to the elevator.

But Hayley... she made me feel comfortable even in such situation. She didn’t look like she was in hurry. She could just give me her autograph and leave me, right? But she asked me to spell my name instead. She would write it on my Paradiso cover before she signed it.

“A-n-double g-i-e,” I told her.

“You’re on twitter?”

“Yes... Yess!”

I said how wonderful her voice is. I thanked her for her music. I told her that I prepared the little gift for her but I didn’t bring it.

I should say much, but my brain didn’t allow me to. It was hard to say many things in English especially when I was too nervous. It was surreal for me.

“Could you take a picture with me?” I asked her.

She said yes. Problem is, I went there alone.

“Could somebody please help me?”

No one answered.

Why, people? Why?

I finally asked this man in a black uniform. Yay! I got a picture – no, two pictures – with Hayley! I thanked him.

I thanked Hayley for her kindness. I couldn’t thank her enough.

“So, see you this Friday.”

“See you this Friday.”

We shook hands. I awkwardly left her. It seemed like I was the one in hurry. D'oh!

She went to elevator while I walked to the opposite way to reach for the escalator. Why didn’t I just use the same elevator like her?

I didn’t think that way at that time. I just knew that I was happy. I was very happy. I went home with a big smile. I couldn’t sleep for I still found it hard to believe my good luck.

Some random people on twitter didn’t know that they’ve helped a girl to reach her dream. Or maybe, it’s Universe that conspired.