Dalam balutan
biru, ia berdiri dengan jumawa. Mata terasa panas; saya alihkan pandangan ke
luar jendela. Tak lucu kalau saya sampai menangis di dalam mobil. Ketika saya
kembali menghadap depan, ia sudah tersembunyi di balik bukit-bukit. Tapi itu
tak lama. Jalanan yang berkelak-kelok memunculkannya lagi tepat di hadapan. Ia
kembali hadir dengan segala pesonanya. Inilah tempat nomor satu bagi saya di
Jepang.
Gunung Fuji adalah salah satu tempat yang paling ingin saya kunjungi di Jepang. Beruntung
dua teman magang dari Jepang – Manami san dan Wada san – berbaik hati mengantar
saya dan Mbak Cici ke sana. Berempat kami naik mobil di Minggu pagi, 26 Agustus
2012.
Meskipun berangkat sejak pagi, kami masih
juga terjebak macet di tengah jalan. Ada truk terguling di jalan. Selain itu, kami datang ke
sana tepat di akhir pekan terakhir anak-anak libur sekolah.
Tapi toh itu tak menyurutkan semangat saya
untuk ke Gunung Fuji. Sepanjang jalan saya puaskan mata melihat-lihat gaya
bangunan yang saya lewati – rata-rata berbentuk kotak dengan warna coklat atau
kelabu. Semakin lama, bangunan menghilang berganti bukit-bukit di kiri kanan
jalan. Bangunan kotak tergantikan oleh rumah-rumah dengan jarak jarang-jarang
satu sama lainnya. Terkadang kami melewati hutan dengan pohon-pohon tinggi
menjulang. Kami juga melewati terowongan panjang, yang mau tak mau mengingatkan
saya pada Amagi pass – salah satu
latar di novel Izu No Odoriko. Setelah
dua jam perjalanan, kami mampir sebentar ke rest
area untuk membeli makan sebagai bekal. Perjalanan masih panjang.
Setelah rest area, jalanan semakin berbukit-bukit dengan kelokan yang
semakin sering. Di saat itulah saya melihat Gunung Fuji untuk pertama kali.
Bukan di website, buku, majalah, koran, kalender, TV, film, seperti sebelumnya.
Saya melihatnya langsung! Mungkin saya yang terlalu sentimentil, tapi momen itu
hanya bisa disaingi ketika saya menonton konser Hayley Westenra di Jakarta
tahun lalu. Itu seperti... dream comes
true. Sesuatu yang dulunya tak terjangkau, seperti tak nyata, sekarang
benar-benar ada di hadapan.
Awalnya kami berencana naik sampai stasiun
5. Tapi melihat kemacetan yang panjang, kami memutuskan untuk menikmati Gunung
Fuji dari kejauhan. Danau Kawaguchi menjadi tempat yang kami pilih untuk itu.
Kami sampai di Danau Kawaguchi satu jam
kemudian. Danau ini dikelilingi oleh bukit-bukit, dan satu sisinya kita bisa
melihat Gunung Fuji dengan jelas. Beberapa orang terlihat memancing. Beberapa
yang lain berfoto dengan Gunung Fuji sebagai latarnya; kami pun melakukan hal serupa.
Siang itu awan-awan menggantung di langit
biru. Sebagian menutupi puncak gunung. Wada san menolak untuk meninggalkan
tempat sebelum melihat puncak Gunung Fuji. Konon kalau kita berdoa ketika
melihat puncaknya, doa kita akan dikabulkan.
Sembari menunggu awan tersapu angin, kami
beristirahat sambil makan es krim. Hawa panas membuat es cepat meleleh. Saya
harus makan cepat-cepat sebelum tangan saya basah dan lengket terkena lelehan
es.
Wada san menatap Gunung Fuji untuk ke
sekian kali. Ketika dilihatnya awan masih kuat bergelayut, ia memutuskan untuk
meninggalkan tempat menuju tempat wisata selanjutnya: Ice Cave.
Seperti namanya, Ice Cave adalah gua berisi es abadi di dalam tanah. Hari itu, suhu
di dalam 0 derajat celcius. Termasuk mending dibanding hari-hari sebelumnya
yang mencapai minus derajat.
Saya mengantri dengan gelisah.
Membayangkan berada di gua dengan suhu beku tanpa baju hangat membuat saya
khawatir. Kunjungan ini memang dadakan karena kami tak jadi naik ke Gunung
Fuji, jadi tak satupun dari kami yang menyiapkan jaket. Manami san bahkan
memakai rok mini dan high heels.
Sampai di mulut gua, hawa dingin sudah
terasa. Saya mengepalkan
jari-jemari tangan, menggesekannya untuk menciptakan hangat. Kami masuk dari tangga kiri dan keluar dari sisi kanan. Orang-orang
yang baru keluar dari gua muncul dengan napas terengah-engah dengan wajah
merah. Pastilah di dalam sangat dingin!
Semakin turun ke bawah, tangga semakin
licin. Sekeliling semakin gelap, udara semakin lembab. Di kiri saya ada
dinding dengan lukisan-lukisan jaman dulu. Diceritakan jika es balok sempat
bernilai istimewa hingga dijadikan upeti bagi para raja. Lukisan ini sempat
mengalihkan saya dari dingin yang menusuk tulang.
Kami berjalan terus mendekati gundukan es
abadi ini. Uap dingin menampar-nampar wajah, napas menjadi lebih berat, pipi
seperti kaku. Lewat dari es abadi ini, tangga mulai menanjak untuk keluar dari
gua. Napas mulai tersengal, tapi demi melihat cahaya di atas sana kami harus
tetap maju. Sampai di atas, berempat kami duduk melepas lelah.
Setelah lelah agak berkurang, kami belanja
oleh-oleh di toko di sana. Banyak pernak-pernik lucu, makanan pun dikemas
menarik. Tak lama, kami menuju jalan pulang setelah sebelumnya kami makan siang
di kedai udon pinggir jalan.
Jalan pulang di sore hari lebih padat dari
pagi sebelumnya. Mobil berjalan pelan, terkadang berhenti sebentar. Matahari
sore mulai tenggelam, bukit-bukit yang hijau berganti warna menjadi lebih
gelap. Gunung Fuji muncul dengan puncak sempurna, tanpa awan-awan yang
menutupinya. Mobil semakin melaju, meninggalkan Gunung Fuji di belakang. Saya
membalikkan badan, melihatnya sampai ia menghilang dari pandangan; berharap itu
bukan kali terakhir saya berjumpa dengannya.
Pantas gunung ini menjadi salah satu ikon
Jepang. Menurut Manami san, Gunung Fuji bukan hanya merupakan gunung tertinggi
di Jepang, tapi Fuji juga dipuja karena keindahan bentuknya. Ia menjadi
inspirasi bagi banyak satrawan dan seniman dalam menciptakan karya-karyanya.
Saya tak bisa tak setuju untuk itu.
Petang sudah datang. Dari radio mobil,
mengalun What A Wonderful World dari
seorang penyanyi cover perempuan.
Entah siapa. Suara Louis Armstrong yang serak digantikan suara jernih dan
lembut dengan alunan nada yang sama. Saya ikut menyanyikannya dalam hati,
mengucap syukur untuk hari ini.
“I see skies of
blue... clouds of white
Bright blessed
days... dark sacred nights
And I think to
myself...
What a
wonderful world...”