Minggu pagi. Ibu menyuruh saya mandi lebih awal.
“Ibu mau ke pasar, mau ikut
tidak?”
Tak peduli
harus absen menonton film kartun favorit, ajakan Ibu pergi ke pasar saya sambut
dengan riang. Setelah mandi dengan sabun batang dan menggosok badan dengan batu
kali, saya memilih-milih baju yang akan saya pakai.
“Tidak usah
terlalu bagus, ini cuma mau ke pasar,” kata Ibu selalu.
Mungkin
waktu itu saya memilih kaos hitam dengan sablon tebal Power Rangers, di lain
waktu mungkin saya memilih kaos lerek gradasi abu-abu favorit saya. Ibu tak
terlalu cerewet tentang baju yang saya pakai. Hanya ada satu hal yang menjadi
perhatiannya.
“Jangan
pakai sandal yang bagus. Yang jelek saja, di pasar nanti becek.”
Saya masih
SD ketika Ibu mulai sering mengajak saya ke pasar. Saya diminta menyelipkan tas
kresek di kantong celana saya karena tas kresek yang besar tidak diberikan
gratis oleh penjual. Oleh karena itu, Ibu rajin melipat plastik-plastik bekas
belanjaan untuk dipakai lagi.
Saya dan Ibu
akan berjalan kaki dari rumah sampai pangkalan becak di bawah pohon beringin.
Ibu biasanya sudah punya tukang becak langganan. Ibu cuma perlu bilang “Biasa”,
dan si tukang becak sudah tahu tujuan Ibu. Tidak ada tawar-menawar karena
harganya sudah disepakati entah sejak kapan. Kalau tak ada tukang becak
langganan, Ibu akan memilih yang lain, menawar, dan menyebutkan tujuannya, “Ke
Pasar Pagi ya, Pak.”