Minggu pagi. Ibu menyuruh saya mandi lebih awal.
“Ibu mau ke pasar, mau ikut
tidak?”
Tak peduli
harus absen menonton film kartun favorit, ajakan Ibu pergi ke pasar saya sambut
dengan riang. Setelah mandi dengan sabun batang dan menggosok badan dengan batu
kali, saya memilih-milih baju yang akan saya pakai.
“Tidak usah
terlalu bagus, ini cuma mau ke pasar,” kata Ibu selalu.
Mungkin
waktu itu saya memilih kaos hitam dengan sablon tebal Power Rangers, di lain
waktu mungkin saya memilih kaos lerek gradasi abu-abu favorit saya. Ibu tak
terlalu cerewet tentang baju yang saya pakai. Hanya ada satu hal yang menjadi
perhatiannya.
“Jangan
pakai sandal yang bagus. Yang jelek saja, di pasar nanti becek.”
Saya masih
SD ketika Ibu mulai sering mengajak saya ke pasar. Saya diminta menyelipkan tas
kresek di kantong celana saya karena tas kresek yang besar tidak diberikan
gratis oleh penjual. Oleh karena itu, Ibu rajin melipat plastik-plastik bekas
belanjaan untuk dipakai lagi.
Saya dan Ibu
akan berjalan kaki dari rumah sampai pangkalan becak di bawah pohon beringin.
Ibu biasanya sudah punya tukang becak langganan. Ibu cuma perlu bilang “Biasa”,
dan si tukang becak sudah tahu tujuan Ibu. Tidak ada tawar-menawar karena
harganya sudah disepakati entah sejak kapan. Kalau tak ada tukang becak
langganan, Ibu akan memilih yang lain, menawar, dan menyebutkan tujuannya, “Ke
Pasar Pagi ya, Pak.”
Naik becak
di pagi hari sangat menyenangkan. Saya duduk bersamping-sampingan dengan Ibu.
Udara Tegal yang bersih terasa segar, terlebih ketika penutup becak dilipat ke
bawah. Lalu-lalang kendaraan belum begitu banyak. Meskipun sudah sering melihat
jalanan dan deretan toko-toko yang sama, saya tak pernah bosan melewatinya.
Hanya butuh
waktu sepuluh menit dari rumah ke pasar. Sampai di pasar, aroma pertama yang
tercium adalah wangi bunga. Saya tidak sedang sarkastis. Ini seriusan. Banyak
pedagang menjual mawar, melati, dan aneka bunga-bungaan lain di jalan masuk
pasar. Bunga-bunga itu dijual untuk ziarah kubur, bukan untuk yang lain.
Ketika mulai
masuk ke dalam pasar, wewangian bunga berganti menjadi aroma pasar. Segala
macam bau ada di situ, mulai dari sayur mayur dan buah-buahan hingga jajanan
pasar. Mulai dari amis ikan, ayam potong dan daging, sampai bau rempah-rempah
bumbu dapur.
Seperti
selalu, ibu akan mengambil jalan dari sisi kanan. Ada penjual dawet di situ.
Saya pernah mencicipinya, tak seenak dawet di depan sekolah. Dari situ, kami
akan melewati jajanan pasar. Ibu akan berhenti dan menanyakan apa yang saya mau
di pagi itu.
“Semar mendem!”, demikian seringkali jawaban saya. Di lain waktu, saya
akan memilih kue gulung, di saat yang lain, lemper sudah memuaskan saya.
Setelah membeli kue, kami akan melanjutkan ke penjual sayur dan bumbu dapur
langganan Ibu. Pun, Ibu masih tetap rajin menawar dengan kata-kata andalannya,
“Ayolah, sudah jadi langganan lho.”
Satu deretan
dengan penjual sayur, ada beberapa penjual buah. Kadang kami mampir, kadang
tidak; tergantung berapa banyak uang yang Ibu bawa. Salah satu yang membuat saya bahagia pergi ke pasar
adalah karena saya punya keleluasaan untuk memilih apa yang saya suka. Kalau
musim rambutan, pasti Ibu belikan dua ikat untuk saya. Seringnya Ibu membeli
jeruk, apel, salak, atau kelengkeng. Kadang Ibu membeli sawo untuk Mbah. Untuk
momen yang sangat jarang, Ibu membeli anggur.
Ketika
belanjaan sudah banyak, saya diminta ikut membawakan sebagian. Bagian saya yang
ringan-ringan. Seringnya, tangan kanan-kiri Ibu penuh, sementara saya hanya
membawa satu atau dua macam belanjaan saja. Biasanya saya membawa semuanya di
salah satu tangan, sementara tangan yang lain berpegang pada baju Ibu. Ibu bilang
supaya pegangan saya tak boleh lepas. Sulit, apalagi ketika pasar sedang
ramai-ramainya. Pernah suatu saat pegangan tangan saya terlepas. Saya
tertinggal di belakang. Untunglah Ibu menyadarinya dan berbalik arah. Setelah
itu, Ibu menyuruh saya berjalan lebih dulu.
Meskipun
demikian, saya sudah diajari bahwa kalau saya sampai terpisah dengan Ibu di
pasar dalam waktu yang lama, saya diminta tidak panik. Saya disuruh
menghapalkan alamat rumah dan naik becak untuk pulang.
“Tidak usah
khawatir tidak membawa uang, nanti sampai di rumah baru dibayar tukang becaknya,”
kata Ibu.
Tidak ada
pikiran macam-macam jaman dulu. Penculikan anak dan kejahatan lain seperti
berada di dunia yang berbeda, dunia koran mungkin. Jadi wajar kalau Ibu
menganjurkan demikian.
Saya
bersyukur tak pernah mempraktekan anjuran itu.
Setelah
sayur-mayur dan buah-buahan, terkadang Ibu pergi ke area pasar di sisi
belakang. Itu adalah pusat penjualan daging dan ayam potong. Baunya lebih
anyir, dan segala macam jeroan bukanlah pemandangan yang menarik untuk dilihat.
Belum lagi lalat-lalat itu. Kalau belum cukup buruk, tempat itu yang paling
becek di antara yang lain. Saya sering menahan napas di sana selama yang saya
bisa. Tak betah. Pandangan saya hanya lurus, tak mau nafsu makan saya siang
nanti terganggu. Kelak ketika saya sedikit besar, saya akan memilih untuk
berdiri di luar sementara Ibu masuk membeli daging atau ayam.
Seingat
saya, Ibu sangat jarang membeli ikan di pasar. Tempat tinggal saya dekat dengan
pelabuhan, dekat dengan perkampungan nelayan. Kata Ibu, harga ikan di warung
kampung sebelah lebih murah daripada di pasar.
Pasar Pagi
di hari Minggu ramai dengan pembeli. Terkadang kami berpapasan dengan tetangga,
terkadang Ibu bertemu dengan teman kerja atau kawan lamanya, di lain waktu
giliran saya bertemu dengan kakak kelas yang juga sedang berbelanja dengan
ibunya. Setelah berbasa-basi sebentar, saling menanyakan harga belanjaan
(“Kangkungnya segar sekali, berapa harganya?” yang dilanjut dengan “Beli
dimana?”, masih bagian dari basa-basi), atau cukup saling senyum dengan kakak
kelas, kami akan melanjutkan berbelanja. Tapi, basa-basi bisa jadi jauh lebih
singkat ketika pasar mencapai titik teramainya: hari-hari menjelang Ramadhan.
Saat itu,
biasanya Ibu lebih memilih berbelanja dengan tetangga, tak mengajak saya turut
serta. Tapi pernah entah mulai di Ramadhan ke berapa, saya diajak Ibu ke pasar.
Pasar ramai bukan main! Berjalan pun susah. Sekali terpisah dengan Ibu, susah
sekali menemuinya; harus menembus arus manusia. Belanja jadi lebih lama karena
penjual harus melayani lebih banyak pembeli. Butuh lebih banyak tenaga, apalagi
hawa panas dari tubuh orang-orang membuat pasar terasa sumpek. Jelaslah bahwa
ke pasar sebelum Bulan Ramadhan bukanlah waktu favorit saya.
Tapi, Ibu
punya cara untuk membuat saya kembali senang. Setelah selesai berbelanja, Ibu
akan membawa saya ke warung bakso dekat pintu keluar pasar. Atau di lain waktu,
saya diajak makan sate dengan nasi putih panas bertabur bawang goreng. Tapi di
Minggu-Minggu biasa, saya sudah senang hanya dengan diajak ke pasar.
Ketika Ema
adik saya sudah mulai besar, dia mulai ikut pergi ke pasar. Dia menjadi
tanggung jawab saya ketika Ibu sibuk menawar. Belanjaan yang saya bawa kadang
saya bebankan ke Ema sebagian. Saya pikir itulah gunannya mengajak dia
-_______- Namun seringnya Ibu tidak tega dan membawa sendiri belanjaan itu.
Selama
bertahun-tahun, hari Minggu identik dengan pasar. Belanja identik dengan pasar.
Sampai kemudian Ibu sedikit demi sedikit mampu belanja di toko swalayan Mitra.
Harganya sedikit lebih mahal, tapi itu menjadi sepadan karena lantai keramiknya
tidak pernah becek dan suhu di dalamnya dingin. Belanja menjadi lebih nyaman. Belanja
tak harus selalu hari Minggu karena Mitra buka setiap hari, dari siang sampai
malam. Mestinya saya tahu bahwa itulah saatnya ketika pasar mulai menjauh dan
semakin jauh dari hidup saya.
“Ibu mau ke pasar, mau ikut
tidak?”
Tiba-tiba,
film kartun jadi lebih menarik ketimbang belanja di pasar.
No comments:
Post a Comment