Wednesday 20 February 2013

Belanja bersama Ibu


Minggu pagi. Ibu menyuruh saya mandi lebih awal.

“Ibu mau ke pasar, mau ikut tidak?”

Tak peduli harus absen menonton film kartun favorit, ajakan Ibu pergi ke pasar saya sambut dengan riang. Setelah mandi dengan sabun batang dan menggosok badan dengan batu kali, saya memilih-milih baju yang akan saya pakai.

“Tidak usah terlalu bagus, ini cuma mau ke pasar,” kata Ibu selalu.

Mungkin waktu itu saya memilih kaos hitam dengan sablon tebal Power Rangers, di lain waktu mungkin saya memilih kaos lerek gradasi abu-abu favorit saya. Ibu tak terlalu cerewet tentang baju yang saya pakai. Hanya ada satu hal yang menjadi perhatiannya.

“Jangan pakai sandal yang bagus. Yang jelek saja, di pasar nanti becek.”
Saya masih SD ketika Ibu mulai sering mengajak saya ke pasar. Saya diminta menyelipkan tas kresek di kantong celana saya karena tas kresek yang besar tidak diberikan gratis oleh penjual. Oleh karena itu, Ibu rajin melipat plastik-plastik bekas belanjaan untuk dipakai lagi.

Saya dan Ibu akan berjalan kaki dari rumah sampai pangkalan becak di bawah pohon beringin. Ibu biasanya sudah punya tukang becak langganan. Ibu cuma perlu bilang “Biasa”, dan si tukang becak sudah tahu tujuan Ibu. Tidak ada tawar-menawar karena harganya sudah disepakati entah sejak kapan. Kalau tak ada tukang becak langganan, Ibu akan memilih yang lain, menawar, dan menyebutkan tujuannya, “Ke Pasar Pagi ya, Pak.”


Naik becak di pagi hari sangat menyenangkan. Saya duduk bersamping-sampingan dengan Ibu. Udara Tegal yang bersih terasa segar, terlebih ketika penutup becak dilipat ke bawah. Lalu-lalang kendaraan belum begitu banyak. Meskipun sudah sering melihat jalanan dan deretan toko-toko yang sama, saya tak pernah bosan melewatinya.

Hanya butuh waktu sepuluh menit dari rumah ke pasar. Sampai di pasar, aroma pertama yang tercium adalah wangi bunga. Saya tidak sedang sarkastis. Ini seriusan. Banyak pedagang menjual mawar, melati, dan aneka bunga-bungaan lain di jalan masuk pasar. Bunga-bunga itu dijual untuk ziarah kubur, bukan untuk yang lain.

Ketika mulai masuk ke dalam pasar, wewangian bunga berganti menjadi aroma pasar. Segala macam bau ada di situ, mulai dari sayur mayur dan buah-buahan hingga jajanan pasar. Mulai dari amis ikan, ayam potong dan daging, sampai bau rempah-rempah bumbu dapur.

Seperti selalu, ibu akan mengambil jalan dari sisi kanan. Ada penjual dawet di situ. Saya pernah mencicipinya, tak seenak dawet di depan sekolah. Dari situ, kami akan melewati jajanan pasar. Ibu akan berhenti dan menanyakan apa yang saya mau di pagi itu.

“Semar mendem!”, demikian seringkali jawaban saya. Di lain waktu, saya akan memilih kue gulung, di saat yang lain, lemper sudah memuaskan saya. Setelah membeli kue, kami akan melanjutkan ke penjual sayur dan bumbu dapur langganan Ibu. Pun, Ibu masih tetap rajin menawar dengan kata-kata andalannya, “Ayolah, sudah jadi langganan lho.”

Satu deretan dengan penjual sayur, ada beberapa penjual buah. Kadang kami mampir, kadang tidak; tergantung berapa banyak uang yang Ibu bawa. Salah satu yang membuat saya bahagia pergi ke pasar adalah karena saya punya keleluasaan untuk memilih apa yang saya suka. Kalau musim rambutan, pasti Ibu belikan dua ikat untuk saya. Seringnya Ibu membeli jeruk, apel, salak, atau kelengkeng. Kadang Ibu membeli sawo untuk Mbah. Untuk momen yang sangat jarang, Ibu membeli anggur.

Ketika belanjaan sudah banyak, saya diminta ikut membawakan sebagian. Bagian saya yang ringan-ringan. Seringnya, tangan kanan-kiri Ibu penuh, sementara saya hanya membawa satu atau dua macam belanjaan saja. Biasanya saya membawa semuanya di salah satu tangan, sementara tangan yang lain berpegang pada baju Ibu. Ibu bilang supaya pegangan saya tak boleh lepas. Sulit, apalagi ketika pasar sedang ramai-ramainya. Pernah suatu saat pegangan tangan saya terlepas. Saya tertinggal di belakang. Untunglah Ibu menyadarinya dan berbalik arah. Setelah itu, Ibu menyuruh saya berjalan lebih dulu.

Meskipun demikian, saya sudah diajari bahwa kalau saya sampai terpisah dengan Ibu di pasar dalam waktu yang lama, saya diminta tidak panik. Saya disuruh menghapalkan alamat rumah dan naik becak untuk pulang.

“Tidak usah khawatir tidak membawa uang, nanti sampai di rumah baru dibayar tukang becaknya,” kata Ibu.

Tidak ada pikiran macam-macam jaman dulu. Penculikan anak dan kejahatan lain seperti berada di dunia yang berbeda, dunia koran mungkin. Jadi wajar kalau Ibu menganjurkan demikian.

Saya bersyukur tak pernah mempraktekan anjuran itu.

Setelah sayur-mayur dan buah-buahan, terkadang Ibu pergi ke area pasar di sisi belakang. Itu adalah pusat penjualan daging dan ayam potong. Baunya lebih anyir, dan segala macam jeroan bukanlah pemandangan yang menarik untuk dilihat. Belum lagi lalat-lalat itu. Kalau belum cukup buruk, tempat itu yang paling becek di antara yang lain. Saya sering menahan napas di sana selama yang saya bisa. Tak betah. Pandangan saya hanya lurus, tak mau nafsu makan saya siang nanti terganggu. Kelak ketika saya sedikit besar, saya akan memilih untuk berdiri di luar sementara Ibu masuk membeli daging atau ayam.

Seingat saya, Ibu sangat jarang membeli ikan di pasar. Tempat tinggal saya dekat dengan pelabuhan, dekat dengan perkampungan nelayan. Kata Ibu, harga ikan di warung kampung sebelah lebih murah daripada di pasar.

Pasar Pagi di hari Minggu ramai dengan pembeli. Terkadang kami berpapasan dengan tetangga, terkadang Ibu bertemu dengan teman kerja atau kawan lamanya, di lain waktu giliran saya bertemu dengan kakak kelas yang juga sedang berbelanja dengan ibunya. Setelah berbasa-basi sebentar, saling menanyakan harga belanjaan (“Kangkungnya segar sekali, berapa harganya?” yang dilanjut dengan “Beli dimana?”, masih bagian dari basa-basi), atau cukup saling senyum dengan kakak kelas, kami akan melanjutkan berbelanja. Tapi, basa-basi bisa jadi jauh lebih singkat ketika pasar mencapai titik teramainya: hari-hari menjelang Ramadhan.

Saat itu, biasanya Ibu lebih memilih berbelanja dengan tetangga, tak mengajak saya turut serta. Tapi pernah entah mulai di Ramadhan ke berapa, saya diajak Ibu ke pasar. Pasar ramai bukan main! Berjalan pun susah. Sekali terpisah dengan Ibu, susah sekali menemuinya; harus menembus arus manusia. Belanja jadi lebih lama karena penjual harus melayani lebih banyak pembeli. Butuh lebih banyak tenaga, apalagi hawa panas dari tubuh orang-orang membuat pasar terasa sumpek. Jelaslah bahwa ke pasar sebelum Bulan Ramadhan bukanlah waktu favorit saya.

Tapi, Ibu punya cara untuk membuat saya kembali senang. Setelah selesai berbelanja, Ibu akan membawa saya ke warung bakso dekat pintu keluar pasar. Atau di lain waktu, saya diajak makan sate dengan nasi putih panas bertabur bawang goreng. Tapi di Minggu-Minggu biasa, saya sudah senang hanya dengan diajak ke pasar.

Ketika Ema adik saya sudah mulai besar, dia mulai ikut pergi ke pasar. Dia menjadi tanggung jawab saya ketika Ibu sibuk menawar. Belanjaan yang saya bawa kadang saya bebankan ke Ema sebagian. Saya pikir itulah gunannya mengajak dia -_______- Namun seringnya Ibu tidak tega dan membawa sendiri belanjaan itu.

Selama bertahun-tahun, hari Minggu identik dengan pasar. Belanja identik dengan pasar. Sampai kemudian Ibu sedikit demi sedikit mampu belanja di toko swalayan Mitra. Harganya sedikit lebih mahal, tapi itu menjadi sepadan karena lantai keramiknya tidak pernah becek dan suhu di dalamnya dingin. Belanja menjadi lebih nyaman. Belanja tak harus selalu hari Minggu karena Mitra buka setiap hari, dari siang sampai malam. Mestinya saya tahu bahwa itulah saatnya ketika pasar mulai menjauh dan semakin jauh dari hidup saya.

“Ibu mau ke pasar, mau ikut tidak?”

Tiba-tiba, film kartun jadi lebih menarik ketimbang belanja di pasar.

No comments:

Post a Comment