Tuesday 19 March 2013

Mengajak Bapak-Ibu Jalan-Jalan (i)


Awalnya, saya hanya ingin mengajak orang tua saya naik pesawat. Sampai usia setengah abad lebih, bapak-ibu belum pernah merasakan bepergian dengan pesawat. Ibu mending, pernah mengantar saudara sampai bandara. Sekali. Duluuuu, waktu ibu masih kecil. Kalau bapak, ke bandara saja belum pernah.

Niatan mengajak bapak-ibu ada sejak dua tahunan yang lalu, kemudian diseriusi di akhir 2012 kemarin. November, saya mulai mencari-cari tiket murah untuk penerbangan domestik. Saya berniat apapun tujuannya, maskapainya harus Garuda karena pelayanannya yang juara. Sayangnya, tiket Garuda untuk akhir 2012 sampai awal 2013 masih terbilang mahal.

Akhirnya, saya memutuskan untuk sekalian mengajak bapak-ibu ke negara tetangga naik AirAsia, entah Malaysia, entah Singapura, yang budget-nya masih terjangkau di kantong saya. Saya pernah ke dua negara tersebut, dan kalau disuruh memilih, saya pastikan akan kembali lagi ke Malaysia. Bukan ke Kuala Lumpur atau Putrajaya, melainkan ke Penang karena saya terlanjur suka suasananya. Untungnya bapak-ibu juga memilih Penang, mungkin terpengaruh sugesti yang saya beri. Jadilah di bulan itu, saya booking tiga tiket untuk bapak, ibu, dan saya sendiri buat penerbangan ke Penang tanggal 25 – 28 Januari 2013. Mendengar rencana jalan-jalan saya, saudara sepupu rupanya juga ingin ikut ke Penang. Saya booking satu tiket lagi untuk tanggal yang sama. Di November itu juga, saya booking satu family room di Super8, tempat saya menginap dulu dengan teman-teman.

Sementara tiket sudah di tangan, bapak-ibu belum punya paspor. Kantor imigrasi terdekat ada di Pemalang, sekitar satu setengah jam dari rumah di Tegal. Saya praktis tidak bisa membantu banyak karena tinggal di Jakarta. Bapak sebenarnya ingin membuat paspor sendiri, tapi saya tak tega kalau itu artinya perlu bolak-balik Tegal-Pemalang beberapa kali. Apalagi mereka masih punya tanggung jawab mengajar di sekolah. Dengan bantuan agen travel, pembuatan paspor bapak-ibu sudah selesai dalam waktu seminggu dan mereka hanya perlu sekali saja ke Pemalang.

Jauh-jauh hari sebelum keberangkatan, saya sudah gambarkan situasi bandara sampai imigrasi negara tujuan pada bapak-ibu. Saya sampaikan kira-kira apa saja yang akan ditanyakan di imigrasi, saya beritahu apa saja yang harus dibawa dan yang tidak boleh dibawa. Saya ceritakan tentang turbulensi pesawat supaya mereka tidak panik. “Turbulensi itu terjadi kalau pesawat melewati awan tebal, sama lah seperti kalau mobil melewati jalan penuh kerikil dan ada goncangan sedikit. Tidak apa-apa,” kata saya sotoy, meskipun dalam hati saya panik setengah mati kalau turbulensinya sering-sering. Saya beri gambaran juga tentang toilet di pesawat, kalau-kalau bapak atau ibu membutuhkannya.
***

Januari 2013, hujan di Jakarta sedang parah-parahnya. Pertengahan Januari malah Jakarta kena banjir besar. Saya agak ngeri membayangkan hujan angin masih terus rajin turun sampai keberangkatan ke Penang. Ke bandara pasti macet, goncangan akibat turbulensi juga dikhawatirkan tambah parah. Apalagi kalau hujan juga ikut-ikutan nempel sampai Penang. Apa enaknya jalan-jalan kemana-mana becek-becekan? Duh!

Kamis 24 Januari, bapak-ibu sudah sampai di Jakarta, menginap di rumah sepupu yang juga akan ikut ke Penang. Besok sorenya, kami berempat sudah sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Kami sampai tiga jam lebih cepat dari waktu keberangkatan. Meskipun siangnya sempat hujan lebat, sore di bandara ternyata cerah ceria.

Kami menunggu di boarding room Terminal 3. Ibu bolak-balik minta difoto, sementara bapak jalan-jalan mengelilingi ruang tunggu. Melihat bapak yang asik memperhatikan pesawat melalui jendela kaca lebar, saya berikan teropong yang sengaja saya bawa untuknya. Lama bapak memperhatikan pesawat di luar sana.

Ketika mengembalikan teropong pada saya, bapak bilang, “Tidak ada burung di bandara. Bapak heran, sedemikian luas bandara ini, tidak ada satu pun burung di sini!” Well, itu tidak pernah saya perhatikan sih. Bapak bertanya-tanya tentang bagaimana cara mengusir burung-burung itu dari bandara, dan saya dengan meyakinkan bilang kalau itu pasti ada alatnya, yang entah apa.
***

Menjelang jam 6 sore, kami sudah naik ke pesawat. Sudah beberapa kali saya naik AirAsia, dan saya selalu suka dengan jadwal mereka yang on time. Saya duduk sederet bertiga dengan bapak-ibu; saya di tengah. Sepupu ada di kursi sebelahnya lagi – terpisah gang – meskipun masih sederetan. Saya sengaja mengatur seperti itu, kalau-kalau bapak-ibu butuh saya.


Yang saya khawatirkan adalah ibu, takut ibu mabuk udara. Ibu saya alergi dingin, bisa sakit kalau terpapar AC lama-lama. Ibu sudah memakai jaket dan kaos kaki, menuruti perkataan saya. Seharusnya sih itu sudah cukup untuk membuatnya tetap hangat.

Ibu duduk dekat jendela, sementara bapak dekat gang. Ketika pramugari mempraktekkan demo prosedur keselamatan penerbangan, ibu penasaran ingin melihat sampai harus setengah berdiri. Ketika pesawat mulai take off, saya berdoa semoga kami diberi kelancaran dan keselamatan.

Jakarta menjelang malam sudah mulai cantik dengan lampu kerlap-kerlip. Pesawat semakin tinggi, bandara semakin terlihat kecil, tertinggal di bawah.

Subhanallah,” kata ibu, “Indah sekali.”

Bapak yang ada di sebelah saya penasaran, ikut melongok ke jendela. Saya tahu rasanya pertama kali naik pesawat. Saya masih ingat rasanya, jadi saya memaklumi apa yang sedang bapak-ibu rasakan saat itu.

Perjalanan sangat lancar, tidak ada turbulensi yang berarti. Sekitar satu jam kemudian, pramugari mulai menawarkan makan malam. Saya pesan Nasi Lemak dan ibu memilih Nasi Minyak. Bapak, seperti biasa, tak betah diam. Sudah dua kali bapak ke toilet; mungkin karena nervous.

“Di toilet tadi, Bapak kunci pintunya?”
“Tidak, cuma ditutup.”
“Bagaimana kalau ada orang masuk??” Saya jelaskan tentang arti indikator lampu di toilet pesawat.
“Tidak apa-apa, Bapak cuma sedang melihat-lihat saja tadi,” jawab bapak santai.

Okay

Penerbangan Jakarta – Penang harusnya ditempuh sekitar dua setengah jam. Ditambah waktu Malaysia yang lebih cepat satu jam dari Jakarta, diperkirakan kami sampai Penang pukul sembilan lewat. Hebatnya, kami sampai setengah jam lebih awal. Turis dari Jepang sampai bertepuk tangan dan mengacungkan dua jempolnya pada pramugari yang lewat.

Setelah mengambil bagasi, kami pesan taksi ke hotel. Penang masih seperti yang dulu saya ingat, rapi. Kotanya tak terlalu ramai dan sesak, tapi tetap hidup dilihat dari warung-warung makan di sepanjang jalan. Kami sampai di Hotel Super8 lima belas menit kemudian. Jalanan lancar. Saya tak salah kembali memilih Super8. Di samping harga yang terjangkau, kebersihannya juga terjamin. AC-nya dingin dan panas heater-nya pas. TV kabel juga ada dengan pilihan channel yang menarik. Kami memilih family room untuk alasan ekonomis dan praktis. Jadi biar bisa ngobrol juga setiap saat. Ada dua kasur king size di satu kamar. Bapak dengan ibu, saya dengan sepupu. Malam itu, kami tidur cepat karena esok paginya akan mulai menjelajah Penang.

2 comments:

  1. Anggie, aku baca tulisanmu kali ini entah kenapa aku terharu. Aku tak henti-hentinya tersenyum selama membaca tulisanmu ini. Orangtuamu pasti senang sekali ya jalan-jalan dengan kamu. :)

    ReplyDelete
  2. Iyaaa, senang liat bapak-ibu senang :) Kimi apa kabar?

    ReplyDelete