Awalnya,
saya hanya ingin mengajak orang
tua saya naik pesawat. Sampai usia setengah abad lebih, bapak-ibu belum pernah
merasakan bepergian dengan pesawat. Ibu mending, pernah mengantar saudara
sampai bandara. Sekali. Duluuuu, waktu ibu masih kecil. Kalau bapak, ke bandara
saja belum pernah.
Niatan mengajak bapak-ibu
ada sejak dua tahunan yang lalu, kemudian diseriusi di akhir 2012 kemarin.
November, saya mulai mencari-cari tiket murah untuk penerbangan domestik. Saya
berniat apapun tujuannya, maskapainya harus Garuda karena pelayanannya yang
juara. Sayangnya, tiket Garuda untuk akhir 2012 sampai awal 2013 masih
terbilang mahal.
Akhirnya, saya memutuskan
untuk sekalian mengajak bapak-ibu ke negara tetangga naik AirAsia, entah
Malaysia, entah Singapura, yang budget-nya
masih terjangkau di kantong saya. Saya pernah ke dua negara tersebut, dan kalau
disuruh memilih, saya pastikan akan kembali lagi ke Malaysia. Bukan ke Kuala
Lumpur atau Putrajaya, melainkan ke Penang karena saya terlanjur suka
suasananya. Untungnya bapak-ibu juga memilih Penang, mungkin terpengaruh
sugesti yang saya beri. Jadilah di bulan itu, saya booking tiga tiket untuk bapak, ibu, dan saya sendiri buat
penerbangan ke Penang tanggal 25 – 28 Januari 2013. Mendengar rencana
jalan-jalan saya, saudara sepupu rupanya juga ingin ikut ke Penang. Saya booking satu tiket lagi untuk tanggal
yang sama. Di November itu juga, saya booking
satu family room di Super8,
tempat saya menginap dulu dengan teman-teman.
Sementara tiket sudah di
tangan, bapak-ibu belum punya paspor. Kantor imigrasi terdekat ada di Pemalang,
sekitar satu setengah jam dari rumah di Tegal. Saya praktis tidak bisa membantu
banyak karena tinggal di Jakarta. Bapak sebenarnya ingin membuat paspor
sendiri, tapi saya tak tega kalau itu artinya perlu bolak-balik Tegal-Pemalang
beberapa kali. Apalagi mereka masih punya tanggung jawab mengajar di sekolah.
Dengan bantuan agen travel, pembuatan paspor bapak-ibu sudah selesai dalam
waktu seminggu dan mereka hanya perlu sekali saja ke Pemalang.
Jauh-jauh hari sebelum
keberangkatan, saya sudah gambarkan situasi bandara sampai imigrasi negara
tujuan pada bapak-ibu. Saya sampaikan kira-kira apa saja yang akan ditanyakan
di imigrasi, saya beritahu apa saja yang harus dibawa dan yang tidak boleh dibawa. Saya ceritakan
tentang turbulensi pesawat supaya mereka tidak panik. “Turbulensi itu terjadi
kalau pesawat melewati awan tebal, sama lah seperti kalau mobil melewati jalan
penuh kerikil dan ada goncangan sedikit. Tidak apa-apa,” kata saya sotoy, meskipun dalam hati saya panik
setengah mati kalau turbulensinya sering-sering. Saya beri gambaran juga
tentang toilet di pesawat, kalau-kalau
bapak atau ibu membutuhkannya.
***
Januari 2013, hujan di
Jakarta sedang parah-parahnya. Pertengahan Januari malah Jakarta kena banjir
besar. Saya agak ngeri membayangkan hujan angin masih terus rajin turun sampai
keberangkatan ke Penang. Ke bandara pasti macet, goncangan akibat turbulensi
juga dikhawatirkan tambah parah. Apalagi kalau hujan juga ikut-ikutan nempel sampai Penang. Apa enaknya
jalan-jalan kemana-mana becek-becekan? Duh!
Kamis 24 Januari, bapak-ibu
sudah sampai di Jakarta, menginap di rumah sepupu yang juga akan ikut ke
Penang. Besok sorenya, kami berempat sudah sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Kami
sampai tiga jam lebih cepat dari waktu keberangkatan. Meskipun siangnya sempat
hujan lebat, sore di bandara ternyata cerah ceria.
Kami menunggu di boarding room Terminal 3. Ibu
bolak-balik minta difoto, sementara bapak jalan-jalan mengelilingi ruang tunggu.
Melihat bapak yang asik memperhatikan pesawat melalui jendela kaca lebar, saya
berikan teropong yang sengaja saya bawa untuknya. Lama bapak memperhatikan pesawat
di luar sana.
Ketika mengembalikan
teropong pada saya, bapak bilang, “Tidak ada burung di bandara. Bapak heran,
sedemikian luas bandara ini, tidak ada satu pun burung di sini!” Well, itu tidak pernah saya perhatikan
sih. Bapak bertanya-tanya tentang bagaimana cara mengusir burung-burung itu
dari bandara, dan saya dengan meyakinkan bilang kalau itu pasti ada alatnya,
yang entah apa.
***
Menjelang jam 6 sore, kami
sudah naik ke pesawat. Sudah beberapa kali saya naik AirAsia, dan saya selalu
suka dengan jadwal mereka yang on time.
Saya duduk sederet bertiga dengan bapak-ibu; saya di tengah. Sepupu ada di
kursi sebelahnya lagi – terpisah gang – meskipun masih sederetan. Saya sengaja
mengatur seperti itu, kalau-kalau bapak-ibu butuh saya.
Yang saya khawatirkan adalah
ibu, takut ibu mabuk udara. Ibu saya alergi dingin, bisa sakit kalau terpapar AC
lama-lama. Ibu sudah memakai jaket dan kaos kaki, menuruti perkataan saya.
Seharusnya sih itu sudah cukup untuk membuatnya tetap hangat.
Ibu duduk dekat jendela,
sementara bapak dekat gang. Ketika pramugari mempraktekkan demo prosedur
keselamatan penerbangan, ibu penasaran ingin melihat sampai harus setengah
berdiri. Ketika pesawat mulai take off, saya
berdoa semoga kami diberi kelancaran dan keselamatan.
Jakarta menjelang malam
sudah mulai cantik dengan lampu kerlap-kerlip. Pesawat semakin tinggi, bandara
semakin terlihat kecil, tertinggal di bawah.
“Subhanallah,” kata ibu, “Indah sekali.”
Bapak yang ada di sebelah
saya penasaran, ikut melongok ke jendela. Saya tahu rasanya pertama kali naik
pesawat. Saya masih ingat rasanya,
jadi saya memaklumi apa yang sedang bapak-ibu rasakan saat itu.
Perjalanan sangat lancar,
tidak ada turbulensi yang berarti. Sekitar satu jam kemudian, pramugari mulai
menawarkan makan malam. Saya pesan Nasi Lemak dan ibu memilih Nasi Minyak. Bapak,
seperti biasa, tak betah diam. Sudah dua kali bapak ke toilet; mungkin karena nervous.
“Di toilet tadi, Bapak kunci
pintunya?”
“Tidak, cuma ditutup.”
“Bagaimana kalau ada orang
masuk??” Saya jelaskan tentang arti indikator lampu di toilet pesawat.
“Tidak apa-apa, Bapak cuma
sedang melihat-lihat saja tadi,” jawab bapak santai.
Okay…
Penerbangan Jakarta – Penang
harusnya ditempuh sekitar dua setengah jam. Ditambah waktu Malaysia yang lebih
cepat satu jam dari Jakarta, diperkirakan kami sampai Penang pukul sembilan
lewat. Hebatnya, kami sampai setengah jam lebih
awal. Turis dari Jepang sampai bertepuk tangan dan mengacungkan dua
jempolnya pada pramugari yang lewat.
Setelah mengambil bagasi,
kami pesan taksi ke hotel. Penang masih seperti yang dulu saya ingat, rapi.
Kotanya tak terlalu ramai dan sesak, tapi tetap hidup dilihat dari
warung-warung makan di sepanjang jalan. Kami sampai di Hotel Super8 lima belas
menit kemudian. Jalanan lancar. Saya tak salah kembali memilih Super8. Di
samping harga yang terjangkau, kebersihannya juga terjamin. AC-nya dingin dan
panas heater-nya pas. TV kabel juga
ada dengan pilihan channel yang
menarik. Kami memilih family room untuk
alasan ekonomis dan praktis. Jadi biar bisa ngobrol juga setiap saat. Ada dua
kasur king size di satu kamar. Bapak dengan
ibu, saya dengan sepupu. Malam itu, kami tidur cepat karena esok paginya akan
mulai menjelajah Penang.
Anggie, aku baca tulisanmu kali ini entah kenapa aku terharu. Aku tak henti-hentinya tersenyum selama membaca tulisanmu ini. Orangtuamu pasti senang sekali ya jalan-jalan dengan kamu. :)
ReplyDeleteIyaaa, senang liat bapak-ibu senang :) Kimi apa kabar?
ReplyDelete