Monday, 5 May 2014

Ireland! (3)


Setelah kemarin jalan-jalan ke Dundalk, hari ini saya ingin santai dengan mengikuti One Day Tour ke Wicklow. Irlandia yang saya tahu adalah Irlandia yang cantik dengan alamnya yang mempesona. Rasanya sayang kalau hari ini hanya untuk Dublin saja. Tournya sendiri sudah saya pesan ketika masih di Belanda, seharga 20 Euro; sangat murah untuk 8 jam tour naik bis.

Awalnya saya ingin ke Cliffs of Moher, itu adalah lokasi syuting Westlife untuk video klip mereka yang berjudul ‘My Love.’ Sayangnya tour ke sana dimulai dari jam enam pagi hingga tujuh malam karena tempatnya yang jauh dari Dublin. Lagipula ketika melihat foto-foto tour, saya lebih tertarik ke Wicklow yang hijau. Ditambah lagi, salah satu tempat tujuan tour adalah Sally Gap dimana P.S. I Love You difilmkan.

Enaknya menginap di The Charles Stewart Guesthouse adalah aksesnya yang kemana-mana mudah karena letaknya yang memang di tengah pusat kota. Saya hanya berjalan lima menit ke Upper O’Connell Street, meeting point untuk tour ke Wicklow. Karena tour tidak menyediakan makan siang, saya membawa bekal roti.

Jam 9-an, bis sudah datang. Lima belas menit kemudian, saya sudah duduk di deret kursi sebelah kanan, dekat dengan jendela. Ini pertama kali saya ikut tour dengan orang-orang yang sama sekali asing. Rata-rata yang ikut tour adalah couple dan sekelompok teman. Saya perhatikan hanya ada empat orang yang datang sendiri. Rupanya jumlah yang ikut tour tidak maksimal. Sampai bis berjalan, saya duduk sendirian.

Supir bis ternyata merangkap tour guide. Dia menjelaskan tempat-tempat di Dublin yang kami lewati, mulai dari Trinity College hingga Irish Parliament House. Sebagai perkenalan, dia meminta kami mengucap selamat pagi dalam bahasa masing-masing.

Giliran tour guide menyebut Indonesia, saya sudah siap berteriak lantang.

“SELAMAT PAGI!,”

Dan uh, saya mendengar ada suara pria yang juga meneriakkan sapaan yang sama. Cowok yang berseberangan dengan saya ternyata orang Indonesia, saya pikir dia orang dari Asia Timur. Kami sempat ngobrol-ngobrol sebentar. Dia dulu kuliah di Delf, Belanda dan sekarang bekerja di Inggris. Dia datang sendirian, dan sekarang duduk dengan cowok dari Thailand.

Di tengah jalan, bis berhenti. Seorang ibu muda menggendong bayi dengan putrinya yang berumur empat tahunan naik bis. Mereka duduk di reserved seat di depan saya.

Meninggalkan Dublin yang kelabu, kini jalanan yang kami lalui didominasi hijau. Saya bersyukur si tour guide tidak terus-menerus mengoceh sepanjang jalan. Sebagai gantinya, dia menyetelkan lagu-lagu khas Irlandia.

Ah, ini Irlandia yang saya mau! Dengan pegunungan dan jalanannya yang berkelak-kelok mendaki.

Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Glencree Valley. Kami ke Glencree Centre yang dulunya barak militer. Saya berkeliling, foto-foto sebentar, ke toilet dua kali. Beberapa peserta tour ngopi-ngopi di kafe. Ada juga yang turun ke sungai. Si cowok Indonesia sudah menghilang dengan temannya. Belakangan dia cerita kalau mereka mencari Pemakaman Militer Jerman yang jadi salah satu spot bersejarah di sana.

Dari sana, perjalanan dilanjut ke Sally Gap. Kiri-kanan jalan kini berisi bukit-bukit bergradasi coklat, mulai coklat muda hingga coklat tua. Mungkin karena masih musim dingin jadi belum ada bunga yang mekar. Pun begitu, tour guide bilang kalaupun bunga-bunga bermekaran, warnanya tidak akan seungu yang ada di P.S. I Love You. Itu cuma efek kamera, katanya. Kami juga melewati pegunungan yang masih bersalju di puncaknya. Tipikal orang tropis, saya langsung ber-wow dan memotretnya. Di Sally Gap, kami turun ke jembatan tempat pertama kali Holly bertemu dengan Gerry. Foto-foto, lalu dilanjut jalan lagi.

Setelah itu, kami melewati Guinness Lake – yang disebut Guinness karena air danaunya yang berwarna hitam seperti bir khas Irlandia itu. Ini adalah spot paling keren menurut saya. Saya mesti foto selfie karena yang lain juga sibuk foto dengan teman tournya. Well, sudah separuh perjalanan tapi saya masih belum berkenalan dengan peserta tour lainnya kecuali si cowok Indonesia – yang gantian merekam video dengan cowok Thailand.

Tempat selanjutnya adalah Glendalough. Ini adalah pemukiman monastik orang-orang Kristen dari abad ke-6 Masehi. Beda dengan tempat lain yang cuma foto-foto, kali ini tour guide ikut turun dan menjelaskan sejarah tempat ini. Sempat gerimis sebentar, namun menjelang pulang gerimis sudah reda.

Destinasi terakhir adalah Avoca Village. Kami dibawa ke Fitzgerald’s Pub untuk mencicipi bir Guinness sekaligus makan siang di sana.

Saya masuk ke pub dan melihat orang-orang sudah duduk berkelompok. Canggung, saya keluar lagi. Uh, saya masih saja tak nyaman untuk memulai percakapan dengan orang asing. Persis di depan pub, ada restoran kecil. Saya pesan ayam goreng di sana.

Selesai makan siang, tour guide membawa kami ke Avoca Handweavers. Itu adalah toko kerajinan tangan yang menjual kain handmade asli Irlandia. Sama seperti ketika pulang dari Dundalk, saya tidur nyaris di sepanjang perjalanan dari Avoca ke Dublin. Jam 6, kami sudah sampai di Dublin.

Saya ke Caroll’s, toko souvenir paling terkenal di Dublin. Banyak pernak-pernik lucu dan harganya lebih murah dibanding toko-toko lain yang saya datangi sebelumnya.

Esoknya, saya sudah di bandara untuk kembali ke Amsterdam. Kalau dari London ke Dublin saya naik Ryan Air, kini saya memilih Aer Lingus untuk pulang. Dari dulu saya selalu ingin naik Aer Lingus karena Irish banget dengan logo Shamrock-nya.

Menjelang jadwal keberangkatan jam 11, saya ke Gate 410 sesuai papan informasi. Saya melewati Caroll’s dan saat itu..Runaway dari The Corrs jadi musik latar di Caroll’s. Whoa! Di hari pertama di Irlandia, tetangga sebelah kamar hotel menyetel Dreams dan sekarang Runaway jadi pengantar sebelum saya meninggalkan Irlandia. Saya ikut menyanyikan reff-nya dalam hati.

“Because I…am falling in love. With you.. No.. Never.. I’m never gonna stop falling in love with you…”

Kebetulan yang menyenangkan!

***

Sejujurnya, saya sempat nervous sebelum berangkat ke Inggris dan Irlandia. Bagaimana kalau keduanya tidak sesuai bayangan saya? Seperti yang pernah saya bilang, Inggris dan Irlandia adalah mimpi saya, juga motivasi untuk mencoba hal baru. Niatan ke sana pulalah yang mengubah impossible jadi possible. Lalu apa kalau mimpi itu sudah tercapai? Saya takut antiklimaks setelahnya.

Untungnya yang saya takutkan tidak terjadi. Saya menikmati perjalanan ke kedua negara tersebut. Kalau ada yang kurang, mungkin satu: teman. Akan sangat menyenangkan kalau saya bisa jalan-jalan dengan mereka – teman-teman dengan mimpi yang sama. Selain itu, saya juga mulai menambah daftar tempat yang ingin saya kunjungi, dari Swiss hingga Yunani. Juga Korea Selatan.

Untuk menutup cerita jalan-jalan ini, saya ingin mengutip kata-kata dalam kartu yang pernah seorang teman berikan pada saya.

“You believed you could, so you did,”

Ireland! (2)


Masih menggigil sisa semalam, saya paksakan mandi pagi-pagi. Heater di kamar kurang panas. Meskipun sudah tidur dengan kaos kaki, jaket dan selimut-lapis-dua, saya bangun dengan udara dingin yang seolah tak mau menjauh. Ini mengingatkan saya pada minggu-minggu (bulan-bulan?) pertama di Belanda. Tetiba saya kangen selimut listrik yang jadi sahabat baik setiap malam di Bornsesteeg.

Anyway, saya mandi pagi supaya bisa cepat-cepat ke stasiun. Hari itu saya berencana ke Dundalk, kota kelahiran The Corrs. Jauh-jauh hari sebelumnya, saya sudah beli tiket kereta p.p. Dublin-Dundalk di irishrail.ie seharga 29.80 EUR (+2 EUR untuk biaya transaksi dan +1 EUR untuk biaya kartu kredit). Rasanya bahagia kembali ke Euro setelah di Inggris dihajar Poundsterling.

Keluar dari hostel, saya langsung diserang dingin. Inggris lebih dingin Belanda dan sekarang Irlandia lebih dingin dari Inggris. Saya pakai sarung tangan yang sudah lama tak terpakai di Belanda. Dari jauh, The Spire setinggi 120 meter terlihat seperti jarum raksasa yang ditancapkan dengan sengaja.

Pagi itu belum banyak orang yang berjalan-jalan. Beberapa toko baru buka. Saya masuk ke sebuah toko, membeli tiga potong croissant dan chicken wings untuk sarapan dan bekal jalan-jalan ke Dundalk. Hostel menyediakan sarapan dengan tambahan 7 EUR per hari, namun saya memilih untuk membeli sarapan sendiri di luar.

Dipandu oleh Google Maps (dan sempat bertanya pada seseorang), saya sampai di Stasiun Connolly Dublin tepat waktu. Hal pertama yang saya lakukan adalah ke Information Counter untuk menukarkan voucher jadi tiket. Petugas bilang saya bisa melakukannya sendiri di mesin yang tersedia di samping counter. Caranya ternyata cukup mudah, tinggal mengikuti petunjuk yang tertera di layar. Tak ada lima menit, saya sudah pegang tiket ke Dundalk.

Setelah melihat jadwal keberangkatan di papan elektronik super besar, saya masuk ke peron sesuai yang tertulis di papan informasi tersebut. Kereta dengan tujuan akhir Belfast ternyata sudah menanti. Saya pastikan lagi kalau kereta itu akan berhenti di Dundalk, baru saya naik ke gerbongnya.

Sesuai tiket, mestinya saya naik gerbong G nomor 27. Anehnya, bukan nomor yang jadi acuan, tapi NAMA. Jadi, di bagian atas nomor ada nama yang dicetak di kertas putih seukuran kartu nama. Tempat duduk disesuaikan dengan nama tersebut alih-alih nomor kursi. Di gerbong G nomor 27 sendiri bukan nama saya yang tertulis. Terpaksa saya cari lagi dari awal, memperhatikan kartu itu satu-satu. Bukan hanya saya yang bingung, beberapa penumpang lain juga sama tak mengertinya. Saya kecewa setelah tahu kartu bertuliskan nama saya mengindikasikan saya duduk kursi dekat gang, padahal harusnya saya duduk di kursi dekat jendela.

Di sebelah saya ada seorang perempuan muda, di seberangnya – dibatasi oleh meja – ada ibu-ibu yang mungkin ibunya. Mereka ngobrol sambil makan.

Pukul 09.35 tepat, kereta berangkat. Gerbong kereta tak begitu penuh, masih ada beberapa kursi tersisa. Saya lihat ada kursi kosong dekat jendela. Saya menukarkan nama saya dengan nama seseorang di kursi kosong itu. Dengan begitu, jadilah saya punya hak duduk di kursi itu. Orang lain itu – entah siapa – mungkin naik di kota-kota selanjutnya.

Sempurna! Saya duduk di dekat jendela, tidak ada orang lain di sebelah ataupun di hadapan saya. Croissant saya keluarkan, harumnya mengingatkan saya pada Wageningen dan Paris. Masih ada dua lagi, saya sisakan untuk siang nanti.

Dundalk memang ada dalam daftar must visit saya di Irlandia, jadi nomor satu malahan. Saya ingin ke sana karena kota itulah asal The Corrs. Saya ingin tahu kota kelahiran mereka. The Corrs sendiri – Andrea, Caroline, Sharon, Jim – mungkin malah sekarang menetap di Dublin. Mungkin. Saya tak punya rencana untuk mendatangi tempat tinggal mereka, bertemu dengan mereka di Irlandia pun tak pernah terbersit dalam pikiran saya. Kecuali kalau mereka secara ajaib berkumpul kembali dan mengadakan konser di sana.

Perjalanan satu jam dari Dublin ke Dundalk saya isi dengan mendengarkan lagu dari iPod. Saya pilih album Home, karena menurut saya itu adalah album yang paling Irish dari The Corrs. Pemandangan di luar jendela berganti-ganti; mulai dari ladang, perumahan, hingga sungai-sungai lebar. They saw what I’m seeing now, itu yang saya katakan pada diri sendiri sepanjang perjalanan.

Ketika akhirnya kereta berhenti di Dundalk, saya turun dengan perasaan haru. Irlandia adalah negara yang ingin saya datangi tapi Dundalk adalah inti dari perjalanan ini.

Beda dengan Stasiun Connolly Dublin yang besar dan ramai, Stasiun Dundalk kecil dan sepi. Selain saya, hanya ada beberapa orang lain yang turun. Di stasiun itu, ada museum berisi sejarah kereta api di Dundalk. Saya sempat melewatinya, tak berminat untuk masuk saking sepinya.

Rencana saya adalah ke County Museum Dundalk. Di Google Maps terlihat museum itu bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari stasiun. Mengikuti petunjuk Google Maps, saya keluar stasiun.

Kesan pertama saya tentang Dundalk ada sepi. Sepi yang benar-benar sepi. Setelah mulai terbiasa dengan London yang sibuk dan Dublin yang ramai, Dundalk adalah antiklimaks. Bahkan Wageningen tak pernah saya rasakan sesepi itu.

Hanya ada satu-dua orang yang berpapasan di jalan dengan saya. Saya suka dengan tempat yang tenang, tapi Dundalk adalah hening. Oleh karena itu saya lega ketika menemukan petunjuk menuju pusat kota.

Sudah pukul 11, tapi jalanan menuju pusat kota masih sepi. Toko-toko di pinggir jalan sudah buka namun aktivitas di dalamnya seperti masih tertidur. Saya membayangkan Andrea, Caroline, Sharon atau Jim pastilah pernah melewati jalan yang sedang saya lewati. Mereka mungkin pernah mampir di salah satu toko di pinggir jalan ini, membeli camilan ataupun minum bir di salah satu pub.

Tiba-tiba saya teringat kota kelahiran saya Tegal. Dundalk dan Tegal sama-sama kecil, meskipun Tegal lebih ramai. Saya selalu merasa punya kenangan di setiap jejak langkah saya di Tegal, dan saya yakin The Corrs pun punya banyak kenangan di kota yang sedang saya singgahi ini. They saw what I’m seeing now.

Perasaan ‘they were here’ itu membuat saya merasa seolah punya ikatan dengan Dundalk.

Rencana ke County Museum Dundalk saya tunda. Mestinya berjalan lurus, saya berbelok ke kiri menuju pusat kota. Barulah saya melihat ada denyut di kota ini.

Ada taman kecil dengan air mancur, berseberangan dengan courthouse berwarna kelabu. Beberapa tenda-tenda didirikan – roti, buah, dan jajanan kecil dijajakan. Toko-toko sekarang lebih ramai pengunjung, meskipun tak ada separuhnya ramai di centrum Wageningen. Saya menyusuri jalanannya, sempat berhenti di toko pernak-pernik namun keluar tanpa membeli apa-apa. Ada seorang pengamen jalanan yang meniup tin whistle, seperti mengingatkan bahwa saya benar-benar sedang ada di Irlandia.

Sampai ujung jalan, saya berbalik arah kembali melewati rute yang sama. Kali ini saya berjalan lebih pelan. Kereta kembali ke Dublin terjadwal pukul 14.44, masih cukup waktu untuk melihat-lihat Dundalk.

Saya duduk di kursi taman yang kosong, kembali mengeluarkan croissant dan menikmatinya sembari people watching. Chicken wings yang sedari pagi tenang di dalam kantong kertas, kini saya keluarkan. Rasa black pepper-nya yang kuat langsung jadi favorit saya.

Seorang bocah – mungkin berumur empat atau lima tahun – bermain-main dengan air mancur di depan saya. Dia tak peduli bajunya terciprat air. Lima menit kemudian, dia bosan dan pergi.

Sama seperti bocah tadi, saya juga tak berlama-lama duduk di taman. Saya berjalan terus hingga sampai ujung pertigaan. Alih-alih belok kanan untuk kembali ke stasiun, saya belok kiri hingga melewati St. Patrick’s Church. Saya berhenti dan foto-foto di depannya. Di antara semua bangunan di Dundalk, rasanya hanya gereja itu yang fotogenic.

Tak lama, saya berbalik arah untuk kembali ke stasiun. Langit mulai mendung dan angin lumayan kencang. Saya tidak mau hujan-hujanan dan kedinginan di jalan. Beruntung stasiun punya ruang tunggu yang dilengkapi dengan heater. Saya menunggu kereta ke Dublin di situ, sendirian.

Tepat seperti yang terjadwal, kereta datang pukul 14.44. Belajar dari pengalaman, saya tak mencari nomor kursi namun melihat nama yang terpasang di atasnya. Karena mengantuk, separuh lebih perjalanan pulang ke Dublin saya isi dengan tidur.

Kembali ke Dublin yang ramai, Dundalk terasa seperti kota tua dari masa lalu. Pun begitu, perjalanan hari itu membuat saya puas.

Puas.

Satu kalimat dari bucket list kembali saya coret. Dan itu rasanya melegakan.