Setelah kemarin jalan-jalan ke
Dundalk, hari ini saya ingin santai dengan mengikuti One Day Tour ke Wicklow. Irlandia
yang saya tahu adalah Irlandia yang cantik dengan alamnya yang mempesona.
Rasanya sayang kalau hari ini hanya untuk Dublin saja. Tournya sendiri sudah
saya pesan ketika masih di Belanda, seharga 20 Euro; sangat murah untuk 8 jam
tour naik bis.
Awalnya saya ingin ke Cliffs of
Moher, itu adalah lokasi syuting Westlife untuk video klip mereka yang berjudul
‘My Love.’ Sayangnya tour ke sana dimulai dari jam enam pagi hingga tujuh malam
karena tempatnya yang jauh dari Dublin. Lagipula ketika melihat foto-foto tour,
saya lebih tertarik ke Wicklow yang hijau. Ditambah lagi, salah satu tempat
tujuan tour adalah Sally Gap dimana P.S. I Love You difilmkan.
Enaknya menginap di The Charles
Stewart Guesthouse adalah aksesnya yang kemana-mana mudah karena letaknya yang
memang di tengah pusat kota. Saya hanya berjalan lima menit ke Upper O’Connell
Street, meeting point untuk tour ke
Wicklow. Karena tour tidak menyediakan makan siang, saya membawa bekal roti.
Jam 9-an, bis sudah datang. Lima
belas menit kemudian, saya sudah duduk di deret kursi sebelah kanan, dekat
dengan jendela. Ini pertama kali saya ikut tour dengan orang-orang yang sama
sekali asing. Rata-rata yang ikut tour adalah couple dan sekelompok
teman. Saya perhatikan hanya ada empat orang yang datang sendiri. Rupanya
jumlah yang ikut tour tidak maksimal. Sampai bis berjalan, saya duduk
sendirian.
Supir bis ternyata merangkap tour guide. Dia menjelaskan
tempat-tempat di Dublin yang kami lewati, mulai dari Trinity College hingga
Irish Parliament House. Sebagai perkenalan, dia meminta kami mengucap selamat
pagi dalam bahasa masing-masing.
Giliran tour guide menyebut Indonesia, saya sudah siap berteriak lantang.
“SELAMAT PAGI!,”
Dan uh, saya mendengar ada suara pria
yang juga meneriakkan sapaan yang sama. Cowok yang berseberangan dengan saya
ternyata orang Indonesia, saya pikir dia orang dari Asia Timur. Kami sempat
ngobrol-ngobrol sebentar. Dia dulu kuliah di Delf, Belanda dan sekarang bekerja
di Inggris. Dia datang sendirian, dan sekarang duduk dengan cowok dari
Thailand.
Di tengah jalan, bis berhenti.
Seorang ibu muda menggendong bayi dengan putrinya yang berumur empat tahunan
naik bis. Mereka duduk di reserved seat
di depan saya.
Meninggalkan Dublin yang kelabu, kini
jalanan yang kami lalui didominasi hijau. Saya bersyukur si tour guide tidak terus-menerus mengoceh
sepanjang jalan. Sebagai gantinya, dia menyetelkan lagu-lagu khas Irlandia.
Ah, ini Irlandia yang saya mau!
Dengan pegunungan dan jalanannya yang berkelak-kelok mendaki.
Tempat pertama yang kami kunjungi
adalah Glencree Valley. Kami ke Glencree Centre yang dulunya barak militer. Saya
berkeliling, foto-foto sebentar, ke toilet dua kali. Beberapa peserta tour
ngopi-ngopi di kafe. Ada juga yang turun ke sungai. Si cowok Indonesia sudah
menghilang dengan temannya. Belakangan dia cerita kalau mereka mencari
Pemakaman Militer Jerman yang jadi salah satu spot bersejarah di sana.
Dari sana, perjalanan dilanjut ke
Sally Gap. Kiri-kanan jalan kini berisi bukit-bukit bergradasi coklat, mulai
coklat muda hingga coklat tua. Mungkin karena masih musim dingin jadi belum ada
bunga yang mekar. Pun begitu, tour guide bilang
kalaupun bunga-bunga bermekaran, warnanya tidak akan seungu yang ada di P.S. I
Love You. Itu cuma efek kamera, katanya. Kami juga melewati pegunungan yang
masih bersalju di puncaknya. Tipikal orang tropis, saya langsung ber-wow dan
memotretnya. Di Sally Gap, kami turun ke jembatan tempat pertama kali Holly
bertemu dengan Gerry. Foto-foto, lalu dilanjut jalan lagi.
Setelah itu, kami melewati Guinness
Lake – yang disebut Guinness karena air danaunya yang berwarna hitam seperti
bir khas Irlandia itu. Ini adalah spot paling keren menurut saya. Saya mesti
foto selfie karena yang lain juga
sibuk foto dengan teman tournya. Well, sudah
separuh perjalanan tapi saya masih belum berkenalan dengan peserta tour lainnya
kecuali si cowok Indonesia – yang gantian merekam video dengan cowok Thailand.
Tempat selanjutnya adalah
Glendalough. Ini adalah pemukiman monastik orang-orang Kristen dari abad ke-6
Masehi. Beda dengan tempat lain yang cuma foto-foto, kali ini tour guide ikut turun dan menjelaskan
sejarah tempat ini. Sempat gerimis sebentar, namun menjelang pulang gerimis
sudah reda.
Destinasi terakhir adalah Avoca
Village. Kami dibawa ke Fitzgerald’s Pub untuk mencicipi bir Guinness sekaligus
makan siang di sana.
Saya masuk ke pub dan melihat
orang-orang sudah duduk berkelompok. Canggung, saya keluar lagi. Uh, saya masih saja tak nyaman untuk
memulai percakapan dengan orang asing. Persis di depan pub, ada restoran kecil.
Saya pesan ayam goreng di sana.
Selesai makan siang, tour guide membawa kami ke Avoca
Handweavers. Itu adalah toko kerajinan tangan yang menjual kain handmade asli Irlandia. Sama seperti ketika
pulang dari Dundalk, saya tidur nyaris di sepanjang perjalanan dari Avoca ke
Dublin. Jam 6, kami sudah sampai di Dublin.
Saya ke Caroll’s, toko souvenir
paling terkenal di Dublin. Banyak pernak-pernik lucu dan harganya lebih murah
dibanding toko-toko lain yang saya datangi sebelumnya.
Esoknya, saya sudah di bandara untuk
kembali ke Amsterdam. Kalau dari London ke Dublin saya naik Ryan Air, kini saya
memilih Aer Lingus untuk pulang. Dari dulu saya selalu ingin naik Aer Lingus karena
Irish banget dengan logo
Shamrock-nya.
Menjelang jadwal keberangkatan jam
11, saya ke Gate 410 sesuai papan informasi. Saya melewati Caroll’s dan saat
itu..Runaway dari The Corrs jadi
musik latar di Caroll’s. Whoa! Di hari pertama di Irlandia, tetangga sebelah
kamar hotel menyetel Dreams dan
sekarang Runaway jadi pengantar sebelum
saya meninggalkan Irlandia. Saya ikut menyanyikan reff-nya dalam hati.
“Because I…am falling in love. With you.. No.. Never.. I’m
never gonna stop falling in love with you…”
Kebetulan yang menyenangkan!
***
Sejujurnya, saya sempat nervous
sebelum berangkat ke Inggris dan Irlandia. Bagaimana kalau keduanya tidak
sesuai bayangan saya? Seperti yang pernah saya bilang, Inggris dan Irlandia
adalah mimpi saya, juga motivasi untuk mencoba hal baru. Niatan ke sana pulalah
yang mengubah impossible jadi possible. Lalu apa kalau mimpi itu sudah
tercapai? Saya takut antiklimaks setelahnya.
Untungnya yang saya takutkan tidak
terjadi. Saya menikmati perjalanan ke kedua negara tersebut. Kalau ada yang
kurang, mungkin satu: teman. Akan sangat menyenangkan kalau saya bisa
jalan-jalan dengan mereka – teman-teman dengan mimpi yang sama. Selain itu,
saya juga mulai menambah daftar tempat yang ingin saya kunjungi, dari Swiss
hingga Yunani. Juga Korea Selatan.
Untuk menutup cerita jalan-jalan ini,
saya ingin mengutip kata-kata dalam kartu yang pernah seorang teman berikan
pada saya.
“You believed you could, so you did,”