Masih menggigil sisa
semalam, saya paksakan mandi pagi-pagi. Heater
di kamar kurang panas. Meskipun sudah tidur dengan kaos kaki, jaket dan
selimut-lapis-dua, saya bangun dengan udara dingin yang seolah tak mau menjauh.
Ini mengingatkan saya pada minggu-minggu (bulan-bulan?) pertama di Belanda. Tetiba
saya kangen selimut listrik yang jadi sahabat baik setiap malam di Bornsesteeg.
Anyway, saya mandi pagi supaya bisa cepat-cepat ke stasiun. Hari itu
saya berencana ke Dundalk, kota kelahiran The Corrs. Jauh-jauh hari sebelumnya,
saya sudah beli tiket kereta p.p. Dublin-Dundalk di irishrail.ie seharga 29.80
EUR (+2 EUR untuk biaya transaksi dan +1 EUR untuk biaya kartu kredit). Rasanya
bahagia kembali ke Euro setelah di Inggris dihajar Poundsterling.
Keluar dari hostel,
saya langsung diserang dingin. Inggris lebih dingin Belanda dan sekarang
Irlandia lebih dingin dari Inggris. Saya pakai sarung tangan yang sudah lama
tak terpakai di Belanda. Dari jauh, The Spire setinggi 120 meter terlihat
seperti jarum raksasa yang ditancapkan dengan sengaja.
Pagi itu belum
banyak orang yang berjalan-jalan. Beberapa toko baru buka. Saya masuk ke sebuah
toko, membeli tiga potong croissant
dan chicken wings untuk sarapan dan
bekal jalan-jalan ke Dundalk. Hostel menyediakan sarapan dengan tambahan 7 EUR
per hari, namun saya memilih untuk membeli sarapan sendiri di luar.
Dipandu oleh Google
Maps (dan sempat bertanya pada seseorang), saya sampai di Stasiun Connolly
Dublin tepat waktu. Hal pertama yang saya lakukan adalah ke Information Counter
untuk menukarkan voucher jadi tiket.
Petugas bilang saya bisa melakukannya sendiri di mesin yang tersedia di samping
counter. Caranya ternyata cukup
mudah, tinggal mengikuti petunjuk yang tertera di layar. Tak ada lima menit,
saya sudah pegang tiket ke Dundalk.
Setelah melihat
jadwal keberangkatan di papan elektronik super besar, saya masuk ke peron
sesuai yang tertulis di papan informasi tersebut. Kereta dengan tujuan akhir
Belfast ternyata sudah menanti. Saya pastikan lagi kalau kereta itu akan
berhenti di Dundalk, baru saya naik ke gerbongnya.
Sesuai tiket,
mestinya saya naik gerbong G nomor 27. Anehnya, bukan nomor yang jadi acuan,
tapi NAMA. Jadi, di bagian atas nomor ada nama yang dicetak di kertas putih
seukuran kartu nama. Tempat duduk disesuaikan dengan nama tersebut alih-alih
nomor kursi. Di gerbong G nomor 27 sendiri bukan nama saya yang tertulis.
Terpaksa saya cari lagi dari awal, memperhatikan kartu itu satu-satu. Bukan
hanya saya yang bingung, beberapa penumpang lain juga sama tak mengertinya. Saya
kecewa setelah tahu kartu bertuliskan nama saya mengindikasikan saya duduk
kursi dekat gang, padahal harusnya saya duduk di kursi dekat jendela.
Di sebelah saya ada
seorang perempuan muda, di seberangnya – dibatasi oleh meja – ada ibu-ibu yang
mungkin ibunya. Mereka ngobrol sambil makan.
Pukul 09.35 tepat,
kereta berangkat. Gerbong kereta tak begitu penuh, masih ada beberapa kursi
tersisa. Saya lihat ada kursi kosong dekat jendela. Saya menukarkan nama saya
dengan nama seseorang di kursi kosong itu. Dengan begitu, jadilah saya punya
hak duduk di kursi itu. Orang lain itu – entah siapa – mungkin naik di
kota-kota selanjutnya.
Sempurna! Saya duduk
di dekat jendela, tidak ada orang lain di sebelah ataupun di hadapan saya. Croissant saya keluarkan, harumnya
mengingatkan saya pada Wageningen dan Paris. Masih ada dua lagi, saya sisakan
untuk siang nanti.
Dundalk memang ada
dalam daftar must visit saya di
Irlandia, jadi nomor satu malahan. Saya ingin ke sana karena kota itulah asal
The Corrs. Saya ingin tahu kota kelahiran mereka. The Corrs sendiri – Andrea,
Caroline, Sharon, Jim – mungkin malah sekarang menetap di Dublin. Mungkin. Saya
tak punya rencana untuk mendatangi tempat tinggal mereka, bertemu dengan mereka
di Irlandia pun tak pernah terbersit dalam pikiran saya. Kecuali kalau mereka
secara ajaib berkumpul kembali dan mengadakan konser di sana.
Perjalanan satu jam
dari Dublin ke Dundalk saya isi dengan mendengarkan lagu dari iPod. Saya pilih
album Home, karena menurut saya itu adalah album yang paling Irish dari The Corrs. Pemandangan di
luar jendela berganti-ganti; mulai dari ladang, perumahan, hingga sungai-sungai
lebar. They saw what I’m seeing now, itu
yang saya katakan pada diri sendiri sepanjang perjalanan.
Ketika akhirnya
kereta berhenti di Dundalk, saya turun dengan perasaan haru. Irlandia adalah
negara yang ingin saya datangi tapi Dundalk adalah inti dari perjalanan ini.
Beda dengan Stasiun
Connolly Dublin yang besar dan ramai, Stasiun Dundalk kecil dan sepi. Selain
saya, hanya ada beberapa orang lain yang turun. Di stasiun itu, ada museum
berisi sejarah kereta api di Dundalk. Saya sempat melewatinya, tak berminat
untuk masuk saking sepinya.
Rencana saya adalah
ke County Museum Dundalk. Di Google Maps terlihat museum itu bisa ditempuh
dengan berjalan kaki dari stasiun. Mengikuti petunjuk Google Maps, saya keluar
stasiun.
Kesan pertama saya
tentang Dundalk ada sepi. Sepi yang benar-benar sepi. Setelah mulai terbiasa
dengan London yang sibuk dan Dublin yang ramai, Dundalk adalah antiklimaks.
Bahkan Wageningen tak pernah saya rasakan sesepi itu.
Hanya ada satu-dua
orang yang berpapasan di jalan dengan saya. Saya suka dengan tempat yang
tenang, tapi Dundalk adalah hening. Oleh karena itu saya lega ketika menemukan
petunjuk menuju pusat kota.
Sudah pukul 11, tapi
jalanan menuju pusat kota masih sepi. Toko-toko di pinggir jalan sudah buka namun
aktivitas di dalamnya seperti masih tertidur. Saya membayangkan Andrea,
Caroline, Sharon atau Jim pastilah pernah melewati jalan yang sedang saya
lewati. Mereka mungkin pernah mampir di salah satu toko di pinggir jalan ini,
membeli camilan ataupun minum bir di salah satu pub.
Tiba-tiba saya
teringat kota kelahiran saya Tegal. Dundalk dan Tegal sama-sama kecil, meskipun
Tegal lebih ramai. Saya selalu merasa punya kenangan di setiap jejak langkah
saya di Tegal, dan saya yakin The Corrs pun punya banyak kenangan di kota yang
sedang saya singgahi ini. They saw what
I’m seeing now.
Perasaan ‘they were here’ itu membuat saya merasa
seolah punya ikatan dengan Dundalk.
Rencana ke County
Museum Dundalk saya tunda. Mestinya berjalan lurus, saya berbelok ke kiri
menuju pusat kota. Barulah saya melihat ada denyut di kota ini.
Ada taman kecil
dengan air mancur, berseberangan dengan courthouse
berwarna kelabu. Beberapa tenda-tenda didirikan – roti, buah, dan jajanan
kecil dijajakan. Toko-toko sekarang lebih ramai pengunjung, meskipun tak ada
separuhnya ramai di centrum Wageningen.
Saya menyusuri jalanannya, sempat berhenti di toko pernak-pernik namun keluar
tanpa membeli apa-apa. Ada seorang pengamen jalanan yang meniup tin whistle, seperti mengingatkan bahwa
saya benar-benar sedang ada di
Irlandia.
Sampai ujung jalan,
saya berbalik arah kembali melewati rute yang sama. Kali ini saya berjalan
lebih pelan. Kereta kembali ke Dublin terjadwal pukul 14.44, masih cukup waktu
untuk melihat-lihat Dundalk.
Saya duduk di kursi
taman yang kosong, kembali mengeluarkan croissant
dan menikmatinya sembari people
watching. Chicken wings yang
sedari pagi tenang di dalam kantong kertas, kini saya keluarkan. Rasa black pepper-nya yang kuat langsung jadi favorit saya.
Seorang bocah –
mungkin berumur empat atau lima tahun – bermain-main dengan air mancur di depan
saya. Dia tak peduli bajunya terciprat air. Lima menit kemudian, dia bosan dan
pergi.
Sama seperti bocah
tadi, saya juga tak berlama-lama duduk di taman. Saya berjalan terus hingga
sampai ujung pertigaan. Alih-alih belok kanan untuk kembali ke stasiun, saya
belok kiri hingga melewati St. Patrick’s Church. Saya berhenti dan foto-foto di
depannya. Di antara semua bangunan di Dundalk, rasanya hanya gereja itu yang
fotogenic.
Tak lama, saya
berbalik arah untuk kembali ke stasiun. Langit mulai mendung dan angin lumayan
kencang. Saya tidak mau hujan-hujanan dan kedinginan di jalan. Beruntung
stasiun punya ruang tunggu yang dilengkapi dengan heater. Saya menunggu kereta ke Dublin di situ, sendirian.
Tepat seperti yang
terjadwal, kereta datang pukul 14.44. Belajar dari pengalaman, saya tak mencari
nomor kursi namun melihat nama yang terpasang di atasnya. Karena mengantuk,
separuh lebih perjalanan pulang ke Dublin saya isi dengan tidur.
Kembali ke Dublin
yang ramai, Dundalk terasa seperti kota tua dari masa lalu. Pun begitu,
perjalanan hari itu membuat saya puas.
Puas.
Satu kalimat dari bucket list kembali saya coret. Dan itu
rasanya melegakan.
allo mbak. keren sekali perjalanannya. beruntung sekali ya mbak bisa ke Dundalk. ini berarti rumah Corrs bersaudara itu terletak di mana ya? tengah kota atau pinggiran? :)
ReplyDeleteSaya sih gak tau rumah mereka dimana, tapi denger-denger sekolah Andrea itu adanya di pinggiran. Kemungkinan sih rumah mereka di pinggiran juga karena pusat kota biasanya untuk toko-toko, pub, dan pusat belanja..
ReplyDelete