Sabtu,
19 April 2014. Seharian itu sudah saya niatkan untuk mengelilingi Jenewa. Sehari
sebelumnya resepsionis memberikan saya peta petunjuk wisata di Jenewa. Saya
sudah melingkari tempat-tempat yang ingin saya kunjungi. Saya juga diberikan
tiket untuk keliling Jenewa gratis naik kendaraan umum apapun; asal masih di dalam
kota. Kerennya, tiket ini valid selama saya di Jenewa. Sangat lumayan untuk
mengurangi ongkos transportasi.
Setelah
sarapan roti dan jus di hotel, saya segera keluar yang langsung disambut udara
dingin. Begitu dingin hingga setiap udara yang dihembus lewat mulut langsung
menjadi uap putih. Di depan hotel ternyata ada pasar buah dadakan setiap Sabtu
pagi. Saya cuma melihat-lihat sebentar untuk kemudian menuju halte tram
terdekat. Tujuan pertama saya adalah markas PBB.
Pasar pagi di samping hotel. Di belakang pasar ada Asian Toko
tempat saya beli mie instan.
Jenewa
adalah kota yang tenang. Di sepanjang jalan, saya tak menemukan geliat yang
kentara. Orang-orang di sekeliling saya berbicara dalam bahasa yang tak saya
pahami. Bahkan saat itu pun pergi ke Swiss sendirian rasanya seperti mimpi.
Saya
kembali melihat peta dan turun di halte terdekat dengan pusat PBB. Di situ saya
mulai hilang arah. Gedung PBB tak terlihat dari tempat saya turun tadi. Padahal
mestinya gedung tersebut mencolok dengan kursi raksasanya. Saya bingung harus
melangkah ke mana. Well, demi sebuah
petualangan di negeri orang, saya berjalan dengan sok pede seolah-olah tahu
jalan. Alih-alih menemukan PBB, saya malah sampai ke UNHCR.
Saya
kembali lagi ke halte semula melalui jalan yang berbeda. Kali ini saya berjalan
berlawanan arah dari yang pertama. Saya melewati taman dengan bunga-bunga pink
yang bermekaran dengan indah. Akhirnya! Terlihat juga kursi raksasa yang ikonik
tanda saya tak salah langkah.
Saya
mendekat ke markas PBB dan langsung berfoto-foto selfie. Ada perempuan muda Kaukasia yang sedari tadi juga foto selfie. Dari ranselnya yang penuh (dan
terlihat berat), saya kira dia seorang backpacker
yang mungkin sudah menjelajah setengah dunia; atau setidaknya Eropa. Hanya
butuh kontak mata sepersekian detik bagi kami untuk memaklumi salah satu hal
yang paling diinginkan solo traveler: difoto
oleh orang lain. We were so done with too much selfie. Jadilah kami saling memotret
satu sama lain.
Kalau
saya tipikal orang yang asik dan gaul, saya pasti akan ngobrol-ngobrol dengan
dia, seperti yang sering saya baca di buku-buku traveling. I would have made
friends and shared our itinerary; atau
malah jalan-jalan bareng karena toh dia juga sendirian. Sayangnya saya tidak
jago berteman; apalagi dengan orang yang sama sekali asing. Jadilah dialog kami
terbatas hanya pada saling minta difoto. Kami bahkan tak saling tukar nama dan
asal negara.
Cuaca
yang sedari pagi mendung membuat saya kuatir juga, takut mendadak hujan. Mau
kembali ke hotel rasanya sayang. Si bule tadi – dengan peta di tangannya –
pergi menjauh dari markas PBB. Dia pastilah punya spot yang menarik untuk dikunjungi. Saya ikuti arah dia berjalan;
hingga sampailah saya pada sebuah taman dengan lonceng besar khas Asia. Si bule
dengan cepat hilang dari pandangan tapi saya terlanjur terpesona dengan taman
ini.
Di
tengah taman, ada semacam istana kecil dengan air mancur di hadapannya. Ada
kursi untuk duduk-duduk dan bunga-bunga kecil berwarna pink membuat taman
tampak lebih manis. Menuju gerbang keluar, kerikil-kerikil putih membentuk
jalan sementara di kiri-kanannya didominasi rerumputan dengan bunga
kuning-putih. Tidak ada seorang pun di sana hingga tempat itu seperti milik
saya sendiri. Saya merasakan kesunyian yang aneh karena tempat tersebut terasa
seperti berasal dari masa lalu. Belakangan, dari Google saya tahu kalau tempat
itu adalah Musee Ariana. Dari namanya saja sudah kelihatan cantik! Saya tak
masuk ke dalamnya dan hanya menikmati dari luar. Dari Google pula saya tahu
kalau Musee Ariana adalah museum keramik dan kaca.
Dari
museum, saya kembali ke halte tram melewati kantor Palang Merah Internasional.
Ada museumnya juga di sana, namun saya urung ke sana karena masih banyak tempat
yang ingin dikunjungi.
Tram
membawa saya ke pusat kota di Jenewa. Cuaca sudah lebih bersahabat kali ini.
Saya turun dekat Grand Theatre Geneve dan mulai berjalan dari situ. Dari peta
terlihat tempat-tempat yang ingin saya datangi bisa dicapai dengan berjalan
kaki. Setiap melihat spot yang
menarik, saya langsung berhenti dan berfoto di sana.
Yang
pertama saya datangi adalah Le Parc de Bastions; sebuah taman dengan catur raksasa yang bisa dimainkan. Kemudian
saya menuju Reformation Wall yang menjadi salah satu landmark di kota ini. Di sana, saya melihat dua orang remaja yang
saling memotret namun terlihat kesulitan untuk foto bersama. Saya menawarkan
diri untuk memotret mereka berdua. Sebagai gantinya, salah satu dari mereka
memotret saya.
Sungguh
saya lupa siapa yang memulai, namun kami akhirnya sama-sama tahu kalau tujuan
kami selanjutnya sama; yakni St. Pierre Cathedral. Kami pun memutuskan untuk
jalan bareng. Mereka bilang mereka baru saja dari La Treille; bangku terpanjang di dunia dengan panjang 120 meter.
Mengetahui saya belum ke sana, mereka mengajak saya ke La Treille.
Pemandangan
dari La Treille sama seperti yang saya lihat saat pertama kali turun dari
pesawat: pegunungan berselimut salju putih di pucuk-pucuknya. Kami tak lama di
sana. Kami segera turun untuk mencari tempat wisata tujuan berikutnya.
Dari
ngobrol-ngobrol di jalan, saya tahu kalau mereka berasal dari Amerika Latin.
Maafkan saya karena ingatan yang pendek membuat saya lupa asal negara mereka.
Entah Paraguay, entah Uruguay. Mereka sedang kuliah di Spanyol dan waktu
liburan mereka manfaatkan untuk jalan-jalan ke beberapa negara di Eropa
sekaligus; termasuk Swiss. They did
introduce themselves tapi saya lupa nama mereka. Yeah.. I was that bad in making new friends.
Saya
beruntung bertemu dengan mereka. Mereka jago membaca peta sehingga praktis saya
mengekor saja. Akhirnya kami menemukan tempat tujuan. Seperti sebuah kontrak
tak tertulis yang akhirnya usai setelah tujuan tercapai, kami pun berpisah di
sana. Mereka ingin melanjutkan ke tempat lain sementara saya masih ingin
menikmati St. Pierre Cathedral yang merupakan salah satu gereja paling
berpengaruh di Jenewa.
Dua teman jalan yang saya temui. St. Pierre Cathedral jadi latar foto.
Dari sana, saya ke arah pulang melewati Musee
International de la Reforme. Iseng-iseng saya masuk ke museum. Museum itu ternyata
berisi sejarah pergerakan Reformasi di Eropa yang diinisiasi oleh Martin
Luther, John Calvis, dan lainnya. Ada lukisan, manuskrip dan dokumen lainnya di
sana, tapi saya tak begitu dapat feel-nya.
Saya hanya mampir sebentar di sana untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke
tempat belanja.
Taman di tengah museum
Di
jalan, saya sempat melihat ada pemusik yang tampil lengkap dengan cello, gitar,
flute, biola, dan jembre. Tipikal Eropa! Dimana-mana banyak pemusik jalanan
yang mempesona. Mereka juga menjual CD rekaman mereka pada orang-orang yang
menonton.
Karena
lapar, saya segera mencari tempat makan – dan bersyukur karena menemukan guess what..kebab. Porsi kebabnya super besar
dan membuat saya kekenyangan. Dari sana, saya berjalan untuk menemukan Flower
Clock yang jadi salah satu must-visit
places di Jenewa.
Suasana pusat kota
Lagi-lagi
karena buta peta, saya nyasar ke pelabuhan. Awan semakin tebal dan anginnya
kencang. Saya mencoba berjalan ke anjungan dan sempat takut kalau saya terbawa
angin dan jatuh ke laut. Dari pelabuhan, saya berjalan terus hingga akhirnya
menemukan Flower Clock yang sudah ramai didatangi orang-orang. Di dekatnya, ada
Le Peuple Genevois statue dimana orang-orang mesti mengatre untuk berfoto di
depannya.
Dan
uh, karena sendirian dan tak ingin merepotkan orang, untuk ke sekian kalinya
hari itu saya mesti selfie lagi; kali
ini di depan Flower Clock. Saya membayangkan, pastilah foto-foto perjalanan
saya sebagian besar dipenuhi gambar diri sendiri dengan komposisi setengah
badan. Tipikal! Setelah puas jalan-jalan di Old Town, saya kembali ke arah
hotel dan sempat mampir ke taman Monumen Brunswick. Taman ini dihiasi bunga
warna oranye yang mengingatkan saya pada Belanda.
Sebelum
benar-benar ke hotel, saya pergi ke stasiun bus Gare Routiere untuk membeli
tiket one day tour ke Chamonix, Mont
Blanc, Prancis. Ini hanya sekitar 90 menit dari Jenewa. Mont Blanc adalah
puncak tertinggi Pegunungan Alpen bagian Prancis. Dari dulu saya selalu ingin
pergi ke Alpen. Sebelum ke Swiss, saya sudah googling tentang Mont Blanc dan tertarik untuk ikut tour ke sana.
Harga tiket untuk tour sehari ini mahal, hampir dua juta rupiah. Itu pun belum
termasuk makan. Tapi saya pikir, kapan lagi menikmati salju di Alpen kalau
bukan sekarang? Mumpung saya masih di Eropa; mumpung saya sedang di Swiss.
Awalnya
saya sempat ingin booking di awal
dengan kartu kredit BRI, entah kenapa selalu ditolak (belakangan setelah
konfirmasi dengan pihak bank, saya tahu kalau transaksi saya dicurigai karena
dilakukan di luar Indonesia; BRI melakukan tindakan preventif dengan menutup akses transaksi online). Jadilah saya
mesti datang langsung ke agen tour dan membayar dengan cash. Setelah ikut one day
tour di Irlandia yang harganya cuma 20 Euro, tour ke Chamonix langsung
terasa mahalnya. Ada sih opsi yang lebih murah, tapi itu tidak termasuk naik
kereta dan cable car. But you know, in
the end it’s not about the money we’ve spent. It’s more about the experience we’ve
got. Sekarang saat saya sedang menulis ini, saya semakin yakin kalau
keputusan untuk membeli paket tour ini tidak keliru.
Malam
itu saya kembali tidur awal, karena keesokan harinya, saya mesti bangun pagi
untuk mulai tour ke Alpen!
(to be continued)
(to be continued)