Video
stop motion berdurasi 00:02:04
kembali saya putar. Angka 25 terlihat menonjol dan menjadi pusat perhatian, entah
karena warnanya yang terang kuning merah atau karena angka itu dibuat lebih
besar dari rangkaian huruf-huruf sebelumnya. Atau mungkin, karena angka itu
adalah inti dari video tersebut. Adik bungsu saya Nanda membuat stop motion itu untuk Ema, Si Tengah
yang mengapit saya dan Nanda. Tanggal 11 Maret tahun ini usia Ema 25 tahun.
Nanda mengucapkan selamat ulang tahun untuk Ema melalui video itu yang –
meskipun hanya dua menit empat detik -
dibuat dengan 350 foto dalam waktu tiga jam.
Dua puluh lima tahun. Rasanya baru
kemarin ketika saya melihat Ema memakai seragam SD dan pergi ke kelas saya
malu-malu sebagai anak kelas 1. Waktu itu saya sudah kelas 6, risih karena ada
anak kecil yang bolak-balik mengintip di kelas. Beda usia kami yang lima tahun
membuat kami berjarak. Namun ketika Ema masuk SMA dan bisa naik motor, dia
menjadi teman paling oke yang bisa saya ajak jalan-jalan memutari alun-alun
hingga ke perbatasan kota melewati sawah-sawah.
Dua puluh lima tahun. Buat saya itu
adalah angka ulang tahun yang sakral setelah tujuh belas. Dua puluh lima harus
istimewa. Dua puluh lima harus berkesan.
Adik
saya Ema tidak pernah meminta apapun pada saya. Bahkan ketika saya jalan-jalan
dan tanya oleh-oleh apa yang dia minta, Ema seringkali menjawab terserah; apa
saja. Beda dengan Nanda yang biasanya lebih spesifik. Jauh-jauh hari sebelum
ulang tahunnya kali ini, saya kembali tanya apa yang sedang Ema mau. Ema bilang
dia ingin satu set alat cetakan kue. Akhir-akhir ini Ema memang suka
bereksperimen membuat kue.
Video
stop motion yang dikirim Nanda ke WA
grup kami bertiga seperti mengingatkan saya kalau ulang tahun kali ini berbeda.
Dua puluh lima harus istimewa. Dua puluh
lima harus berkesan. Alih-alih membelikan Ema cetakan kue, saya ingin beri
dia kado yang lebih dari itu: pengalaman.
Di
hari ulang tahun Ema, saya booking dua
tiket ke Kuala Lumpur untuk kami berdua. Pengalaman naik pesawat dan ke luar
negeri untuk kali pertama akan jadi kado untuk Ema. Karena Ema juga sudah
bekerja, saya ambil long weekend di awal Mei supaya tidak mengganggu jadwal
dia.
Awalnya,
saya lebih memilih Singapura dibanding Malaysia. Saya sudah alokasikan budget untuk jalan-jalan dengan Ema,
yang terbatas juga karena baru bulan April saya ke Korea Selatan dan September
nanti ada rencana ke Jepang. Dengan budget
tersebut, sebenarnya saya masih bisa jalan-jalan ke Singapura namun dengan
kualitas jalan-jalan yang lebih rendah dibanding jika ke Kuala Lumpur. Sebagai
gambaran, dengan budget tersebut saya
hanya bisa mendapat hostel di Singapura tapi di Kuala Lumpur saya bisa dapatkan
penginapan di hotel bintang 3 di tempat yang aksesnya gampang kemana-mana. Ada
alasan lain yang membuat saya lebih memilih Malaysia. Akhir tahun lalu saya baru
saja ke Singapura sementara terakhir saya ke Kuala Lumpur itu tahun 2011. Belum
banyak tempat di Kuala Lumpur yang saya eksplor. Jadi saya pikir ke Kuala
Lumpur akan menyenangkan juga.
Selama
rentang waktu Maret hingga keberangkatan di bulan Mei, Ema membuat paspor
sementara saya menyiapkan itinerary, booking hotel dan memesan tiket Petronas
Twin Towers secara online. Saya print juga peta jalur GO-KL free bus dan screen-capture Google Map untuk pergi dari satu tempat ke tempat
lain yang bisa ditempuh dengan jalan kaki. Selain itu, saya sudah pula pesan tiket
SkyBus online dari bandara KLIA2 ke KL Sentral dan sebaliknya. Semua sudah
direncanakan dengan presisi, apalagi waktu kami hanya terbatas dua hari di
tanggal 6-7 Mei 2016. Ini mengingatkan saya ketika dulu solo traveling atau ketika jalan-jalan dengan bapak-ibu.
Kamis
siang, 5 Mei 2016, saya jemput Ema di Stasiun Gambir. Dia naik kereta pagi dari
Tegal. Hujan turun ketika saya jemput Ema, padahal hari-hari sebelumnya Jakarta
cerah ceria. Iseng saya cek ramalan cuaca untuk esok hari dan lusa di Kuala
Lumpur. Dua hari itu diramalkan hujan. Duh, mana seru jalan-jalan hujan-hujanan
begitu. Saya jadi galau, tapi tak memberi tahu Ema supaya dia tetap semangat
dengan rencana jalan-jalan kami.
Esoknya,
pukul 4 pagi saya dan Ema naik taksi menuju bandara. Ketika kami sampai di
sana, Terminal 3 Soekarno-Hatta masih sepi, dan bahkan baru kami berdua yang melewati
Imigrasi. Pukul 06.25, AirAsia sudah membawa kami ke Kuala Lumpur. Kami pesan Basil Chicken Rice karena penasaran (kami
sudah sarapan Rotiboy) dan well, ternyata
rasanya lumayan.
Dua
jam kemudian, pukul 09.25 waktu setempat kami sampai di KLIA2. Setelah melewati
Imigrasi yang ramai, kami langsung menuju tempat SkyBus. Beruntung tak lama
setelah kami duduk, bis mulai jalan.
Ini
pertama kalinya saya ke Kuala Lumpur melalui KLIA2. Sebelumnya saya ke sana
naik bis dari Penang. Jarak dari bandara ke pusat kota ternyata jauh; sekitar
satu jam tanpa macet. Saya dan Ema sampai tertidur saking ngantuknya.
Sekitar
pukul 11 siang kami sampai di KL Sentral. Begitu keluar dari bis, hawa panas
langsung terasa. Oh well, ternyata
tidak hujan seperti yang diramalkan. Dari KL Sentral, kami naik LRT untuk turun
di Pasar Seni. Sampai di Stasiun Pasar Seni, kami hanya perlu berjalan dua
menit untuk sampai di Hotel Geo tempat kami menginap.
Hotel Geo. Recommended!
Lokasi
Hotel Geo sangat strategis. Serius. Hotel ini dekat kemana-mana dan banyak
tempat wisata yang bisa dijangkau dengan jalan kaki. Yang lebih asik, bis GO-KL
yang gratisan juga mangkal di depan hotel ini.
Meskipun
datang lebih awal, ternyata kami boleh early
check in. Padahal mestinya itu baru bisa dilakukan pukul 3 sore. Rasanya
nyaman sekali masuk ke kamar ber-AC setelah sebelumnya badan lengket karena
udara yang lembab. Setelah menaruh barang, kami mulai jalan-jalan sekalian
makan siang.
Kami
mulai dengan Petaling Street dan berharap bisa makan bakmi enak di situ. Banyak
sih warung-warung makan yang menjual chinese
food di situ, tapi rata-rata mengandung babi. Kami akhirnya makan di
Petaling Café karena sudah bingung mau cari makan dimana lagi. Ema pesan mie Kanton
sementara saya hanya makan pangsit yang bikin kenyang.
Dari
sana, kami jalan ke Central Market – yang persis seberang hotel – dan membeli oleh-oleh
di sana. Saya beli beberapa kartu pos dan Ema – setelah saya yakinkan –
akhirnya beli satu kartu pos juga. Saya selalu suka mengirimkan kartu pos, tapi
well, tidak semua orang punya
kesukaan yang sama.
Kasturi Walk, Central Market
Ema suka
belanja, jadi dia betah di Central Market. Melihat-lihat baju dan tas dengan
teliti, satu-satu. Sementara saya hanya mengikuti karena tempat belanja
bukanlah favorit saya. Saya dan Ema sering jalan ke mall bareng, tapi ada
saatnya ketika dia lebih memilih ngadem di
toko baju dan saya di toko buku. Dan kami nyaman-nyaman saja dengan perbedaan
itu. Kami sudah terbiasa dengan itu.
Mestinya
dari Central Market kami langsung ke KL City Gallery. Tapi karena bawaan oleh-oleh
yang berat dan matahari sedang panas-panasnya, kami memutuskan balik ke hotel
dan istirahat sebentar…yang tidak jadi sebentar karena kami malah tidur siang.
Sorenya
ketika matahari sudah lebih ramah, kami keluar hotel jalan kaki menuju KL City
Gallery. Mood kami jauh lebih baik
dibanding siang tadi yang lelah dan tak nyaman karena badan lengket dengan
keringat. Sore itu kami sudah merasa segar karena istirahat yang cukup dan
mandi dengan air hangat. Kami berjalan santai, sempat nyasar, dan akhirnya
menuju yang benar .___. Sepanjang jalan kami beberapa kali berhenti untuk foto-foto.
Jalan yang kami lewati merupakan kota tua dengan bangunan-bangunan yang keren
untuk foto-foto; mulai dari Museum Tekstil Negara hingga Sultan Abdul Samad
Building.
Sultan Abdul Samad
Building
Foto-foto apalah...
Di
KL City Gallery kami foto di tulisan “I *heart
symbol* KL” yang ikonik, kemudian masuk ke dalamnya. Rupanya pengunjung
sore itu hanya kami berdua. Kami melalui ruang berisi sejarah Kuala Lumpur dan
ke ruang terbuka yang menampilkan bermacam-macam motif batik.
KL City Gallery
Namun
yang paling istimewa adalah The
Spectacular City Model Show. Hanya saya dan Ema yang masuk ke ruangan ini,
berdua. Seorang petugas mengarahkan kami untuk berdiri di satu titik dan di
depan kami terhampar maket kota Kuala Lumpur. Ruangan yang gelap tiba-tiba
berubah semarak dengan lampu-lampu yang memancar menyoroti maket. Kami diperbolehkan memotret asal tanpa blitz, tapi sungguh, susah rasanya
memotret ketika kita terpukau dengan apa yang ada di hadapan. The show was simply amazing!
Ini lebih seru pas ada lampu sorotnya
Di
seberang kami ada layar besar yang menjelaskan sejarah Kuala Lumpur dan proyeksinya
di masa depan. Ketika dijelaskan tentang satu tempat tertentu, cahaya warna-warni
akan menyelimuti miniatur tempat itu. Saat ini Malaysia punya KL Tower dan
Petronas Twin Towers yang menjadi
ikon Kuala Lumpur, tapi nanti di 2019
mereka mempunyai KL118 yang akan menjadi yang tertinggi di Malaysia. Monas di
Indonesia apa kabar?
Di
tengah-tengah menonton, Ema bilang begini, “Mbak, aku..jadi merinding. Bagus
ya..”
Saya
juga merinding karena takjub, campur iri ketika melihat proyeksi Kuala Lumpur
di 2020. Tata kota di sana relatif lebih rapi dengan transportasi yang lebih terintegrasi
dibanding Jakarta. Well, bagaimanapun
susah untuk tidak membandingkan Malaysia dengan negara sendiri.
Sepertinya
KL City Gallery adalah highlight jalan-jalan
kami sore itu.
Oya,
tiket masuk ke KL City Gallery hanya RM5 per orang. Tapi itu bisa digunakan
untuk membeli oleh-oleh di toko souvenir di sana senilai nominal itu. Enak ya?
Dari
KL City Gallery kami ke Dataran Merdeka dan foto-foto lagi. Saat itu langit
sudah keliatan gelap. Tak ingin lama-lama karena mendung, kami kembali lagi ke
hotel untuk menunggu bis GO-KL. Tujuan jalan-jalan kami selanjutnya adalah
Bukit Bintang.
GO-KL free bus
GO-KL
dekat hotel ini masuk jalur ungu. Saya dan Ema dapat tempat duduk karena masih
halte pertama. Di samping kami ada cewek-cowok Korea yang pacaran romantis
seperti di k-drama. Di depan kami ada satu rombongan keluarga Indonesia yang
ingin jalan-jalan ke Petronas naik GO-KL tapi tidak punya peta jalurnya, jadi
mereka memotret peta yang saya bawa.
Kuala
Lumpur sore hari macet. Tidak beda jauh dengan macet di Jakarta. Saya lihat ke
luar; meskipun mendung, ternyata tidak sampai turun hujan. Kami turun di halte
Pavilion karena tujuan kami ke Bukit Bintang cuma ingin makan malam di mall-nya.
Kami makan di Grandma’s Kitchen; Ema pilih nasi lemak dan saya pilih kwetiaw.
Masakannya enak (dengan porsi besar) dan orang-orangnya ramah bikin tambah
betah.
Sesuai
itinerary, mestinya dari Bukit
Bintang kami pulang ke hotel. Namun malam masih panjang, dan kami tidak berniat
menghabiskan semalaman di Pavilion. Akhirnya saya dan Ema memutuskan pergi ke Petronas
Twin Towers untuk mendapatkan momen
gedung itu di malam hari. Dari Pavilion ada skywalk
yang menghubungkan Bukit Bintang dengan KLCC. Lumayan juga jalannya, tapi tak
apalah. Demi.
Petronas Twin Towers lebih keren kalau malam
Keluar
dari KLCC, kami langsung dapat melihat tower kembar itu. Dulu saya ke sana di
siang hari, beda rasanya kini melihatnya di malam hari. Lebih apa ya…mewah,
karena cahaya putihnya. Kami foto-foto (lagi) dan berjalan terus hingga persis
di depannya. Puas foto-foto, kami kembali lagi melalui skywalk yang sama. Meskipun sudah jam 9 malam, skywalk ini tidak sepi. Yang lebih membuat nyaman, ada beberapa
petugas yang saya lihat berjaga di sana.
Saya
dan Ema sempat ingin naik LRT ke Pasar Seni dan memotong jalan skywalk, tapi ternyata kami malah nyasar
lebih jauh. Akhirnya kami tetap kembali ke tempat semula dan naik GO-KL jalur
ungu. Oya, sempat juga ada orang gila di jalan keluar skywalk yang bikin deg-degan karena serem. Mana sudah malam. Tapi
untung dia cuma meracau sendiri, tidak sampai menganggu.
Bis
GO-KL yang datang sudah penuh dengan penumpang. Saya dan Ema mesti berdiri,
yang untungnya tak lama. Satu stop kemudian, dua orang di samping kami turun
jadi saya dan Ema bisa langsung menempati tempat mereka.
Badan
sudah lelah dan kaki baru terasa sakit karena terus jalan-jalan. Sampai di
halte terakhir GO-KL Pasar Seni, kami hanya berjalan sebentar untuk sampai ke
Hotel Geo. Rasanya bahagia bisa langsung tiduran di kasur. Seriusan, memilih menginap
di hotel ini adalah salah satu keputusan terbaik saya untuk jalan-jalan di
Kuala Lumpur.