Monday, 22 July 2019

Bukan Review The Lion King: Sebuah Pendekatan Naratif tentang Nonton di Bioskop dan Bertemu Orang Baru


Sudah dua tahun ini saya tidak nyaman nonton di bioskop. Ada momen-momen ketika sedang nonton dan mendadak saya ingin cepat-cepat keluar, agak ‘takut’ entah untuk alasan apa. Mungkin karena gelap, mungkin karena banyaknya orang, mungkin karena suaranya yang keras. Kalau tidak terpaksa, saya lebih memilih nonton Netflix di kamar. Tapi The Lion King beda. Melihat trailernya, saya tahu saya harus nonton film ini di bioskop. Saya pilih nonton di The Premiere karena tidak terlalu banyak orang di satu studio. Ada jarak yang lumayan lapang untuk tiap-tiap kursinya. Saya pikir nonton di sana akan menyenangkan.

Kamis pagi, satu hari setelah rilis The Lion King di bioskop Indonesia. Saya mengecek aplikasi Cinema 21 di HP dan tetiba punya keinginan kuat untuk mengajak orang lain nonton bareng. Malam sebelumnya, saya ajak teman genk nonton di The Premiere Lotte Avenue, sayangnya tidak ada yang bisa. Normalnya, saya akan langsung ngeluyur nonton sendirian seperti biasanya. Tapi hari itu, saya ingin ditemani seseorang.

Ada satu nama yang begitu saja terlintas di pikiran. Zi. Saya tahu dia lewat Twitter. Saya pernah mengirimkan kartu pos untuknya, juga pernah mendapatkan hadiah Gundam coaster karena menang kuis di blognya. Well, hanya sependek itu kami kenal satu sama lain. Saya tentunya lebih kenal Zi lewat tulisan-tulisannya di blog, dan saya pikir, dia minimal ‘ngeh’ dengan saya.

Sempat ragu-ragu, akhirnya saya kirim email untuk mengajak Zi nonton. Ini random dan absurd sih, karena seperti yang saya bilang, kami sebetulnya tidak sekenal itu. Dia mungkin sudah punya rencana nonton, atau mungkin malah sudah nonton di hari pertama. Ternyata belum! Saya tahu itu dari balasan emailnya. Zi mau diajak nonton dan menanyakan kapan waktunya. Wow. Saya cek Cinema 21 dan masih ada seat untuk jadwal pukul 18:50 hari Kamis itu. Saya kabari dia tentang jadwal itu dan Zi bilang, “Harusnya nggak ada masalah sih, Mbak.” Wow. Ternyata mengajak orang nonton bisa sesimpel ini.

Seharian itu kegiatan di kantor membuat saya lupa tentang rencana nonton ini. Tapi ketika sore datang, tiba-tiba ada rasa gugup bertemu orang baru. Saya selalu seperti itu (seperti yang pernah saya tulis di sini, sini, dan sini) *sigh*. Bagaimana kalau nanti saya membosankan? Bagaimana kalau nanti obrolan kami tidak nyambung? Bagaimana kalau saya melakukan hal-hal yang memalukan?

Ketika memilih pakaian, saya baru sadar kalau bekas merah-memanjang di sepanjang tangan kiri saya masih kentara. Iya, itu adalah efek kerokan akibat masuk angin minggu sebelumnya. Daaan, baju-baju main saya rata-rata lengan pendek. Duh. Akhirnya saya memilih menutupinya dengan sweater.

Selesai sholat Maghrib, saya sudah siap-siap ke Lotte Avenue. Saya cek email, mungkin Zi membatalkannya?  Sebelum rencana nonton ini, lewat kartu pos saya pernah mengajak Zi ke kafe kucing karena tahu dia sangat suka kucing. Ketika mutual kami–Kimi namanya–main  ke Jakarta, kami bertiga hampir ke kafe kucing bareng. Tapi di hari-H, Zi mendadak batal ke sana karena sakit. Jadilah hanya saya dan Kimi yang menengok kucing-kucing lucu itu.

Tidak ada email masuk di inbox saya. Belum ada kabar. Saya naik gojek setelah lewat pukul 6 sore, dan mendadak tangan saya dingin meskipun udara panas. Saya yakinkan diri kalau semua akan baik-baik saja, bahwa bisa saja Zi akhirnya tidak datang, bahwa rasa gugup saya bakal sia-sia…

Sampai di Lotte, saya langsung masuk ke ruang tunggu The Premiere. Seorang pramusaji membawakan buku menu, yang tak begitu saya pedulikan karena nervous mengalahkan rasa lapar. Nonton bioskop membuat saya ‘takut’, ditambah bertemu orang baru yang membuat saya gugup. Entah keberanian atau kesembronoan macam apa yang membuat saya menggabungkannya jadi satu malam itu.

Meskipun tangan saya tak lagi dingin, deg-degan saya masih terlampau cepat. Dua puluh menit sebelum jadwal, saya kembali email Zi, mengabarkan kalau saya sudah sampai. Mungkin dia tidak jadi datang? Mungkin dia harus lembur? Mungkin dia terjebak macet? Dua menit setelahnya, ada email baru masuk. Zi bilang dia sudah di Lotte. Satu menit setelahnya, dia bilang akan segera ke XXI.

Saya menunggunya dan waktu seperti berjalan pelan. Teramat pelan.

Ini adalah saat-saat ketika saya aware dengan semua yang saya rasakan. Saya beberapa kali bertemu teman/kenalan baru, rata-rata yang saya kenal online, dan jeda menuju pertemuan itu selalu membuat saya gugup, gelisah, tapi juga sekaligus tertarik. Orang yang biasanya hanya ada di layar HP, sebentar lagi akan muncul di hadapan!

Saya sengaja duduk menghadap pintu masuk. Bolak-balik mengalihkan pandangan antara menu dan pintu. Sebelumnya saya pernah mengenali Zi ketika kami tak sengaja sama-sama nonton salah satu pertandingan Asian Games hari pertama. Saat itu saya terlalu malu bahkan untuk menyapa. Jadi ketika sadar sesadar-sadarnya kalau dalam hitungan menit dia akan memasuki pintu itu, rasanya saya masih belum percaya.

Akhirnya orang yang saya tunggu-tunggu datang juga. Saya tidak terlalu paham jenis pakaian, tapi yang jelas dia memakai blouse putih dan bawahan rok bermotif bunga dengan sepatu kets putih. Dia terlihat bingung dan mencari-cari. Tentu saja, Zi mungkin bahkan tidak tahu saya seperti apa. Saya mendatanginya dan memperkenalkan diri. Kami bersalaman, lalu saya mengajaknya ke ruang tunggu The Premiere.

Sepertinya di awal-awal percakapan kami, saya agak terlalu banyak tersenyum. Tidak ada lagi tangan yang dingin, rasa gugup hilang begitu saja. Rasanya…sungguh melegakan. Saya merasa agak canggung, tapi semuanya baik-baik saja. Dia attentive, dan terlihat berusaha mendengarkan. Justru saya yang kurang konsen karena masih tidak percaya kalau Zi betulan datang dan sekarang duduk di hadapan. Salah satu blogger favorit saya!

Kalau diminta memilih satu hal yang standout dari Zi, itu adalah suaranya. Iya, gaya berpakaiannya kawaii, tapi suaranya itu lembuuut dan haluuus banget. Ya ampun.

Zi bilang dia ke Lotte naik MRT dan turun di Benhil. Dia bilang juga kalau dulu ketika masih kuliah di UI dia sering ke Lotte untuk nonton film–bisa tiga sekaligus–karena harga tiketnya yang murah; lebih murah dari XXI di Margo City. Saya bilang padanya kalau saya suka postingan-postingan blog dia, terutama ketika dia review konser. Zi bisa membuat orang jadi tertarik untuk ikut mendengarkan lagu-lagu yang dia review. Spesifik, saya sebutkan kalau postingan dia tentang konser Utada Hikaru itu keren banget. Saya lupa bilang kalau saya bahkan ikut menonton konsernya di Netflix saking penasaran.

Waktu ngobrol kami tak lama sampai akhirnya dipanggil masuk ke Studio 2. Kursi-kursi di The Premiere beda dengan studio biasa, dan saya lupa cara mengesetnya. Terakhir kali saya nonton di The Premiere itu delapan tahun yang lalu. Saking tidak ingin tengsin, sebelumnya di kantor saya sempatkan cari video di YouTube tentang The Premiere ini. Jadi minimal sekarang saya sudah tahu cara mengeset kursinya dan tahu dimana mencari selimut hehe…

Film masih belum mulai ketika kami sudah masuk studio. Saya bilang saya sudah sedia kaos kaki kalau-kalau tambah dingin. Ketahuan kalau umur memang tidak bisa bohong haha! Jarak usia kami kira-kira delapan tahun. Kalau ketemu langsung seperti ini rasanya saya melihatnya seperti bocah. Zi bahkan hanya beda tiga tahun dari adik saya yang paling kecil.

Minuman kami datang ketika film baru dimulai. Tak lama, churros pesanannya menyusul. The Lion King sesuai dengan ekspektasi saya. Kualitas gambarnya memuaskan, dan Simba kecil itu imutnya kelewatan. Ada beberapa adegan yang ditambah, ada juga yang dikurangi. Eh tapi saya menulis ini bukan untuk review film kan?

Saya ingin cerita perasaan saya ketika nonton film ini. Rasa ‘takut’ yang kadang muncul ketika nonton di bioskop nyaris tidak ada. Beberapa kali saya arahkan pandangan ke tulisan “exit” berwarna merah di sisi kiri hanya untuk jaga-jaga, tapi saya tetap nyaman duduk selonjor di kursi yang memanjang. Setelah dua tahun, rasanya baru kali itu saya merasa benar-benar aman nonton di bioskop.

Ketika sedang nonton, terkadang terlintas satu pikiran kalau malam itu saya sedang beruntung. Duduk di samping saya, orang yang sudah lama ingin saya temui. Meskipun tak melihatnya, saya tahu Zi menangis di adegan ketika Mufasa tewas jatuh dari tebing (beberapa cewek lainnya di studio juga menangis) dan tertawa setiap kali ada adegan kocak Timon dan Pumbaa. Setidaknya ada dua adegan yang berhasil membuat Zi tertawa puas: ketika Timon dan Pumbaa menyelipkan curhatan mereka di lagu Can You Feel the Love Tonight? dan ketika Pumbaa tidak ngeh kalau dia akan dijadikan umpan untuk hyena-hyena agar Simba dan Nala bisa ke Scar.

Ketika akhirnya film selesai, saya lega bukan main. Dua ketakutan saya–takut nonton di biskop dan takut bertemu orang baru–tidak  saya rasakan di sisa malam itu. Saya antar Zi sampai depan untuk memesan gojek. Sambil menunggu, Zi cerita tentang hobinya berjalan kaki (“Asal masih kurang dari tiga [atau lima?] kilometer sih aku masih bisa.”). Saya yang awalnya mau pesan gojek, jadi memilih untuk jalan kaki ke kosan donk. Mumpung masih rame. Zi juga cerita tentang kebiasannya tidak memakai kacamata walaupun minusnya melebihi minus saya.

“Loh kan nanti jadi nggak keliatan jelas semuanya? Jadi nge-blur gitu nggak sih?” tanya saya, yang dia jawab, “Ya justru karena nggak ngeliat jelas gitu jadi nggak terlalu banyak yang diperhatikan.”

Oh.

Ketika akhirnya abang gojeknya datang, saya tahu itu adalah waktu untuk berpisah. Tanpa diduga, Zi memberikan satu rangkulan singkat. Bahagia saya lengkap, bahkan kalaupun kami tak sempat sempat foto bareng. Itu sudah cukup. Sudah lebih dari cukup. Saya lambaikan tangan padanya, yang dia balas dengan lambaian tangan pula.

Malam itu saya berjalan kaki pulang ke kosan. Menyusuri Mega Kuningan, saya lepas kacamata dan melihat semuanya dengan kabur dan menikmati sensasi baru ini. Sampai akhirnya saya lihat ke atas dan bulan sedang penuh-penuhnya. Saya kembali memakai kacamata lagi. Malam itu bulan terlihat benderang, dan kini saya bisa melihat lebih terang.