Jangan pernah menonton
konser tanpa mengisi penuh baterai kamera sebelumnya – jika memang berniat menyimpan
momen konser itu sebagai kenang-kenangan. Itu pelajaran nomor
satu saat Sabtu (25/2) kemarin saya menonton konser Il Divo di Ballroom The Ritz
Carlton Pacific Place. Belum juga sesi pertama usai, icon baterai di kamera sudah berkedip-kedip tanda minta diganti.
Beruntung masih ada kamera HP, meskipun ternyata tak banyak membantu juga
karena terbatasnya zooming feature.
Tapi setidaknya, saya masih bisa merekam semua momen itu di... hati.
*hening*
Okay, abaikan kalimat
terakhir tadi.
Saya tahu konser Il Divo
sejak sebulan sebelumnya. Ini kali ketiga mereka mengadakan konser di Indonesia
setelah sebelumnya tampil di tahun
2007 dan 2009. Mencari teman
untuk menonton konser bukan hal mudah. Teman-teman dekat saya bukan penggila
konser. Apalagi ini Il Divo. Harga tiketnya relatif lebih mahal dibanding
konser-konser genre musik lain. Iseng saya ajak teman kantor saya – Mbak Tina –
untuk menonton konser ini. Tak butuh satu menit berpikir, dia langsung bilang
iya. Hari itu, dua tiket Silver sudah dalam genggaman.
Sejak itu, saya terkena
demam Il Divo. Saya beli CD dan DVD-nya, mencoba membiasakan diri dengan
lagu-lagu mereka. Saya bukan penggemar berat Il Divo, tapi cukup suka untuk
tahu nama masing-masing personel, cukup familiar dengan beberapa lagu lama
mereka, dan cukup bisa membedakan suara satu dari yang lainnya. Saya bahkan
punya Urs Buhler sebagai favorit.
Saya kenal Il Divo dari lagu
‘I Believe in You’, duet mereka dengan Celine Dion. Saya suka lagu itu dan
menjadikannya salah satu lagu yang sering diputar jika sedang sedih atau
murung. Liriknya yang positif dan menguatkan membuat saya merasa lebih baik
setelah mendengarnya. Semakin saya mengenal lagu-lagu Il Divo yang lainnya,
semakin suka saya dengan mereka. Lagu-lagu favorit saya bertambah, dan saya
semakin menunggu-nunggu hari konser mereka di Jakarta.
Satu bulan penantian
ternyata tak selama yang saya bayangkan. Di hari-H, saya bersiap-siap membawa
semua yang dibutuhkan untuk konser, termasuk kamera. Awalnya, saya hendak
membawa Baby Canon dengan lensa 18-135 barunya. Untuk memastikan, saya telepon
panitia pertunjukan. Sayangnya mereka melarang kamera jenis ini di konser Il
Divo. Jadilah saya cuma membawa kamera saku. Saat saya cek, baterainya masih
penuh. Kalau saja saya tahu icon itu
bisa menipu...
Gerimis turun ketika saya
sampai depan Mall Ambassador, tempat saya janji bertemu dengan Mbak Tina. Tak
membuang waktu, kami segera naik taksi menuju Pacific Place. Ini kali kedua
saya ke sana, dan kali pertama untuk Mbak Tina.
Sama seperti saat konser
Andrea Bocelli, Pacific Place juga ramai dengan mobil-mobil yang mengantri. Kami
segera menuju ballroom di lantai empat. Suasana masih tampak lengang, baru
beberapa orang yang datang. Tidak ada booklet
yang menjelaskan susunan acara konser malam itu. Selain standing banner bergambar Il
Divo yang ada di pintu masuk, tidak ada pernak-pernik yang menunjukkan akan
diselenggarakan konser Il Divo di sana. Bahkan LCD TV besar yang ada malah
memunculkan potongan klip acara lain yang akan diselenggarakan oleh BigDaddy –
promotor untuk konser Il Divo.
Semakin ramai, penonton dipersilakan
masuk ke ballroom. Saya dan Mbak Tina dapat tempat duduk F1 dan F2 di sisi
sebelah kiri panggung. Tempatnya bisa dibilang lumayan untuk ukuran kelas
Silver. Tempat yang saya duduki malah tak beda jauh dengan kelas Gold Andrea
Bocelli yang saya ambil dulu dengan harga berlipat-lipat lebih mahal. Saya coba
mengambil gambar dengan kamera dan memutuskan untuk memakai feature BW karena hasil gambar warna tidak memuaskan.
Sebelum acara dimulai
Pukul 20.15, empat pria dalam balutan jas – yang katanya selalu – Armani muncul diiringi tepuk tangan riuh penonton. Mata saya langsung tertuju pada Urs – melalui layar besar di kiri kanan panggung – yang terlihat tampan dengan rambutnya yang dipotong pendek. Tata panggung selang-seling didominasi warna biru dan merah. Lagu demi lagu dinyanyikan, suara mereka yang nyaris sama dengan kualitas rekaman studio membuat penonton histeris. Bukan hanya penonton wanita, rombongan penonton remaja pria di belakang saya heboh setiap kali ada nada-nada tinggi yang dinyanyikan. Lucunya, ketika Il Divo menyanyikan ‘Nella Fantasia’, yang saya ingat pertama justru ‘Whispers in A Dream’-nya Hayley Westenra.
Mas-mas di depan saya menghalangi pandangan :(
Il Divo pandai mengambil hati penonton. Mereka ramah dan hangat, juga lihai menggoda penonton – terutama wanita – lewat kata-kata atau bahasa tubuhnya. Hanya Urs yang terlihat lebih pendiam dibanding yang lain. Di lagu ‘La Vida Sin Amor’, mereka mengajak penonton menari salsa. Seksi! Beberapa penonton nekat ke depan panggung minta tanda-tangan dan memberikan bunga. I wish I could be one of those lucky women!
Urs ganteng!
Panggung yang tidak terlalu luas – pun masih dipenuhi dengan pemain orkestra – membuat ruang gerak Il Divo terbatas. Formasi mereka biasanya berdiri berderet berempat, atau dua di depan dan dua di belakang, atau duduk di kursi seperti saat menyanyikan ‘Hallelujah’.
Lagu-lagu yang dinyanyikan
malam itu banyak yang merupakan favorit saya seperti
‘Unchained Melody’, ‘Everytime I Look at You’, dan ‘Melanconia’. Sayang tidak
ada ‘I Believe in You’. Ada dua sesi dengan jeda 20 menit di konser ini. Sesi
kedua ditutup dengan ‘Somewhere’, yang entah mengapa lebih ‘dalem’ daripada yang biasa saya dengar
di CD. Sampai lagu selesai dan Il Divo keluar dari panggung, penonton masih
tetap di tempat meneriakkan ‘We want
more!’. Tak lama, Il Divo kembali keluar dan menyanyikan ‘Time to Say
Goodbye’. Itu adalah lagu terakhir yang menutup konser malam itu.
Penonton tertib keluar dari
tempat pertunjukan. Sebagian memilih berfoto dengan latar belakang panggung
bertuliskan Il Divo. Di pintu keluar, sudah terpasang poster besar dengan
gambar cover album terbaru mereka:
Wicked Game. Saya dan Mbak Tina menunggu sepi untuk foto di sana.
Jam sebelas lewat, kami
pulang naik taksi; sendiri-sendiri agar cepat sampai kos
masing-masing. Lain kali Il Divo datang kembali ke Indonesia, saya lebih dari
berminat untuk menonton mereka lagi. Mungkin di lain kali itu, saya bisa maju
ke kelas yang lebih dekat dengan panggung.
Ps. Lagu yang paling saya suka adalah 'Everytime I Look At You'. Bikin meleleh :') Lagu ini juga dinyanyikan di konser mereka di Barcelona.