Monday, 27 February 2012

Semalam Bersama Il Divo

Jangan pernah menonton konser tanpa mengisi penuh baterai kamera sebelumnya – jika memang berniat menyimpan momen konser itu sebagai kenang-kenangan. Itu pelajaran nomor satu saat Sabtu (25/2) kemarin saya menonton konser Il Divo di Ballroom The Ritz Carlton Pacific Place. Belum juga sesi pertama usai, icon baterai di kamera sudah berkedip-kedip tanda minta diganti. Beruntung masih ada kamera HP, meskipun ternyata tak banyak membantu juga karena terbatasnya zooming feature. Tapi setidaknya, saya masih bisa merekam semua momen itu di... hati.

*hening*

Okay, abaikan kalimat terakhir tadi.

Saya tahu konser Il Divo sejak sebulan sebelumnya. Ini kali ketiga mereka mengadakan konser di Indonesia setelah sebelumnya tampil di tahun 2007 dan 2009. Mencari teman untuk menonton konser bukan hal mudah. Teman-teman dekat saya bukan penggila konser. Apalagi ini Il Divo. Harga tiketnya relatif lebih mahal dibanding konser-konser genre musik lain. Iseng saya ajak teman kantor saya – Mbak Tina – untuk menonton konser ini. Tak butuh satu menit berpikir, dia langsung bilang iya. Hari itu, dua tiket Silver sudah dalam genggaman.

Sejak itu, saya terkena demam Il Divo. Saya beli CD dan DVD-nya, mencoba membiasakan diri dengan lagu-lagu mereka. Saya bukan penggemar berat Il Divo, tapi cukup suka untuk tahu nama masing-masing personel, cukup familiar dengan beberapa lagu lama mereka, dan cukup bisa membedakan suara satu dari yang lainnya. Saya bahkan punya Urs Buhler sebagai favorit.

Saya kenal Il Divo dari lagu ‘I Believe in You’, duet mereka dengan Celine Dion. Saya suka lagu itu dan menjadikannya salah satu lagu yang sering diputar jika sedang sedih atau murung. Liriknya yang positif dan menguatkan membuat saya merasa lebih baik setelah mendengarnya. Semakin saya mengenal lagu-lagu Il Divo yang lainnya, semakin suka saya dengan mereka. Lagu-lagu favorit saya bertambah, dan saya semakin menunggu-nunggu hari konser mereka di Jakarta.

Satu bulan penantian ternyata tak selama yang saya bayangkan. Di hari-H, saya bersiap-siap membawa semua yang dibutuhkan untuk konser, termasuk kamera. Awalnya, saya hendak membawa Baby Canon dengan lensa 18-135 barunya. Untuk memastikan, saya telepon panitia pertunjukan. Sayangnya mereka melarang kamera jenis ini di konser Il Divo. Jadilah saya cuma membawa kamera saku. Saat saya cek, baterainya masih penuh. Kalau saja saya tahu icon itu bisa menipu...

Gerimis turun ketika saya sampai depan Mall Ambassador, tempat saya janji bertemu dengan Mbak Tina. Tak membuang waktu, kami segera naik taksi menuju Pacific Place. Ini kali kedua saya ke sana, dan kali pertama untuk Mbak Tina.

Sama seperti saat konser Andrea Bocelli, Pacific Place juga ramai dengan mobil-mobil yang mengantri. Kami segera menuju ballroom di lantai empat. Suasana masih tampak lengang, baru beberapa orang yang datang. Tidak ada booklet yang menjelaskan susunan acara konser malam itu. Selain standing banner bergambar  Il Divo yang ada di pintu masuk, tidak ada pernak-pernik yang menunjukkan akan diselenggarakan konser Il Divo di sana. Bahkan LCD TV besar yang ada malah memunculkan potongan klip acara lain yang akan diselenggarakan oleh BigDaddy – promotor untuk konser Il Divo.

Semakin ramai, penonton dipersilakan masuk ke ballroom. Saya dan Mbak Tina dapat tempat duduk F1 dan F2 di sisi sebelah kiri panggung. Tempatnya bisa dibilang lumayan untuk ukuran kelas Silver. Tempat yang saya duduki malah tak beda jauh dengan kelas Gold Andrea Bocelli yang saya ambil dulu dengan harga berlipat-lipat lebih mahal. Saya coba mengambil gambar dengan kamera dan memutuskan untuk memakai feature BW karena hasil gambar warna tidak memuaskan.

 Sebelum acara dimulai

Pukul 20.15, empat pria dalam balutan jas – yang katanya selalu – Armani muncul diiringi tepuk tangan riuh penonton. Mata saya langsung tertuju pada Urs – melalui layar besar di kiri kanan panggung – yang terlihat tampan dengan rambutnya yang dipotong pendek. Tata panggung selang-seling didominasi warna biru dan merah. Lagu demi lagu dinyanyikan, suara mereka yang nyaris sama dengan kualitas rekaman studio membuat penonton histeris. Bukan hanya penonton wanita, rombongan penonton remaja pria di belakang saya heboh setiap kali ada nada-nada tinggi yang dinyanyikan. Lucunya, ketika Il Divo menyanyikan ‘Nella Fantasia’, yang saya ingat pertama justru ‘Whispers in A Dream’-nya Hayley Westenra. 

 Mas-mas di depan saya menghalangi pandangan :(

Il Divo pandai mengambil hati penonton. Mereka ramah dan hangat, juga lihai menggoda penonton – terutama wanita – lewat kata-kata atau bahasa tubuhnya. Hanya Urs yang terlihat lebih pendiam dibanding yang lain. Di lagu ‘La Vida Sin Amor’, mereka mengajak penonton menari salsa. Seksi! Beberapa penonton nekat ke depan panggung minta tanda-tangan dan memberikan bunga. I wish I could be one of those lucky women!

Urs ganteng!

Panggung yang tidak terlalu luas – pun masih dipenuhi dengan pemain orkestra – membuat ruang gerak Il Divo terbatas. Formasi mereka biasanya berdiri berderet berempat, atau dua di depan dan dua di belakang, atau duduk di kursi seperti saat menyanyikan ‘Hallelujah’.


Lagu-lagu yang dinyanyikan malam itu banyak yang merupakan favorit saya seperti  ‘Unchained Melody’, ‘Everytime I Look at You’, dan ‘Melanconia’. Sayang tidak ada ‘I Believe in You’. Ada dua sesi dengan jeda 20 menit di konser ini. Sesi kedua ditutup dengan ‘Somewhere’, yang entah mengapa lebih ‘dalem’ daripada yang biasa saya dengar di CD. Sampai lagu selesai dan Il Divo keluar dari panggung, penonton masih tetap di tempat meneriakkan ‘We want more!’. Tak lama, Il Divo kembali keluar dan menyanyikan ‘Time to Say Goodbye’. Itu adalah lagu terakhir yang menutup konser malam itu.

Penonton tertib keluar dari tempat pertunjukan. Sebagian memilih berfoto dengan latar belakang panggung bertuliskan Il Divo. Di pintu keluar, sudah terpasang poster besar dengan gambar cover album terbaru mereka: Wicked Game. Saya dan Mbak Tina menunggu sepi untuk foto di sana.


Jam sebelas lewat, kami pulang naik taksi; sendiri-sendiri agar cepat sampai kos masing-masing. Lain kali Il Divo datang kembali ke Indonesia, saya lebih dari berminat untuk menonton mereka lagi. Mungkin di lain kali itu, saya bisa maju ke kelas yang lebih dekat dengan panggung.

Ps. Lagu yang paling saya suka adalah 'Everytime I Look At You'. Bikin meleleh :') Lagu ini juga dinyanyikan di konser mereka di Barcelona.


Wednesday, 8 February 2012

New Year’s Concert with The Soloist of Symphonia Vienna

Jernih denting harpa memenuhi ruangan. Seorang pria muda – rapi, berjas hitam – memetik dawai harpanya, membawakan Legende dari Henriette Renie. Sesekali matanya terpejam, ikut menikmati alunan musik yang ia ciptakan lewat jari-jemarinya. Ketika getar petikan terakhir mengakhiri penampilan solonya, tepuk tangan riuh bergema. Sang Harpist berdiri, tersenyum, mengucapkan terima kasih pada para penikmat musik klasik di hadapannya. Ia menjadi satu-satunya orang Indonesia yang tampil memainkan instrumen musik dalam acara New Year’s Concert with The Soloist of Symphonia Vienna.

 Aula Simfonia

Penampilan Harpist Rama Widi tadi ada pada urutan nomor dua, setelah Carmen Quadrille dari Eduard Strauss dimainkan seluruh musisi dalam acara yang digelar di Aula Simfonia Jakarta, 14 Januari kemarin. Saya menonton bersama dua orang teman. Kami duduk di baris nomor dua dari depan. Ring a bell, eh? Saya bisa berpuas-puas melihat musisi yang ganteng-ganteng (salah satunya ada yang mirip Josh Groban!) dan berpuas-puas mendengarkan masterpiece dari dewa musik klasik macam Mozart dimainkan.

 Langit-langit

Sayangnya, penonton tidak diijinkan memotret atau merekam selama pertunjukan berlangsung. Ada seorang ibu yang nekat memotret. Dia langsung ‘ditembak’ dengan sinar laser sampai si ibu menyadari tingkahnya diperhatikan panitia yang mengawasi penonton nakal.

Saya masih terbilang baru dalam menikmati musik klasik. Terima kasih kepada soprano popera Hayley Westenra yang membuat telinga saya tak asing-asing amat dengan jenis musik itu. Pertunjukan New Year’s Concert ini lebih menonjolkan kemampuan musisi secara individu, beda dengan orkestra kamar dari Jerman yang pernah saya nikmati. Karena konsep ini, saya jadi bisa ‘kenal’ dengan instrumen musik satu per satu, tak cuma sekedar tahu instrumen ini termasuk jenis alat musik tiup, pukul, gesek, atau petik.

Saya hanya bisa memotret ketika jeda dan ketika pertunjukan telah usai

Pertunjukan dibagi menjadi dua sesi, dengan jeda sepuluh menit. Di bagian terakhir sesi pertama, Clarentia Prameta – guest soloist dari Indonesia menyanyikan Panis Angelicus diiringi musik orkestra. Sebelumnya, Alleluia dibawakan oleh paduan suara The Singers Chamber Choir – asli Bandung, Jawa Barat.

Di sesi kedua, Gabriel’s Oboe dimainkan. Saya tahu lagu itu dari Paradiso; album terbaru Hayley Westenra. Hayley menambahkan lirik – seijin E. Morricone sang komposer – sehingga menjadi lagu berjudul Whisper in A Dream. Well, saya baru tahu kalau oboe adalah nama alat musik. Saya langsung suka!

Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Saya tahu dari susunan acara kalau di akhir sesi, akan ada medley lagu-lagu daerah Indonesia: Ampar-ampar Pisang, Jali-jali, O Inani Keke, dan Yamko Rambe Yamko. Lagu-lagu ini dibawakan oleh seluruh musisi. Kalau sebelumnya penampilan para musisi cenderung serius, di sesi ini mereka ceria dan lepas. Penonton ikut bersemangat dengan bertepuk tangan mengikuti ketukan nada. Standing ovation mengakhiri pertunjukan itu.

Atau kami pikir, pertunjukan itu sudah berakhir.

Melihat antusiasme penonton, medley empat lagu tadi diulang kembali. Persis sama. Dan saya, sebagai penonton, tak bosan-bosan mendengarnya. Setelah beberapa lagu dimainkan lagi, barulah pertunjukan benar-benar usai. Puas rasanya. Standing ovation kembali bergaung. Saya tak sia-siakan kesempatan itu untuk mencuri-curi memotret.

Sepertinya, saya harus lebih sering-sering menonton konser musik klasik. Itu adalah pertunjukan yang ideal di mata saya. Duduk di auditorium yang nyaman, musik dimainkan, penonton santun. Tidak ada desak-desakan dan lelah berdiri seperti menonton konser musik jenis lain. Dan, harganyapun cukup murah untuk menikmati dua jam lebih pertunjukan yang memperkaya batin.

Selama menonton, pikiran saya berkeliaran ke negara-negara Eropa. Entah salah entah tidak, tapi saya selalu merujuk musik klasik pada Benua Biru tersebut. Saya menjadi lebih tenang, tidak ada ruang untuk gelisah ketika mendengarkannya. Percayalah, mendengarnya secara langsung jauh lebih memukau ketimbang mendengar lewat CD atau yang lain. 

Dan oh, saya sedang mendengarkan Canon in D dari Johann Pachelbel – berulang-ulang – ketika menulis postingan ini :)