Saya lupa kapan mulai menjawab “udah lama banget pokoknya” setiap kali ditanya berapa lama saya ngekos di Jakarta. Pertanyaan itu biasanya dilontarkan anak kosan baru ketika kenalan basa-basi. Entah kenapa terselip rasa malu ketika menyebut sebuah angka, terlebih ketika angka itu tembus dua digit.
Ketika pertama kali ngekos di Karet Pedurenan setelah hanya sebulan bertahan ngekos di Pejaten, saya tidak pernah membayangkan akan tinggal di sana hingga 13 tahun. Kamar saya ada di pojokan paling belakang, berbatasan langsung dengan gang. Saya sudah terbiasa dengan suara ibu-ibu bergosip pagi-pagi, bocah-bocah bermain dan berlarian, juga bapak-bapak ngobrol hingga larut malam yang asap rokoknya ikut masuk ke kamar. Saya pun tak terlalu peduli bising motor yang lewat gang, juga asap sate dari abang-abang yang kadang mangkal di sore hari.
Karena bisa mendengar semua kejadian di balik tembok, saya jadi tahu beberapa kejadian tanpa melihatnya langsung: cewek-cowok yang berantem sampai ceweknya nangis, ucapan selamat ulang tahun tepat pada tengah malam, juga seorang ibu yang rutin mengomeli anaknya tiap mengerjakan PR. Yang terbaru, saya dengar teriakan tangis dini hari yang disusul dengan derap langkah kaki orang berlarian. Esoknya saya tahu kalau ada tetangga belakang kosan yang meninggal bunuh diri. Konon katanya karena sakit terlalu lama yang tak kunjung sembuh.
Saya bisa menahan semua itu hingga akhirnya pandemi datang dan WFH menjadi hal yang lazim. Kamar kosan saya terasa makin sempit, tinggal di sana bertahun-tahun membuat barang saya menumpuk. Tanpa jendela ke arah luar dan tak adanya sinar matahari yang masuk membuat saya makin ingin pindah. Terlebih tetangga belakang kosan tetiba punya ide untuk membuat bengkel motor di depan rumahnya. Mungkin ia juga merasa lebih fokus bekerja di saat orang lain tidur sehingga suara ketak-ketok dari bengkelnya terdengar hingga Subuh.
Tak tahan lagi, beberapa bulan setelahnya saya pindah ke kamar depan yang kebetulan baru ditinggal penghuninya. Kamar ini lebih luas dengan jendela lebar yang ramah pada cahaya matahari langsung. Dibanding sebelumnya, kamar ini lebih tenang meski hampir tiap hari ada abang tukang paket yang mengantar barang.
Apa yang membuat saya bisa bertahan di kosan selama 13 tahun? Selain murah untuk ukuran kosan di Kuningan, Jakarta, kosan ini juga dekat dengan kantor. Saya juga bisa ke Mal Ambasador, Kuningan City, dan Lotte Avenue dengan berjalan kaki. Jalan sedikit ke arah yang berbeda, saya sudah bisa ke Plaza Festival dan Setiabudi One. Tempat makan banyak, tidak pernah banjir, dan otomatis saya tak perlu bermacet-macet ke kantor atau pulang dari kantor.
Selain itu, teteh yang jaga kosan juga baik. Dia sering
memberi saya makanan –seringnya bakso dan soto buatannya– juga cemilan seperti kacang
goreng, rempeyek, dan terkadang cireng. Di bulan Ramadan, biasanya saya minta
dimasakin oleh teteh. Saya berikan ia uang dan minta yang penting nasinya
hangat, ada lauk, dan sayurnya. Tapi dua tahun ke belakang teteh sudah tak menerima
pesanan sahur, sehingga saya berlangganan katering Ramadan.
Memulai kembali
Meskipun jawaban-jawaban di atas terasa masuk akal, sebenarnya saya punya satu alasan lainnya: saya sendirian. Sebenarnya beberapa tahun belakangan ini saya tergoda untuk tinggal di apartemen. Tapi saya masih ragu-ragu, belum berani tinggal sendiri. Bagaimana kalau sakit? Setidaknya kalau di kosan ada orang yang bisa langsung dimintai tolong. Selain itu, biaya sewa apartemen juga rasanya akan lebih ringan jika ditanggung berdua.
Masalahnya, keinginan saya untuk berbagi apartemen dengan orang lain berbanding terbalik dengan kemudahan saya mencari housemate. Mungkin ada teman yang enak buat jalan bareng dan ngobrol, tapi untuk tinggal satu atap berdua pasti membutuhkan usaha lebih. Harus yang sama-sama bisa bikin nyaman, dan setidaknya punya nilai yang mirip-mirip.
Setiap kali memandangi apartemen di daerah Kuningan, saya membayangkan rasanya pasti nyaman tinggal di sana. Bisa santai-santai di balkon pagi hari, juga malam hari sambil melihat pemandangan kota. Di sana juga bisa masak sendiri, pulang dari kantor juga bisa langsung mandi dengan air hangat. Tapi ya…saya cukup tahu diri kalau biaya apartemen di Kuningan sudah tak masuk kantong saya. Lagipula, siapa juga yang mau berbagi apartemen dengan saya?
Hingga akhirnya, ada Kirana.
Pertemuan pertama kali dengannya saya ceritakan di sini. Saya mengenalnya ketika ia masih kuliah di Semarang, hingga diwisuda, dan bekerja di anak perusahaan BUMN jalan tol di Pekalongan. Kirana bercita-cita mengambil jurusan Psikologi, tetapi keadaan memaksanya memilih Akuntansi dan bekerja terkait uang dan transaksi di kantornya. Itu adalah sesuatu yang tak ia suka. Ingin mengubah nasib, ia mengikuti tes CPNS untuk jabatan yang bersinggungan dengan HRD.
Saya tak ingat bagaimana awalnya, tapi obrolan tentang berbagi apartemen mulai muncul dalam percakapan kami. Ketika pertama kali mendengar ide tersebut, saya merasa tinggal dengannya akan menyenangkan. Kirana adalah orang yang thoughtful dan mudah untuk diajak berkomunikasi. Kami pernah berbagi hobi idoling yang sama (oshi kami sama, btw), dan sekarang kami sama-sama suka Taylor Swift. Nilai-nilai yang kami anut juga tak beda jauh, jadi seharusnya akan baik-baik saja dengannya.
Kemungkinan berbagi apartemen dengan Kirana menjadi makin terang ketika ia lolos dengan nilai tertinggi pada seleksi SKD di sebuah kementerian. Pada tahapan SKB yang menjadi penentu, ia berhasil masuk menjadi salah satu dari dua orang yang lolos untuk posisi yang berhubungan dengan kepegawaian.
Congratulations!
Keberhasilan Kirana juga artinya kemenangan buat saya. Rencana-rencana yang awalnya cuma angan-angan, kini makin jelas dan diberi tanggal. Kami mulai mencari-cari apartemen melalui berbagai aplikasi dan secara daring, lalu mengerucutkannya dengan budget dan kriteria dua kamar yang kami inginkan.
Karena kantor saya di Rasuna Said sementara dia di Medan Merdeka Barat, kami membuat daftar apartemen yang jarak tempuhnya masih wajar untuk kami berdua. Kami urutkan berdasarkan budget, fasilitas, dan jarak. Karena budget yang ketat, banyak apartemen yang berguguran pada seleksi permulaan.
Setelah mencari-cari info, memilah, dan memilih, kami punya dua alternatif apartemen, yaitu Taman Rasuna di Kuningan dan Signature Park Grande di Cawang. Biaya sewa untuk keduanya beda tipis (kebetulan yang Taman Rasuna saya nego langsung dengan pemiliknya sehingga lebih murah), dan masing-masing punya kekurangan dan kelebihannya. Apartemen Taman Rasuna jelas memiliki lokasi yang strategis, tapi unit yang ditawarkan sudah tua. Sementara, Signature Park Grande terlihat baru dan nyaman, tapi jarak ke kantor kami lumayan juga, terutama untuk Kirana. Ada beberapa unit di sana yang sudah kami incar.
Rupanya kebingungan kami sebentar saja, karena begitu kami ke Signature Park Grande, kami langsung tahu kalau itu yang kami inginkan. Apartemen ini termasuk baru dan relatif tenang. Kartu akses digunakan untuk menuju lift dan ketika memilih lantai di lift sehingga saya merasa aman. Lorongnya lebar dan unitnya tak sekecil apartemen di daerah Jakarta Selatan yang pernah saya datangi.
Dari lima unit yang kami kunjungi, ada satu yang dipilih. Unit ini terletak di lantai 6 dan menghadap jalan. Dari awal, saya dan Kirana memang tidak ingin di lantai yang tinggi untuk alasan keselamatan. Apalagi akhir-akhir ini Jakarta kena gempa. Saya lebih suka view yang menghadap jalan daripada kolam renang, karena jangkauan pandangannya lebih luas. Unit ini juga dilengkapi dengan dua AC dan water heater. Penataannya yang rapi membuat saya langsung kerasan di sana.
Saat ini, saya sedang mulai menata-nata barang di kosan untuk dipindah. Sebagian barang saya donasikan, sebagian yang lain saya berikan ke teteh kosan, ada juga yang saya jual. Kalau semua sesuai rencana, minggu depan saya sudah pindah ke apartemen.
Setelah 13 tahun, akhirnya saya bisa memulai kembali.
Dan oh, mungkin Ramadan ini saya tak sahur sendiri.