Saturday, 31 March 2012

“If Things Were Easy to Find, They Wouldn’t be Worth Finding”

Sepertinya, awalnya terlihat terlalu mudah.

Ah, sebelum saya berbicara tak tentu arah, ijinkan saya melongok ke dalam pensieve; mencoba mundur beberapa minggu ke belakang. Saya pernah bilang kalau tahun ini ingin fokus mengejar beasiswa. Mengejar. Mungkin kata kerja ini cocok untuk menggambarkan usaha mendapatkan sesuatu yang melesat jauh di depan. Berkejaran dengan waktu, istilahnya.

Jika ingin mendapatkan beasiswa, siapkan dari setahun sebelumnya. Serius. Kalau perlu, buat dateline kapan untuk tes TOEFL/IELTS (plus perkiraan untuk mengulang jika nilainya belum mencukupi), kapan untuk mendaftar universitas untuk memperoleh admission letter (beasiswa dari Pemerintah Belanda menjadikan ini sebagai salah satu syarat), serta kapan untuk mendaftar beasiswa (beberapa beasiswa menggunakan sistem online; usahakan jangan mepet dengan deadline ketika mendaftar karena jaringan dikhawatirkan sedang lambat).

Saya mendapatkan hasil TOEFL iBT tanggal 14 Februari 2012. Beasiswa yang di depan mata adalah StuNed (Studeren in Nederland) yang – terlihat dari namanya – merupakan beasiswa ke Belanda. Deadline StuNed adalah 15 Maret. Waktu sebulan untuk mengurus ini itu, termasuk mendaftar ke universitas di Belanda untuk mendapatkan admission letter, sepertinya agak mustahil. Untuk mengirim aplikasi pendaftaran ke sana saja sudah butuh waktu. Apalagi, kalau sebelumnya kita mesti menerjemahkan dulu semua dokumen yang dibutuhkan menggunakan jasa penerjemah tersumpah ditambah harus mendapatkan legalisir dari pihak kampus (dan sekolah menengah atas) tempat kita kuliah dulu.

Dengan hitung-hitungan waktu yang rasanya tak mungkin, saya toh tetap mendaftar di salah satu universitas di sana. Nothing to lose. Setidaknya saya tidak tak mendaftar sama sekali dan menunggu tahun ini lewat begitu saja. Memang masih ada beasiswa dari negara lain, tapi ini Belanda! Berada di Eropa Barat, Negeri Tulip ini dekat dengan negara-negara maju lainnya; berbatasan dengan Belgia dan Jerman. Agak ke selatan ‘sedikit’, ada Prancis, Swiss, sebut sajalah. Sejak dulu Eropa selalu bisa membuat saya terpesona, lebih daripada Amerika. Tak berlebihan jika saya ingin pergi ke Eropa suatu saat nanti, atau kalau beruntung, bisa sekolah di sana.

Sebenarnya, University of Amsterdam dengan master di bidang komunikasi-nya lebih dulu menarik minat saya. Sayangnya, nilai TOEFL saya kurang dua poin dari yang disyaratkan. Pilihan universitas pun jatuh pada Saxion University of Applied Sciences. Tak ada master untuk komunikasi di sana. Tak apa. Saya pilih master in management, dengan asumsi itu lebih bisa dimengerti ketimbang master di bidang perencanaan pembangunan, misalnya.

Yang saya sukai dari Saxion adalah kemudahan untuk mendaftar di sana. Di saat universitas lain tetap bersikukuh dengan pengiriman aplikasi pendaftaran konvensional lewat pos, Saxion terbuka untuk menerima pendaftaran online. Cepat, mudah, murah.

Saxion memiliki tiga tempat untuk kuliah: Deventer, Enschede, dan Apeldoorn. Master in management ada di Deventer. Saya langsung google tempat itu. Di antara banyaknya informasi tentang Deventer, yang paling saya minati adalah adanya festival buku tahunan di sana, yang disebut-sebut sebagai yang terbesar di Eropa. Saya langsung suka dengan kota itu.

28 Februari 2012, saya mendaftar di Saxion. Saya mendapat lembar registrasi yang harus dikirim dengan berkas-berkas lain, termasuk terjemahan ijazah dan transkrip nilai SMA dan kuliah, CV, paspor, dan motivation letter. Saya sertakan juga nilai online TOEFL iBT dalam bentuk softcopy, meskipun sebenarnya Saxion minta lembar original. Sementara mengirim itu semua, saya memesan tambahan original TOEFL iBT dari ETS untuk dikirimkan langsung ke Saxion.

Sepuluh hari sejak saat itu, sebuah email dari Saxion masuk ke inbox. 9 Maret 2012. Saya buka dengan terburu, hanya untuk mengetahui informasi jika Saxion sudah menerima berkas yang saya kirim. Saxion menjelaskan tentang syarat utama untuk mendapat admission letter, salah satunya adalah latar belakang S1 harus sesuai dengan program yang diambil. S1 saya bukan ekonomi, jadi saya simpulkan kalau saya tak mungkin bisa menembus Saxion.

Saya sudah tak mengingat-ingat Saxion lagi ketika sebuah email dari universitas itu kembali muncul. 21 Maret 2012. Dengan subject ‘Admission University of Applied Sciences’, email ini sukses membuat saya deg-degan.

Saya baca dengan cepat, dan mata saya terpaku pada satu kalimat ini:

We look forward to meeting you as one of our international students.”

Saya dapat admission letter dari Saxion!

Kegembiraan saya tak lama mengingat deadline Stuned sudah lewat seminggu sebelumnya. Saya buka website NESO Indonesia, dan mencoba mencari-cari beasiswa lain dengan deadline yang masih panjang. Dapat! Beasiswa NFP (The Netherlands Fellowship Programmes) masih membuka pendaftaran hingga 1 Mei 2012. Menariknya, beasiswa ini diprioritaskan untuk perempuan. Beda dengan Stuned dimana kita bisa daftar di mana saja di Belanda, NFP hanya bekerja sama dengan universitas-universitas tertentu. Yang lebih hebat, Saxion masuk dalam daftar itu!

Seperti yang saya bilang di awal postingan ini, awalnya semua kelihatan terlalu mudah. Maksudnya, mendapatkan admission letter saja bukan perkara sederhana. Beberapa orang mesti mengirim puluhan atau ratusan aplikasi ke berbagai universitas agar kesempatan diterimanya lebih besar. Seorang teman di kantor bahkan mesti menunggu berbulan-bulan tanpa kabar. Deadline NFP yang masih agak lowong juga membuat saya punya waktu lebih luang untuk mempersiapkan pendaftaran beasiswa, termasuk menyiapkan surat ijin dari kantor dan sebagainya.

Semuanya terlihat terlalu mudah, hingga saya sadar kalau NFP mensyaratkan unconditional admission letter; padahal saya masih harus mengirimkan dua berkas lagi (softcopy ijazah dan transkrip kuliah original, serta hasil TOEFL iBT dari ETS) untuk mendapatkan surat penerimaan tanpa syarat dari Saxion.

26 Maret 2012, saya kirimkan berkas yang kurang, termasuk scan hasil TOEFL iBT original saya. Hasil TOEFL dari ETS belum juga sampai ke Saxion, padahal sudah hampir satu bulan. Saya jelaskan pada Saxion, dan dua hari kemudian, email saya dibalas. Saya sungguh suka dengan respon cepat yang mereka berikan. Mereka bilang akan menambahkan berkas ke dalam file saya, namun tetap butuh TOEFL dari ETS supaya bisa memberikan unconditional admission letter.

Hari itu juga, saya hubungi ETS. Tak butuh 24 jam, ETS mengirimkan balasan. Dikatakan, butuh waktu 7-10 hari kerja untuk mengirim hasil tes ke Amerika Serikat, dan butuh tambahan waktu sampai 4 minggu untuk mengirimkannya ke luar Amerika. Dari hitung-hitungan itu, TOEFL saya mungkin baru sampai di pertengahan April. Masih ada waktu sampai deadline tanggal 1 Mei.

Jumat 31 Maret 2012, sebuah surat sampai di meja kerja. Saya tak bisa menahan senang melihat logo di amplop surat. Dari Saxion. Tepat 10 hari sejak mengirim admission letter lewat email, Saxion mengirim surat resminya lewat pos. 


Semuanya terlihat mudah untuk seseorang yang pertama kali ingin mendaftar beasiswa.

Entah kenapa, ada rasa tak yakin dengan ‘kemudahan’ ini. Dulu saya mesti merasakan ditolak sebuah sekolah tinggi akuntansi sebelum kuliah di kampus almamater saya. Pun, saya merasakan ditolak perusahaan media sebelum akhirnya kerja di tempat yang sekarang.

Beberapa menit sebelum pulang kerja di Jumat sore itu, saya baca kembali rules and regulation NFP untuk memastikan deadline­-nya. Memang benar 1 Mei 2012. Tapi hati seperti tertusuk ketika saya baca lebih detail lagi. Ternyata ada DUA deadline, 7 Februari dan 1 Mei. Antiklimaks sudah ketika Saxion termasuk dalam deadline gelombang pertama. Artinya, meskipun admission letter sudah dalam genggaman, saya tak mungkin bisa mendaftar beasiswa NFP. Rasanya seperti putus setelah pacaran sekian lama. Sakit. Lagi-lagi saya kalah mengejar waktu.

Jalan meraih beasiswa ternyata masih panjang. Tapi seperti yang bisa saya kutip dari film Extremely Loud and Incredibly Close: “If things were easy to find, they wouldn’t be worth finding.”

Monday, 19 March 2012

3 Tes, 1 Bulan, Banyak Tujuan (II)

TOEFL ITP – 9 Februari 2012

Selesai TOEFL iBT, saya langsung belajar untuk tes TOEFL ITP; terutama untuk Structure. Materi tes ini tidak ada di TOEFL iBT. Empat hari belajar memang sangat singkat, tapi saya tak punya banyak pilihan.

Saya lebih yakin dengan tes ini, karena sudah punya pengalaman sebelumnya. Saya ijin setengah hari dari kantor untuk Kamis itu. Saya ke Universitas Indonesia Salemba membawa pensil 2B, penghapus, rautan, dan alas untuk mengerjakan soal. Saya jadi ingat masa-masa dulu mengerjakan tes untuk melamar pekerjaan.

Belum terlalu banyak orang yang masuk ke ruangan. Atmosfer yang saya rasakan beda dengan tes TOEFL internasional. Lebih familiar, lebih akrab, lebih santai. Setelah pembacaan tata tertib, tes dimulai.

Listening jadi tes pembuka. Percakapan yang diperdengarkan berlangsung cepat. Hilang konsentrasi sedikit saja, akan kesulitan menemukan jawaban. Tes kedua adalah Structure. Tak belajar dari kesalahan mengerjakan  TOEFL iBT, saya berlama-lama di soal yang sulit. Mestinya saya langsung skip untuk soal yang lebih mudah terlebih dulu. Waktu terasa sangat singkat. Reading adalah yang terakhir; tak sesusah bacaan di TOEFL iBT.

Saya percaya, hasil tes ini tentu lebih baik dari tes TOEFL sebelumnya. Saya baru bisa mengetahui hasilnya 10 hari ke depan. Saya tak terlalu memikirkannya karena setelah TOEFL ITP, saya masih punya satu tes lagi yang harus diperjuangkan.


Tes Potensi Akademik – 11 Februari 2012

Kalau saya bilang belajar empat hari tidak cukup untuk tes TOEFL ITP, rasanya saya mestinya bilang mustahil belajar TPA dalam waktu dua hari. Tapi lagi-lagi pilihan saya terbatas. Untuk mengejar deadline beasiswa Kementerian Komunikasi dan Informatika di akhir bulan, saya harus tes dalam waktu yang berdekatan.

TPA sendiri sebenarnya tidak terlalu asing bagi saya. Saya lumayan familiar dengan jenis tes ini, terutama tiga tahunan lalu saat saya sedang semangat-semangatnya mencari kerja. Nyaris semua tempat mengandalkan tes ini sebagai penyeleksi awal. Saya beli satu buku kecil untuk latihan.

Tes diadakan di Sabtu pagi, di Bappenas. Ratusan orang tes di satu aula luas. Setelah daftar ulang, saya duduk di kursi yang sudah ditentukan.

Tes dimulai serentak. Soal-soal awal mudah, dan semakin lama semakin susah. Saya sampai pada satu titik ketika saya mempertanyakan ke-Indonesia-an kata-kata yang dijadikan soal saking saya tak pernah mendengarnya apalagi tahu artinya. Di bagian selanjutnya lebih seru lagi. Saya bertemu musuh lama saya: matematika, atau yang sejenisnya. Saya harus berpikir super cepat, kalau tak ingin menyisakan lingkaran-lingkaran tanpa jawaban. Bagian selanjutnya lebih mirip soal pelajaran Bahasa Indonesia. Gampang-gampang susah. Susah-susah gampang.

Tiga jam mengerjakan soal menguras energi saya. Tapi saya tahu, selesai TPA, saya sudah bebas dari tes-tes di Bulan Februari. Sabtu malam itu terasa berlipat-lipat lebih menyenangkan dibanding Sabtu-Sabtu sebelumnya. Saya kembali mengucap halo pada buku-buku, film-film, CD lagu-lagu yang beberapa minggu lalu tak pernah saya beri perhatian.

Saya menikmati hari-hari, setidaknya sampai hasil tes-tes itu keluar minggu berikutnya – yang ternyata tak selama yang saya bayangkan.

14 Februari. Di saat orang lain berdebar-debar mendapatkan coklat atau bunga, saya berdebar-debar mendapatkan email dari ETS – penyelenggara TOEFL internasional. Hasil TOEFL iBT sudah keluar! Saya buka email dengan cepat, dan sesaat mencoba memahami angka-angka dan kata-kata yang terpampang di layar depan saya. 79 adalah syarat minimal untuk mendaftar STUNED, nilai saya melebihi angka tersebut. Ini menjadi lebih menyenangkan bagi saya, karena terpikir untuk mencapai 79 pun tidak. Saya pikir saya akan berhenti di 6 sekian.

Mungkin ini adalah buah doa bapak-ibu di rumah.

Masih ada dua hasil tes lagi. Saya mengambilnya bersamaan di Jumat siang di minggu itu, setelah sebelumnya menelepon untuk memastikan hasilnya telah keluar. Yang pertama saya ambil adalah hasil TPA. Syarat minimal adalah 550, saya tipis melampaui angka itu. Dari Koperasi Bappenas, saya segera ke Universitas Indonesia Salemba. Melihat hasilnya, saya agak kecewa. Jika dikonversi, hasil TOEFL iBT saya bahkan lebih tinggi daripada hasil tes TOEFL ITP. Ini di luar perkiraan, karena saya anggap TOEFL internasional memiliki tingkat kesulitan yang lebih besar. Saya tidak bisa mendaftar beasiswa Kementerian Komunikasi dan Informatika yang mematok 580, meskipun masih bisa menggunakan hasil tes itu untuk mendaftar beasiswa AMINEF dan ADS.

Dengan ketiga hasil tes itu, saya belajar satu hal bahwa berburu beasiswa butuh waktu yang panjang. Seharusnya malah sudah dipersiapkan setahun sebelumnya. Dengan begitu, waktu belajar lebih panjang dan hasil bisa lebih maksimal.

Saya masih sibuk mengurus pendaftaran beasiswa yang lain. STUNED sudah lewat. Dengan waktu kurang dari sebulan (deadline STUNED 15 Maret), tidak mungkin mendapatkan Letter of Acceptance dari universitas di Belanda. Begitupun, masih ada beasiswa dari negara lain.

Kalau tahun ini tidak ada target yang tercapai, mungkin tahun depan. Kalau tahun depan masih belum juga, mungkin tahun depannya lagi. Tes-tes yang sudah saya lakukan hanyalah satu langkah dari ratusan langkah yang nantinya saya tempuh. Tapi untuk satu langkah kecil inipun, saya berterima kasih untuk semua dengan doa-doa.

3 Tes, 1 Bulan, Banyak Tujuan (I)


Saya sedang semangat mengejar beasiswa. Sejak dua bulan terakhir di tahun 2011, saya sudah mencari informasi tentang beasiswa yang ada, mulai dari Chevening, STUNED, ADS, hingga Fulbright. Saya print semua persyaratan yang ada, dan mulai googling universitas serta jurusan yang ingin saya masuki. Sebelum menyiapkan lain-lainnya, saya tahu pintu masuk untuk mendaftar beasiswa-beasiswa itu ada pada nilai TOEFL, atau IELTS untuk Chevening. Saat itu, terakhir saya mengikuti ujian TOEFL adalah ketika hendak diwisuda di tahun 2008. Nilainya masih di bawah TOEFL yang disyaratkan untuk beasiswa. Itupun masih TOEFL institusional. Padahal beasiswa seperti STUNED mensyaratkan TOEFL internasional.

Berbekal semangat, saya beli buku-buku latihan TOEFL. Saya atur jadwal setiap hari untuk mengerjakan soal minimal setengah jam. Saya perbanyak buku berbahasa Inggris yang saya baca untuk memperkaya vocab, serta mencoba menghilangkan English subtitle pada film asing yang saya tonton untuk melatih listening.

Program yang saya buat sendiri hanya berjalan beberapa minggu. Di awal tahun 2012, saya mulai malas membuka-buka buku latihan soal. Hingga akhirnya saya kembali bersemangat ketika teman kantor berencana mengambil TOEFL iBT (internet-based test) di awal Februari. Kami mendaftar bersama dan memutuskan tanggal 5 Februari untuk tes di Plasa Sentral.

Selama ini saya terbiasa dengan TOEFL PBT (paper-based test). Saya sama sekali asing dengan tes berbasis internet yang merupakan metode terbaru TOEFL internasional. Buku TOEFL yang saya beli pun ternyata buku yang masih menggunakan metode tes lama. Akhirnya saya beli dua buku TOEFL iBT. Dari buku-buku itu, saya tahu beda antara PBT dengan iBT. Perbedaan paling kentara adalah adanya tes speaking pada TOEFL iBT.

Panik.

Bahasa Inggris saya masih belepotan. Serius. Vocab yang terbatas dan usaha mengucapkan kalimat dengan grammar sempurna membuat saya butuh waktu lebih untuk berpikir. Untuk melatih speaking, saya merekam suara sendiri di recorder. Saya ceritakan kejadian seharian itu menggunakan Bahasa Inggris. Tapi rasanya ada yang kurang dengan model belajar seperti itu. Saya butuh teman agar percakapan menjadi lebih dinamis.

Teman kantor rupanya punya pemikiran yang sama. Kami pun sepakat untuk berlatih bersama sepulang kantor, minimal setengah jam. Sejak saat itu, ketika jarum jam sudah menunjukkan angka 4, dia akan ke ruangan saya – yang lebih hening dan lebih luas. Kami akan mengobrol tentang apa saja menggunakan Bahasa Inggris. Ketika ada kata yang tidak kami mengerti, kami tinggal membuka kamus online yang tersebar di dunia maya. Terkadang, kami membuka video tentang TOEFL iBT di YouTube. Tujuan yang sama membuat kami tak sungkan berbagi informasi dan materi belajar.

Setengah jam berlalu terlalu cepat. Kami pun biasanya akan meneruskan obrolan sembari makan bersama di luar. Tak peduli orang lalu-lalang, tak peduli betapapun lamanya kami merangkai kalimat, kami tetap berbahasa Inggris – atau mungkin sebenarnya Globish. Ha!

Belum lagi mengikuti TOEFL iBT, saya dapat informasi tentang beasiswa S2 Kementerian Komunikasi dan Informatika. Beasiswa ini mensyaratkan TOEFL ITP (Institutional Testing Program) dan juga TPA (Tes Potensi Akademik). Batas akhir pendaftaran adalah akhir Februari. Setelah mencari informasi tentang kedua tes tersebut, saya segera mendaftarkan diri untuk mengikuti TOEFL ITP di Universitas Indonesia Salemba pada Kamis, 9 Februari, serta TPA di Koperasi Bappenas pada Sabtu, 11 Februari. Lengkap sudah tes di dua minggu pertama Februari.


TOEFL iBT – 5 Februari 2012

Minggu pagi. Saya gugup sejak malam sebelumnya. Tes ini penting untuk saya. Bukan saja karena biayanya yang mahal, tapi tes ini juga menjadi pintu pertama untuk mimpi-mimpi saya. Seorang sahabat memberikan kartu ucapan untuk menyemangati. Andai saja dia tahu jika selembar kartu itu telah melecutkan semangat dan harapan melebihi keyakinan yang saya miliki saat itu. Terima kasih. Terima kasih.


Doa juga meluncur deras dari bapak-ibu. Ratusan kilometer jaraknya, doa yang dikirimkan menjadi serupa tameng untuk menghancurkan pikiran-pikiran buruk. Terima kasih. Terima kasih.

Saya sampai di Plasa Sentral sekitar pukul 8. Sudah banyak orang yang mengantri, termasuk beberapa warga negara Korea dan Republik Rakyat Cina. Kami diberi nomor pendaftaran, diberi formulir untuk diisi, menunggu giliran untuk difoto, dan langsung masuk untuk mulai mengerjakan tes. Dengan begitu, setiap orang punya start yang berbeda-beda untuk memulai tes.

Saya masuk jam 9 kurang. Teman kantor sudah masuk lebih dulu. Saya duduk di deret paling kanan, baris pertama di depan. Di samping kiri saya masih kosong. Beberapa orang sudah berbicara keras-keras – saya ketahui kemudian jika mereka sedang cek suara. Saya kembali gugup. Sama seperti yang lain, sebelum dimulai, ada cek untuk mengetes suara lewat headset. Bahkan dari cek sederhana itu pun, suara saya sudah gemetar.

Selesai cek suara, tes yang sebenarnya dimulai.

Tes pertama adalah Reading. Bacaan pertama membuat saya panas-dingin. Hilang sudah konsentrasi saya. Bahasanya sukar dipahami. Lima menit mencerna isi bacaan seperti berjam-jam, sementara timer yang ada di sudut kanan atas terus menghitung mundur. Saya bolak-balik membaca untuk memastikan jawaban yang benar. Cara itu tidak efektif karena waktu saya berkurang banyak di bacaan pertama. Timer semakin membuat saya gelisah.

Selesai di bacaan pertama, saya mulai mengerjakan bacaan selanjutnya. Ah, lebih mudah! Begitu juga bacaan yang lainnya. Tapi waktu saya sudah terlanjur dihabiskan di bacaan pertama. Saya tak punya waktu lagi untuk terus mencocokkan bacaan dengan jawaban. Ketika timer sudah menunjukkan 00:00, saya sudah pasrah dengan hasil tes Reading.

Masih ada tiga tes lagi, mungkin ketiganya akan lebih baik hasilnya. Saya pikir begitu. Semangat saya masih menyala meski sedikit meredup. Andai saya tahu tes selanjutnya jauh lebih membuat frustasi.

Tes Speaking jadi yang kedua. Orang-orang sudah ramai menjawab tes ini. Seorang pemuda duduk di kursi sebelah saya. Dia baru saja mulai tes yang pertama. Pertanyaan pertama mudah saja sebenarnya, tapi saya terlanjur grogi. Jawaban saya didengar dimana-mana – minimal oleh peserta tes di samping, dan saya pun bisa mendengar jawaban yang lainnya. Bagaimana kalau jawaban saya konyol? Bagaimana kalau nanti tiba-tiba saya diam karena tak tahu harus bicara apa? Duh! Perempuan di belakang saya menjawab dengan Bahasa Inggris yang fasih dan meyakinkan. Tingkat percaya diri saya langsung terjun bebas.

Meskipun begitu, saya tahu saya harus terus berbicara. Waktu yang pendek membuat saya berbicara apa saja yang ada di otak. Tak peduli lagi dengan grammar, saya terus bicara. Di akhir tes Speaking, harapan saya untuk mencapai nilai 79 – nilai yang ditetapkan untuk mendaftar STUNED – hilang sudah. Pikiran saya separuh menyerah di separuh tes TOEFL ini. Saya anggap tes ini sebagai uji coba saja untuk mengukur kemampuan.

Ada jeda 10 menit sebelum tes selanjutnya. Saya sempat bertemu teman kantor di luar ruangan. Dia mengeluhkan hal yang sama. Entah kenapa, saya merasa jadi lebih baik. Setidaknya, tak hanya saya saja yang menganggap tes ini sulit.

Masuk ke ruangan lagi, saya sudah lebih rileks. Tes Listening tak begitu susah. Percakapan yang dibuat senormal mungkin, membuat saya tak kesulitan menjawab pertanyaan. Saat tes berlangsung, orang sebelah saya baru mulai tes Speaking. Suaranya beradu dengan suara tes di headset. Butuh konsentrasi penuh untuk terus fokus pada tes. Begitu pun, saya masih bisa mencuri-curi dengar jawabannya. Semuanya lebih bagus dari jawaban saya. Dia menjawab dengan bahasa yang sederhana namun jelas. Lain kali, akan saya tiru cara dia menjawab.

Tes terakhir adalah Writing. Saya lebih santai di tes ini. Saya bisa menyelesaikan jawaban sesuai dengan jumlah kata yang disyaratkan. Waktu saya masih tersisa beberapa menit untuk tes ini, yang saya anggap sebuah kemewahan; mengingat di tes yang lain saya selalu kehabisan waktu. Jam 12 kurang, saya sudah menyelesaikan semua tes.

Saya keluar ruangan dengan perasaan antara lega dan tak yakin. Apapun hasilnya nanti, setidaknya saya sudah mencoba yang terbaik untuk saat itu.

Ps. Masih ada dua tes lagi menunggu di minggu berikutnya. Saya akan tuliskan keduanya di postingan terpisah agar tidak terlalu panjang.