Sepertinya, awalnya terlihat terlalu mudah.
Ah, sebelum saya berbicara
tak tentu arah, ijinkan saya melongok ke dalam pensieve; mencoba mundur beberapa minggu ke belakang. Saya pernah
bilang kalau tahun ini ingin fokus mengejar beasiswa. Mengejar. Mungkin kata kerja ini cocok untuk menggambarkan usaha
mendapatkan sesuatu yang melesat jauh di depan. Berkejaran dengan waktu,
istilahnya.
Jika ingin mendapatkan
beasiswa, siapkan dari setahun sebelumnya. Serius. Kalau perlu, buat dateline kapan untuk tes TOEFL/IELTS
(plus perkiraan untuk mengulang jika nilainya belum mencukupi), kapan untuk
mendaftar universitas untuk memperoleh admission
letter (beasiswa dari Pemerintah Belanda menjadikan ini sebagai salah satu
syarat), serta kapan untuk mendaftar beasiswa (beberapa beasiswa menggunakan
sistem online; usahakan jangan mepet dengan deadline
ketika mendaftar karena jaringan dikhawatirkan sedang lambat).
Saya mendapatkan hasil TOEFL
iBT tanggal 14 Februari 2012. Beasiswa yang di depan mata adalah StuNed (Studeren in Nederland) yang – terlihat
dari namanya – merupakan beasiswa ke Belanda. Deadline StuNed adalah 15 Maret. Waktu sebulan untuk mengurus ini
itu, termasuk mendaftar ke universitas di Belanda untuk mendapatkan admission letter, sepertinya agak
mustahil. Untuk mengirim aplikasi pendaftaran ke sana saja sudah butuh waktu.
Apalagi, kalau sebelumnya kita mesti menerjemahkan dulu semua dokumen yang
dibutuhkan menggunakan jasa penerjemah tersumpah ditambah harus mendapatkan legalisir dari pihak kampus (dan sekolah
menengah atas) tempat kita kuliah dulu.
Dengan hitung-hitungan waktu
yang rasanya tak mungkin, saya toh tetap mendaftar di salah satu universitas di
sana. Nothing to lose. Setidaknya
saya tidak tak mendaftar sama sekali
dan menunggu tahun ini lewat begitu saja. Memang masih ada beasiswa dari negara
lain, tapi ini Belanda! Berada di Eropa Barat, Negeri Tulip ini dekat dengan
negara-negara maju lainnya; berbatasan dengan Belgia dan Jerman. Agak ke
selatan ‘sedikit’, ada Prancis, Swiss, sebut sajalah. Sejak dulu Eropa selalu bisa
membuat saya terpesona, lebih daripada Amerika. Tak berlebihan jika saya ingin
pergi ke Eropa suatu saat nanti, atau kalau beruntung, bisa sekolah di sana.
Sebenarnya, University of
Amsterdam dengan master di bidang komunikasi-nya lebih dulu menarik minat saya.
Sayangnya, nilai TOEFL saya kurang dua poin dari yang disyaratkan. Pilihan
universitas pun jatuh pada Saxion University of Applied Sciences. Tak ada
master untuk komunikasi di sana. Tak apa. Saya pilih master in management, dengan asumsi itu lebih bisa dimengerti
ketimbang master di bidang perencanaan pembangunan, misalnya.
Yang saya sukai dari Saxion
adalah kemudahan untuk mendaftar di sana. Di saat universitas lain tetap
bersikukuh dengan pengiriman aplikasi pendaftaran konvensional lewat pos, Saxion
terbuka untuk menerima pendaftaran online. Cepat, mudah, murah.
Saxion memiliki tiga tempat
untuk kuliah: Deventer, Enschede, dan Apeldoorn. Master in management ada di Deventer. Saya langsung google tempat itu. Di antara banyaknya
informasi tentang Deventer, yang paling saya minati adalah adanya festival buku
tahunan di sana,
yang disebut-sebut sebagai yang terbesar di Eropa. Saya langsung suka dengan kota itu.
28 Februari 2012, saya
mendaftar di Saxion. Saya mendapat lembar registrasi yang harus dikirim dengan
berkas-berkas lain, termasuk terjemahan ijazah dan transkrip nilai SMA dan
kuliah, CV, paspor, dan motivation letter.
Saya sertakan juga nilai online TOEFL iBT dalam bentuk softcopy, meskipun sebenarnya Saxion minta lembar original.
Sementara mengirim itu semua, saya memesan tambahan original TOEFL iBT dari ETS
untuk dikirimkan langsung ke Saxion.
Sepuluh hari sejak saat itu,
sebuah email dari Saxion masuk ke inbox. 9 Maret 2012. Saya buka dengan
terburu, hanya untuk mengetahui informasi jika Saxion sudah menerima berkas yang
saya kirim. Saxion menjelaskan tentang syarat utama untuk mendapat admission letter, salah satunya adalah
latar belakang S1 harus sesuai dengan program yang diambil. S1 saya bukan
ekonomi, jadi saya simpulkan kalau saya tak mungkin bisa menembus Saxion.
Saya sudah tak
mengingat-ingat Saxion lagi ketika sebuah email dari universitas itu kembali
muncul. 21 Maret 2012. Dengan subject
‘Admission University of Applied Sciences’, email ini sukses membuat saya
deg-degan.
Saya baca dengan cepat, dan
mata saya terpaku pada satu kalimat ini:
“We look forward to meeting you as one of our international students.”
Saya dapat admission letter dari Saxion!
Kegembiraan saya tak lama
mengingat deadline Stuned sudah lewat
seminggu sebelumnya. Saya buka website NESO Indonesia, dan mencoba mencari-cari
beasiswa lain dengan deadline yang
masih panjang. Dapat! Beasiswa NFP (The Netherlands Fellowship Programmes)
masih membuka pendaftaran hingga 1 Mei 2012. Menariknya, beasiswa ini
diprioritaskan untuk perempuan. Beda dengan Stuned dimana kita bisa daftar di mana
saja di Belanda, NFP hanya bekerja sama dengan universitas-universitas tertentu.
Yang lebih hebat, Saxion masuk dalam daftar itu!
Seperti yang saya bilang di
awal postingan ini, awalnya semua kelihatan terlalu mudah. Maksudnya,
mendapatkan admission letter saja
bukan perkara sederhana. Beberapa orang mesti mengirim puluhan atau ratusan
aplikasi ke berbagai universitas agar kesempatan diterimanya lebih besar.
Seorang teman di kantor bahkan mesti menunggu berbulan-bulan tanpa kabar. Deadline NFP yang masih agak lowong juga
membuat saya punya waktu lebih luang untuk mempersiapkan pendaftaran beasiswa,
termasuk menyiapkan surat ijin dari kantor dan sebagainya.
Semuanya terlihat terlalu
mudah, hingga saya sadar kalau NFP mensyaratkan unconditional admission letter; padahal saya masih harus
mengirimkan dua berkas lagi (softcopy ijazah
dan transkrip kuliah original, serta hasil TOEFL iBT dari ETS) untuk mendapatkan
surat penerimaan tanpa syarat dari Saxion.
26 Maret 2012, saya kirimkan
berkas yang kurang, termasuk scan hasil
TOEFL iBT original saya. Hasil TOEFL dari ETS belum juga sampai ke Saxion,
padahal sudah hampir satu bulan. Saya jelaskan pada Saxion, dan dua hari
kemudian, email saya dibalas. Saya sungguh suka dengan respon cepat yang mereka
berikan. Mereka bilang akan menambahkan berkas ke dalam file saya, namun tetap butuh TOEFL dari ETS supaya bisa memberikan unconditional admission letter.
Hari itu juga, saya hubungi
ETS. Tak butuh 24 jam, ETS mengirimkan balasan. Dikatakan, butuh waktu 7-10
hari kerja untuk mengirim hasil tes ke Amerika Serikat, dan butuh tambahan
waktu sampai 4 minggu untuk mengirimkannya ke luar Amerika. Dari
hitung-hitungan itu, TOEFL saya mungkin baru sampai di pertengahan April. Masih
ada waktu sampai deadline tanggal 1
Mei.
Jumat 31 Maret 2012, sebuah
surat sampai di meja kerja. Saya tak bisa menahan senang melihat logo di amplop
surat. Dari Saxion. Tepat 10 hari sejak mengirim admission letter lewat email, Saxion mengirim surat resminya lewat
pos.
Semuanya terlihat mudah
untuk seseorang yang pertama kali ingin mendaftar beasiswa.
Entah kenapa, ada rasa tak
yakin dengan ‘kemudahan’ ini. Dulu saya mesti merasakan ditolak sebuah sekolah
tinggi akuntansi sebelum kuliah di kampus almamater saya. Pun, saya merasakan
ditolak perusahaan media sebelum akhirnya kerja di tempat yang sekarang.
Beberapa menit sebelum
pulang kerja di Jumat sore itu, saya baca kembali rules and regulation NFP untuk memastikan deadline-nya. Memang benar 1 Mei 2012. Tapi hati seperti tertusuk
ketika saya baca lebih detail lagi. Ternyata ada DUA deadline, 7 Februari dan 1 Mei. Antiklimaks sudah ketika Saxion
termasuk dalam deadline gelombang
pertama. Artinya, meskipun admission
letter sudah dalam genggaman, saya tak mungkin bisa mendaftar beasiswa NFP.
Rasanya seperti putus setelah pacaran sekian lama. Sakit. Lagi-lagi saya kalah
mengejar waktu.
Jalan meraih beasiswa
ternyata masih panjang. Tapi seperti yang bisa saya kutip dari film Extremely Loud and Incredibly Close: “If
things were easy to find, they wouldn’t be worth finding.”