Saya sedang semangat
mengejar beasiswa. Sejak dua bulan terakhir di tahun 2011, saya sudah mencari
informasi tentang beasiswa yang ada, mulai dari Chevening, STUNED, ADS, hingga
Fulbright. Saya print semua
persyaratan yang ada, dan mulai googling universitas
serta jurusan yang ingin saya masuki. Sebelum menyiapkan lain-lainnya, saya
tahu pintu masuk untuk mendaftar beasiswa-beasiswa itu ada pada nilai TOEFL,
atau IELTS untuk Chevening. Saat itu, terakhir saya mengikuti ujian TOEFL
adalah ketika hendak diwisuda di tahun 2008. Nilainya masih di bawah TOEFL yang disyaratkan
untuk beasiswa. Itupun masih TOEFL institusional. Padahal beasiswa seperti
STUNED mensyaratkan TOEFL internasional.
Berbekal semangat, saya beli
buku-buku latihan TOEFL. Saya atur jadwal setiap hari untuk mengerjakan soal
minimal setengah jam. Saya perbanyak buku berbahasa Inggris yang saya baca
untuk memperkaya vocab, serta mencoba
menghilangkan English subtitle pada
film asing yang saya tonton untuk melatih listening.
Program yang saya buat
sendiri hanya berjalan beberapa minggu. Di awal tahun 2012, saya mulai malas
membuka-buka buku latihan soal. Hingga akhirnya saya kembali bersemangat ketika
teman kantor berencana mengambil TOEFL iBT (internet-based
test) di awal Februari. Kami mendaftar bersama dan memutuskan tanggal 5
Februari untuk tes di Plasa Sentral.
Selama ini saya terbiasa
dengan TOEFL PBT (paper-based test).
Saya sama sekali asing dengan tes berbasis internet yang merupakan metode
terbaru TOEFL internasional. Buku TOEFL yang saya beli pun ternyata buku yang
masih menggunakan metode tes lama. Akhirnya saya beli dua buku TOEFL iBT. Dari
buku-buku itu, saya tahu beda antara PBT dengan iBT. Perbedaan paling kentara
adalah adanya tes speaking pada TOEFL
iBT.
Panik.
Bahasa Inggris saya masih
belepotan. Serius. Vocab yang
terbatas dan usaha mengucapkan kalimat dengan grammar sempurna membuat saya butuh waktu lebih untuk
berpikir. Untuk melatih speaking, saya merekam suara sendiri di recorder. Saya ceritakan kejadian
seharian itu menggunakan Bahasa Inggris. Tapi rasanya ada yang kurang dengan
model belajar seperti itu. Saya butuh teman agar percakapan menjadi lebih
dinamis.
Teman kantor rupanya punya
pemikiran yang sama. Kami pun sepakat untuk berlatih bersama sepulang kantor,
minimal setengah jam. Sejak saat itu, ketika jarum jam sudah menunjukkan angka
4, dia akan ke ruangan saya – yang lebih hening dan lebih luas. Kami akan
mengobrol tentang apa saja menggunakan Bahasa Inggris. Ketika ada kata yang
tidak kami mengerti, kami tinggal membuka kamus online yang tersebar di dunia
maya. Terkadang, kami membuka video tentang TOEFL iBT di YouTube. Tujuan yang
sama membuat kami tak sungkan berbagi informasi dan materi belajar.
Setengah jam berlalu terlalu
cepat. Kami pun biasanya akan meneruskan obrolan sembari makan bersama di luar.
Tak peduli orang lalu-lalang, tak peduli betapapun lamanya kami merangkai
kalimat, kami tetap berbahasa Inggris – atau mungkin sebenarnya Globish. Ha!
Belum lagi mengikuti TOEFL
iBT, saya dapat informasi tentang beasiswa S2 Kementerian Komunikasi dan
Informatika. Beasiswa ini mensyaratkan TOEFL ITP (Institutional Testing Program) dan juga TPA (Tes Potensi Akademik).
Batas akhir pendaftaran adalah akhir Februari. Setelah mencari informasi
tentang kedua tes tersebut, saya segera mendaftarkan diri untuk mengikuti TOEFL
ITP di Universitas Indonesia Salemba pada Kamis, 9 Februari, serta TPA di
Koperasi Bappenas pada Sabtu, 11 Februari. Lengkap sudah tes di dua minggu
pertama Februari.
TOEFL iBT – 5 Februari 2012
Minggu pagi. Saya gugup
sejak malam sebelumnya. Tes ini penting untuk saya. Bukan saja karena biayanya
yang mahal, tapi tes ini juga menjadi pintu pertama untuk mimpi-mimpi saya. Seorang sahabat memberikan kartu ucapan untuk
menyemangati. Andai saja dia tahu jika selembar kartu itu telah melecutkan
semangat dan harapan melebihi keyakinan yang saya miliki saat itu. Terima
kasih. Terima kasih.
Saya sampai di Plasa Sentral
sekitar pukul 8. Sudah banyak orang yang mengantri, termasuk beberapa warga
negara Korea dan Republik Rakyat Cina. Kami diberi nomor pendaftaran, diberi
formulir untuk diisi, menunggu giliran untuk difoto, dan langsung masuk untuk
mulai mengerjakan tes. Dengan begitu, setiap orang punya start yang berbeda-beda untuk memulai tes.
Saya masuk jam 9 kurang.
Teman kantor sudah masuk lebih dulu. Saya duduk di deret paling kanan, baris
pertama di depan. Di samping kiri saya masih kosong. Beberapa orang sudah
berbicara keras-keras – saya ketahui kemudian jika mereka sedang cek suara. Saya kembali gugup. Sama seperti yang lain, sebelum
dimulai, ada cek untuk mengetes suara lewat headset.
Bahkan dari cek sederhana itu pun, suara saya sudah gemetar.
Selesai cek suara, tes yang sebenarnya dimulai.
Tes pertama adalah Reading. Bacaan pertama membuat saya
panas-dingin. Hilang sudah konsentrasi saya. Bahasanya sukar dipahami. Lima
menit mencerna isi bacaan seperti berjam-jam, sementara timer yang ada di sudut kanan atas terus menghitung mundur. Saya bolak-balik membaca untuk memastikan jawaban
yang benar. Cara itu tidak efektif karena waktu saya berkurang banyak di bacaan
pertama. Timer semakin membuat saya gelisah.
Selesai di bacaan pertama,
saya mulai mengerjakan bacaan selanjutnya. Ah, lebih mudah! Begitu juga bacaan
yang lainnya. Tapi waktu saya sudah terlanjur dihabiskan di bacaan pertama.
Saya tak punya waktu lagi untuk terus mencocokkan bacaan dengan jawaban. Ketika
timer sudah menunjukkan 00:00, saya sudah pasrah dengan hasil tes Reading.
Masih ada tiga tes lagi,
mungkin ketiganya akan lebih baik hasilnya. Saya pikir begitu. Semangat saya
masih menyala meski sedikit meredup. Andai saya tahu tes selanjutnya jauh lebih
membuat frustasi.
Tes Speaking jadi yang kedua. Orang-orang sudah ramai menjawab tes ini.
Seorang pemuda duduk di kursi sebelah saya. Dia baru saja mulai tes yang
pertama. Pertanyaan pertama mudah saja sebenarnya, tapi saya terlanjur grogi.
Jawaban saya didengar dimana-mana – minimal oleh peserta tes di samping, dan
saya pun bisa mendengar jawaban yang lainnya. Bagaimana kalau jawaban saya
konyol? Bagaimana kalau nanti tiba-tiba saya diam karena tak tahu harus bicara
apa? Duh! Perempuan di belakang saya menjawab dengan Bahasa Inggris yang fasih
dan meyakinkan. Tingkat percaya diri saya langsung terjun bebas.
Meskipun begitu, saya tahu
saya harus terus berbicara. Waktu
yang pendek membuat saya berbicara apa saja yang ada di otak. Tak peduli lagi
dengan grammar, saya terus bicara. Di
akhir tes Speaking, harapan saya
untuk mencapai nilai 79 – nilai yang ditetapkan untuk mendaftar STUNED – hilang
sudah. Pikiran saya separuh menyerah di separuh tes TOEFL ini. Saya anggap tes
ini sebagai uji coba saja untuk mengukur kemampuan.
Ada jeda 10 menit sebelum
tes selanjutnya. Saya sempat bertemu teman kantor di luar ruangan. Dia
mengeluhkan hal yang sama. Entah kenapa, saya merasa jadi lebih baik.
Setidaknya, tak hanya saya saja yang menganggap tes ini sulit.
Masuk ke ruangan lagi, saya
sudah lebih rileks. Tes Listening tak
begitu susah. Percakapan yang dibuat senormal mungkin, membuat saya tak
kesulitan menjawab pertanyaan. Saat tes berlangsung, orang sebelah saya baru
mulai tes Speaking. Suaranya beradu
dengan suara tes
di headset. Butuh konsentrasi penuh untuk terus fokus pada tes. Begitu
pun, saya masih bisa mencuri-curi dengar jawabannya. Semuanya lebih bagus dari
jawaban saya. Dia menjawab dengan bahasa yang sederhana namun jelas. Lain kali,
akan saya tiru cara dia menjawab.
Tes terakhir adalah Writing. Saya lebih santai di tes ini. Saya
bisa menyelesaikan jawaban sesuai dengan jumlah kata yang disyaratkan. Waktu
saya masih tersisa beberapa menit untuk tes ini, yang saya anggap sebuah
kemewahan; mengingat di tes yang lain saya selalu kehabisan waktu. Jam 12
kurang, saya sudah menyelesaikan semua tes.
Saya keluar ruangan dengan
perasaan antara lega dan tak yakin. Apapun hasilnya nanti, setidaknya saya
sudah mencoba yang terbaik untuk saat itu.
Ps. Masih ada dua tes lagi
menunggu di minggu berikutnya. Saya akan tuliskan keduanya di postingan
terpisah agar tidak terlalu panjang.
makasih mba Anggie :) saya fatimah jg mau ngejar2 beasiswa mulai tahun ini, terus menulis ya..saya jadi tambah semangat :). Entah Stuned / NFP, Semoga berhasil mendapat yg terbaik !!
ReplyDeleteSemangat! Semoga sukses yaaa! :) Saya juga mau cari-cari beasiswa lagi untuk tahun depan :)
ReplyDeletewah, postingan mbak keren, saya yang tadinya baca serius jadi senyum2 sendiri, hampir sama pngalamannya dengan saya :D
ReplyDeletesalam kenal mbak anggie, saya sari, scholarship hunter juga kyak mbak :)
Halo Mbak Sari, tetap semangat mencari-cari beasiswa ya.. Kalau sungguh-sungguh, pasti bisa! :)
ReplyDelete