Monday, 19 March 2012

3 Tes, 1 Bulan, Banyak Tujuan (I)


Saya sedang semangat mengejar beasiswa. Sejak dua bulan terakhir di tahun 2011, saya sudah mencari informasi tentang beasiswa yang ada, mulai dari Chevening, STUNED, ADS, hingga Fulbright. Saya print semua persyaratan yang ada, dan mulai googling universitas serta jurusan yang ingin saya masuki. Sebelum menyiapkan lain-lainnya, saya tahu pintu masuk untuk mendaftar beasiswa-beasiswa itu ada pada nilai TOEFL, atau IELTS untuk Chevening. Saat itu, terakhir saya mengikuti ujian TOEFL adalah ketika hendak diwisuda di tahun 2008. Nilainya masih di bawah TOEFL yang disyaratkan untuk beasiswa. Itupun masih TOEFL institusional. Padahal beasiswa seperti STUNED mensyaratkan TOEFL internasional.

Berbekal semangat, saya beli buku-buku latihan TOEFL. Saya atur jadwal setiap hari untuk mengerjakan soal minimal setengah jam. Saya perbanyak buku berbahasa Inggris yang saya baca untuk memperkaya vocab, serta mencoba menghilangkan English subtitle pada film asing yang saya tonton untuk melatih listening.

Program yang saya buat sendiri hanya berjalan beberapa minggu. Di awal tahun 2012, saya mulai malas membuka-buka buku latihan soal. Hingga akhirnya saya kembali bersemangat ketika teman kantor berencana mengambil TOEFL iBT (internet-based test) di awal Februari. Kami mendaftar bersama dan memutuskan tanggal 5 Februari untuk tes di Plasa Sentral.

Selama ini saya terbiasa dengan TOEFL PBT (paper-based test). Saya sama sekali asing dengan tes berbasis internet yang merupakan metode terbaru TOEFL internasional. Buku TOEFL yang saya beli pun ternyata buku yang masih menggunakan metode tes lama. Akhirnya saya beli dua buku TOEFL iBT. Dari buku-buku itu, saya tahu beda antara PBT dengan iBT. Perbedaan paling kentara adalah adanya tes speaking pada TOEFL iBT.

Panik.

Bahasa Inggris saya masih belepotan. Serius. Vocab yang terbatas dan usaha mengucapkan kalimat dengan grammar sempurna membuat saya butuh waktu lebih untuk berpikir. Untuk melatih speaking, saya merekam suara sendiri di recorder. Saya ceritakan kejadian seharian itu menggunakan Bahasa Inggris. Tapi rasanya ada yang kurang dengan model belajar seperti itu. Saya butuh teman agar percakapan menjadi lebih dinamis.

Teman kantor rupanya punya pemikiran yang sama. Kami pun sepakat untuk berlatih bersama sepulang kantor, minimal setengah jam. Sejak saat itu, ketika jarum jam sudah menunjukkan angka 4, dia akan ke ruangan saya – yang lebih hening dan lebih luas. Kami akan mengobrol tentang apa saja menggunakan Bahasa Inggris. Ketika ada kata yang tidak kami mengerti, kami tinggal membuka kamus online yang tersebar di dunia maya. Terkadang, kami membuka video tentang TOEFL iBT di YouTube. Tujuan yang sama membuat kami tak sungkan berbagi informasi dan materi belajar.

Setengah jam berlalu terlalu cepat. Kami pun biasanya akan meneruskan obrolan sembari makan bersama di luar. Tak peduli orang lalu-lalang, tak peduli betapapun lamanya kami merangkai kalimat, kami tetap berbahasa Inggris – atau mungkin sebenarnya Globish. Ha!

Belum lagi mengikuti TOEFL iBT, saya dapat informasi tentang beasiswa S2 Kementerian Komunikasi dan Informatika. Beasiswa ini mensyaratkan TOEFL ITP (Institutional Testing Program) dan juga TPA (Tes Potensi Akademik). Batas akhir pendaftaran adalah akhir Februari. Setelah mencari informasi tentang kedua tes tersebut, saya segera mendaftarkan diri untuk mengikuti TOEFL ITP di Universitas Indonesia Salemba pada Kamis, 9 Februari, serta TPA di Koperasi Bappenas pada Sabtu, 11 Februari. Lengkap sudah tes di dua minggu pertama Februari.


TOEFL iBT – 5 Februari 2012

Minggu pagi. Saya gugup sejak malam sebelumnya. Tes ini penting untuk saya. Bukan saja karena biayanya yang mahal, tapi tes ini juga menjadi pintu pertama untuk mimpi-mimpi saya. Seorang sahabat memberikan kartu ucapan untuk menyemangati. Andai saja dia tahu jika selembar kartu itu telah melecutkan semangat dan harapan melebihi keyakinan yang saya miliki saat itu. Terima kasih. Terima kasih.


Doa juga meluncur deras dari bapak-ibu. Ratusan kilometer jaraknya, doa yang dikirimkan menjadi serupa tameng untuk menghancurkan pikiran-pikiran buruk. Terima kasih. Terima kasih.

Saya sampai di Plasa Sentral sekitar pukul 8. Sudah banyak orang yang mengantri, termasuk beberapa warga negara Korea dan Republik Rakyat Cina. Kami diberi nomor pendaftaran, diberi formulir untuk diisi, menunggu giliran untuk difoto, dan langsung masuk untuk mulai mengerjakan tes. Dengan begitu, setiap orang punya start yang berbeda-beda untuk memulai tes.

Saya masuk jam 9 kurang. Teman kantor sudah masuk lebih dulu. Saya duduk di deret paling kanan, baris pertama di depan. Di samping kiri saya masih kosong. Beberapa orang sudah berbicara keras-keras – saya ketahui kemudian jika mereka sedang cek suara. Saya kembali gugup. Sama seperti yang lain, sebelum dimulai, ada cek untuk mengetes suara lewat headset. Bahkan dari cek sederhana itu pun, suara saya sudah gemetar.

Selesai cek suara, tes yang sebenarnya dimulai.

Tes pertama adalah Reading. Bacaan pertama membuat saya panas-dingin. Hilang sudah konsentrasi saya. Bahasanya sukar dipahami. Lima menit mencerna isi bacaan seperti berjam-jam, sementara timer yang ada di sudut kanan atas terus menghitung mundur. Saya bolak-balik membaca untuk memastikan jawaban yang benar. Cara itu tidak efektif karena waktu saya berkurang banyak di bacaan pertama. Timer semakin membuat saya gelisah.

Selesai di bacaan pertama, saya mulai mengerjakan bacaan selanjutnya. Ah, lebih mudah! Begitu juga bacaan yang lainnya. Tapi waktu saya sudah terlanjur dihabiskan di bacaan pertama. Saya tak punya waktu lagi untuk terus mencocokkan bacaan dengan jawaban. Ketika timer sudah menunjukkan 00:00, saya sudah pasrah dengan hasil tes Reading.

Masih ada tiga tes lagi, mungkin ketiganya akan lebih baik hasilnya. Saya pikir begitu. Semangat saya masih menyala meski sedikit meredup. Andai saya tahu tes selanjutnya jauh lebih membuat frustasi.

Tes Speaking jadi yang kedua. Orang-orang sudah ramai menjawab tes ini. Seorang pemuda duduk di kursi sebelah saya. Dia baru saja mulai tes yang pertama. Pertanyaan pertama mudah saja sebenarnya, tapi saya terlanjur grogi. Jawaban saya didengar dimana-mana – minimal oleh peserta tes di samping, dan saya pun bisa mendengar jawaban yang lainnya. Bagaimana kalau jawaban saya konyol? Bagaimana kalau nanti tiba-tiba saya diam karena tak tahu harus bicara apa? Duh! Perempuan di belakang saya menjawab dengan Bahasa Inggris yang fasih dan meyakinkan. Tingkat percaya diri saya langsung terjun bebas.

Meskipun begitu, saya tahu saya harus terus berbicara. Waktu yang pendek membuat saya berbicara apa saja yang ada di otak. Tak peduli lagi dengan grammar, saya terus bicara. Di akhir tes Speaking, harapan saya untuk mencapai nilai 79 – nilai yang ditetapkan untuk mendaftar STUNED – hilang sudah. Pikiran saya separuh menyerah di separuh tes TOEFL ini. Saya anggap tes ini sebagai uji coba saja untuk mengukur kemampuan.

Ada jeda 10 menit sebelum tes selanjutnya. Saya sempat bertemu teman kantor di luar ruangan. Dia mengeluhkan hal yang sama. Entah kenapa, saya merasa jadi lebih baik. Setidaknya, tak hanya saya saja yang menganggap tes ini sulit.

Masuk ke ruangan lagi, saya sudah lebih rileks. Tes Listening tak begitu susah. Percakapan yang dibuat senormal mungkin, membuat saya tak kesulitan menjawab pertanyaan. Saat tes berlangsung, orang sebelah saya baru mulai tes Speaking. Suaranya beradu dengan suara tes di headset. Butuh konsentrasi penuh untuk terus fokus pada tes. Begitu pun, saya masih bisa mencuri-curi dengar jawabannya. Semuanya lebih bagus dari jawaban saya. Dia menjawab dengan bahasa yang sederhana namun jelas. Lain kali, akan saya tiru cara dia menjawab.

Tes terakhir adalah Writing. Saya lebih santai di tes ini. Saya bisa menyelesaikan jawaban sesuai dengan jumlah kata yang disyaratkan. Waktu saya masih tersisa beberapa menit untuk tes ini, yang saya anggap sebuah kemewahan; mengingat di tes yang lain saya selalu kehabisan waktu. Jam 12 kurang, saya sudah menyelesaikan semua tes.

Saya keluar ruangan dengan perasaan antara lega dan tak yakin. Apapun hasilnya nanti, setidaknya saya sudah mencoba yang terbaik untuk saat itu.

Ps. Masih ada dua tes lagi menunggu di minggu berikutnya. Saya akan tuliskan keduanya di postingan terpisah agar tidak terlalu panjang.

4 comments:

  1. makasih mba Anggie :) saya fatimah jg mau ngejar2 beasiswa mulai tahun ini, terus menulis ya..saya jadi tambah semangat :). Entah Stuned / NFP, Semoga berhasil mendapat yg terbaik !!

    ReplyDelete
  2. Semangat! Semoga sukses yaaa! :) Saya juga mau cari-cari beasiswa lagi untuk tahun depan :)

    ReplyDelete
  3. wah, postingan mbak keren, saya yang tadinya baca serius jadi senyum2 sendiri, hampir sama pngalamannya dengan saya :D
    salam kenal mbak anggie, saya sari, scholarship hunter juga kyak mbak :)

    ReplyDelete
  4. Halo Mbak Sari, tetap semangat mencari-cari beasiswa ya.. Kalau sungguh-sungguh, pasti bisa! :)

    ReplyDelete