Sabtu, 20 April 2013. Pukul 4 pagi, taksi Bluebird sudah ada
di depan kosan. Masih mengantuk sisa semalam, saya melaju menuju
Soekarno-Hatta. Radio yang disetel memutar lagu-lagu yang easy listening. Ketika Breathless
dari The Corrs muncul di pagi itu, saya tahu bahwa hari itu adalah hari
baik untuk saya.
Sekitar setengah jam kemudian, saya sudah sampai di Terminal
3 Soekarno-Hatta. Counter check in Mandala
belum buka, jadi saya duduk-duduk saja melihat orang-orang di sekitar. Jam 5
lewat sedikit, saya sudah bisa check in dan
dua jam kemudian, saya sudah di atas pesawat menuju Singapura.
Di Mandala, penumpang hanya diberi satu Beng-Beng. Saya ingin
pesan Nasi Lemak, lupa kalau pesawat yang saya tumpangi bukan AirAsia. Saya
duduk pinggir jendela, menuliskan kartu-kartu kecil untuk saya selipkan di buku
buat Hayley. Satu setengah jam tak terasa lama. Landing sangatlah smooth, nyaman
sekali. Setelah melewati imigrasi dan mampir sebentar ke Times, saya berjalan
menuju MRT Changi. Oya, Mandala ada di Terminal 2 Changi, begitu juga dengan
MRT. Artinya, saya tak perlu repot-repot menggunakan skytrain untuk menuju ke sana.
Sampai di MRT Changi, saya berniat mengisi kartu EZlink yang
saya pinjam dari teman. Saat itulah saya mendengar seseorang memanggil-manggil
nama saya. Terpisah oleh semacam pembatas, saya lihat Mitha berdiri memberikan
petunjuk dimana saya harus mengisi ulang kartu. Mengetahui bahwa saya buta peta
Singapura, Mitha sengaja menjemput saya di Changi.
Dari Changi, kami naik MRT menuju Bugis. Ini pertama kali
saya naik MRT di Singapura. Petunjuknya sangat jelas, lebih mudah dan tertib
dari yang pernah saya rasakan di Jepang. MRT di Singapura juga lebih aman, ada
pembatas antara penumpang yang hendak masuk dan keretanya itu sendiri. Jadi,
kemungkinan seseorang terjatuh ke rel adalah nol.
Sampai Stasiun Bugis, kami harus berjalan sepuluh menit
menuju ABC Hostel. Siang itu Mitha sudah check
out, digantikan oleh saya yang check
in. Kamar yang saya tempati sempit dengan empat tempat tidur. Kamar gelap
ketika saya masuk. Seseorang di kasur atas sedang memainkan laptopnya.
Sementara dua kasur bawah tertutupi oleh kain sehingga saya tak tahu apakah ada
orang tidur di situ. Menggantikan Mitha, saya dapat kasur atas di sebelah
kanan. Saya tak sempat mencobanya. Yang saya lakukan hanyalah menaruh tas di
lemari bawah dan berganti pakaian.
Matahari terik ketika kami keluar siang itu. Mitha mengajak
ke Masjid Sultan dekat hostel. Masjid itu adalah salah satu landmark penting di Singapura. Melihat
banyak penjual souvenir di
sekitarnya, saya yakin masjid ini adalah salah satu destinasi bagi turis
muslim. Dari Masjid Sultan, kami lanjut ke Bugis Street. Mitha memborong kaos
di situ.
Dari Bugis Street, kami langsung ke Stasiun Bugis. Tujuan
kami adalah Orchard. Karena sudah siang, kami memutuskan untuk makan siang
terlebih dulu di foodcourt sebuah
mall. Saya pesan sate ayam, Mitha pesan sayur dan ikan asam manis. Dengan harga
berkali lipat lebih mahal, sate yang saya pesan tak lebih enak dari sate
pinggir jalan di Indonesia.
Saat makan siang itu, sebuah kesadaran datang serta-merta.
Menikmati momen sekarang, itu yang
saya rasakan. Mungkin chapter tentang
Zen a la Francaise dari Bonjour, Happiness! masih lekat di
ingatan. Saat pertama mengenal Mitha dua belas tahun yang lalu, tak pernah
terlintas sedikitpun bahwa pada suatu ketika kami akan duduk makan siang di
sebuah mall di Orchard, Singapura. Mitha adalah teman les Bahasa Inggris saya
saat SMP. Bertemu hanya dua kali dalam seminggu dalam waktu tak lebih dari dua
tahun, kami masih berteman baik sampai sekarang. Lebih baik bahkan, dibanding
teman-teman yang saya temui setiap hari di sekolah. Ketika saya melanjutkan SMA
di Tegal, Mitha memutuskan mengambil sekolah farmasi di Bandung. Kami saling
berkirim surat, dan ya, Mitha adalah sahabat pena pertama saya. Mitha kuliah di
Bandung, sementara saya mendapat PMDK untuk kuliah di Purwokerto. Sekarang
Mitha bekerja di BSD, saya di Jakarta Selatan. Lucu ketika menyadari bahwa kami
sama-sama punya passion untuk
jalan-jalan, sesuatu yang tak pernah nampak dalam tiap-tiap surat yang kami
kirim.
Sekian tentang sahabat saya itu.
Setelah makan siang, tujuan kami – saya – adalah St. Regis
Hotel. Dari peta yang saya baca, St. Regis berada di Tanglin Road, dekat dengan
Orchard. Payahnya, saya lupa membawa peta ke sana yang sudah sengaja saya print. Jadilah kami bertanya-tanya pada
empat orang yang berbeda.
Dari seseorang yang meyakinkan, ia bilang hanya butuh waktu
10-15 menit dari tempat kami berada ke St. Regis. Itu artinya setengah jam atau
lebih, kata Mitha. Orang Singapura terbiasa berjalan cepat, jadi estimasi waktu
mereka lebih sebentar dari kita, Mitha melanjutkan.
Benar saja, sampai 15 menit kemudian, tak ada tanda-tanda St.
Regis. Hotel sebesar itu harusnya
sudah bisa terlihat dari tempat kami melangkahkan kaki. Kaki sudah mulai terasa
pegal. Dehidrasi tingkat tinggi. Baju sudah lengket dengan badan, rambut
berantakan. Panas matahari juga tidak membantu. Kalau bukan untuk mengantar
kado buat Hayley, mungkin saya masih duduk di dalam mall dengan AC sejuk. Tapi
kalau bukan karena Hayley, saya mungkin tidak berada di Singapura saat itu.
Ah, senangnya ketika akhirnya
saya melihat gedung bertuliskan St. Regis. Saya sudah sampai sejauh ini,
saya harus pastikan buku ini sampai ke tangan Hayley. Di depan pintu masuk, ada
beberapa orang petugas hotel. Saya katakan bahwa saya berasal dari Indonesia,
berniat menitipkan buku untuk Mr. Anthony.
Di luar perkiraan, mereka menyuruh saya dan Mitha masuk ke
dalam hotel, ke bagian concierge. AC
yang dingin disambut gembira badan yang sedari tadi basah oleh keringat. Kami
pasti terlihat paling berantakan di dalam sana! Seorang petugas berwajah Melayu
mendengarkan dengan sabar penjelasan saya. Ia meminta forward email dari Mr. Anthony untuk saya. Ketika saya bilang
padanya saya tak punya akses internet, ia memberikan password wifi St. Regis.
Acara malam nanti bukanlah konser, melainkan gala dinner.
Petugas itu bilang SSO menyewa 6 lantai kamar, namun tak bisa memastikan apakah
Hayley ada di salah satu kamar itu. Buku sudah diberikan, misi sudah selesai.
Saya berfoto sebentar di depan St. Regis sebelum kembali ke Orchard.
Dari Orchard, kami naik MRT menuju Universal Studio. Niat
kami hanya berfoto di sana. Tidak mungkin kalau kami sampai harus masuk ke
dalamnya. Ke Universal Studio saya yakin butuh waktu seharian. Kami tidak punya
waktu sebanyak itu.
Bola dunia lambang Universal Studio dipenuhi orang-orang yang
ingin berfoto di depannya, tak terkecuali kami. Bertemu rombongan sesama orang
Indonesia, kami saling minta gantian difoto.
Cuma sebentar kami di Universal Studio. Kami diburu waktu
untuk pergi ke Singapore Flyer. Sudah sore ketika kami sampai di sana.
Singapore Flyer adalah highlight jalan-jalan
kami hari itu. Entah dengan Mitha, tapi tujuan saya menaiki Singapore Flyer
adalah karena ia sama seperti London Eye-nya Inggris.
Antrian tidak panjang ketika kami membeli tiket. Dengan harga
sekitar 260 ribu rupiah untuk 30 menit, Singapore Flyer memang terbilang mahal.
Tapi apa sih yang murah di Singapura? Sebelum sampai di kapsul, kami mesti
melewati sebuah lorong bergaya futuristik.
Ketika akhirnya naik, kami satu kapsul dengan rombongan
keluarga bule, sepasang suami-istri dari Timur Tengah (sang istri bercadar),
sepasang lelaki dan perempuan muda dari Asia, seorang kakek, dan beberapa wajah
oriental lainnya. Saya dan Mitha memotret-motret, kadang ngeri melihat ke bawah
sana.
Melihat Singapura yang maju dan tertib, saya juga ingin
Indonesia sama maju dan tertibnya. Memang tak bisa disamakan benar, Indonesia jauh
lebih luas dengan penduduk berkali-kali lipat lebih banyak. Masalah Indonesia
lebih banyak, tapi saya mau bersama-sama memajukan negeri ini.
Keluar dari Singapore Flyer, senja mulai turun. Saya pikir
kami akan kembali ke hostel untuk mengambil ransel yang Mitha titipkan. Ternyata
Mitha masih ingin memanfaatkan waktu yang tinggal sedikit itu untuk pergi ke
Merlion. Jadilah kami berjalan cepat-cepat ke Merlion. Sebenarnya Mitha sih
yang berjalan cepat, telapak kaki saya sudah sakit hingga terus mengekor di
belakang.
Singapura ketika hari sudah gelap terlihat lebih indah. Atau
mungkin ini efek saya baru pertama kali ke Merlion di malam hari. Gedung-gedung
menghias diri dengan lampu-lampu. Seandainya saja Mitha tak harus pulang ke Jakarta
malam itu.
Dari Merlion, kami kembali pulang melewati Esplanade. Di hari
pertama Mitha di Singapura, ia mendapat diskon tiket untuk menonton pertunjukan
Octopus di sana. Kami tak bicara banyak dalam perjalanan pulang. Sudah sangat
lelah, dan Mitha, ia mesti sampai Changi satu jam sebelum take off. Melihat jam di tangan, rasanya waktu yang ia sisakan
untuk perjalanan dari Bugis ke Changi sangatlah mepet. Belum lagi kereta harus
transit dulu di Tanah Merah.
Mitha hanya sebentar di ABC Hostel. Ia memasukkan kaos-kaos
yang ia beli ke ranselnya, memakai jaket, dan langsung kembali ke Stasiun Bugis
untuk menuju Changi. Saya titipkan kamera ke petugas jaga di ABC, saya antar
Mitha sampai Bugis. Mitha sudah menjemput saya di Changi. Rasanya keterlaluan
kalau saya tak sampai mengantarnya, minimal sampai Bugis.
Mitha berkejaran dengan waktu. Ia melambaikan tangan
sebentar, kemudian masuk ke dalam Stasiun Bugis. Saya tunggu sampai ia hilang
dari pandangan, baru saya ke Bugis Junction untuk makan malam. Yoshinoya saya
pilih malam itu. Yoshinoya belum pernah seenak itu.
***