Saya sampai
Kebumen sekitar pukul dua siang Sabtu itu. Syifa yang sibuk tak sempat menjemput
saya di stasiun. Saya bisa mengerti itu. Alih-alih, saya minta tolong Mbak Dina
untuk menjemput dan mengantarkan saya ke rumah Syifa.
Mbak Dina adalah
teman satu angkatan kami di Komunikasi. Kami seumuran, namun pembawaannya yang
tenang dan wise membuatnya dipanggil
‘mbak’ oleh beberapa teman di Komunikasi, termasuk saya. Ia juga tinggal di
Kebumen. Beberapa hari sebelumnya, segera setelah membeli tiket kereta, saya
hubungi Mbak Dina. Dan ia, dengan baik hati mau datang ke stasiun untuk
menjemput saya.
Rumah Syifa hanya
sekitar sepuluh menit dari Stasiun Kebumen. Saya membonceng motor Mbak Dina, diam-diam menikmati terpaan
angin yang menyentuh wajah, merasakannya dengan tangan.
Sampai di rumah
Syifa, ada sedikit perasaan yang mengganjal. Terakhir kali saya bertemu Syifa
adalah empat tahunan yang lalu. Ada banyak hal yang bisa berubah selama itu.
Ada banyak hal yang bisa berubah di rentang waktu itu.
Keraguan saya
rupanya tak beralasan. Syifa masih tetap hangat dan ceria, seperti dulu. Ia
masih tetap lucu dengan gaya komiknya. Bersama Mbak Dina, kami bertiga saling
cerita tentang empat tahun terakhir. Kami bercerita tentang
yang sudah berlalu dan cita-cita serta rencana kami di masa mendatang. Kami
ngobrol-ngobrol di lantai atas, sementara di lantai bawah hiruk-pikuk persiapan
pernikahan sudah terasa, ditambah pengajian para bapak di sore hari.
Malamnya, Mbak
Dina pamit pulang, sementara saya diajak Syifa untuk menginap di rumahnya.
Rumah yang saya maksud kali ini bukan rumah orang-tuanya, melainkan
rumahnya untuk tinggal bersama suaminya nanti. Awalnya kami ingin naik motor,
tapi karena Syifa lupa menaruh kuncinya - ya, dia bisa sepelupa itu - kamipun memutuskan naik becak-motor ke
sana.
***
Rumah Syifa tak
begitu jauh dari rumah orang tuanya. Dekat dengan Alun-alun Kebumen juga. Lima
belas menit berselang, calon suami Syifa datang, mengajak kami makan di luar.
Namanya Mas Arum. Saya baru pertama kali itu berkenalan dengannya. Mengetahui
saya akan melanjutkan studi di Belanda September nanti, ia bercerita tentang
adiknya yang juga sedang kuliah di sana; di kota yang kebetulan sama dengan
saya.
Syifa menawarkan
berbagai jenis kuliner di Kebumen, tapi saya sudah terlanjur ingin bakso.
Jadilah kami bertiga berputar-putar mencari warung bakso. Sudah hampir pukul
sembilan malam, rata-rata warung di Kebumen sudah hampir tutup. Untunglah masih
ada satu yang buka. Selesai makan, Mas Arum kembali mengantarkan kami pulang. Karena sudah sangat lelah
seharian itu – pun demikian dengan Syifa – kami langsung tidur sesampainya di
rumah.
***
Esoknya, saya bangun pagi-pagi. Saya kembali lagi ke Jakarta naik
kereta Sawunggalih pukul setengah delapan. Mas Arum dan Syifa mengantar saya ke
stasiun sepagian itu. Dua hari terasa cepat berlalu. Total waktu saya di
Kebumen hanya 17 jam. Dipotong tidur 7 jam, hanya 10 jam saya menikmati kota
ini – lebih sebentar dibanding total perjalanan yang memakan waktu sampai 15
jam.
Saya pulang ke Jakarta dengan perasaan
lega. Kalau menuruti istilah Sean Covey, simpanan
di Rekening Bank Pribadi saya pastilah bertambah banyak karena perjalanan
ini. Saya senang berhasil melepaskan diri dari kemungkinan menyesal karena tak
ke Kebumen di akhir pekan itu. Saya senang membuat teman baik saya merasa
senang. Lebih dari itu, saya senang karena sudah menepati janji pada diri
sendiri.