Jalanan lengang.
Bulan menggantung separuh. Deru becak-motor yang saya tumpangi
menimbultenggelamkan suara calon pengantin di samping saya, memaksanya
berbicara lebih keras.
“Ini sekolahku,
Njie. SMA-ku dulu,” ia menerangkan ketika kami melewati sebuah bangunan sekolah
di sisi kiri jalan.
Saya mengangguk, familiar dengan nama yang tertulis di
plang paling depan. SMA 1 Kebumen. Tentu saja, nama itu pernah menjadi bagian
dari percakapan-percakapan awal kami.
“Nanti kita juga lewat Gedung Setda. Untuk resepsi nikahan
nanti, Njie,” ia melanjutkan.
Seperti seorang guide wisata yang handal – dan teman
yang baik, ia menjelaskan setiap sudut di kotanya. Tempat kuliner di sini, Tugu
Lawet di situ. Saya hanya duduk mendengarkan, sesekali bertanya. Sesekali menyela.
***
Hari itu sendiri
– Sabtu, 15 Juni 2013 – masih surreal buat
saya. Tiga hari sebelumnya saya ada acara di Palembang, belum terpikir untuk
menghabiskan akhir pekan di Kebumen. Minggu-minggu sebelumnya sudah banyak saya
habiskan di luar kota, pun demikian dengan minggu-minggu yang akan datang. Saya
bayangkan akhir pekan itu akan saya habiskan untuk mengganti jatah tidur yang
berkurang.
Tapi seperti ada
yang salah kalau saya tidak menyempatkan diri ke Kebumen, bertemu dengan teman
baik yang sedang menanti salah satu momen paling penting di hidupnya. Calon
pengantin yang tadi saya sebut-sebut adalah Syifa, sahabat saya semasa kuliah.
Ia akan menikah tanggal 18 Juni, yang kebetulan jatuh di hari Selasa.
Karena kesibukan
di kantor, saya bahkan tak bisa cuti untuk menghadiri resepsinya. Saya katakan
itu pada Syifa ketika ia pertama kali memberi tahu saya rencana pernikahannya.
Tak apa, katanya. Justru ‘tak-apa’-nya itu yang membuat saya merasa bersalah.
Saya tahu tak mungkin hadir untuk tanggal 18, tapi Sabtu-Minggu sebelum hari-H
saya available. Tak ingin kehilangan
momen, saya mengubah rencana weekend, termasuk
membatalkan rencana nonton konser Di Atas Rata-Rata besutan Erwin Gutawa. Dua
hari menjelang Sabtu, saya pesan tiket online kereta Sawunggalih Jakarta –
Kebumen (pp) untuk dua hari.
Sabtu pagi pukul
tujuh, saya sudah duduk manis di kereta. Sawunggalih berangkat tepat waktu dari
Pasar Senen. Estimasi perjalanan panjang selama tujuh jam membuat saya membawa
dua buku dan mengisi penuh baterai iPod.
Selama ini saya
selalu melalui jalur utara untuk pulang ke rumah di Tegal. Perjalanan ke
Kebumen ini akan menjadi kali kedua saya naik kereta pada jalur selatan Jawa.
Yang pertama adalah Yogyakarta. Saat itu, saya berangkat malam hari sehingga tidak
bisa melihat-lihat pemandangan yang dilalui kereta. Kali ini berbeda, saya
berangkat di pagi hari. Pagi yang cerah, kalau saya boleh menambahkan.
Pemandangan
sepanjang jalan ternyata melampaui ekspektasi saya. Sebagai pecinta hijau sawah
dan pepohonan, saya dimanjakan dengan bentangan sawah dan ladang yang luas.
Warna-warni baju para petani seolah jadi corak tersendiri di antara hehijuan
itu. Buku yang saya baca tak beranjak dari halaman belasan. Kata-kata dalam
buku tak bisa membuat saya mengalihkan pandangan dari keindahan yang tertangkap
mata.
Saya sungguh
menikmati perjalanan ke Kebumen ini. Tiba-tiba bayangan merebahkan badan di
atas kasur tidak begitu menarik lagi. Saya lebih memilih perjalanan ini. Ketika
akhirnya kereta berhenti sebentar di Purwokerto, sekelebatan peristiwa mau tak
mau singgah. Kota ini pernah saya panggil ‘rumah’ selama empat tahun saya
kuliah di sana. Kota ini juga tempat saya menemukan teman sebaik Syifa.
***
Saya masih ingat
ketika pertama berkenalan dengan Syifa. Saat itu kami masih mahasiswa baru.
Saya baru punya sedikit teman, bisa dihitung dengan jari tangan sebelah kanan.
Saya sedang berjalan menuju kampus – menembus Lapangan Grendeng yang panas –
ketika seorang perempuan muda berjilbab mendahului saya dengan langkah terburu.
Langkahnya terhenti mendadak, ia membalikkan badan dan bertanya, “Anak Komunikasi kan?”
Ya, saya menjawab.
Kami saling berkenalan dan itu menjadi awal dari pertemanan kami.
“Pertemanan itu
seperti jodoh juga,” suatu kali Syifa pernah berkata. Itu seperti..well, seperti sudah digariskan. Syifa
selalu naik motor ke kampus. Hari itu, ketika kami berkenalan, motornya mogok
dan mengharuskannya berjalan kaki melewati Grendeng. Kalau saja.. kalau saja
hari itu motornya tidak mogok, Syifa tidak perlu panas-panasan berjalan kaki ke
kampus. Kami tidak akan berkenalan saat itu, mungkin tidak akan menjadi teman
baik, dan satu benang memori akan berubah jalan ceritanya.
Saya dan Syifa
nyaris selalu satu kelompok tugas, kecuali dosen yang memilihkan kelompok. Hang out kami berada di kisaran kampus
dan perpustakaan. Kami suka menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di
lorong-lorong perpustakaan UPT, membaca buku. Meminjam buku di perpustakaan
menjadi hobi kami, terutama ketika menghadapi musim ujian.
Kami akan saling
berdiskusi tentang materi kuliah yang diajarkan dosen, menjelaskan ketika yang
lainnya tak paham. Kami saling menyalin catatan, atau mencari teman lain dengan
catatan kuliah yang lebih lengkap. Ketika ada tugas membuat essay dengan tema yang sama, kami akan membaca tulisan satu sama
lain hanya ketika kami berdua telah
menyelesaikan essay masing-masing.
Dengan demikian, ide yang tertuang dalam essay
kami masih original, tak terpengaruh opini yang lain.
Pertemanan kami
juga tabah melewati masa-masa sulit. Mulai dari tugas membuat website yang
mengharuskan kami melewati dini hari di warnet, hingga film kamera analog yang
tak terpasang sempurna sehingga hunting foto
seharian sia-sia dan mengharuskan kami mengulang semuanya dari awal lagi. Kami
sudah melewati itu semua.
“Kalau bukan
karena berteman sama kamu,” kata Syifa suatu ketika, “mungkin aku gak akan
lulus cum laude.” Yang Syifa tidak
tahu, saya pun punya pikiran yang sama dengannya.
***
No comments:
Post a Comment