Friday, 19 July 2013

2 Hari untuk 1 Janji (ii)


Saya sampai Kebumen sekitar pukul dua siang Sabtu itu. Syifa yang sibuk tak sempat menjemput saya di stasiun. Saya bisa mengerti itu. Alih-alih, saya minta tolong Mbak Dina untuk menjemput dan mengantarkan saya ke rumah Syifa.

Mbak Dina adalah teman satu angkatan kami di Komunikasi. Kami seumuran, namun pembawaannya yang tenang dan wise membuatnya dipanggil ‘mbak’ oleh beberapa teman di Komunikasi, termasuk saya. Ia juga tinggal di Kebumen. Beberapa hari sebelumnya, segera setelah membeli tiket kereta, saya hubungi Mbak Dina. Dan ia, dengan baik hati mau datang ke stasiun untuk menjemput saya.

Rumah Syifa hanya sekitar sepuluh menit dari Stasiun Kebumen. Saya membonceng motor Mbak Dina, diam-diam menikmati terpaan angin yang menyentuh wajah, merasakannya dengan tangan.

Sampai di rumah Syifa, ada sedikit perasaan yang mengganjal. Terakhir kali saya bertemu Syifa adalah empat tahunan yang lalu. Ada banyak hal yang bisa berubah selama itu. Ada banyak hal yang bisa berubah di rentang waktu itu.

Keraguan saya rupanya tak beralasan. Syifa masih tetap hangat dan ceria, seperti dulu. Ia masih tetap lucu dengan gaya komiknya. Bersama Mbak Dina, kami bertiga saling cerita tentang empat tahun terakhir. Kami bercerita tentang yang sudah berlalu dan cita-cita serta rencana kami di masa mendatang. Kami ngobrol-ngobrol di lantai atas, sementara di lantai bawah hiruk-pikuk persiapan pernikahan sudah terasa, ditambah pengajian para bapak di sore hari.

Malamnya, Mbak Dina pamit pulang, sementara saya diajak Syifa untuk menginap di rumahnya. Rumah yang saya maksud kali ini bukan rumah orang-tuanya, melainkan rumahnya untuk tinggal bersama suaminya nanti. Awalnya kami ingin naik motor, tapi karena Syifa lupa menaruh kuncinya - ya, dia bisa sepelupa itu - kamipun memutuskan naik becak-motor ke sana.

***

Rumah Syifa tak begitu jauh dari rumah orang tuanya. Dekat dengan Alun-alun Kebumen juga. Lima belas menit berselang, calon suami Syifa datang, mengajak kami makan di luar. Namanya Mas Arum. Saya baru pertama kali itu berkenalan dengannya. Mengetahui saya akan melanjutkan studi di Belanda September nanti, ia bercerita tentang adiknya yang juga sedang kuliah di sana; di kota yang kebetulan sama dengan saya.

Syifa menawarkan berbagai jenis kuliner di Kebumen, tapi saya sudah terlanjur ingin bakso. Jadilah kami bertiga berputar-putar mencari warung bakso. Sudah hampir pukul sembilan malam, rata-rata warung di Kebumen sudah hampir tutup. Untunglah masih ada satu yang buka. Selesai makan, Mas Arum kembali mengantarkan kami pulang. Karena sudah sangat lelah seharian itu – pun demikian dengan Syifa – kami langsung tidur sesampainya di rumah.

***

Esoknya, saya bangun pagi-pagi. Saya kembali lagi ke Jakarta naik kereta Sawunggalih pukul setengah delapan. Mas Arum dan Syifa mengantar saya ke stasiun sepagian itu. Dua hari terasa cepat berlalu. Total waktu saya di Kebumen hanya 17 jam. Dipotong tidur 7 jam, hanya 10 jam saya menikmati kota ini – lebih sebentar dibanding total perjalanan yang memakan waktu sampai 15 jam.

Saya pulang ke Jakarta dengan perasaan lega. Kalau menuruti istilah Sean Covey, simpanan di Rekening Bank Pribadi saya pastilah bertambah banyak karena perjalanan ini. Saya senang berhasil melepaskan diri dari kemungkinan menyesal karena tak ke Kebumen di akhir pekan itu. Saya senang membuat teman baik saya merasa senang. Lebih dari itu, saya senang karena sudah menepati janji pada diri sendiri.

No comments:

Post a Comment