Ketika
tahu Sharon Corr
akan datang ke Indonesia tanggal 24 September 2013, saya kesal dan emosi.
Masalahnya, beberapa hari sebelumnya saya bertolak ke Amsterdam. Jauh-jauh saya
sambangi Benua Eropa, ternyata Sharon malahan ke Jakarta.
Dulu ketika The Corrs
datang ke Jakarta di tahun 2001, saya masih SMP. Tidak punya uang untuk membeli
tiket konser, belum berani pergi ke Jakarta sendirian. Kini setelah saya sudah
kerja, tinggal di Jakarta, The Corrs memilih untuk hiatus. Sepertinya waktu suka
bermain-main dengan kami.
Sampai akhirnya, saya
dapat kabar kalau Sharon akan konser di Belanda pada pertengahan November.
Whoa! Tidak tanggung-tanggung, tujuh kota sekaligus! 6 November di Enschede, 7
November di Heerlen, 13 November di Eindhoven, 14 November di Haarlem, 16
November di Zwolle, 17 November di Rotterdam, dan 18 November di Bergen op
Zoom. Di antara ketujuh kota itu, hanya Zwolle yang cocok dengan jadwal saya
karena jatuh pada hari Sabtu. Saya langsung booking
tiket kelas 1. Saya dapat di baris 6 dari panggung, kursi nomor 10.
Booking tiket konser di sini lebih mudah daripada di Indonesia.
Saya hanya tinggal melakukan pembayaran secara online, kemudian langsung print
tiket. Di Indonesia, saya mesti menukar voucher
dengan tiket. Dan itu seringnya harus mengantri. Dua kali proses yang
melelahkan dan membuang-buang waktu. Mungkin ini inisiatif penyelenggara konser
di Indonesia supaya tiketnya tidak dipalsu. Well..
tetap saja itu merepotkan.
Saya berangkat dari
Stasiun Ede-Wageningen pukul 18:25. Perjalanan Ede-Wageningen ke Zwolle butuh
waktu sekitar satu jam. Konser dimulai pukul 20:15. Dari Ede-Wageningen, saya
mesti transit di Amersfoort selama empat menit. Empat menit! Saya lari-lari
dari platform 4B ke platform 1. Tanpa sadar, beanie saya jatuh ketika tap out
OV-Chipkaart. Saya baru sadar ketika sudah sampai di platform 1. Kereta sudah
datang. Terpaksa saya tinggal beanie kesayangan
saya.
Saya sampai Stasiun
Zwolle pukul 19:42. Ini kali pertama saya ke Zwolle. Sendirian pula. Tapi
transportasi yang aman, nyaman dan tepat waktu di sini membuat semuanya jadi
mudah, jadi serba teratur dan terencana. Website 9292.nl juga sangat membantu update jadwal kereta dan bis. Dari
stasiun, saya naik bis tujuan De Spiegel Theatre.
De Spiegel terletak
persis di seberang halte bis. Gedungnya didominasi warna ungu, dengan jembatan
untuk menuju ke sana. Ketika saya masuk, ada dua orang menyambut di pintu
paling depan. Mereka menanyakan tiket, melihatnya sekilas, kemudian
mempersilahkan saya masuk. Mereka bahkan tidak men-scan barcode yang ada pada tiket.
Di dalam belum terlalu
ramai. Padahal sudah pukul delapan. Saya menaruh jaket di tempat penitipan.
Tidak terasa ada tanda-tanda Sharon akan konser di sana. Tidak ada banner, spanduk atau apalah. Satu-satunya
yang menunjukkan Sharon konser di situ adalah merchandise corner yang menjual pernak-pernik Sharon. Saya membeli
CD The Same Sun seharga 15 EUR.
Menjelang konser dimulai,
orang-orang semakin ramai berdatangan. Pukul 20:20, pintu menuju panggung
dibuka. Saya cari deret 6 nomor 10. Di sebelah saya, ada perempuan muda yang
sepertinya juga datang sendirian ke konser. Saya ajak ngobrol dia. Ketika saya
tanya apakah dia fans The Corrs juga,
dia jawab, “OF COURSE!”. Tapi bukan itu yang menarik. Sambil berkata demikian,
dia menunjukkan tato di lengan kanannya. Tato logo The Corrs! Saya langsung
mengajak dia tos. Seriusan.
Saya selalu suka bertemu
dengan orang-orang yang nge-fans dengan
The Corrs. Itu seperti bertemu kawan lama. Seperti ada bonding yang mempersatukan. Dan bonding
itu adalah musik. The Corrs.
Belakangan saya tahu
kalau nama perempuan muda tadi adalah Yvonne. Dia datang naik mobil dua jam
dari Jerman. Gilanya, dia mengikuti hampir semua konser Sharon di Belanda.
Setelah Zwolle, dia akan pergi ke Rotterdam untuk menonton konser Sharon di
sana. WOW!
Dia sempat bercerita
kalau dia sudah pernah menonton konser The Corrs as in group. +10 tambahan untuk Yvonne! Ketika saya cerita tentang
video yang dibuat oleh Shiela dkk. untuk Sharon tahun 2011 yang lalu (well, saya ikut ambil bagian sedikit),
Yvonne bilang dia pernah melihatnya. See,
The Corrs unite us all!
Anyway, akhirnya konser dimulai juga. Opening-nya biasa saja. Sharon masuk ke panggung dengan band-nya,
kemudian mulai menyanyi.
Sejujurnya, saya punya mixed feeling tentang konser ini. Separuh
hati saya belum rela kalau The Corrs hiatus,
sementara Sharon dan Andrea masing-masing bernyanyi solo. Dua-duanya punya
album solo, tapi saya tak pernah benar-benar menyukainya seperti saya menyukai
album The Corrs. Saya lebih suka suara Andrea, tapi saya lebih cocok dengan
lagu-lagunya Sharon. Album Andrea yang saya punya hanya Lifeline, itupun karena ada opsi super deluxe dengan tanda-tangan Andrea. Album Sharon yang saya
punya hanya The Same Sun ini.
Ketika Sharon menyanyi di
atas panggung, berinteraksi dengan penonton, saya masih mengingatnya seperti
Sharon yang dulu. Yang manis dengan biolanya. Yang pendiam. Yang berdiri di
sisi kiri panggung… Darn! Saya masih
belum bisa move on…
Sharon yang saya lihat
sekarang adalah Sharon yang penyanyi. Oh, dia main biola juga. Masih menawan
dan anggun ketika memainkannya. Sharon juga bermain piano. Tapi sebagian besar,
yang saya lihat adalah Sharon sebagai penyanyi.
Iya, saya masih belum
bisa move on dari The Corrs. Makanya
ketika Sharon menyanyikan Radio dan So Young, saya senang bukan main.
Mendengar intro So Young saja membuat
saya ingin menangis.
Dari semua lagu baru
Sharon, hanya dua yang familiar buat saya, We
Could be Lovers dan Take a Minute. Sementara
itu, Yvonne di samping saya menyanyi konstan dari awal hingga akhir. Tanpa
suara sih. Tapi itu menandakan dia hapal semua
lagu-lagunya Sharon.
Meskipun ini pertama kali
saya mendengar lagu-lagu di album baru Sharon, saya ternyata suka dengan
musiknya. Favorit saya adalah Full
Circle. Saya sempat membayangkan kalau lagu itu dinyanyikan oleh Andrea. Oh well..
Sharon rajin menyapa
penonton, menceritakan kisah di balik sebuah lagu sebelum menyanyikannya; seperti
lagu You Say yang dibuat ketika dia
sedang marah atau Take a Minute yang
dibuat untuk lebih mengapresiasi waktu dengan anak-anaknya. Oya, uniknya ada sekelompok
penonton yang rajin mengikuti Sharon kemanapun dia pergi, hingga Sharon hapal
dan kenal dengan mereka. Well, Yvonne
rupanya punya teman. Mereka duduk di deretan paling depan. Ketika Sharon khusus
menyapa mereka dengan hangat, salah seorang dari mereka berteriak, “I love you more than The Corrs!” Sharon
tersenyum, menaruh tangan di dadanya. Pastilah dia sangat gembira!
Ada satu hal lagi yang
perhatikan soal konser di sini. Jarang ada orang yang memotret di tengah-tengah
konser, apalagi merekam video. Rata-rata orang di sini lebih menikmati
konsernya. Saya dan Yvonne mesti curi-curi foto, terutama di awal-awal lagu
atau ketika Sharon memainkan biolanya. Selain itu, kami segan memotret karena
memang tak banyak yang mengambil gambar.
Kapasitas panggung yang
tak terlalu besar dengan setting akustik juga mungkin berpengaruh. Suara klik
dari kamera bisa terdengar jelas. Tidak ada pemeriksaan kamera di sini. Yvonne
malahan membawa kamera DSLR-nya. Dulu ketika saya menonton konser David Foster
di Jakarta, kamera hybrid yang saya
bawa disita dan disuruh ditinggal di tempat panitia. Kamera hybrid lho, bukan kamera DSLR.
Saya mestinya pulang
pukul 21:30 karena takut kemalaman. Tapi nyatanya, saya masih tak mau beranjak
hingga konser berakhir. Pilihan yang tepat karena menjelang konser berakhir,
Sharon memainkan Joy of Life! JOY OF
LIFE!
Konser berakhir di atas
pukul sepuluh. Saya mestinya bisa menunggu untuk bertemu Sharon, tapi jadwal
kereta dan bis yang presisi membuat saya tak punya banyak waktu. Kalau saja
saya ke sana dengan seorang teman, pasti saya tak takut pulang sendirian tengah
malam.
Saya naik bis ke Stasiun
Zwolle pukul 22:49. Dari sana saya naik kereta menuju Ede-Wageningen dan
transit sebentar di Arnhem. Saya sampai Stasiun Ede-Wageningen pukul 00:11. Bis
terakhir ada pukul 00:26.
Saya pikir bis 88 menuju
Bornsesteeg akan sepi penumpang. Salah. Ternyata masih banyak orang berkeliaran
di jam-jam segitu. Bahkan ada orang-orang yang dengan santai bersepeda di
tengah udara minus derajat.
Saya sampai di dorm pukul 00:41. Heater sengaja tidak saya matikan ketika pergi sore tadi, jadi
kamar sudah hangat ketika saya masuk. Sebelum bersiap tidur, saya buka laptop. Saya
masukkan CD The Same Sun, saya
dengarkan track nomor 6, kemudian ke track nomor 2, 3 hingga saya setel semua
satu-satu. The Corrs memang sedang hiatus, entah sampai kapan. Tapi mestinya
saya bahagia karena ada dua Corr – atau kini seorang Corr – yang masih mau
bernyanyi.