Wednesday, 4 December 2013

Sinterklaas is Coming to Town!


Dari lantai 20 Bornsesteeg 1, saya bisa lihat permukiman di bawah saya tertutup kabut tebal. Saya cek accuweather.com; 5 derajat. Sigh. Kalau bukan karena tugas kuliah, rasanya malas keluar dari kamar yang hangat.

Hari itu, Sabtu 16 November 2013, saya mesti ke Wageningen Harbour untuk melihat Sinterklaas Festival. Dosen mewajibkan semua siswa untuk datang ke sana, terutama untuk mengamati perilaku orang-orang pada festival tersebut. Ini ada kaitannya dengan debat soal Zwarte Piet (Black Pete).

Sehari sebelumnya, dosen menyetel lagu-lagu bertema Christmas yang dinyanyikan oleh Zwarte Piet versi kartun. Kami diberi pepernooten, kue kecil bundar berwarna coklat. Rasanya manis dan harum kayu manis. Zwarte Piet bertugas memberikan kue-kue ini pada anak yang baik. Uniknya, cara memberikan kue itu adalah dengan dilempar. Kelas jadi ramai, beberapa pepernooten berhasil ditangkap, beberapa yang lain jatuh ke lantai.

Sinterklaas Festival diadakan setiap tahun menjelang Desember. Sinterklaas akan mengunjungi kota-kota di Belanda melalui pelabuhan naik kapal. Konon ceritanya dia datang dari Spanyol. Sinterklaas selalu datang ditemani para pembantunya, yaitu Zwarte Piet.

Nah, yang jadi perdebatan tiap tahunnya adalah mengenai sosok Zwarte Piet yang hitam, ikal, dan konyol. Kenapa harus hitam? Kenapa harus ikal? Kenapa harus konyol.. dan cenderung bodoh? Beberapa orang menganggap Zwarte Piet sebagai penjelmaan sosok orang kulit hitam yang harus melayani orang kulih putih, dalam hal ini terwakili oleh Sinterklaas. Ini dianggap rasisme oleh mereka. Ini dianggap menyakiti hati sekelompok orang. Sebelum saya pergi ke pelabuhan, saya baca tiga artikel dari dosen tentang debat tersebut.

Saya pakai baju berlapis dengan jaket tebal. Tak ketinggalan syal, sarung tangan, dan beanie. Itupun, begitu keluar dari dorm, badan masih menggigil.


Jam 1 siang, saya sampai di Centrum. Suasana festival sudah berasa meskipun suasana mendung. Anak-anak kecil berdandan ala Zwarte Piet atau Sinterklaas. Yang bergaya Zwarte Piet memakai topi warna-warni, malah ada yang wajahnya dicoreng hitam. Sementara yang menjadi Sinterklaas memakai topi kerucut tinggi berwarna merah, senada dengan jubah. Saya ikuti orang-orang, mereka pastilah juga punya niat yang sama ke pelabuhan.

 
Pelabuhan ada di ujung Wageningen Centrum. Meskipun Sinterklaas akan datang pukul 2, orang-orang sudah ramai berkumpul di sana. Dan yang saya maksud orang-orang di sini bukan hanya orang lokal Wageningen atau warga Belanda saja, tapi juga pendatang: Afrika, Asia, dan orang Eropa dari negara lainnya.

Suara musik khas festival sudah terdengar sejak saya melewati jalan utama Centrum. Saya coba cari teman sekelas, 404. Mereka pastilah ada di suatu tempat.






Pelabuhan di Wageningen kecil. Beda jauhlah dengan pelabuhan di kota asal saya di Tegal. Orang-orang sudah berkerumun. Anak-anak kecil menggoyang-goyangkan bendera kecil mengikuti alunan musik. Yang dewasa juga menikmati suasana ceria, sesekali ikut bernyanyi. Untuk sesaat, saya lupa tentang debat soal Zwarte Piet.

Setelah berkeliling, akhirnya saya berhasil mendapat spot strategis. Saya dapat posisi paling depan, sederetan dengan anak-anak kecil. Haha! Pelabuhan ada di bawah sana. Saya tak mau turun ke bawah, ngeri melihat tanah yang curam.

Ternyata musik selama festival dipersembahkan oleh Muziek Piet. Ini juga Zwarte Piet, tapi pintar main musik. Mereka berkeliling dengan terompet dan drum di pinggiran pelabuhan. Ada juga Muziek Piet yang bermain musik di atas kapal. Saya suka dengan lagu-lagunya yang ceria!

Hidup di Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim, perayaan Natal yang saya rasakan hanya ada di mall. Saya tak pernah masuk gereja, saya tak pernah tahu rasanya merayakan Natal. Beda dengan Lebaran. Menjelang Lebaran, suasananya sudah sangat terasa. Dimana-mana, terutama di kota saya. Jadi menikmati momen menjelang Natal di negara dengan agama penduduk mayoritas Katholik adalah pengalaman yang selalu seru buat saya. 






Akhirnyaaaa.. Sinterklass datang juga! Oiya, di kuliah hari sebelumnya, kami diberi-tahu bedanya Sinterklaas dan Santa Claus. Walaupun sama-sama lelaki, berbaju merah, berkulit putih, dan berjanggut putih, keduanya berbeda. Sinterklaas itu Dutch banget, Katolik banget, dengan topi kerucut bersalib, jubah merah, dan tongkat yang melengkung di ujung. Kalau Sinterklaas itu tidak gendut, Santa Claus kebalikannya: gembul. Topi Santa Claus punya bulatan kecil berwarna putih di ujungnya. Santa memakai sabuk hitam dan sepatu hitam. Dan oh, Santa juga membawa buntelan berisi hadiah untuk anak-anak. Kalau Sinterklaas naik kuda, Santa Claus naik kereta yang ditarik oleh rusa. Rupanya teman-teman di Indonesia juga banyak yang tidak tahu bedanya Sinterklaas dan Santa Claus. Lucunya, Sinterklaas lebih populer di Indonesia padahal yang dimaksud adalah Santa Claus.


Sinterklaas yang datang ke Wageningen selalu ditemani seorang Zwarte Piet kemana-mana. Sementara Piet yang lain membagi-baginya pepernooten untuk anak-anak. Anak-anak merangsek ke depan, minta bersalaman dengan Sinterklaas. Beberapa anak yang lebih kecil digendong orang tuanya supaya bisa bersalaman. 


Melihat tokoh yang dinanti datang, saya beranikan diri turun ke bawah. Licin. Kemiringan di atas 45 derajat tidak mudah untuk dilewati. Saya foto Sinterklaas, tak berniat mengajak salaman karena malu dengan anak-anak kecil di sekeliling saya.

Saya naik lagi ke atas melalui jalur yang lebih landai. Di sana, saya bertemu teman-teman sekelas. Pantas saja kami tak bertemu di tempat sebelumnya. Setelah bersalaman dengan anak-anak, Sinterklaas pergi naik kereta kuda dengan Zwarte Piet utamanya menuju kantor walikota. Sementara Zwarte Piet yang lain mengikuti dari belakang berjalan kaki.



Uniknya, anak-anak justru lebih condong ke Zwarte Piet daripada ke Sinterklaas. Simply karena Zwarte Piet memberi mereka pepernooten, dan Sinterklaas tidak. Mereka berlari-lari mengejar sambil berteriak, “Piet.. Piet.. PIET!!” dengan tangan menengadah. Ada anak kecil yang niat membawa kantong kecil warna coklat. Ada juga anak lain yang niat memungut pepernooten yang sudah jatuh di jalanan untuk dimakan.




Debat soal rasisme jadi tak relevan lagi, saya pikir. Anak-anak cinta Zwate Piet. Saya rasa mereka tak menerjemahkan Zwarte Piet sebagai budak dari Afrika seperti yang dipersoalkan. Sebagai penengah, ada versi lain soal Zwarte Piet ini. Disebutkan mereka berkulit hitam karena harus turun melalui cerobong asap untuk mengantarkan kado buat anak-anak. Ada pihak yang menginginkan festival itu dihapus. Well, mungkin mereka oversensitive saja.

No comments:

Post a Comment