Dari lantai 20
Bornsesteeg 1, saya bisa lihat permukiman di bawah saya tertutup kabut tebal.
Saya cek accuweather.com; 5 derajat. Sigh.
Kalau bukan karena tugas kuliah, rasanya malas keluar dari kamar yang
hangat.
Hari itu, Sabtu 16
November 2013, saya mesti ke Wageningen Harbour untuk melihat Sinterklaas
Festival. Dosen mewajibkan semua siswa untuk datang ke sana, terutama untuk
mengamati perilaku orang-orang pada festival tersebut. Ini ada kaitannya dengan
debat soal Zwarte Piet (Black Pete).
Sehari sebelumnya, dosen
menyetel lagu-lagu bertema Christmas yang dinyanyikan oleh Zwarte Piet versi
kartun. Kami diberi pepernooten, kue
kecil bundar berwarna coklat. Rasanya manis dan harum kayu manis. Zwarte Piet
bertugas memberikan kue-kue ini pada anak yang baik. Uniknya, cara memberikan
kue itu adalah dengan dilempar. Kelas jadi ramai, beberapa pepernooten berhasil ditangkap, beberapa yang lain jatuh ke lantai.
Sinterklaas Festival
diadakan setiap tahun menjelang Desember. Sinterklaas akan mengunjungi
kota-kota di Belanda melalui pelabuhan naik kapal. Konon ceritanya dia datang
dari Spanyol. Sinterklaas selalu datang ditemani para pembantunya, yaitu Zwarte
Piet.
Nah, yang jadi perdebatan
tiap tahunnya adalah mengenai sosok Zwarte Piet yang hitam, ikal, dan konyol.
Kenapa harus hitam? Kenapa harus ikal? Kenapa harus konyol.. dan cenderung bodoh? Beberapa orang
menganggap Zwarte Piet sebagai penjelmaan sosok orang kulit hitam yang harus
melayani orang kulih putih, dalam hal ini terwakili oleh Sinterklaas. Ini
dianggap rasisme oleh mereka. Ini dianggap menyakiti hati sekelompok orang. Sebelum
saya pergi ke pelabuhan, saya baca tiga artikel dari dosen tentang debat
tersebut.
Saya pakai baju berlapis
dengan jaket tebal. Tak ketinggalan syal, sarung tangan, dan beanie. Itupun, begitu keluar dari dorm, badan masih menggigil.
Jam 1 siang, saya sampai
di Centrum. Suasana festival sudah berasa meskipun suasana mendung. Anak-anak
kecil berdandan ala Zwarte Piet atau Sinterklaas. Yang bergaya Zwarte Piet
memakai topi warna-warni, malah ada yang wajahnya dicoreng hitam. Sementara
yang menjadi Sinterklaas memakai topi kerucut tinggi berwarna merah, senada
dengan jubah. Saya ikuti orang-orang, mereka pastilah juga punya niat yang sama
ke pelabuhan.
Pelabuhan ada di ujung Wageningen
Centrum. Meskipun Sinterklaas akan datang pukul 2, orang-orang sudah ramai
berkumpul di sana. Dan yang saya maksud orang-orang di sini bukan hanya orang
lokal Wageningen atau warga Belanda saja, tapi juga pendatang: Afrika, Asia,
dan orang Eropa dari negara lainnya.
Suara musik khas festival
sudah terdengar sejak saya melewati jalan utama Centrum. Saya coba cari teman
sekelas, 404. Mereka pastilah ada di suatu tempat.
Pelabuhan di Wageningen
kecil. Beda jauhlah dengan pelabuhan di kota asal saya di Tegal. Orang-orang
sudah berkerumun. Anak-anak kecil menggoyang-goyangkan bendera kecil mengikuti
alunan musik. Yang dewasa juga menikmati suasana ceria, sesekali ikut
bernyanyi. Untuk sesaat, saya lupa tentang debat soal Zwarte Piet.
Setelah berkeliling,
akhirnya saya berhasil mendapat spot strategis. Saya dapat posisi paling depan,
sederetan dengan anak-anak kecil. Haha! Pelabuhan ada di bawah sana. Saya tak
mau turun ke bawah, ngeri melihat tanah yang curam.
Ternyata musik selama
festival dipersembahkan oleh Muziek Piet. Ini juga Zwarte Piet, tapi pintar
main musik. Mereka berkeliling dengan terompet dan drum di pinggiran pelabuhan.
Ada juga Muziek Piet yang bermain musik di atas kapal. Saya suka dengan
lagu-lagunya yang ceria!
Hidup di Indonesia dengan
mayoritas penduduk muslim, perayaan Natal yang saya rasakan hanya ada di mall.
Saya tak pernah masuk gereja, saya tak pernah tahu rasanya merayakan Natal.
Beda dengan Lebaran. Menjelang Lebaran, suasananya sudah sangat terasa.
Dimana-mana, terutama di kota saya. Jadi menikmati momen menjelang Natal di
negara dengan agama penduduk mayoritas Katholik adalah pengalaman yang selalu
seru buat saya.
Akhirnyaaaa.. Sinterklass
datang juga! Oiya, di kuliah hari sebelumnya, kami diberi-tahu bedanya
Sinterklaas dan Santa Claus. Walaupun sama-sama lelaki, berbaju merah, berkulit
putih, dan berjanggut putih, keduanya berbeda. Sinterklaas itu Dutch banget, Katolik banget, dengan topi kerucut bersalib, jubah merah, dan tongkat yang
melengkung di ujung. Kalau Sinterklaas itu tidak gendut, Santa Claus
kebalikannya: gembul. Topi Santa Claus punya bulatan kecil berwarna putih di
ujungnya. Santa memakai sabuk hitam dan sepatu hitam. Dan oh, Santa juga
membawa buntelan berisi hadiah untuk anak-anak. Kalau Sinterklaas naik kuda,
Santa Claus naik kereta yang ditarik oleh rusa. Rupanya teman-teman di
Indonesia juga banyak yang tidak tahu bedanya Sinterklaas dan Santa Claus.
Lucunya, Sinterklaas lebih populer di Indonesia padahal yang dimaksud adalah Santa Claus.
Sinterklaas yang datang
ke Wageningen selalu ditemani seorang Zwarte Piet kemana-mana. Sementara Piet
yang lain membagi-baginya pepernooten untuk
anak-anak. Anak-anak merangsek ke depan, minta bersalaman dengan Sinterklaas.
Beberapa anak yang lebih kecil digendong orang tuanya supaya bisa bersalaman.
Melihat tokoh yang
dinanti datang, saya beranikan diri turun ke bawah. Licin. Kemiringan di atas
45 derajat tidak mudah untuk dilewati. Saya foto Sinterklaas, tak berniat
mengajak salaman karena malu dengan anak-anak kecil di sekeliling saya.
Saya naik lagi ke atas
melalui jalur yang lebih landai. Di sana, saya bertemu teman-teman sekelas.
Pantas saja kami tak bertemu di tempat sebelumnya. Setelah bersalaman dengan
anak-anak, Sinterklaas pergi naik kereta kuda dengan Zwarte Piet utamanya
menuju kantor walikota. Sementara Zwarte Piet yang lain mengikuti dari belakang
berjalan kaki.
Uniknya, anak-anak justru
lebih condong ke Zwarte Piet daripada ke Sinterklaas. Simply karena Zwarte Piet memberi mereka pepernooten, dan Sinterklaas tidak. Mereka berlari-lari mengejar
sambil berteriak, “Piet.. Piet.. PIET!!” dengan tangan menengadah. Ada anak
kecil yang niat membawa kantong kecil warna coklat. Ada juga anak lain yang
niat memungut pepernooten yang sudah
jatuh di jalanan untuk dimakan.
Debat soal rasisme jadi
tak relevan lagi, saya pikir. Anak-anak cinta Zwate Piet. Saya rasa mereka tak
menerjemahkan Zwarte Piet sebagai budak dari Afrika seperti yang dipersoalkan. Sebagai
penengah, ada versi lain soal Zwarte Piet ini. Disebutkan mereka berkulit hitam
karena harus turun melalui cerobong
asap untuk mengantarkan kado buat anak-anak. Ada pihak yang menginginkan
festival itu dihapus. Well, mungkin
mereka oversensitive saja.
No comments:
Post a Comment