Sebagai anak pertama
yang lahir di pertengahan 80-an, saya mengalami masa-masa ketika rumah kami yang
semi-papan bocor saat hujan dan tak punya toilet sehingga mesti ke WC umum
dekat sungai. Saya ingat TV kami masih hitam-putih ketika tetangga sudah punya
TV berwarna, dan kelambu yang bolong mesti dijahit supaya nyamuk tidak
menggigit kami. Saya tak lupa ketika kami harus menimba di sumur untuk mengisi
kolam dan menggosok badan dengan kombinasi sabun dan batu kali ketika mandi. Ketika
ingin mandi dengan air hangat, kami mesti menaruh air di sebuah bak pada tempat
terbuka sesiangan supaya hangat terkena sinar matahari.
Ketika saya punya
adik yang pertama, kami hampir berbagi semuanya berdua: dari sebutir telur
hingga sebungkus mie instan dan juga semangkuk bakso ataupun sepotong paha
ayam. Kami sering bertengkar karena menganggap jatah yang lain lebih besar atau
lebih banyak. Hingga akhirnya kami punya solusi: dia yang membagi tidak bisa
memilih. Dengan demikian, siapapun yang membagi jadi dua akan berusaha adil dan
memastikan dua porsi itu sama besarnya atau sama banyaknya.
Kedua orang tua saya
guru SD. Kehidupan kami tak berlebihan. Bapak-ibu mengajarkan hidup sederhana
pada kami anak-anaknya. Ketika saya kelas 1 SMP, saya mulai diberikan uang
bulanan sebesar Rp20.000. Dibagi per hari, jatah harian saya sekitar Rp600.
Sebagai gambaran, semangkuk bakso di kantin sekolah saat itu Rp900. Kalau
sedang ingin makan bakso, saya sengaja makan di hari Jumat karena istirahatnya cuma
sekali.
Ketika saya SMP pula,
Westlife sedang sangat nge-hits. Saya
ingin membeli kasetnya karena cewek-cewek populer di sekolah sudah punya kaset
itu. Kami membicarakannya hampir setiap hari. Harga album Deluxe Westlife sama seperti jatah bulanan saya. Butuh waktu
berbulan-bulan menabung kalau ingin membelinya. Pada suatu malam, saya merajuk
minta dibelikan kaset itu. Ketika usaha itu gagal, saya bilang pada ibu ingin
meminjam uang dan ibu bisa memotong uang bulanan saya selama beberapa bulan.
Itu adalah konsep mencicil pertama yang saya ajukan. Mungkin melihat saya
sedemikian ngotot, ibu tak tega. Pada akhirnya saya dibelikan kaset dan uang
bulanan saya tetap utuh.
Orang tua saya
memang tak membiasakan selalu menuruti kemauan kami. Saya dan adik-adik mesti
berusaha terlebih dulu untuk membeli barang yang kami inginkan. Kami diajarkan
cara menabung baik lewat tabungan kaleng ataupun di bank. Saya ingat membeli
buku notes kecil, topi, dan pulpen warna pink dengan uang sendiri hasil
menabung. Topi pertama yang saya beli seharga Rp3.500. Warnanya didominasi biru
dan hitam dengan gambar kucing Sylvester. Saya bangga setengah mati ketika
memakainya.
Untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, saya tahu bapak-ibu tidak hanya mengandalkan gajinya
saja. Selain mengajar, bapak saya juga menjadi pengurus koperasi guru dan super
sibuk menjelang akhir tahun. Dan ibu…ibu melakukan apapun untuk menambah
penghasilan.
Saya ingat ibu
membawa jualan baju ke sekolahnya atau saat warga RT berkumpul untuk arisan.
Dulu kami mempunyai pohon cermai di samping rumah, dan ibu dengan cerdik
membuatnya jadi manisan dan menjualnya ke warung-warung kecil. Manisan cermai
ibu lebih mahal dibanding manisan sejenis karena ibu selalu memakai gula asli
untuk membuatnya. Pun ketika kami pada akhirnya membeli lemari es, ibu
memanfaatkan freezer untuk membuat es
mambo. Ibu selalu mengatakan pada kami bahwa ibu memilih bahan-bahan yang baik
untuk manisan cermainya atau es mambonya. Ibu melakukannya seperti ia
membuatnya untuk kami.
Terlepas dari itu
semua, saat itu saya tak merasa kami kekurangan. Saya bangga punya orang tua
guru. Sejak kecil, kami punya tradisi foto keluarga. Kami memakai pakaian rapi dan
selalu menggunakan kaos kaki dan sepatu. Ulang tahun saya dan adik-adik selalu
dirayakan setiap tahunnya dengan mengundang anak-anak tetangga hingga kami
berumur lima tahun. Untuk pendidikan anak-anaknya, bapak-ibu tidak main-main.
Mereka tak pernah telat membayarkan SPP, selalu menyediakan buku-buku pelajaran
yang dibutuhkan, hingga memberikan kami les mulai dari les komputer, Bahasa
Inggris, hingga les di bimbel. Saya dan adik-adik juga masuk Taman Pendidikan
Al-Quran setiap sore untuk belajar mengaji. Ketika saya ikut drum band di
sekolah, bapak-ibu membelikan saya pianika. Jauh sebelum itu, mereka membelikan
saya ukulele dan harmonika, dan belakangan gitar.
Dulu kami punya kebun
di samping rumah. Ada tomat, cabai, pare, daun sirih, mangga, cermai, pisang, belimbing
wuluh, belimbing, dan mengkudu. Di depan rumah, kami punya jeruk nipis dan delima.
Buah dan sayuran itu lumayan untuk kami konsumsi sendiri. Beberapa pohon di
samping rumah itu kemudian ditebang ketika bapak mulai beternak ayam kampung
dan ayam bangkok. Kami punya puluhan ekor ayam dan membuatkan kandang. Telur
ayam kampung itu dijual di warung tetangga dan ayamnya kami potong untuk
dimakan ketika ada yang perlu dirayakan atau ketika ada saudara luar kota
datang. Dulu kami juga punya kolam lele di belakang rumah. Saya paling suka
kalau waktunya memberi mereka makan. Rasanya puas melihat mereka berebutan pelet
dan makan dengan lahap.
Kami baru punya
toilet sendiri ketika saya sudah masuk SD. Menjelang saya lulus SMP, rumah kami
dibongkar total. Bapak-ibu mencicil membangun rumah yang sama sekali berbeda
dengan rumah sebelumnya. Ketika saya SMA, bapak-ibu membangun rumah kecil di
bekas kebun samping rumah, sementara kolam lele sudah dihilangkan.
Kalau dulu saya dan
adik mesti berbagi makanan, ada masa ketika kami akhirnya bisa mendapatkan satu
porsi utuh untuk sebutir telur hingga sebungkus mie instan dan juga semangkuk
bakso ataupun sepotong paha ayam.
Seiring dengan
berjalannya waktu, kompor minyak sudah diganti dengan kompor gas, dan kami
punya heater untuk mandi dengan air
panas dan memasang AC di kamar-kamar untuk menjaga suhu tetap sejuk. Rumah kami
tak lagi bocor dan lampu yang padam tak membuat kami risau karena kami punya emergency lamp. Kami tak perlu lagi
menimba di sumur karena pompa air listrik sudah terpasang.
Things got better and easier. Tapi masih ada saatnya ketika
saya melihat ke belakang – mengingat yang lalu – dan bersyukur atas semua itu.
Saya belajar banyak tentang sabar, tentang ikhtiar, tentang sederhana dari
situ. Saya belajar memperjuangkan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Dan lebih
dari itu, pengalaman tersebut menguatkan dan mendekatkan kami sebagai sebuah
keluarga.