Saya menahan
nafas ketika mobil yang saya tumpangi membelah tebing berselimut salju di
kiri kanannya. Rumah-rumah yang dilewati nampak seperti rumah liliput. Mobil
ini didesain khusus untuk tour dengan jendela lebar dan atap
kaca; membuat saya mempunyai jangkauan pandang yang luas. Dari semua tempat
yang pernah saya kunjungi, pemandangan pegunungan bersalju dari Jenewa ke
Chamonix adalah yang paling luar biasa. Simply breathtaking! Begitu megahnya,
saya sampai ingin sujud saking merasa kecil di tengah-tengah alam yang luar
biasa ini. Ah, perjalanan menuju Chamonix ini pasti akan lebih menyenangkan
kalau saja si guide tidak terus-menerus memberikan penjelasan tour yang
membosankan.
Minggu, 20
April 2014. Saya ke stasiun bus Gare Routiere sekitar pukul 08.00. Itu adalah
tempat berkumpul untuk tour ke Chamonix. Saya langsung masuk mobil tour dan
mengambil posisi strategis dekat jendela. Satu per satu orang-orang datang dan
mengambil tempat. Selain saya, ada satu cewek lagi yang juga pergi sendirian.
Sebelah saya masih kosong, dan sebelah cewek itu juga masih kosong. Ini berarti
satu hal: disaster.
Well.. saya belajar satu hal kalau ikut tour seorang diri itu bisa jadi menyebalkan. Saya belajar itu saat ikut tour di Irlandia. Meskipun
datang awal dan mencari spot untuk duduk paling oke, itu bisa saja
diambil orang lain yang biasanya couple. Benar saja, di menit-menit
terakhir sebelum keberangkatan pukul 08.30, ada couple yang minta saya
pindah duduk. Darn it! Maksud saya, kalau memang ingin memastikan duduk
bareng sama pasangannya, datanglah lebih awal. Tidak semua orang yang ikut tour
itu couple. Saya bisa saja sih menolak mereka, tapi kasihan juga.
Barangkali mereka sedang honeymoon. Setengah hati, saya maju dan duduk
di sebelah cewek yang juga pergi tour sendiri. Posisi window seat sudah
dia tempati. Duh, padahal itu spot paling oke karena kami akan melewati
tempat-tempat yang picturesque. Tapi ya sudahlah..
Tak lama,
tour dimulai. Si tour guide adalah bapak-bapak paruh baya yang kelihatan
sudah lama menjalani profesi ini. Ia membagikan leaflet berisi jadwal acara sekaligus peta
tempat-tempat yang akan kami datangi. Ia juga memberikan kami one day pass
untuk naik kereta dan cable car. Karena waktu yang ketat, info
mengenai jadwal seharian itu dijelaskan dalam mobil saat kami seharusnya hanya
fokus pada pemandangan di luar yang memukau. Jadilah perhatian saya terbagi dua
antara melihat ke luar dan mendengarkan petunjuk si tour guide. Cewek di
sebelah saya – belakangan saya tahu kalau dia dari Inggris – sibuk memotret
sepanjang jalan. Posisi dia yang dekat jendela jelas menguntungkan.
Ketika
akhirnya sampai, kami diberikan petunjuk lagi untuk highlight jadwal
hari itu. Rupanya kami diberikan kebebasan untuk mengeksplor Chamonix; tour
guide tidak akan terus mendampingi kami. Chamonix adalah desa Eropa yang seringkali saya bayangkan dengan rumah
khas dan pegunungan bersalju sebagai latar. Saya membayangkan Heidi pastilah
tinggal di daerah mirip-mirip Chamonix ini.
Dari tempat
parkir, kami berjalan bersama-sama menuju Aiguille du Midi cable car. Antrian masuk ke sana sangat panjang,
rata-rata didominasi orang-orang yang hendak bermain ski. Mereka membawa papan
ski yang membuat keadaan jadi tambah penuh sesak.
Sebelum
masuk ke tempat cable car, ada petugas yang akan memeriksa tiket. Dari
sana, saya mesti menunggu lagi hingga giliran saya datang untuk naik cable
car. Yang saya rasakan saat itu excited dan nervous. Excited karena
saya tahu ada pemandangan lebih spektakuler yang menunggu di puncak Aiguille du Midi sana.
Tapi saya juga nervous membayangkan mountain sickness yang bisa
menyerang. Soal ini sudah pernah dibahas oleh tour guide. Dia bilang di
atas sana oksigennya tipis sehingga bisa memicu mual dan pusing bagi sebagian
orang. Salah satu cara untuk mengurangi mountain sickness adalah dengan
minum coklat atau teh panas.
Well, saat saya ikut kunjungan ke
Grasberg Freeport pada 2011 saya sempat kena mountain sickness ini. Saya
kesulitan bernafas dan detak jantung terasa lebih cepat karena panik. Orang
Freeport sampai lari-lari membawakan tabung oksigen buat saya. Itu terdengar
dramatis tapi sebenarnya saya cekikikan dengan teman-teman kantor ketika sudah
merasa baikan. Saya bahkan sempat difoto dunk saat bernafas melalui tabung
oksigen. Tapi kali ini di Chamonix beda cerita. Saya benar-benar sendirian di
sini, orang-orang yang satu tour dengan saya mulai berpencar. Saya mesti
benar-benar menjaga diri.
Cable car untuk
naik ke Aiguille du Midi berwarna merah. Itu terlihat kontras dengan
putihnya salju. Ketika akhirnya giliran saya naik, saya tidak bisa memilih spot
strategis karena di dalam memang penuh. Saya berdesak-desakan dengan orang-orang
lainnya dan mesti berhati-hati dengan papan ski yang dibawa mereka.
Akhirnya!
Sampailah saya di puncaknya! Sejauh mata memandang semuanya pegunungan
bersalju. Rumah-rumah di bawah sana terlihat seperti semut. Saat itu rasanya
saya bahagia yang paling bahagia. Feel-nya beda dengan apa yang saya
rasakan saat pergi ke Inggris, Irlandia, atau bahkan saat melihat Fujiyama
untuk pertama kalinya secara langsung di Jepang. Apa ya..pemandangan yang saya
lihat itu megah dan epic. Kalau ada yang kurang, mungkin itu keluarga
dan teman. Saya ingin mereka melihat apa yang saya lihat saat itu, merasakan
apa yang saya rasakan. Rasanya tidak adil saya menikmati ini sendirian. Dengan
agak mellow, saya mengeluarkan Danbo dan mulai memotretnya – which
was a bit weird I know, but I couldn’t help it.
Melihat
saya foto-foto sendirian, ada sepasang cewek-cowok yang minta saya memotret
mereka. Mereka foto berpelukan dan tersenyum lebar dengan background
pegunungan. How sweet! Sebagai gantinya, si cowok memotret saya.
Oya,
untuk berjalan menuju café dan toko souvenir, kami harus melewati jembatan. Ini
tricky karena jembatan itu juga dilapisi salju di pinggirannya dan
licin. Saya mesti jalan pelan-pelan supaya tidak jatuh. Saya sempat hampir kena
mountain sickness lagi, sebelum saya memutuskan untuk diam (pura-puranya
melihat souvenir) dan menarik nafas serta mengembuskannya secara perlahan. Saya
ingin minum coklat panas di café tapi karena café-nya penuh, saya jadi malas.
Setelah
agak baikan, saya turun ke bawah dimana Bar Plan de I’Aiguille berada untuk
menyentuh salju. Saya sebenarnya agak was-was untuk turun, karena cuma ada dua
orang cewek Asia lain di sana. Tempat itu terlihat sepi dibandingkan daerah
lainnya. Belakangan saya tahu kalau daerah itu sebenarnya tidak
direkomendasikan oleh pihak travel karena bisa berbahaya, terutama untuk new
comer.
Tapi
karena waktu itu tidak tahu, saya asik saja foto-foto di situ dengan Danbo.
Saking ingin menyentuh salju secara langsung, saya lepas sarung tangan dan
menggenggamnya sampai telapak tangan terasa mati rasa. Setelah puas bermain
salju, saya turun ke bawah ke tempat semula naik cable car. Kali ini cable
car sepi dan saya bisa merekam perjalanan turun.
Melihat
jadwal, sekarang hampir saatnya makan siang. Saya bertemu dua orang cewek muda
yang satu tour dengan saya. Keduanya dari China dan sedang magang di Belanda.
Karena sama-sama berangkat dari Belanda, ngobrol kami jadi nyambung. Kami
bertiga akhirnya jalan bareng dan saya ikut saja saat mereka masuk dari satu
toko ke toko lainnya.
Salah
satu dari mereka rupanya ingin membeli jaket tahan angin. Sepertinya mereka
orang kaya karena tak sungkan mengeluarkan uang ratusan euro (hampir cukup
untuk sewa kamar sebulan di apartamen kampus) untuk sebuah jaket. Ketika
giliran makan siang, kami mulai berpisah. Mereka memilih paket tour yang
termasuk makan siang, sementara saya memilih makan siang sendiri. Guess
what¸ saya akhirnya makan McWrap dan kentang goreng di McD. Ini jauh lebih
hemat dibanding makan dengan pihak tour.
Selesai
makan, saya ke stasiun kereta untuk menuju Montenvers dan Mer de Glace.
Seriusan deh, ini benar-benar tour mandiri karena kita harus terus melihat
jadwal kalau tidak ingin ada yang terlewat. Di sana, sudah ada wajah-wajah
familiar yang tadi pagi satu mobil dengan saya, termasuk dua cewek dari China.
Stasiun
kereta ini kecil dan hanya punya dua rel. Sudah ada kereta yang parkir sana, imut-imut
berwarna merah. Ternyata bukan itu yang akan kami naiki. Kereta lainnya datang
– sama merahnya namun beda tipe – dan saya mulai masuk. Kursinya masih kayu
berwarna coklat. Seperti selalu, saya pilih tempat duduk dekat jendela.
Pemandangan
yang kami lewati berubah-ubah, diawali dengan chairlifts (kursi
gantung), pepohonan kering berwarna coklat, hingga lembah dengan rumah-rumah
penduduk. Sampai di Montenvers, saya kembali naik cable car berwarna
merah, namun kali ini lebih kecil dengan kapasitas angkut lebih sedikit. Kami
turun melewati Mer de Glace (sea of ice) – yang konon merupakan glasier
terluas di Prancis – dan di bawah sana mulai terlihat ice cave.
Sayangnya,
kami tidak bisa langsung turun ke ice cave. Cable car hanya
membawa kami sampai satu titik dimana setelah itu kami mesti berjalan turun
tangga menuju ice cave. Dan itu, rasanya melelahkan karena jarak yang
panjang. Kaki sampai pegal, padahal ini baru turun. Belum kalau harus naik
lagi.
Ice cave ini memang amazing sih. Warnanya agak
kebiruan dan esnya bening. Di dalamnya, ada kursi dan meja yang dipahat dari
es, patung-patungan, dan dihias dengan warna-warni lampu. Dulu saya pernah ke ice
cave di Jepang, tapi di sana jaraknya lebih pendek dan lebih temaram.
Sementara di sini, lebih menarik karena banyak variasi.
Melihat
jam, saya jadi deg-degan. Saya mesti naik kereta kembali sesuai jadwal. Kalau
tidak, saya bisa ketinggalan kereta dan pada akhirnya ketinggalan bis yang akan
membawa saya kembali ke Jenewa. Melihat sifat orang Eropa yang on time,
rasanya saya yakin mereka bisa meninggalkan kami yang terlambat karena dianggap
sudah mengetahui konsekuensinya.
Darn, kalau turun ke bawah saja
ngos-ngosan, apalagi naik tangga ke atas. Sekarang saat saya menulis ini di
kamar kosan yang nyaman sambil minum kopi, rasanya saya ingin menepuk pundak
diri sendiri di hari itu. Itu lelahnya maksimal, apalagi ditambah saya mesti
kejar-kejaran dengan waktu. Beberapa kali saya mesti berhenti saking kaki
terasa sakit. Lega rasanya setelah sampai di pemberhentian cable car yang
akan membawa saya naik ke atas menuju stasiun.
Cable car
terus naik ke atas dan
berhenti dekat stasiun kereta. Tapi lega itu hanya sebentar karena dari dalam
saya melihat kereta sudah menunggu. Saya susah payah merangsek ke depan karena
orang-orang juga ramai ingin kembali ke stasiun pertama. Alhamdulillah saya
naik tepat waktu. Saya sampai di stasiun tepat waktu, dan kembali ke parkiran
tepat waktu juga. Malah saya sempat belanja souvenir yang kecil-kecil macam
magnet yang murah dan membeli beberapa batang coklat untuk teman-teman kampus.
Oya, di Chamonix, transaksi dilakukan dengan uang Euro karena merupakan bagian
dari Prancis. Saya yang membawa CHF rugi karena dinilai rendah di sana. Tapi ya
sudahlah, yang penting ada kenang-kenangannya.
Kalau
tadi pagi mobil penuh, sore ini mobil agak lowong karena kami tidak harus
kembali ke Jenewa dengan mobil yang sama. Si cewek Inggris memilih untuk naik
mobil lain. Dua cewek China tetap satu mobil dengan saya.
Saya
tidur nyaris sepanjang perjalanan pulang. Agak mendung ketika saya sampai di stasiun bus Gare Routiere, Jenewa.
Kami turun satu per satu dan mengucapkan terima kasih pada tour guide.
Saya perhatikan tidak ada yang memberi tips, mungkin karena dia memang tidak
intens menemani kemanapun kami pergi. Atau mungkin ada yang memberi tips tapi
saya tidak jeli melihatnya.
Dari
stasiun bus, saya berjalan pulang ke hotel. Setelah seharian dingin di
Chamonix, rasanya nyaman kembali ke kamar hotel. Malam itu, sebelum tidur saya
melihat-lihat hasil foto di kamera. Rasanya campur aduk antara terharu dan
sedih. Sedih karena..well..saya mesti berpisah dengan pemandangan yang
menakjubkan. Belum tentu lima tahun dari sekarang saya bisa ke sana lagi. Lucunya, saya juga takut ekspektasi saya untuk negara-negara lain
jadi kelewat tinggi atau malah jadi underestimate karena sudah melihat
yang luar biasa cantik. Untungnya ketakutan itu tidak beralasan. Tiap negara
yang saya kunjungi selalu punya kesan yang berbeda-beda. Mereka indah dengan
caranya masing-masing.
Esoknya,
Senin (21/4) pagi-pagi saya sudah naik kereta ke airport. Flight saya
pukul 09.10 dan sampai Schiphol pukul 10.45. Satu destinasi kembali dicoret. Uh,
have I told you that it felt SO good?
No comments:
Post a Comment