Sunday, 22 November 2015

Tentang Sabar, Tentang Ikhtiar, Tentang Sederhana



Sebagai anak pertama yang lahir di pertengahan 80-an, saya mengalami masa-masa ketika rumah kami yang semi-papan bocor saat hujan dan tak punya toilet sehingga mesti ke WC umum dekat sungai. Saya ingat TV kami masih hitam-putih ketika tetangga sudah punya TV berwarna, dan kelambu yang bolong mesti dijahit supaya nyamuk tidak menggigit kami. Saya tak lupa ketika kami harus menimba di sumur untuk mengisi kolam dan menggosok badan dengan kombinasi sabun dan batu kali ketika mandi. Ketika ingin mandi dengan air hangat, kami mesti menaruh air di sebuah bak pada tempat terbuka sesiangan supaya hangat terkena sinar matahari.

Ketika saya punya adik yang pertama, kami hampir berbagi semuanya berdua: dari sebutir telur hingga sebungkus mie instan dan juga semangkuk bakso ataupun sepotong paha ayam. Kami sering bertengkar karena menganggap jatah yang lain lebih besar atau lebih banyak. Hingga akhirnya kami punya solusi: dia yang membagi tidak bisa memilih. Dengan demikian, siapapun yang membagi jadi dua akan berusaha adil dan memastikan dua porsi itu sama besarnya atau sama banyaknya.

Kedua orang tua saya guru SD. Kehidupan kami tak berlebihan. Bapak-ibu mengajarkan hidup sederhana pada kami anak-anaknya. Ketika saya kelas 1 SMP, saya mulai diberikan uang bulanan sebesar Rp20.000. Dibagi per hari, jatah harian saya sekitar Rp600. Sebagai gambaran, semangkuk bakso di kantin sekolah saat itu Rp900. Kalau sedang ingin makan bakso, saya sengaja makan di hari Jumat karena istirahatnya cuma sekali.

Ketika saya SMP pula, Westlife sedang sangat nge-hits. Saya ingin membeli kasetnya karena cewek-cewek populer di sekolah sudah punya kaset itu. Kami membicarakannya hampir setiap hari. Harga album Deluxe­ Westlife sama seperti jatah bulanan saya. Butuh waktu berbulan-bulan menabung kalau ingin membelinya. Pada suatu malam, saya merajuk minta dibelikan kaset itu. Ketika usaha itu gagal, saya bilang pada ibu ingin meminjam uang dan ibu bisa memotong uang bulanan saya selama beberapa bulan. Itu adalah konsep mencicil pertama yang saya ajukan. Mungkin melihat saya sedemikian ngotot, ibu tak tega. Pada akhirnya saya dibelikan kaset dan uang bulanan saya tetap utuh.

Orang tua saya memang tak membiasakan selalu menuruti kemauan kami. Saya dan adik-adik mesti berusaha terlebih dulu untuk membeli barang yang kami inginkan. Kami diajarkan cara menabung baik lewat tabungan kaleng ataupun di bank. Saya ingat membeli buku notes kecil, topi, dan pulpen warna pink dengan uang sendiri hasil menabung. Topi pertama yang saya beli seharga Rp3.500. Warnanya didominasi biru dan hitam dengan gambar kucing Sylvester. Saya bangga setengah mati ketika memakainya.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya tahu bapak-ibu tidak hanya mengandalkan gajinya saja. Selain mengajar, bapak saya juga menjadi pengurus koperasi guru dan super sibuk menjelang akhir tahun. Dan ibu…ibu melakukan apapun untuk menambah penghasilan.

Saya ingat ibu membawa jualan baju ke sekolahnya atau saat warga RT berkumpul untuk arisan. Dulu kami mempunyai pohon cermai di samping rumah, dan ibu dengan cerdik membuatnya jadi manisan dan menjualnya ke warung-warung kecil. Manisan cermai ibu lebih mahal dibanding manisan sejenis karena ibu selalu memakai gula asli untuk membuatnya. Pun ketika kami pada akhirnya membeli lemari es, ibu memanfaatkan freezer untuk membuat es mambo. Ibu selalu mengatakan pada kami bahwa ibu memilih bahan-bahan yang baik untuk manisan cermainya atau es mambonya. Ibu melakukannya seperti ia membuatnya untuk kami.

Terlepas dari itu semua, saat itu saya tak merasa kami kekurangan. Saya bangga punya orang tua guru. Sejak kecil, kami punya tradisi foto keluarga. Kami memakai pakaian rapi dan selalu menggunakan kaos kaki dan sepatu. Ulang tahun saya dan adik-adik selalu dirayakan setiap tahunnya dengan mengundang anak-anak tetangga hingga kami berumur lima tahun. Untuk pendidikan anak-anaknya, bapak-ibu tidak main-main. Mereka tak pernah telat membayarkan SPP, selalu menyediakan buku-buku pelajaran yang dibutuhkan, hingga memberikan kami les mulai dari les komputer, Bahasa Inggris, hingga les di bimbel. Saya dan adik-adik juga masuk Taman Pendidikan Al-Quran setiap sore untuk belajar mengaji. Ketika saya ikut drum band di sekolah, bapak-ibu membelikan saya pianika. Jauh sebelum itu, mereka membelikan saya ukulele dan harmonika, dan belakangan gitar.

Dulu kami punya kebun di samping rumah. Ada tomat, cabai, pare, daun sirih, mangga, cermai, pisang, belimbing wuluh, belimbing, dan mengkudu. Di depan rumah, kami punya jeruk nipis dan delima. Buah dan sayuran itu lumayan untuk kami konsumsi sendiri. Beberapa pohon di samping rumah itu kemudian ditebang ketika bapak mulai beternak ayam kampung dan ayam bangkok. Kami punya puluhan ekor ayam dan membuatkan kandang. Telur ayam kampung itu dijual di warung tetangga dan ayamnya kami potong untuk dimakan ketika ada yang perlu dirayakan atau ketika ada saudara luar kota datang. Dulu kami juga punya kolam lele di belakang rumah. Saya paling suka kalau waktunya memberi mereka makan. Rasanya puas melihat mereka berebutan pelet dan makan dengan lahap.

Kami baru punya toilet sendiri ketika saya sudah masuk SD. Menjelang saya lulus SMP, rumah kami dibongkar total. Bapak-ibu mencicil membangun rumah yang sama sekali berbeda dengan rumah sebelumnya. Ketika saya SMA, bapak-ibu membangun rumah kecil di bekas kebun samping rumah, sementara kolam lele sudah dihilangkan.

Kalau dulu saya dan adik mesti berbagi makanan, ada masa ketika kami akhirnya bisa mendapatkan satu porsi utuh untuk sebutir telur hingga sebungkus mie instan dan juga semangkuk bakso ataupun sepotong paha ayam.

Seiring dengan berjalannya waktu, kompor minyak sudah diganti dengan kompor gas, dan kami punya heater untuk mandi dengan air panas dan memasang AC di kamar-kamar untuk menjaga suhu tetap sejuk. Rumah kami tak lagi bocor dan lampu yang padam tak membuat kami risau karena kami punya emergency lamp. Kami tak perlu lagi menimba di sumur karena pompa air listrik sudah terpasang.

Things got better and easier. Tapi masih ada saatnya ketika saya melihat ke belakang – mengingat yang lalu – dan bersyukur atas semua itu. Saya belajar banyak tentang sabar, tentang ikhtiar, tentang sederhana dari situ. Saya belajar memperjuangkan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Dan lebih dari itu, pengalaman tersebut menguatkan dan mendekatkan kami sebagai sebuah keluarga.

No comments:

Post a Comment