Monday 11 January 2016

Kontemplasi 2015 (I)


Tahun 2016 baru berumur sebelas hari. Masa liburan panjang sudah lewat. Aktivitas di kantor sudah kembali seperti semula. Perayaan kembang api dan terompet tahun baru seperti sudah lama berlalu. Kontemplasi untuk resolusi tahun 2015 kemarin sudah saya lakukan, tidak terlalu menakjubkan hasilnya. Jika dua tahun sebelumnya, cerita saya banyak diisi dengan kata-kata berhuruf kapital, cetak tebal dan diperjelas dengan highlight, tahun 2015 seperti ditulis pelan dengan Faster yang tintanya mulai merembes di ujung mata pulpen. Tahun kemarin saya rasakan datar-datar saja. Tahun 2015 – buat saya – biasa-biasa saja.

Well, tapi sesuai tradisi blog ini, saya ingin mengulas hal yang paling happening dan memorable untuk saya setahun belakangan ini.

Idoling dan Jejepangan
Jika ada satu saja yang paling bisa menggambarkan 2015 buat saya, itu adalah berubahnya haluan dari k-pop ke j-pop. Persis di kontemplasi 2014, saya bilang kalau 2013 dan 2014 adalah tahun-tahun saya kena demam hallyu (Korean wave) akut. Segala jenis yang menyangkut Korea – drama, lagu, fashion, buku, makanan, wisata, budaya – saya suka. Saat itu saya tak pernah menyangka kalau beberapa bulan setelahnya, haluan saya menukik drastis dan berlabuh ke j-pop. Ini ada kaitannya dengan project yang saya buat di awal tahun 2015.

Seperti yang saya bilang di sini, awal tahun 2015 adalah masa-masa saya merasa jenuh. Saya merasa hari-hari petualangan telah berlalu dan mesti siap untuk settle down, yang entah kenapa, sounds too ordinary. Saya membuat diri sendiri bersemangat dengan #HowNotToBeBoring project dimana idealnya saya mencoba hal-hal baru atau seru. Saya buat daftar hal yang akan dilakukan dan menonton JKT48 ada dalam daftar tersebut. Jadilah di akhir Januari, untuk pertama kali saya menyaksikan pertunjukan teater mereka.

Selama empat bulan mengikuti teater JKT48 dan mulai mengenal para member, awalnya saya tak tertarik dengan sister group mereka yang asli Jepang: AKB48. Tapi kejadian ini mengubah pandangan saya, dan untuk pertama kalinya saya merasakan rasa suka seperti popcorn yang meletup-letup pada idol group paling keren dari Akihabara ini. Bokutachi wa Tatakawanai jadi lagu yang memicu perubahan itu dan untuk itu saya sematkan lagu paling memorable di 2015 untuknya.

Sejak saat itu, saya resmi memasukkan idoling dalam daftar hobi saya dan menjadikan wota sebagai kata yang tidak asing.

Selain menonton konser JKT48 di teater – meskipun tidak rutin – saya juga dua kali (28 Maret 2015 dan 5 Desember 2015) mengikuti penampilan mereka pada acara Honda di Mall Kota Kasablanka. Karena acaranya gratisan, mereka paling hanya tampil setengah jam membawakan beberapa lagu. Dua kali itu pula saya selalu dapat spot paling depan sebelah kanan panggung, tempat member pertama kali keluar-masuk ke dan dari panggung. Biasanya cewek-cewek memilih berdiri di situ karena posisi depan panggung biasanya sudah diisi wota cowok yang niat datang awal. Saat menonton kali kedua, saya berdiri persis di sebelah anak-anak SD yang masih kecil-kecil .____.

Oiya, pada 20 Februari 2015, AKB48 datang ke Indonesia dan mengadakan konser bareng JKT48. Karena waktu itu saya belum begitu nge-fans, saya abaikan konser itu; hal yang saya sesali bahkan sampai sekarang T_T

Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, saya mulai kembali mengenal AKB48 di bulan April 2015. Sebulan setelahnya saya langsung membeli soft file ((420 giga)) dari Kaskus berisi segala jenis tentang AKB48 mulai dari dokumenter, konser, hingga variety show. Salah satu acara mereka yang paling populer adalah AKBingo. Saya punya ratusan episodenya, dan rutin menontonnya setiap hari menjelang imsak dan menjelang buka puasa di Ramadhan bulan Juni 2015. Saya sungguh terhibur dengan AKBingo yang super kocak dan membuat saya cekikikan sendiri. I wish more people know about AKBingo! Karena merasa egois kalau saya menikmati AKBingo sendirian, jadilah saya sering nge-tweet soal acara ini agar orang-orang tertarik dan mau nonton juga. Iya, salah satu topik yang paling sering saya tweet sepanjang 2015 adalah tentang AKBingo.

Setelah kenal lebih dekat dengan AKB48, saya jadi tahu tentang sister group mereka yang lain seperti SKE48, HKT48, NMB48, dan SNH48 (belakangan ada juga NGT48 yang baru terbentuk di 2015). Di antara semua itu, SKE48 asal Nagoya adalah yang paling saya suka karena oshi (baca: member favorit) saya ada di situ. Baru beberapa minggu saya meng-oshi-kan Matsui Rena, ia mengumumkan kelulusanya yang membuat saya patah hati. Konser kelulusannya diadakan dua hari (29-30 Agustus 2015) di Toyota Stadium. Betapapun sedih, melihat konser perpisahannya diselenggarakan dengan cantik dan megah namun personal, saya bahagia juga :’)

Meskipun konsernya di Toyota tidak bisa ditonton secara live streming, konser perpisahan Rena di teater bisa saya tonton real time. Sebelumnya, saya juga menonton live streaming acara sousenkyo single AKb48 ke-41 yang dimenangkan oleh Sashihara Rino. Pada Desember 2015, kembali saya live streaming untuk ulang tahun AKB48 ke-10 yang menghadirkan para senpai seperti Maeda Atsuko, Oshima Yuko, Shinoda Mariko, Itano Tomomi, dan lainnya.

Karena terlanjur suka AKB48, saya kembali suka dengan hal-hal yang terkait Jepang. Jepang adalah negara asing pertama yang saya suka, untuk kemudian tenggelam karena kecintaan saya pada Inggris dan Irlandia, serta sempat tertutup oleh Korea Selatan. Saya mulai mendengarkan musik Jepang yang lain seperti AAA dan GooseHouse, mulai lebih intens mencermati budaya Jepang dari komik-komik seperti Miiko dan komik lepasan lainnya, mulai membeli buku-buku tentang Jepang (A Geek in Japan dan Etiquette Guide to Japan), mulai menonton film animasi Jepang terutama dari Studio Ghibli, mulai mencoba makanan Jepang (saya mencoba berbagai jenis kari dan udon), dan selalu memilih channel Waku-Waku Japan atau NHK setiap kali menginap di hotel yang punya layanan TV berbayar.

Oiya, tahun 2015 pula saya membeli buku Girls in The Dark dan The Dead Returns dari Penerbit Haru. Keduanya merupakan terjemahan dari buku asal Jepang. Normalnya, saya tak suka buku-buku misteri karena ‘seram’. Tapi karena sedang suka Jepang, saya baca juga buku-buku itu dan ternyata…menarik! Girls in The Dark adalah yang pertama saya baca sebelum memutuskan membeli The Dead Returns. Kalau twist di The Dead Returns hanya membuat saya ber-oh pendek, Girls in The Dark berhasil membuat saya menanti-nanti lanjutan kalimat demi kalimat. Twist-nya memang termasuk sederhana juga, tapi proses menuju klimaks membuat kening berkerut dan saya seperti ingin merayakannya dengan kembang api setiap satu bab selesai. Bahasa yang digunakan indah (terimakasih untuk penerjemahnya!) dan deskripsinya juara. Terlepas ada beberapa bagian yang membuat ngeri – karena pada dasarnya saya super penakut – buku ini lebih dari layak untuk dinikmati.

Well, begitulah tahun 2015 saya yang diisi dengan idoling dan jejepangan. Tahun itu pula saya rutin mencari tiket promo ke Jepang, hanya sayang belum menemukan yang pas di kantong dan pas di tanggal. Saya bahkan sempat pula mencari training ke Jepang dengan biaya pemerintah Jepang ataupun Indonesia, tapi belum menemukan yang tepat. Mungkin 2015 belum jadi tahun saya untuk pergi ke Jepang.

-To be continued

No comments:

Post a Comment