Kalau
di postingan ini saya cerita tentang haluan yang berpindah dari k-pop ke
j-pop, lalu apa kabar Korean Wave
yang dulu sempat membuat saya demam? Well,
sebenarnya di akhir 2014, saya sudah excited
karena SNSD masuk dalam line up konser
Best of The Best di Jakarta (bersama
dengan Shinee, Bangtan Boys, dan Winner) yang dijadwalkan awal Januari 2015.
Saya sudah beli tiketnya sejak November 2014. Menjelang tanggal konser, ada
pemberitahun dari promotor kalau konser diundur jadi Mei 2015. Promotor
memberikan dua opsi bagi kami untuk refund
tiket atau tetap memegang tiket untuk konser bulan Mei dengan tambahan privilage. Saya pilih opsi kedua.
Bulan
Maret 2015, SH Entertainment selaku promotor menyatakan konser akhirnya dibatalkan
dan mereka menjanjikan akan memberikan refund
secara bertahap. Mendengar konser dibatalkan, well, ternyata saya biasa-biasa saja. Mestinya saat itu saya tahu,
demam Korea saya sudah mulai reda. Setelah melalui proses administrasi beberapa
kali, pada 23 Juni 2015 refund tiket
baru bisa saya terima.
Sementara
efek Hallyu buat saya sudah mulai
memudar, teman genk justru sedang suka-sukanya dengan Korea. Pada Juni 2015
mereka mengajak saya untuk ikut ke Seoul dengan tiket promo dari AirAsia untuk
keberangkatan April 2016. Karena sedang tak tertarik dengan Korea, saya jadi
malas-malasan. Tapi demi ingin ikut trip bareng teman-teman, saya booking tiket juga ke Seoul pada tanggal
23 Juni 2015. You see, itu adalah
tanggal yang sama saya mendapat refund tiket
konser. Jadi uang refund itu saya
belikan tiket ke Korea; saya hanya perlu menambah tak lebih dari satu juta.
Anyway, sekian tentang
Korea. Saya coba ingat-ingat lagi kejadian paling memorable buat saya di 2015.
The
Return of The Corrs
Ketika
pertama kali tahu kalau The Corrs akan hiatus setelah album Home di 2005, saya selalu yakin kalau
mereka akan kembali. Saya yakin mereka pasti
akan kembali. Tapi tahun-tahun terus berlalu dan alih-alih ada rencana untuk
reuni, masing-masing Corr punya project
sendiri-sendiri. Andrea punya dua solo album, begitu pula dengan Sharon. Saya
punya album solo mereka, tapi saya lalu sadar kalau saya suka mereka sebagai
The Corrs. Musik yang saya suka adalah musiknya The Corrs. The Corrs adalah
empat orang dengan segala macam keunikannya secara individu, tapi dijadikan
satu, mereka jauh melampaui itu semua.
Keyakinan
saya bahwa The Corrs akan kembali semakin menipis seiring waktu berganti.
Kecuali Sharon yang masih aktif di dunia musik, yang lain sepertinya telah
menikmati kehidupan mereka yang telah settle.
Bagaimanapun juga, mereka telah melewati masa-masa cemerlang sebagai The
Corrs terutama di awal 2000-an.
April
2015, ayah mereka Gerry Corr meninggal di usia 82 tahun. Tak lama setelah itu,
mereka mengumumkan sebuah reuni untuk album baru yang didedikasikan bagi Gerry.
Sebelumnya, di tahun 2000, The Corrs juga pernah mengeluarkan album bertajuk In Blue yang dipersembahkan untuk mendiang ibu mereka.
Album
terbaru ini mereka beri judul White Light
dengan Bring on The Night sebagai
single pertama. Perasaan saya
campur-aduk saat pertama kali mendengarnya. They
are back! Saya sudah menunggu selama sepuluh tahun untuk ini.
“…and I miss you forever
Let’s hope we’ve always summer…”
*brb crying*
Tak
membuang waktu, saya langsung pesan CD White
Light. Sampai saat ini, The Corrs adalah satu-satunya band yang
kaset/CD-nya selalu saya beli bahkan sebelum
saya tahu lagu-lagu di dalamnya. Mereka seperti punya jaminan mutu kalau
lagu-lagunya pasti saya suka.
7
Desember 2015, CD White Light sampai
di tangan saya. Saya dengarkan dan…lagu-lagunya The Corrs banget! Setelah sepuluh tahun dan delapan Corr kecil, mereka tetap
sama. Yang lebih menyenangkan, di sampul CD-nya juga ada lirik untuk semua
lagunya. Saya jadi bisa lebih menghayati T_T Entah kenapa saya punya feeling kalau ini akan benar-benar jadi
album terakhir mereka.
FYI,
saat menulis ini, saya sedang mendengarkan CD mereka biar lebih baper.
The
Corrs juga punya MV untuk single Bring on
The Night. Saya lebih suka versi yang di studio ketimbang versi official-nya. Oh yes they look older, but they are still awesome for me. Di akhir
tahun 2015, sempat ada kabar kalau The Corrs akan ikut Java Jazz Festival 2016
di Jakarta. Kabar ini cepat menguap dan sampai sekarang belum ada tanda-tanda
kalau kabar itu bisa jadi kenyataan.
Film-film 2015: Dari Pejuang
Pemberontakan, Penyewaan Kucing, hingga Oshin
Saya
mengikuti petualangan Katniss sejak ia mengorbankan dirinya untuk Primrose di
ajang Hunger Games. Saya punya buku
komplit Hunger Games dan sudah
membacanya sampai tamat beberapa tahun yang lalu, tapi selalu excited dengan filmnya. Tahun 2015 ini Mockingjay jilid dua yang menjadi
penutup petualangan Katniss sudah mulai tayang dan saya menontonnya dengan bestie. Di adegan Katniss melampiaskan
kemarahannya ke seekor kucing karena Primrose meninggal, entah kenapa, membuat
saya lebih kasihan ke kucingnya =( I have
soft spot for cats.
Ngomong-ngomong
soal kucing, saya menonton film Jepang berjudul Rentaneko yang berkisah tentang
perempuan muda yang menyewakan kucing-kucingnya. Iya, memang absurd. Mungkin
karena sedang PMS ketika menontonnya, film lucu itu malah membuat saya
menangis. Hal yang sama juga terjadi ketika saya menonton Paddington di awal tahun 2015.
Tentang
menangis ini, ada dua film yang membuat saya konstan menangis dari awal sampai
akhir. Dua-duanya dari Jepang: Oshin dan 1
Litre of Tears. Oshin yang saya tonton adalah versi terbaru dengan tokoh
Oshin lebih kecil dan imut dari yang sebelumnya. Dari awal menonton, saya sudah
menangis dan sepertinya film itu tidak memberikan saya ruang untuk tidak
emosional barang sejenak. Adegan paling sedih itu..well..banyak ternyata T_T Tapi yang paling berkesan adalah ketika
Oshin memohon-mohon untuk dipekerjakan selama dua tahun dengan imbalan lima
karung beras. Anak sekecil itu!!
*lie down*
*try not to cry*
*cry a lot*
Adegan
yang menusuk-nusuk hati juga saya rasakan ketika Oshin tidak sengaja melihat
ibunya baru keluar dari semacam rumah hiburan. My heart broke a little… a little too much. Saking sedihnya, selama
menonton film ini saya sediakan tissue yang bolak-balik saya ambil. Watching this movie, I feel like emotionally
torturing myself.
Sedih
yang sama juga saya rasakan ketika menonton 1
Litre of Tears karena seorang teman merekomendasikan film itu. Saya menontonnya
di akhir tahun 2015 menjelang libur panjang Natal. Akting luar biasa Asae
Onishi sebagai Aya Kito jadi poin paling kuat di film ini. Perubahan kesehatan
tokoh Aya yang terus menurun terlihat natural. Melihat film itu, saya seperti
diingatkan bahwa manusia bisa jadi sangat baik, bisa jadi sangat ignorant. Saya semakin sedih karena tahu
kalau film ini diangkat dari kisah nyata T_T
Saya
juga menonton Jurassic World yang opening-nya saja sudah membuat merinding
dengan backsound khasnya. Sayangnya,
jalan ceritanya biasa-biasa saja dan pertempuran klimaks antara dua dinousaurus
kurang heboh. Ted 2 saya tonton dan meskipun terganggu dengan humornya yang
kasar, saya tertawa mendengar omongan Ted yang ngasal namun lucu. Film Korea
yang paling saya suka di tahun 2015 adalah The
Royal Tailor dan salah satu quote yang
saya ingat justru dari Sang Ratu yang bilang, “We are sad people” ketika mengetahui Sang Raja hendak mengeksekusi
si Penjahit.
Film
kartun yang saya tonton antara lain Inside
Out yang membuat saya jadi memikirkan tentang emosi manusia dan The Little Prince simply karena oshi
suka membaca bukunya.
Demikianlah
sebagian film yang saya tonton tahun lalu. Dari semua itu, saya pikir Oshin
adalah film paling memorable buat
saya di 2015.
Shiroi
Shirt dan Remeh-Temeh Kantor lainnya
Di pertengahan
2015, kantor saya mulai punya tradisi memakai seragam kantor setiap hari Senin.
Mencontoh Presiden dengan kemeja putihnya, seragam kami juga sederhana dengan
atasan putih dan bawahan berwarna krem. Meskipun banyak yang kontra karena
dianggap membosankan, diam-diam saya senang juga dengan kebijakan ini karena
setiap Senin pagi saya tak perlu repot memilih baju. Di awal-awal, saya suka
mendengarkan lagu Shiroi Shirt (Baju
Putih) baik dari AKB48 ataupun dari JKT48 saat memakai seragam supaya lebih
bersemangat mengawali pekan.
Selain
seragam, tidak banyak yang berubah tentang kerjaan di kantor. Hanya saja,
monitoring berita kini tidak lagi dilakukan secara manual karena pusat sudah
mempermudah dengan sistem mereka. Di tahun 2015 pula saya mulai turun tangan
untuk urusan desain dan editing majalah
terbitan kantor dan untuk itu saya mulai belajar Adobe InDesign yang jadi
pengalaman baru untuk saya. Secara fungsional, saya naik tingkat dan sudah
lulus ujian sertifikasi yang sempat membuat stres. Kantor kami juga mempunyai bos
baru level dua yang humble dan
menyenangkan. Pak Bos bisa mengapresiasi kerja kami dan selalu menyemangati
dengan pikiran-pikiran yang positif. Saya berharap beliau bisa berlabuh lama di
kantor kami.
- To be continued
No comments:
Post a Comment