Saturday 16 January 2016

Kontemplasi 2015 (II)


Kalau di postingan ini saya cerita tentang haluan yang berpindah dari k-pop ke j-pop, lalu apa kabar Korean Wave yang dulu sempat membuat saya demam? Well, sebenarnya di akhir 2014, saya sudah excited karena SNSD masuk dalam line up konser Best of The Best di Jakarta (bersama dengan Shinee, Bangtan Boys, dan Winner) yang dijadwalkan awal Januari 2015. Saya sudah beli tiketnya sejak November 2014. Menjelang tanggal konser, ada pemberitahun dari promotor kalau konser diundur jadi Mei 2015. Promotor memberikan dua opsi bagi kami untuk refund tiket atau tetap memegang tiket untuk konser bulan Mei dengan tambahan privilage. Saya pilih opsi kedua.

Bulan Maret 2015, SH Entertainment selaku promotor menyatakan konser akhirnya dibatalkan dan mereka menjanjikan akan memberikan refund secara bertahap. Mendengar konser dibatalkan, well, ternyata saya biasa-biasa saja. Mestinya saat itu saya tahu, demam Korea saya sudah mulai reda. Setelah melalui proses administrasi beberapa kali, pada 23 Juni 2015 refund tiket baru bisa saya terima.

Sementara efek Hallyu buat saya sudah mulai memudar, teman genk justru sedang suka-sukanya dengan Korea. Pada Juni 2015 mereka mengajak saya untuk ikut ke Seoul dengan tiket promo dari AirAsia untuk keberangkatan April 2016. Karena sedang tak tertarik dengan Korea, saya jadi malas-malasan. Tapi demi ingin ikut trip bareng teman-teman, saya booking tiket juga ke Seoul pada tanggal 23 Juni 2015. You see, itu adalah tanggal yang sama saya mendapat refund tiket konser. Jadi uang refund itu saya belikan tiket ke Korea; saya hanya perlu menambah tak lebih dari satu juta.

Anyway, sekian tentang Korea. Saya coba ingat-ingat lagi kejadian paling memorable buat saya di 2015.

The Return of The Corrs
Ketika pertama kali tahu kalau The Corrs akan hiatus setelah album Home di 2005, saya selalu yakin kalau mereka akan kembali. Saya yakin mereka pasti akan kembali. Tapi tahun-tahun terus berlalu dan alih-alih ada rencana untuk reuni, masing-masing Corr punya project sendiri-sendiri. Andrea punya dua solo album, begitu pula dengan Sharon. Saya punya album solo mereka, tapi saya lalu sadar kalau saya suka mereka sebagai The Corrs. Musik yang saya suka adalah musiknya The Corrs. The Corrs adalah empat orang dengan segala macam keunikannya secara individu, tapi dijadikan satu, mereka jauh melampaui itu semua.

Keyakinan saya bahwa The Corrs akan kembali semakin menipis seiring waktu berganti. Kecuali Sharon yang masih aktif di dunia musik, yang lain sepertinya telah menikmati kehidupan mereka yang telah settle. Bagaimanapun juga, mereka telah melewati masa-masa cemerlang sebagai The Corrs terutama di awal 2000-an.

April 2015, ayah mereka Gerry Corr meninggal di usia 82 tahun. Tak lama setelah itu, mereka mengumumkan sebuah reuni untuk album baru yang didedikasikan bagi Gerry. Sebelumnya, di tahun 2000, The Corrs juga pernah mengeluarkan album bertajuk In Blue  yang dipersembahkan untuk mendiang ibu mereka.

Album terbaru ini mereka beri judul White Light dengan Bring on The Night sebagai single pertama. Perasaan saya campur-aduk saat pertama kali mendengarnya. They are back! Saya sudah menunggu selama sepuluh tahun untuk ini.

“…and I miss you forever
Let’s hope we’ve always summer…”

*brb crying*

Tak membuang waktu, saya langsung pesan CD White Light. Sampai saat ini, The Corrs adalah satu-satunya band yang kaset/CD-nya selalu saya beli bahkan sebelum saya tahu lagu-lagu di dalamnya. Mereka seperti punya jaminan mutu kalau lagu-lagunya pasti saya suka.

7 Desember 2015, CD White Light sampai di tangan saya. Saya dengarkan dan…lagu-lagunya The Corrs banget! Setelah sepuluh tahun dan delapan Corr kecil, mereka tetap sama. Yang lebih menyenangkan, di sampul CD-nya juga ada lirik untuk semua lagunya. Saya jadi bisa lebih menghayati T_T Entah kenapa saya punya feeling kalau ini akan benar-benar jadi album terakhir mereka.

FYI, saat menulis ini, saya sedang mendengarkan CD mereka biar lebih baper.

The Corrs juga punya MV untuk single Bring on The Night. Saya lebih suka versi yang di studio ketimbang versi official-nya. Oh yes they look older, but they are still awesome for me. Di akhir tahun 2015, sempat ada kabar kalau The Corrs akan ikut Java Jazz Festival 2016 di Jakarta. Kabar ini cepat menguap dan sampai sekarang belum ada tanda-tanda kalau kabar itu bisa jadi kenyataan.

Film-film 2015: Dari Pejuang Pemberontakan, Penyewaan Kucing, hingga Oshin
Saya mengikuti petualangan Katniss sejak ia mengorbankan dirinya untuk Primrose di ajang Hunger Games. Saya punya buku komplit Hunger Games dan sudah membacanya sampai tamat beberapa tahun yang lalu, tapi selalu excited dengan filmnya. Tahun 2015 ini Mockingjay jilid dua yang menjadi penutup petualangan Katniss sudah mulai tayang dan saya menontonnya dengan bestie. Di adegan Katniss melampiaskan kemarahannya ke seekor kucing karena Primrose meninggal, entah kenapa, membuat saya lebih kasihan ke kucingnya =( I have soft spot for cats.

Ngomong-ngomong soal kucing, saya menonton film Jepang berjudul Rentaneko yang berkisah tentang perempuan muda yang menyewakan kucing-kucingnya. Iya, memang absurd. Mungkin karena sedang PMS ketika menontonnya, film lucu itu malah membuat saya menangis. Hal yang sama juga terjadi ketika saya menonton Paddington di awal tahun 2015.

Tentang menangis ini, ada dua film yang membuat saya konstan menangis dari awal sampai akhir. Dua-duanya dari Jepang: Oshin dan 1 Litre of Tears. Oshin yang saya tonton adalah versi terbaru dengan tokoh Oshin lebih kecil dan imut dari yang sebelumnya. Dari awal menonton, saya sudah menangis dan sepertinya film itu tidak memberikan saya ruang untuk tidak emosional barang sejenak. Adegan paling sedih itu..well..banyak ternyata T_T Tapi yang paling berkesan adalah ketika Oshin memohon-mohon untuk dipekerjakan selama dua tahun dengan imbalan lima karung beras. Anak sekecil itu!!

*lie down*
*try not to cry*
*cry a lot*

Adegan yang menusuk-nusuk hati juga saya rasakan ketika Oshin tidak sengaja melihat ibunya baru keluar dari semacam rumah hiburan. My heart broke a little… a little too much. Saking sedihnya, selama menonton film ini saya sediakan tissue yang bolak-balik saya ambil. Watching this movie, I feel like emotionally torturing myself.

Sedih yang sama juga saya rasakan ketika menonton 1 Litre of Tears karena seorang teman merekomendasikan film itu. Saya menontonnya di akhir tahun 2015 menjelang libur panjang Natal. Akting luar biasa Asae Onishi sebagai Aya Kito jadi poin paling kuat di film ini. Perubahan kesehatan tokoh Aya yang terus menurun terlihat natural. Melihat film itu, saya seperti diingatkan bahwa manusia bisa jadi sangat baik, bisa jadi sangat ignorant. Saya semakin sedih karena tahu kalau film ini diangkat dari kisah nyata T_T

Saya juga menonton Jurassic World yang opening-nya saja sudah membuat merinding dengan backsound khasnya. Sayangnya, jalan ceritanya biasa-biasa saja dan pertempuran klimaks antara dua dinousaurus kurang heboh. Ted 2 saya tonton dan meskipun terganggu dengan humornya yang kasar, saya tertawa mendengar omongan Ted yang ngasal namun lucu. Film Korea yang paling saya suka di tahun 2015 adalah The Royal Tailor dan salah satu quote yang saya ingat justru dari Sang Ratu yang bilang, “We are sad people” ketika mengetahui Sang Raja hendak mengeksekusi si Penjahit.

Film kartun yang saya tonton antara lain Inside Out yang membuat saya jadi memikirkan tentang emosi manusia dan The Little Prince simply karena oshi suka membaca bukunya.

Demikianlah sebagian film yang saya tonton tahun lalu. Dari semua itu, saya pikir Oshin adalah film paling memorable buat saya di 2015.

Shiroi Shirt dan Remeh-Temeh Kantor lainnya
Di pertengahan 2015, kantor saya mulai punya tradisi memakai seragam kantor setiap hari Senin. Mencontoh Presiden dengan kemeja putihnya, seragam kami juga sederhana dengan atasan putih dan bawahan berwarna krem. Meskipun banyak yang kontra karena dianggap membosankan, diam-diam saya senang juga dengan kebijakan ini karena setiap Senin pagi saya tak perlu repot memilih baju. Di awal-awal, saya suka mendengarkan lagu Shiroi Shirt (Baju Putih) baik dari AKB48 ataupun dari JKT48 saat memakai seragam supaya lebih bersemangat mengawali pekan.

Selain seragam, tidak banyak yang berubah tentang kerjaan di kantor. Hanya saja, monitoring berita kini tidak lagi dilakukan secara manual karena pusat sudah mempermudah dengan sistem mereka. Di tahun 2015 pula saya mulai turun tangan untuk urusan desain dan editing majalah terbitan kantor dan untuk itu saya mulai belajar Adobe InDesign yang jadi pengalaman baru untuk saya. Secara fungsional, saya naik tingkat dan sudah lulus ujian sertifikasi yang sempat membuat stres. Kantor kami juga mempunyai bos baru level dua yang humble dan menyenangkan. Pak Bos bisa mengapresiasi kerja kami dan selalu menyemangati dengan pikiran-pikiran yang positif. Saya berharap beliau bisa berlabuh lama di kantor kami.

- To be continued

No comments:

Post a Comment