Wednesday 20 January 2016

Keajaiban-keajaiban Kecil



I

Ketika masih SMP, saya suka membaca majalah Kartini. Nenek saya membeli majalah Kartini bekas dari tetangga; seorang pengepul buku dan majalah bekas. Dengan uang seribu perak, nenek bisa membawa pulang beberapa majalah Kartini yang terlihat masih baru meskipun edisi lama. Nenek biasanya menggunting rubrik tips dan mengklipingnya jadi sebuah buku. Dari majalah Kartini, saya jadi tahu tentang Museum Madame Tussauds di London, jadi mengerti tentang kisah-kisah keluarga Kerajaan Inggris, jadi tahu tentang cerita seorang bocah yang mengirim surat ke Presiden Soeharto dan diundang ke istana. Dari majalah Kartini pula, saya mulai mengenal Penari Izu.

Kartini seringkali menyisipkan bonus novelet, salah satunya adalah Penari Izu karya Kawabata Yasunari yang diterjemahkan oleh Ajip Rosidi. Novelet sisipan itu saya copot dari majalah, untuk kemudian saya simpan di lemari meja belajar.

Pindahan rumah yang terjadi pada kurun waktu itu rupanya mengacaukan semua yang sudah tertata pada tempatnya. Novelet itu hilang dan sejak saat itu, saya tak pernah melihatnya lagi. Saya pernah menuliskan cerita tentang itu di sini.

Sejak menuliskannya di blog ini, beberapa orang mengomentarinya. Tapi pencarian saya masih clueless, hingga pada suatu hari saya menemukan buku terjemahan Inggrisnya di Book & Beyond. Sepertinya daya pikat versi Bahasa Inggrisnya kurang mengena buat saya. Ini saya tulis ulang kalimat pembukanya untuk perbandingan:

Versi Bahasa Indonesia:
“Ketika kukira jalan berliku-liku mendaki yang kutempuh itu mendekati puncak Gunung Amagi, hujan pun turun renyai, membuat hutan sagi nampak putih meruap naik dari kaki gunung mengejarku dari belakang.”

Versi Bahasa Inggris:
A shower swept toward me from the foot of the mountain, touching the cedar forest white, as the road began to wind up into the pass.”

Membaca terjemahan Inggrisnya, saya tidak merasakan rasa hangat yang sama seperti ketika membaca terjemahan Ajip Rosidi yang cemerlang. Yang saya cari adalah Penari Izu, bukan The Izu Dancer. Setelah mencari bertahun-tahun dan tak menemukan hasil, saya menyerah dan mulai melupakannya.

***
II

Pertama kali mendengar Bokutachi wa Tatakawanai, saya langsung suka pada 3 detik pertama dan 17 detik selanjutnya menentukan awal sejarah hobi idoling saya untuk AKB48. Versi pertama yang dengar adalah versi pendek berdurasi sekitar satu menit pada April 2015. Meskipun official release-nya baru ada sebulan kemudian, bocoran versi lengkapnya sudah ada sejak pertengahan Mei.

Sebagai lagu baru, Bokutachi wa Tatakawanai seringkali ditampilkan di berbagai acara sampai beberapa bulan setelahnya. Saya download penampilan AKB48 membawakan lagu itu di berbagai event.

Setiap penampilan terasa berbeda karena formasi member yang berubah-ubah. Hanya saja, dari semua video yang sudah saya download, tak pernah sekalipun saya lihat Matsui Rena tampil membawakannya. Saya mengira-ira; mungkin itu karena Rena bukanlah seorang AKB, beda dengan Jurina yang merangkap member di SKE dan AKB. Mungkin juga karena saat itu Rena sudah mulai disibukkan dengan persiapan kelulusannya.

Sebagai orang yang menjadikan Rena sebagai member favorit, saya ingin Rena punya banyak scene di Bokutachi wa Tatakawanai. I want my favourite member to appear more in my favourite AKB48 song. Tapi jangankan tampil live, bahkan di official PV-nya saja Rena hanya muncul tidak lebih dari dua detik dari total sebelas menit!

Hingga akhirnya Rena graduate, saya tak juga menemukan ia perform di lagu itu. Sejak saat itu, saya tak berharap lagi.

***
III

Awalnya saya suka Himawari karena furicopy (meniru gerakan idol) yang dilakukan oleh wota saat menonton setlist Boku no Taiyou (Matahari Milikku) dari Team KIII JKT48. Lama-lama didengarkan, ternyata lagunya enak juga. Liriknya juga menyemangati, meskipun agak kacau dalam penerjemahannya dari Bahasa Jepang.

Himawari menjadi salah satu lagu favorit dan saya rela menonton satu setlist penuh hanya untuk melihat satu lagu itu ditampilkan.

Karena sedang meng-oshi-kan Rena, saya berharap ia masuk daftar member yang pernah membawakan lagu itu. Alih-alih Matsui Rena, yang saya temukan justru Matsui Jurina yang menyanyikannya dengan Itano Tomomi, Miyazawa Sae, dan Umeda Ayaka.

Saya mencari video Rena membawakan Himawari pada berbagai situs mulai dari YouTube, DailyMotion hingga Jpopsuki. Nihil. Belajar dari Bokutachi wa Tatakawanai, saya pun kembali melupakannya.

***

Saya adalah orang yang percaya bahwa mengirim mention ke seorang seleb akan membuat kita memiliki peluang untuk dibalas meskipun perbandingannya adalah satu banding jutaan. Tidak mengirim = tidak mempunyai peluang = 0.

Saya percaya jika kita mengirimkan sebuah undian, kita punya peluang untuk memenangkannya bahkan kalaupun yang kita kirim hanya satu sachet kosong kopi atau bungkus mie instan yang sudah tidak ada isinya. Yang penting adalah mengirimkannya. Yang penting adalah membuat kita jadi punya peluang. Itu adalah cara lain memelihara harapan.

Akan tetapi, ada kalanya juga saya tak punya harapan sama sekali atas sesuatu karena merasa itu di luar jangkauan saya. Well, mungkin semesta punya caranya sendiri.

Tentang terjemahan Penari Izu yang saya cari bertahun-tahun, sudah saya lupakan hingga tiba-tiba seseorang mampir ke blog dan mengomentari postingan saya tentang Penari Izu. Ia bilang ia punya terjemahan Indonesianya, and guess what, ia mengetiknya ulang dari awal sampai akhir.

Mengetahui itu, saya langsung meng-copy untuk kemudian saya print.

Saya bawa 21 halaman hasil print tadi saat naik kereta untuk mudik Tahun Baru. Saya baca pelan-pelan dan mengingat-ingat yang saya rasakan saat pertama kali membacanya. Apa yang saya cari akhirnya saya temukan justru ketika saya sudah mulai melupakannya.

Pun sama dengan penampilan Rena di Bokutachi wa Tatakawanai yang saya harapkan. Saya pikir ia memang tidak pernah tampil untuk lagu itu secara live di studio. Sampai akhirnya entah dapat petunjuk darimana, saya menonton ulang video yang dulu pernah saya download. Kualitas gambar video itu buruk karena ­ukuran pixelnya yang kecil. Para member terlihat sama, kecuali yang ada di deretan depan.

Tiba-tiba sekelebatan ada tulisan kanji tentang nama-nama para penampil untuk lagu tersebut.  Saya lihat ada nama Rena dan ternyata benar. She was there all this time! Saya kira ia adalah Takahashi Juri yang kebetulan memiliki potongan rambut dan poni yang sama. I didn’t recognise my oshi – something that I’m not proud of.

Lebih dari itu, saya temukan video lainnya dimana Rena juga ikut tampil bersama member SKE48 lainnya. Saking senangnya, saya buat meme ini.


Saya sudah positif 100% Rena tidak pernah membawakan Himawari hingga hari ini – saat saya menulis ini – seorang teman merekomendasikan konser SKE yang paling bagus. Saya baca susunan lagunya dan tertulis di situ bahwa di hari konser paling terakhir, Himawari dinyanyikan oleh delapan orang. Matsui Rena termasuk salah satu di antaranya.

Saya konfirmasi ini ke teman dan malamnya – baru saja – ia mengirimkan video singkat Rena yang ikut menyanyikan Himawari.

Sama seperti cerita yang ini, saya seperti kembali diingatkan kalau keajaiban-keajaiban kecil bisa datang dari arah yang tak terduga.

It may sound exaggerating, but I felt my eyes were wet with tears reading Penari Izu on the train. I did cry watching Rena performing Bokutachi wa Tatakawanai with her fellow SKE members. And I also felt asdfjkl to finally see her singing Himawari.

Why?

Because those miracles appeared when I gave up on them.

Sekarangpun saya masih punya harapan-harapan yang sudah jatuh jauh di dalam sana. Yang lebih penting dari sekedar novelet atau lagu. Yang bahkan memikirkannya saja membuat saya mempertanyakan diri sendiri.

That’s why I’m happy to find all those little yet important things to me. Saya kembali belajar untuk percaya.

No comments:

Post a Comment