Sunday, 13 March 2016

Hari 48



“[…] Perjalanan dari Jakarta ke Semarang akan ditempuh dalam waktu 48 menit […]”

Suara pilot Garuda memenuhi kabin pesawat. Film Korea yang sedang saya tonton di-pause otomatis. Normalnya saya akan merasa sebal karena pengumuman itu mengurangi waktu nonton saya – belum lagi setelah itu ada pengumuman yang sama dalam Bahasa Inggris. Tapi demi mendengar “48 (menit)”, mau tak mau saya jadi teringat rencana sore nanti dan menjadi excited.

Rabu pagi. Saya sedang dalam perjalanan menuju ke Semarang untuk sebuah acara kantor. Disposisinya sendiri baru saya terima sehari sebelumnya. Dengan waktu yang mepet, saya book tiket pesawat dan hotel, dan melakukan konfirmasi kehadiran. Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan di sini.

Mengetahui Semarang sebagai kota tujuan dinas, saya hubungi..uh..teman wota saya yang tinggal di sana. Saya ajak ketemuan selesai acara, dan dia bilang oke. That would be our first meet up and I asked her to bring a friend with her so it’s gonna be less awkward.

Saya pertama kali kenal Meta karena tweetnya tentang Jurina. Waktu itu Jurina – the ace of SKE48 – sedang mempersiapkan sebuah pengumuman dan banyak spekulasi tentang apa yang akan dia katakan. Dari random search di Twitter terkait topik itu, ada satu tweet yang super lucu. Itu adalah tweet Meta.

Long story short, dari salah satu tweet-nya saya jadi tahu kalau dia bermain Duel Otak – yang saat itu sedang ngehits – dan saya challenge dia untuk bermain bareng. She was one of tough opponents back then.

Long story short, dari ngobrol-ngobrol di chat Duel Otak dan kemudian pindah ke aplikasi chatting lainnya, saya jadi tahu profil wota dia. Saya tahu dia Jurina-oshi, dan sebenarnya sudah mengurangi hobi idoling-nya.

Long story short, Meta juga tahu kalau saya baru di 48G fandom ini. Dan dia dengan baik hati meng-copy-kan 121 giga soft copy ke HDD saya berisi segala jenis variety show, konser, hingga dokumentari yang berhubungan dengan SKE48.

Makanya ketika tahu ditugaskan ke Semarang, saya beritahu Meta dan antusias untuk sebuah meet up. Saya pikir akan menyenangkan untuk bertemu teman yang sama-sama nge-fans dengan SKE48.

Acara saya di Semarang selesai sekitar jam 4 sore. Dari tempat acara, saya ke hotel tempat saya menginap di @Hom. Saya janjian dengan Meta dan temannya di café Tong Tji di lobi hotel.

Sempat ada masalah sedikit sore itu. Surat perjalanan dinas saya hilang, dan ternyata ketinggalan di tempat acara. Setelah balik lagi ke tempat acara, saya kembali ke @Hom, dan tak lama Meta mengabarkan kalau dia sudah sampai di Tong Tji.

Turun dari lift, saya langsung ke Tong Tji. Saya langsung mengenali Meta, sedang duduk membelakangi pintu masuk. Saya sapa Meta (“woy”, of all greetings, really?) dan merasa sedikit canggung – yang sebenarnya tidak perlu, karena Meta masih anak kecil. She’s twenty something, that I know. Tapi bertemu secara langsung, dia terlihat lebih muda dari yang dia tampilkan pada obrolan virtual kami.

Saya lihat Meta sudah memesan minuman, jadi sambil menunggu temannya datang, saya pesan minuman juga.

Tak lama, temannya datang. Kirana. Dari ngobrol-ngobrol singkat, saya jadi tahu kalau Kirana nge-fans dengan SKE juga. Double combo!

Selama berada di fandom ini, saya tidak pernah benar-benar berteman dengan wota lainnya. Apalagi wota yang sama-sama SKE-oshi. Bahkan di Twitter pun saya membatasi diri. Saya suka lingkaran pertemanan yang kecil, in which I can catch up with anyone.

Teman saya ada yang nge-fans juga dengan 48G, tapi oshi dia Paruru dan bahkan lebih memilih HKT dibanding SKE. Jadi bertemu dengan Meta dan Kirana dan ngobrol tentang SKE dan duo ace-nya, itu seperti…itu seperti..menemukan makanan Indonesia di Eropa. It feels so right and it feels like home.

Anyway, ternyata orang kantor juga ada yang menginap di @Hom. Sebagai closet wota, saya jadi merasa canggung dan pengin cepat-cepat kabur. Lagipula itu sudah waktunya untuk makan malam.

Dari kemarin-kemarin saya sudah ingin tahu gimbal khas Semarang, jadi saya tahu apa yang saya inginkan untuk makan malam. Kami bertiga ke Taman Menteri Supeno dan makan tahu gimbal di sana. Selama makan, kami ngobrol tentang idoling. Oh well, kami cerita juga tentang hal lainnya, tapi selalu bermuara ke SKE. Atau Jurina. Atau Rena.

Selesai makan, kami sholat Maghrib di masjid dekat taman itu.

“Nanti wudhu-nya di Chamber of Secret,” kata Meta.

Saya tak paham, dan masih tak paham ketika Kirana menunjukkan tempat untuk wudhu. Later I googled about Chamber of Secret, and I was like, “Oh.” ._____.

Dari situ, kami ke Inul Vista untuk karaoke bareng.

Ide bertemu dengan orang-orang baru buat saya itu seperti tantangan untuk diri sendiri. Saya tahu di menit-menit pertama akan ada rasa tidak nyaman, dan canggung. And it could be worse. Inilah juga alasan saya kabur saat acara meet up di Gran Indonesia beberapa waktu lalu. Tapi bertemu dengan dua orang teman dari Semarang ini berbeda. Ah, saya ingat sekarang! Rasanya itu sama seperti ketika saya bertemu teman-teman di Filipina yang nge-fans dengan The Corrs. Kami punya sesuatu yang menyatukan kami. Kalau dulu The Corrs, sekarang SKE48.

Kalau bertemu dengan teman baru itu sudah membuat canggung, apalagi karaoke bareng. Duh! Mana suara saya...ya begitulah…

Kalau karaoke bareng besties saya pede saja nyanyi lagunya AKB, karaoke dengan Meta dan Kirana itu bikin pede saya langsung drop. Meskipun usia mereka di bawah saya, mereka lebih berpengalaman sebagai wota. Singkatnya, mereka adalah senpai dalam perwotaan dibanding saya.

Lagu-lagu yang mereka pilih tidak semuanya saya mengerti. Ada yang baru pertama kali saya dengar malahan. Dan oh, suara mereka juga bagus-bagus. Saya langsung pengin tepuk tangan ketika mereka mengambil nada tinggi atau sukses menyanyikan bagian lagu yang tricky. Dan mereka nyaris sempurna menyanyikannya. Bandingkan dengan saya yang tetap kesulitan bahkan dengan lirik yang sudah terpampang di video; masih ada saja kata-kata yang missed.

Saat karaoke itu terlihat kalau mereka excited dengan lagu-lagu idol. Well, mereka juga punya inside joke. Ketika intro Bukiyou Taiyou, mereka berdua tertawa-tawa sambil bilang, “SENPAI, KADIE!” dan disahut dengan, “SENPAI, COME HERE!

Saya baru ngeh maksudnya setelah lagu itu hampir selesai dinyanyikan.

Selain menyanyikan lagu-lagu dari 48G, kami juga menyanyikan lagu dari Taylor Swift, One Direction, Five for Fighting, dan lainnya. When I chose a song from Backstreet Boys, Meta pointed out our age gap and I was like, “But..but this is their latest single.” T_T

Lalu saat Meta memilih lagu dengan judul “How Deep is Your Love”, saya pikir itu dari Bee Gees, tapi ternyata bukan. T_T Selain itu, meskipun mengaku sudah jarang ngidol, ternyata Kirana hapal lagu “2588” Matsui Rena dan bahkan menyanyikannya lebih menghayati dibanding saya.

Selesai dua jam karaoke, mereka mengantar saya kembali ke @Hom. Kami sempat foto-foto selfie sebentar.

Hari itu adalah Hari 48 buat saya. Bukan saja karena paginya pilot menyebutkan dua angka itu saat menginformasikan estimasi waktu tempuh Jakarta-Semarang, bukan saja karena taksi yang saya tumpangi punya dua angka itu di kode taksinya, bukan saja karena total jajan kami di Tong Tji punya dua angka itu di receipt yang kami terima, tapi juga karena hari itu – karena 48 – saya bertemu dengan dua orang teman yang baik dan menyenangkan di Semarang.

I had a great time there!

The next day, I tweeted this:

“Woke up very tired, but super happy.”

And I mean it.

Thursday, 10 March 2016

Permainan Paling Membahagiakan



Saya sedang membaca The Baby-Sitters Club Stacey and the Mystery of Stoneybrook” sambil menyesap teh manis panas, ketika bacaan saya terhenti di halaman 35. Di situ diceritakan jika Stacey bertugas menjaga Charlotte – gadis cilik berumur 7 tahun – dan mereka bermain permainan kartu “War” untuk mengisi waktu.

Permainan kartu.

Saya arahkan pandangan ke lemari samping televisi. Tanpa perlu membukanya, saya tahu ada dua set kartu di laci paling atas. Yang paling menyebalkan dari permainan kartu adalah kita tidak bisa memainkannya sendirian; minimal butuh dua orang. The more, the merrier! Sayangnya dua set kartu itu tidak pernah terpakai untuk waktu yang lama; terlalu lama malahan. Set kartu yang pertama bergambar Tokyo Sky Tree Tower, sementara set yang kedua saya dapatkan saat belanja di Uniqlo. Set kartu kedua inilah yang saya bawa ke Belanda; berharap saya bisa memainkannya dengan teman-teman di sana.

Ketika masih tinggal di Wageningen, saya jarang mengundang teman untuk bermain ke apartemen. Tapi entah kenapa, pada suatu waktu saya ajak beberapa teman untuk main kartu bareng. Saya kangen bermain kartu.

“Let’s play card game at my place!”, saya ajak teman-teman dengan antusias.

Ada empat atau lima teman yang saya undang. Di hari yang ditentukan, hanya dua yang konfimasi bisa datang: Pat dan Wenusha. Kami berencana bermain kartu malam hari, jadi siangnya saya belanja macam-macam untuk cemilan: mulai dari kripik kentang, kue kering, buah-buahan, hingga coklat bubuk.

Jam 7 malam, kamar saya yang biasanya sepi menjadi sedikit lebih ramai. Saya dan Pat duduk kasur, Wenusha duduk di kursi. Cemilan sudah tersebar di meja. Dua cangkir coklat panas sudah tersedia untuk Pat dan Wenusha. Saya sendiri minum dari tumblr.

Permainan kartu yang pertama kali kami mainkan adalah “minuman”. Saya jelaskan tata caranya; saya jelaskan juga kenapa disebut “minuman”. Permainan ini sangat mudah sehingga saya tidak terkejut kalau Pat dan Wenusha gampang saja mengikutinya.

Tidak ada hukuman bagi yang kalah – selain menjadi orang yang merapikan kartu dan mengocoknya – tapi  rasanya bahagia dan boleh sombong kalau bisa menang.

Setelah bermain “minuman”, mungkin dua atau tiga putaran, Pat mulai memperkenalkan permainan kartu dari Afrika. Oh well, permainannya lebih rumit. Saya lupa cara bermainnya seperti apa, tapi saya ingat kalau mesti konsentrasi saat Pat menjelaskan. Beberapa kali saya dan Wenusha salah main, dan kami cekikikan karena Pat jadi bolak-balik menjelaskan.

Yang terakhir, giliran Wenusha. Kalau punya Pat itu rumit, permainan kartu dari Srilanka – tempat asal Wenusha – itu.. apa ya.. ruwet. Saya masih agak paham dengan permainan kartu Pat, tapi bahkan setelah Wenusha menjelaskan panjang-lebar tentang permainan kartunya, saya masih clueless. Saya melihat Pat, dari ekspresi wajahnya saya tahu dia pun sama clueless-nya dengan saya. Akhirnya Wenusha menyerah untuk menjelaskan untuk ke sekian kalinya.

What if you two learn by playing the game?”, katanya tak sabar.

Saya dan Pat mengangguk setuju. Kami mulai memainkannya, dan terhenti di tengah-tengah karena saya dan Pat sama-sama bingung.

“My card game is Simple. And you, Patience, yours is Complicated. While Wenusha..his card game is Complex.. No. No. His is Chaotic!”

Awalnya cekikikan, lama-lama kami tertawa sampai mata berair dan perut terasa sakit.

Saat itu di kampus kami tengah belajar Cynefin Framework. Ada lima domain dalam framework ini: simple, complicated, complex, chaotic, dan disorder. Becandaan ini mungkin tidak lucu bagi orang lain, tapi menghubungkan permainan kartu dengan Cynefin Framework itu semacam inside joke. It was too much to handle.

Selesai bermain kartu, ngobrol-ngobrol, ngemil dan minum coklat panas, Pat dan Wenusha pamit pulang. Saya antar mereka sampai pintu, melambaikan tangan, dan kembali ke kamar yang kini terasa kosong.

Saya suka permainan kartu yang sederhana. Itu adalah representasi dari keakraban, hiburan ringan, menjauhkan dari kejenuhan. Mungkin itulah juga kenapa Stacey memilih permainan kartu untuk menghibur Charlotte yang sedang sedih. Ini kata Stacey:

“…that night I played twelve games in a row, very happily. Anything to keep Charlotte’s mind off her traveling parents, her sick grandpa, and her own homesickness.”

Saya jarang mengundang teman untuk bermain ke apartemen. Tapi malam itu, saya undang beberapa dan ajak mereka untuk main kartu bareng. Saya kangen bermain kartu.

Atau mungkin, well, mungkin yang saya kangeni adalah keakraban itu; interaksi dengan orang-orang yang membuat saya merasa nyaman. Or maybe at that time I was homesick, and having quality time with friends would help – while playing card game was only an excuse to invite them.

Salah satu teman yang tidak bisa datang malam itu adalah Karen. Kami tinggal di apartemen yang berbeda, dan saya bisa mengerti kenapa dia tidak bisa datang.

Tak lama setelahnya, Karen gantian mengundang saya dan teman-teman yang lain ke apartemennya. Karen menyiapkan semuanya dengan cermat – dia bahkan memasak makan malam untuk kami. Saya pernah menuliskannya di sini. Membacanya lagi saja membuat saya bahagia.

And you know what, we also played card game that night.