Saya
sedang membaca The Baby-Sitters Club “Stacey and the Mystery of Stoneybrook”
sambil menyesap teh manis panas, ketika bacaan saya terhenti di halaman 35. Di
situ diceritakan jika Stacey bertugas menjaga Charlotte – gadis cilik berumur 7
tahun – dan mereka bermain permainan kartu “War” untuk mengisi waktu.
Permainan
kartu.
Saya
arahkan pandangan ke lemari samping televisi. Tanpa perlu membukanya, saya tahu
ada dua set kartu di laci paling atas. Yang paling menyebalkan dari permainan
kartu adalah kita tidak bisa memainkannya sendirian; minimal butuh dua orang. The more, the merrier! Sayangnya dua set
kartu itu tidak pernah terpakai untuk waktu yang lama; terlalu lama malahan. Set
kartu yang pertama bergambar Tokyo Sky Tree Tower, sementara set yang kedua
saya dapatkan saat belanja di Uniqlo. Set kartu kedua inilah yang saya bawa ke
Belanda; berharap saya bisa memainkannya dengan teman-teman di sana.
Ketika
masih tinggal di Wageningen, saya jarang mengundang teman untuk bermain ke
apartemen. Tapi entah kenapa, pada suatu waktu saya ajak beberapa teman untuk
main kartu bareng. Saya kangen bermain kartu.
“Let’s play card game at my
place!”, saya ajak teman-teman dengan antusias.
Ada empat
atau lima teman yang saya undang. Di hari yang ditentukan, hanya dua yang
konfimasi bisa datang: Pat dan Wenusha. Kami berencana bermain kartu malam
hari, jadi siangnya saya belanja macam-macam untuk cemilan: mulai dari kripik
kentang, kue kering, buah-buahan, hingga coklat bubuk.
Jam
7 malam, kamar saya yang biasanya sepi menjadi sedikit lebih ramai. Saya dan
Pat duduk kasur, Wenusha duduk di kursi. Cemilan sudah tersebar di meja. Dua
cangkir coklat panas sudah tersedia untuk Pat dan Wenusha. Saya sendiri minum
dari tumblr.
Permainan
kartu yang pertama kali kami mainkan adalah “minuman”. Saya jelaskan tata
caranya; saya jelaskan juga kenapa disebut “minuman”. Permainan ini sangat
mudah sehingga saya tidak terkejut kalau Pat dan Wenusha gampang saja
mengikutinya.
Tidak
ada hukuman bagi yang kalah – selain menjadi orang yang merapikan kartu dan
mengocoknya – tapi rasanya bahagia dan
boleh sombong kalau bisa menang.
Setelah
bermain “minuman”, mungkin dua atau tiga putaran, Pat mulai memperkenalkan
permainan kartu dari Afrika. Oh well, permainannya
lebih rumit. Saya lupa cara bermainnya seperti apa, tapi saya ingat kalau mesti
konsentrasi saat Pat menjelaskan. Beberapa kali saya dan Wenusha salah main,
dan kami cekikikan karena Pat jadi bolak-balik menjelaskan.
Yang
terakhir, giliran Wenusha. Kalau punya Pat itu rumit, permainan kartu dari
Srilanka – tempat asal Wenusha – itu.. apa ya.. ruwet. Saya masih agak paham dengan permainan kartu Pat, tapi
bahkan setelah Wenusha menjelaskan panjang-lebar tentang permainan kartunya,
saya masih clueless. Saya melihat
Pat, dari ekspresi wajahnya saya tahu dia pun sama clueless-nya dengan saya. Akhirnya Wenusha menyerah untuk
menjelaskan untuk ke sekian kalinya.
“What if you two learn by playing the game?”,
katanya tak sabar.
Saya
dan Pat mengangguk setuju. Kami mulai memainkannya, dan terhenti di
tengah-tengah karena saya dan Pat sama-sama bingung.
“My card game is Simple. And
you, Patience, yours is Complicated. While Wenusha..his card game is Complex..
No. No. His is Chaotic!”
Awalnya
cekikikan, lama-lama kami tertawa sampai mata berair dan perut terasa sakit.
Saat
itu di kampus kami tengah belajar Cynefin Framework. Ada lima domain dalam
framework ini: simple, complicated,
complex, chaotic, dan disorder. Becandaan
ini mungkin tidak lucu bagi orang lain, tapi menghubungkan permainan kartu
dengan Cynefin Framework itu semacam inside
joke. It was too much to handle.
Selesai
bermain kartu, ngobrol-ngobrol, ngemil dan minum coklat panas, Pat dan Wenusha
pamit pulang. Saya antar mereka sampai pintu, melambaikan tangan, dan kembali
ke kamar yang kini terasa kosong.
Saya
suka permainan kartu yang sederhana. Itu adalah representasi dari keakraban, hiburan
ringan, menjauhkan dari kejenuhan. Mungkin itulah juga kenapa Stacey memilih
permainan kartu untuk menghibur Charlotte yang sedang sedih. Ini kata Stacey:
“…that night I played twelve
games in a row, very happily. Anything to keep Charlotte’s mind off her
traveling parents, her sick grandpa, and her own homesickness.”
Saya
jarang mengundang teman untuk bermain ke apartemen. Tapi malam itu, saya undang
beberapa dan ajak mereka untuk main kartu bareng. Saya kangen bermain kartu.
Atau
mungkin, well, mungkin yang saya
kangeni adalah keakraban itu; interaksi dengan orang-orang yang membuat saya
merasa nyaman. Or maybe at that time I
was homesick, and having quality time
with friends would help – while playing card game was only an excuse to invite them.
Salah
satu teman yang tidak bisa datang malam itu adalah Karen. Kami tinggal di
apartemen yang berbeda, dan saya bisa mengerti kenapa dia tidak bisa datang.
Tak
lama setelahnya, Karen gantian mengundang saya dan teman-teman yang lain ke
apartemennya. Karen menyiapkan semuanya dengan cermat – dia bahkan memasak
makan malam untuk kami. Saya pernah menuliskannya di sini. Membacanya lagi
saja membuat saya bahagia.
And you know what, we also
played card game that night.
No comments:
Post a Comment