Thursday 10 March 2016

Permainan Paling Membahagiakan



Saya sedang membaca The Baby-Sitters Club Stacey and the Mystery of Stoneybrook” sambil menyesap teh manis panas, ketika bacaan saya terhenti di halaman 35. Di situ diceritakan jika Stacey bertugas menjaga Charlotte – gadis cilik berumur 7 tahun – dan mereka bermain permainan kartu “War” untuk mengisi waktu.

Permainan kartu.

Saya arahkan pandangan ke lemari samping televisi. Tanpa perlu membukanya, saya tahu ada dua set kartu di laci paling atas. Yang paling menyebalkan dari permainan kartu adalah kita tidak bisa memainkannya sendirian; minimal butuh dua orang. The more, the merrier! Sayangnya dua set kartu itu tidak pernah terpakai untuk waktu yang lama; terlalu lama malahan. Set kartu yang pertama bergambar Tokyo Sky Tree Tower, sementara set yang kedua saya dapatkan saat belanja di Uniqlo. Set kartu kedua inilah yang saya bawa ke Belanda; berharap saya bisa memainkannya dengan teman-teman di sana.

Ketika masih tinggal di Wageningen, saya jarang mengundang teman untuk bermain ke apartemen. Tapi entah kenapa, pada suatu waktu saya ajak beberapa teman untuk main kartu bareng. Saya kangen bermain kartu.

“Let’s play card game at my place!”, saya ajak teman-teman dengan antusias.

Ada empat atau lima teman yang saya undang. Di hari yang ditentukan, hanya dua yang konfimasi bisa datang: Pat dan Wenusha. Kami berencana bermain kartu malam hari, jadi siangnya saya belanja macam-macam untuk cemilan: mulai dari kripik kentang, kue kering, buah-buahan, hingga coklat bubuk.

Jam 7 malam, kamar saya yang biasanya sepi menjadi sedikit lebih ramai. Saya dan Pat duduk kasur, Wenusha duduk di kursi. Cemilan sudah tersebar di meja. Dua cangkir coklat panas sudah tersedia untuk Pat dan Wenusha. Saya sendiri minum dari tumblr.

Permainan kartu yang pertama kali kami mainkan adalah “minuman”. Saya jelaskan tata caranya; saya jelaskan juga kenapa disebut “minuman”. Permainan ini sangat mudah sehingga saya tidak terkejut kalau Pat dan Wenusha gampang saja mengikutinya.

Tidak ada hukuman bagi yang kalah – selain menjadi orang yang merapikan kartu dan mengocoknya – tapi  rasanya bahagia dan boleh sombong kalau bisa menang.

Setelah bermain “minuman”, mungkin dua atau tiga putaran, Pat mulai memperkenalkan permainan kartu dari Afrika. Oh well, permainannya lebih rumit. Saya lupa cara bermainnya seperti apa, tapi saya ingat kalau mesti konsentrasi saat Pat menjelaskan. Beberapa kali saya dan Wenusha salah main, dan kami cekikikan karena Pat jadi bolak-balik menjelaskan.

Yang terakhir, giliran Wenusha. Kalau punya Pat itu rumit, permainan kartu dari Srilanka – tempat asal Wenusha – itu.. apa ya.. ruwet. Saya masih agak paham dengan permainan kartu Pat, tapi bahkan setelah Wenusha menjelaskan panjang-lebar tentang permainan kartunya, saya masih clueless. Saya melihat Pat, dari ekspresi wajahnya saya tahu dia pun sama clueless-nya dengan saya. Akhirnya Wenusha menyerah untuk menjelaskan untuk ke sekian kalinya.

What if you two learn by playing the game?”, katanya tak sabar.

Saya dan Pat mengangguk setuju. Kami mulai memainkannya, dan terhenti di tengah-tengah karena saya dan Pat sama-sama bingung.

“My card game is Simple. And you, Patience, yours is Complicated. While Wenusha..his card game is Complex.. No. No. His is Chaotic!”

Awalnya cekikikan, lama-lama kami tertawa sampai mata berair dan perut terasa sakit.

Saat itu di kampus kami tengah belajar Cynefin Framework. Ada lima domain dalam framework ini: simple, complicated, complex, chaotic, dan disorder. Becandaan ini mungkin tidak lucu bagi orang lain, tapi menghubungkan permainan kartu dengan Cynefin Framework itu semacam inside joke. It was too much to handle.

Selesai bermain kartu, ngobrol-ngobrol, ngemil dan minum coklat panas, Pat dan Wenusha pamit pulang. Saya antar mereka sampai pintu, melambaikan tangan, dan kembali ke kamar yang kini terasa kosong.

Saya suka permainan kartu yang sederhana. Itu adalah representasi dari keakraban, hiburan ringan, menjauhkan dari kejenuhan. Mungkin itulah juga kenapa Stacey memilih permainan kartu untuk menghibur Charlotte yang sedang sedih. Ini kata Stacey:

“…that night I played twelve games in a row, very happily. Anything to keep Charlotte’s mind off her traveling parents, her sick grandpa, and her own homesickness.”

Saya jarang mengundang teman untuk bermain ke apartemen. Tapi malam itu, saya undang beberapa dan ajak mereka untuk main kartu bareng. Saya kangen bermain kartu.

Atau mungkin, well, mungkin yang saya kangeni adalah keakraban itu; interaksi dengan orang-orang yang membuat saya merasa nyaman. Or maybe at that time I was homesick, and having quality time with friends would help – while playing card game was only an excuse to invite them.

Salah satu teman yang tidak bisa datang malam itu adalah Karen. Kami tinggal di apartemen yang berbeda, dan saya bisa mengerti kenapa dia tidak bisa datang.

Tak lama setelahnya, Karen gantian mengundang saya dan teman-teman yang lain ke apartemennya. Karen menyiapkan semuanya dengan cermat – dia bahkan memasak makan malam untuk kami. Saya pernah menuliskannya di sini. Membacanya lagi saja membuat saya bahagia.

And you know what, we also played card game that night.

No comments:

Post a Comment