Monday, 4 December 2017

Libur Panjang, Perburuan Tiket, dan Mudik Lebaran


Long weekend seperti di awal Desember ini biasanya menyebabkan macet dimana-mana. Belum nanti libur panjang di akhir tahun. Naik kereta api bisa jadi pilihan karena antimacet dan nyaman dengan harga relatif ekonomis, dibanding naik pesawat misalnya. Sayangnya, mendapatkan tiket kereta untuk libur panjang tidak mudah; mesti berebut dengan ratusan ribu orang lainnya. Selama sembilan tahun jadi anak rantau Tegal di Jakarta, saya sudah merasakan berbagai cerita ketika harus beli tiket mudik di musim liburan. Di antara semua cerita, tidak ada yang lebih menguras emosi dibanding mencari tiket mudik Lebaran.

Mudik Lebaran Idul Fitri pertama saya ke Tegal tahun 2009 masih menyisakan horor sampai sekarang.  Saat itu saya masih pegawai baru. Tahu kalau kantor menyediakan bis mudik, saya langsung daftar mudik bareng kantor. Kami berangkat pukul 4 sore yang terbagi dalam beberapa rombongan bis. Perjalanan langsung tersendat bahkan saat kami baru memasuki gerbang tol. Di tengah-tengah tangisan bayi, bau muntah dan minyak oles, kami mesti bertahan selama empat belas jam; dua kali lipat dari waktu tempuh normal. Sejak saat itu saya urung naik bis untuk mudik.

Tahun berikutnya, saya sudah mantap mudik naik kereta tapi sudah stres duluan karena sulit mendapatkan tiket. Saat itu beli tiket secara online belum begitu lazim. Orang masih datang pagi-pagi ke stasiun untuk beli tiket. Lah…saya kapan ada waktu ngantri lama begitu. Akhirnya ada saudara yang bilang bisa membelikan tiket buat saya. Saya sudah senang bukan main. Eh tapi pas saya terima tiketnya, ternyata bukan nama saya yang tercetak. Malah nama orang lain – seorang pria – yang entah siapa. Wah…saudara saya beli lewat calo rupanya. Saya jadi deg-degan parah ketika sudah sampai stasiun; sudah mempersiapkan jawaban kalau-kalau ditanya petugas. Karena sistem ticketing kereta belum seketat sekarang, saya masih lolos naik kereta meskipun namanya beda dengan yang tercetak di tiket. Yang seperti ini jangan ditiru ya. Lebih nyaman memang kalau beli tiket yang resmi.

Dua tahun selanjutnya – 2011 dan 2012 – saya selalu minta tolong bapak di Tegal untuk membelikan tiket. Selama dua tahun itu, bapak pergi ke stasiun selesai sholat Subuh untuk membeli tiket, meskipun counter tiket baru dibuka pukul 7 pagi. Saking lamanya orang ngantri, bapak bilang orang-orang malah meninggalkan sandal sebagai tanda urut antrian sementara mereka gegoleran di lantai stasiun. Pernah suatu kali bapak dapat antrian nomor tiga. Baru saja tiket untuk saya dicetak, orang dengan antrian selanjutnya sudah kehabisan tiket. Ya…kebayang sih kesalnya. Sudah ngantri lama tapi tidak dapat tiketnya. Yang sedih itu di tahun 2012 sih. Sudahlah bapak ikut ngantri demi tiket mudik buat saya, eh saya malah tidak jadi mudik karena dapat pelatihan ke Jepang pas di Hari Raya Idul Fitri T_T

Tak tega merepotkan bapak lagi, mulai tahun 2013 saya beli tiket online kereta api di website PT KAI. Tepat 90 hari sebelum hari-H rencana mudik, tengah malam saya sudah stand by di depan laptop. Bolak-balik refresh page, seringnya jaringan sibuk. Hingga tahun 2015, saya selalu mendapatkan tiket mudik dengan begadang semalaman begini.

Tahun lalu, untuk pertama kalinya, saya tidak kebagian tiket kereta untuk mudik meskipun sudah begadang sampai jam 3 pagi ditemani satu laptop dan dua handphone untuk mengecek tiket. Sesungguhnya persaingan mendapatkan tiket mudik Lebaran semakin sengit T_T Besoknya, saya langsung telepon adik di rumah untuk ke Stasiun Tegal pagi-pagi. Ya barangkali masih ada satu tiket yang terselip. Eh betulan ada ternyata. Tanpa ngantri, tanpa begadang, adik saya bisa beli tiket mudik Lebaran di stasiun! XD

Tapi saya tahu sih, saat itu saya cuma sedang beruntung. Jadi, di tahun 2017 ini saya betul-betul persiapkan diri untuk mendapatkan tiket mudik Lebaran!

Ngomong-ngomong soal tiket mudik, yang saya maksud itu tiket pulang-pergi ya. Yang artinya dua kali struggle beli tiket, dua kali begadang. Saat membeli tiket balik ke Jakarta untuk tanggal 1 Juli 2017, saya sudah siap-siap untuk pembelian tiket tepat tiga bulan sebelumnya; pada tanggal 2 April pukul 12 malam. Tiket ke Tegal sudah saya amankan seminggu sebelumnya. Begitu masuk ke website PT KAI, antrian masuk sistem langsung ada di halaman pertama. Saya refresh page beberapa kali karena time out, masuk ke page selanjutnya, dan masih diarahkan ke antrian yang lain. Duh! Atau berhasil masuk ke sistem tapi kemudian jaringan terputus karena diakses banyak orang secara bersamaan.

Di tengah-tengah desperate seperti itu, saya tetiba teringat satu tagline dari Traveloka: Traveloka Dulu, Lebaran Kemudian. Itu tagline yang ampuh buat saya, mudah diingat. Kudos buat yang bikin tagline! Saya yang dulunya berfokus ke website PT KAI, mendadak buka website Traveloka untuk memesan tiket Lebaran. Iya, ada masa menunggu juga saking banyaknya yang mengakses. Hingga akhirnya, saya bisa masuk sistemnya. Langsung pesan tiket, bayar dengan kartu kredit, daaannn…tiket sudah dikirim lewat email. Saya seperti dapat pencerahan untuk mulai menggunakan Traveloka untuk jalan-jalan berikutnya.



Kelihatan kan di receipt-nya kalau pesannya tengah malam gitu

  
Ini penampakan tiket yang bikin nyaman berlebaran

Sebagai partner resmi PT KAI, Traveloka bisa diakses untuk memesan semua kelas dan subkelas, serta memilih jadwal dan kursi sejak 90 hari sampai dengan…guess what…tiga jam sebelum waktu keberangkatan. Memudahkan ya ^^

Mudik Lebaran tahun ini terasa lebih ringan karena ada Traveloka. Kalau saya lihat-lihat lagi foto Lebaran tahun ini, saya ingat bahwa di antara senyum dan ceria itu, ada Traveloka yang membantu memudahkan jalan. 


Sunday, 17 September 2017

Belajar dari Keluarga Nolan



Ketika Kimi mengadakan Kuis Sabtu berhadiah buku pertengahan tahun lalu, saya langsung semangat ikut kuisnya. Seminggu kemudian pemenangnya diumumkan, saya termasuk salah satu di antara empat pemenangnya. Dari awal, Kimi sudah memberi tahu kalau dialah yang menentukan siapa akan mendapatkan buku apa. Melihat judul-judul buku hadiah kuis, saya berharap mendapat A Tree Grows in Brooklyn.



Sepertinya saya kembali beruntung ketika benar buku itu yang diberikan untuk saya. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, judul buku menjadi Sebatang Pohon Tumbuh di Brooklyn, konsisten dengan judul aslinya. Sebelumnya saya tak pernah tahu buku karangan Betty Smith itu, padahal buku ini termasuk cerita klasik yang menjadi best seller di banyak negara. Tapi selera orang kadang berbeda. Saya baca sinopsis di sampul belakang buku, sepertinya menjanjikan.

Banyak orang yang melewatkan kata pengantar dari sebuah buku, saya nyaris selalu membacanya. Anna Quindlen (belakangan saya tahu kalau dia adalah penulis, jurnalis, sekaligus kolumnis yang pernah mendapatkan penghargaan Pulitzer Prize for Commentary di tahun 1992) menulis kata pengantar sebanyak empat lembar, tapi itu cukup membuat saya kehilangan minat pada buku itu. Well, sebenarnya hanya satu kalimat. Quindlen mengatakan “Di Brooklyn Francie yang tercinta, pemerkosa menguntit di lorong, wanita muda melahirkan di luar nikah dan dicerca, bahkan diserang, pria tua baik hati di toko rongsokan bukanlah orang yang patut didekati anak-anak karena berbahaya.”

Tetiba buku itu terlihat muram. Sangat muram.

Emosi saya gampang terpengaruh oleh buku yang saya baca. Oleh karena itu, saya menghindari membaca buku-buku yang membuat perasaan saya terusik tak nyaman. Terlebih Quindlen tak ragu mengungkapkan kalau “ini adalah kisah yang bersifat autobiografi; awalnya ditulis sebagai memoar, lalu dirombak menjadi fiksi...” Buku ini memang termasuk kategori fiksi, tapi ada kenyataan di dalamnya.

Saya belum sanggup membacanya. Akhirnya buku itu masuk dalam tumpukan buku yang masuk dalam daftar “Akan Dibaca, Tapi Nanti”. “Nanti” di sini bisa sangat relatif. Butuh waktu hingga setahun untuk akhirnya saya beranikan diri untuk membacanya.

Saya kembali membaca kata pengantar dari Quindlen. Ternyata satu tahun bisa mengubah banyak hal. Perasaan saya lebih ringan saat membacanya, dan secara ajaib buku itu menjadi lebih terang.

Saya mulai membaca halaman pertamanya, dan teringat kalau Quindlen pernah mengatakan “kemegahan buku ini terletak pada deskripsi-deskripsi mendetail mengenai setiap adegan serta tokoh-tokohnya.” Quindlen benar. Sejak halaman pertama, saya dipuaskan dengan kata-kata dan penggambarannya yang detail namun tidak membosankan.

Buku ini mengisahkan tentang Francie Nolan, gadis kecil berumur sebelas tahun dari keluarga imigran yang tinggal di Brooklyn. Ayahnya – Johnny Nolan – merupakan keturunan Irlandia, sementara ibunya – Katie Nolan – merupakan anak perempuan dari imigran asal Austria. Francie mempunyai seorang adik lelaki bernama Neeley dan keduanya mengumpulkan uang sedari kecil dengan memungut barang rombeng dan menjualnya ke pengepul.

Keluarga Nolan adalah tipikal keluarga miskin Amerika Serikat di tahun 1900-an. Saat itu kehidupan sulit, Brooklyn tempat tinggal Francie adalah daerah kumuh dimana anak-anak kecil menjadi pemungut sampah supaya bisa jajan permen. Mereka sering saling ejek dengan memanggil “tukang pungut sampah!” pada satu sama lain, dan meskipun itu dianggap hal biasa, Francie tetap merasa malu setiap kali mendengarnya.

Johnny adalah ayah yang tampan, penyayang, dengan suara merdu. Dia digambarkan selalu berpakaian rapi dan necis, sering menyanyikan lagu-lagu Irlandia dengan perasaaan rindu. Saya langsung menyukainya karena dia memanggil Francie dengan sebutan sayang “prima dona”. Sayang Johnny tidak cakap mencari pekerjaan. Dia memiliki minat besar untuk menjadi seorang musisi dan penyanyi, namun kemiskinan menjauhkannya dari cita-cita itu. Kekecewaan pada dirinya sendiri membuatnya menjadi pemabuk. Semakin hari, keadaannya semakin buruk.

Katie Nolan digambarkan sebagai perempuan cantik dengan tangan yang indah meskipun tangan itu dia gunakan untuk menyikat lantai dari pagi hingga sore di tiga rumah susun. Ketidakbecusan Johnny bekerja membuat beban Katie semakin bertambah.

Keluarga Nolan mempunyai celengan kaleng untuk menabung. Francie dan Neeley juga selalu menyisihkan uang hasil memungut rongsokan mereka ke dalam celengan. Saya pikir Katie berhasil menjadikan mereka anak-anak yang tidak egois. Atau mungkin, keadaanlah yang memaksa mereka.

Hari Sabtu adalah hari istimewa untuk keluarga Nolan. Kalau sedang beruntung, Francie dan Neeley boleh membeli roti gula sebagai hidangan penutup. Francie akan mengunyahnya pelan-pelan supaya rasa manisnya tidak cepat hilang. Di hari biasa, mereka cukup puas dengan roti basi dan pai basi yang tidak terlalu hancur. Setidaknya mereka bisa makan. Pernah di rumah benar-benar tak ada makanan dan Katie menyuruh kedua anaknya berpura-pura menjadi penjelajah di kutub yang harus menahan lapar.

Setiap pagi Katie selalu menyiapkan kopi untuk kemudian dihangatkan kembali sore dan malam hari. Kopinya sangat sedikit, tapi Katie menambahkan chicory – akar tanaman yang bisa dijadikan pengganti kopi – agar kental.

“Kadang saat kau tidak punya apa-apa dan hujan turun dan kau sendirian di flat, rasanya menyenangkan bahwa kau punya sesuatu, sekalipun itu hanya secangkir kopi hitam dan pahit.” Entah kenapa kalimat ini membuat saya merasa hangat.

Ada yang menarik di sini. Francie sebenarnya tidak suka kopi, dia lebih suka menangkupkan kedua tangannya di pinggir gelas yang hangat. Selesai makan, dia dengan enteng membuang kopinya ke bak cuci.

Saya pikir kondisi keluarga Nolan mengharuskan mereka untuk tidak membuang-buang makanan, atau minuman. Tapi Katie mempunyai pemikiran begini, “[…..] Menurutku bagus kalau orang seperti kita bisa membuang-buang sesuatu sekali-sekali dan tahu seperti apa rasanya punya banyak uang serta tidak perlu mengemis.”

A Tree Grows in Brooklyn menceritakan kisah demi kisah yang pada akhirnya terangkai menjadi satu. Alurnya maju mundur, dengan potongan-potongan kisah sebagai latar atau jawaban. Saya seperti dibawa untuk mengikuti perkembangan pemikiran Francie. Dia adalah gadis cilik yang kritis dan pengamatannya terhadap apa yang terjadi di sekitarnya sangat mengagumkan. Ada satu momen ketika Francie mempertanyakan keberadaan Tuhan, di momen yang lain dia mengungkapkan pandangannya tentang kasih. Dunia Francie luas karena keluasan berpikir ibunya, jawaban-jawaban abstrak ayahnya, dan kecintaannya pada buku. Francie menyukai perpustakaan dan menganggap tempat itu seindah gereja. Kegiatan favoritnya di akhir pekan adalah duduk di tangga darurat membaca buku sambil makan permen.

Perubahan-perubahan yang terjadi di keluarga Nolan digambarkan dengan halus, meskipun ada rasa kehilangan yang mendalam karena meninggalnya seorang anggota keluarga. Sementara itu, kecintaan Francie pada bacaan membuatnya menjadi pembaca koran di Biro Kliping Press. Saat itu dia sudah berumur empat belas tahun, tapi mesti berbohong dan menyebut usianya dua tahun lebih tua agar mendapat pekerjaan.

Kehidupan Francie dan keluarganya membaik, dia jatuh cinta dan patah hati, dan akhirnya “menjadi seorang wanita” seperti yang diimpikannya. Dia akhirnya mengucapkan selamat tinggal pada sosoknya di masa lalu, tapi saya mempunyai kesan kuat Francie berterima kasih pada masa kecilnya dulu yang membuatnya tangguh.

Kisah seram tentang penguntit di lorong dan pria pedofil cabul memang ada di buku ini. Namun secara keseluruhan, mood buku ini positif dan itu yang saya rasakan.

Buat saya, buku ini memuaskan batin. Saya menyelesaikan membaca buku dengan perasaan penuh. Terima kasih Kimi untuk bukunya!


Ps. Anyway, Kimi juga kembali mengadakan Kuis Sabtu berhadiah buku di sini. Ayo ikutan!

Sunday, 10 September 2017

Rumah Pertama

Pagi ini saya terbangun pukul tiga pagi, dan tidak bisa tidur lagi. Padahal ini hari Minggu, saya biasanya puas-puaskan tidur sampai terbangun karena lapar ingin sarapan. Bolak-balik saya mencoba tidur barang sebentar, tetap tidak bisa. Mungkin pagi ini saya gugup saking semangatnya untuk serah terima rumah.

Iya, setelah menunggu dua tahun lewat delapan bulan, rumah saya di Citra Maja Raya akhirnya jadi juga. Selama rentang waktu itu, saya beberapa kali mimpi pergi mengunjungi rumah itu, tapi tidak pernah sampai; selalu terbangun di tengah-tengah mimpi. Jadi ketika hari ini saya betulan mau ke sana, saya ingin pagi cepat-cepat datang.

Pukul 7.15, saya sudah naik gojek ke Stasiun Tanah Abang. Hanya perlu waktu sepuluh menit untuk sampai di sana. Jalanan lancar di Minggu pagi.

KRL menuju Maja sudah ada di peron. Tidak begitu banyak penumpangnya; saya bisa duduk dengan santai. Pukul 7.35 tepat, kereta mulai jalan. Aplikasi Trafi yang saya instal di HP sangat membantu saya memantau jadwal kereta. Ketepatannya luar biasa.

Ini adalah kali kedua saya ke Maja. Pertama kali saya ke sana di awal tahun lalu untuk melihat rumah contoh. Jalan-jalan ke Maja pagi ini seperti mengingatkan diri sendiri kalau saya suka dengan pemandangan yang dilewati.

Saya sering naik KRL ke arah Bogor, tapi tak terlalu suka dengan pemandangan yang ditawarkan. Tapi KRL ke arah Maja punya banyak pemandangan hijau yang ditampilkan. Untuk sesaat saya sempat membayangkan kalau saat ini saya sedang jalan-jalan naik kereta di Jepang atau naik kereta dari Wageningen ke Amsterdam hehe...

Rentang waktu 1.5 jam perjalanan tak membuat saya capek, bahkan sebaliknya. I enjoyed this trip very much! Ketika akhirnya sampai di Stasiun Maja, saya sempat membandingkannya dengan dulu saat saya ke sana pertama kali, setahun lalu. Saat itu stasiun belum direnovasi. Kini stasiun nampak lebih bersih dan lapang.


Dari stasiun saya naik ojek ke kantor marketing Citra Maja Raya. Belum banyak calon penghuni yang datang di sana. Saya dapat urutan nomor tiga untuk serah terima.

Proses serah terima berjalan dengan cepat. Setelah mencocokkan identitas, agen Citra Maja Raya akan menyampaikan informasi mengenai apa saja yang diberikan (satu set kunci dan kran air), prosedur komplain, biaya lingkungan bulanan, dan kompensasi keterlambatan. Iya, serah terima mestinya dilakukan awal tahun, namun karena terkendala kondisi lapangan, serah terima baru bisa dilakukan September ini. Saya dapat kompensasi yang lumayan. Bisa buat nambah-nambah renovasi.

Oya, ngomong-ngomong soal renovasi, agen bilang renovasi sebaiknya dilakukan setelah masa garansi habis, yakni setelah enam bulan. Karena kalau tidak, maka garansinya bisa langsung hangus.

Setelah terima kunci, saya datang ke konter sebelah untuk urusan PDAM. Kata ibu petugasnya, nanti saya akan dihubungi lagi setelah beberapa minggu. Untuk urusan listrik saya tinggal isi token prabayar.

Dari kantor marketing, saya dan dua calon penghuni lain diantar naik mobil ke lokasi rumah. Mobil ini difasilitasi oleh pengembang. Masuk ke dalam perumahan, di kiri-kanan masih gersang. Baru ada pohon-pohon kurus yang ditanam. Pembangunan masih jelas terlihat dimana-mana. Meskipun di dalam mobil ber-AC, saya tahu di luar pasti panas menyengat.

Kami ke Park Lane dulu karena lebih dekat. Itu adalah kluster yang diambil orang yang bareng dengan saya. Dari sana, kami baru masuk ke kluster saya di Spring Wood.

Perasaan saya saat masuk ke kluster ini mungkin sama seperti seorang ibu saat melihat bayinya. (I know it's lebay, but still). Kluster ini mungkin bukan yang terbaik, tapi saya lebih menyukainya dibanding kluster lain sejenis. Seperti ada rasa familiar yang nyata. Kalau sebelumnya saya beberapa kali memimpikannya, kini saya benar-benar ada di sana.

Beda dengan Park Lane, kluster Spring Wood lebih beralun. Jalannya yang naik turunnya lebih kentara. Rumah saya ada di lokasi agak menurun.

Saya foto beberapa kali bahkan sebelum saya memasukinya. Bapak driver yang baik mau juga dimintai tolong untuk memotret. Entah kenapa saya terharu saat pertama kali membuka pintunya.


Rasa haru ini rupanya tak bertahan lama. Begitu masuk ke dalam rumah, saya tahu banyak hal yang harus dilakukan. Karena ukurannya yang kecil, saya mesti pintar-pintar mengatur perabotan. (Nanti, kalau sudah mulai diisi.) Dapur belum ada, bagian belakang masih berupa tanah. Saya tidak suka pintu kamar-kamarnya, dan saya ingin kamar mandi direnovasi. Atau kalau perlu dipindahkan ke belakang. Saya juga ingin taman di depan rumah mulai ditanami. Kalau bisa, dindingnya diberi wallpaper dan lantainya dialasi kayu. Jendela juga perlu diberi teralis, dan pagar juga mesti dipikirkan. Well, PR-nya masih banyak ternyata.

Mungkin mesti diurus nanti,  satu per satu. Untuk saat ini, saya bersyukur sudah punya rumah sendiri meski kecil. It is a tiny house indeed, but I intend to make it a home.