Sunday 17 September 2017

Belajar dari Keluarga Nolan



Ketika Kimi mengadakan Kuis Sabtu berhadiah buku pertengahan tahun lalu, saya langsung semangat ikut kuisnya. Seminggu kemudian pemenangnya diumumkan, saya termasuk salah satu di antara empat pemenangnya. Dari awal, Kimi sudah memberi tahu kalau dialah yang menentukan siapa akan mendapatkan buku apa. Melihat judul-judul buku hadiah kuis, saya berharap mendapat A Tree Grows in Brooklyn.



Sepertinya saya kembali beruntung ketika benar buku itu yang diberikan untuk saya. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, judul buku menjadi Sebatang Pohon Tumbuh di Brooklyn, konsisten dengan judul aslinya. Sebelumnya saya tak pernah tahu buku karangan Betty Smith itu, padahal buku ini termasuk cerita klasik yang menjadi best seller di banyak negara. Tapi selera orang kadang berbeda. Saya baca sinopsis di sampul belakang buku, sepertinya menjanjikan.

Banyak orang yang melewatkan kata pengantar dari sebuah buku, saya nyaris selalu membacanya. Anna Quindlen (belakangan saya tahu kalau dia adalah penulis, jurnalis, sekaligus kolumnis yang pernah mendapatkan penghargaan Pulitzer Prize for Commentary di tahun 1992) menulis kata pengantar sebanyak empat lembar, tapi itu cukup membuat saya kehilangan minat pada buku itu. Well, sebenarnya hanya satu kalimat. Quindlen mengatakan “Di Brooklyn Francie yang tercinta, pemerkosa menguntit di lorong, wanita muda melahirkan di luar nikah dan dicerca, bahkan diserang, pria tua baik hati di toko rongsokan bukanlah orang yang patut didekati anak-anak karena berbahaya.”

Tetiba buku itu terlihat muram. Sangat muram.

Emosi saya gampang terpengaruh oleh buku yang saya baca. Oleh karena itu, saya menghindari membaca buku-buku yang membuat perasaan saya terusik tak nyaman. Terlebih Quindlen tak ragu mengungkapkan kalau “ini adalah kisah yang bersifat autobiografi; awalnya ditulis sebagai memoar, lalu dirombak menjadi fiksi...” Buku ini memang termasuk kategori fiksi, tapi ada kenyataan di dalamnya.

Saya belum sanggup membacanya. Akhirnya buku itu masuk dalam tumpukan buku yang masuk dalam daftar “Akan Dibaca, Tapi Nanti”. “Nanti” di sini bisa sangat relatif. Butuh waktu hingga setahun untuk akhirnya saya beranikan diri untuk membacanya.

Saya kembali membaca kata pengantar dari Quindlen. Ternyata satu tahun bisa mengubah banyak hal. Perasaan saya lebih ringan saat membacanya, dan secara ajaib buku itu menjadi lebih terang.

Saya mulai membaca halaman pertamanya, dan teringat kalau Quindlen pernah mengatakan “kemegahan buku ini terletak pada deskripsi-deskripsi mendetail mengenai setiap adegan serta tokoh-tokohnya.” Quindlen benar. Sejak halaman pertama, saya dipuaskan dengan kata-kata dan penggambarannya yang detail namun tidak membosankan.

Buku ini mengisahkan tentang Francie Nolan, gadis kecil berumur sebelas tahun dari keluarga imigran yang tinggal di Brooklyn. Ayahnya – Johnny Nolan – merupakan keturunan Irlandia, sementara ibunya – Katie Nolan – merupakan anak perempuan dari imigran asal Austria. Francie mempunyai seorang adik lelaki bernama Neeley dan keduanya mengumpulkan uang sedari kecil dengan memungut barang rombeng dan menjualnya ke pengepul.

Keluarga Nolan adalah tipikal keluarga miskin Amerika Serikat di tahun 1900-an. Saat itu kehidupan sulit, Brooklyn tempat tinggal Francie adalah daerah kumuh dimana anak-anak kecil menjadi pemungut sampah supaya bisa jajan permen. Mereka sering saling ejek dengan memanggil “tukang pungut sampah!” pada satu sama lain, dan meskipun itu dianggap hal biasa, Francie tetap merasa malu setiap kali mendengarnya.

Johnny adalah ayah yang tampan, penyayang, dengan suara merdu. Dia digambarkan selalu berpakaian rapi dan necis, sering menyanyikan lagu-lagu Irlandia dengan perasaaan rindu. Saya langsung menyukainya karena dia memanggil Francie dengan sebutan sayang “prima dona”. Sayang Johnny tidak cakap mencari pekerjaan. Dia memiliki minat besar untuk menjadi seorang musisi dan penyanyi, namun kemiskinan menjauhkannya dari cita-cita itu. Kekecewaan pada dirinya sendiri membuatnya menjadi pemabuk. Semakin hari, keadaannya semakin buruk.

Katie Nolan digambarkan sebagai perempuan cantik dengan tangan yang indah meskipun tangan itu dia gunakan untuk menyikat lantai dari pagi hingga sore di tiga rumah susun. Ketidakbecusan Johnny bekerja membuat beban Katie semakin bertambah.

Keluarga Nolan mempunyai celengan kaleng untuk menabung. Francie dan Neeley juga selalu menyisihkan uang hasil memungut rongsokan mereka ke dalam celengan. Saya pikir Katie berhasil menjadikan mereka anak-anak yang tidak egois. Atau mungkin, keadaanlah yang memaksa mereka.

Hari Sabtu adalah hari istimewa untuk keluarga Nolan. Kalau sedang beruntung, Francie dan Neeley boleh membeli roti gula sebagai hidangan penutup. Francie akan mengunyahnya pelan-pelan supaya rasa manisnya tidak cepat hilang. Di hari biasa, mereka cukup puas dengan roti basi dan pai basi yang tidak terlalu hancur. Setidaknya mereka bisa makan. Pernah di rumah benar-benar tak ada makanan dan Katie menyuruh kedua anaknya berpura-pura menjadi penjelajah di kutub yang harus menahan lapar.

Setiap pagi Katie selalu menyiapkan kopi untuk kemudian dihangatkan kembali sore dan malam hari. Kopinya sangat sedikit, tapi Katie menambahkan chicory – akar tanaman yang bisa dijadikan pengganti kopi – agar kental.

“Kadang saat kau tidak punya apa-apa dan hujan turun dan kau sendirian di flat, rasanya menyenangkan bahwa kau punya sesuatu, sekalipun itu hanya secangkir kopi hitam dan pahit.” Entah kenapa kalimat ini membuat saya merasa hangat.

Ada yang menarik di sini. Francie sebenarnya tidak suka kopi, dia lebih suka menangkupkan kedua tangannya di pinggir gelas yang hangat. Selesai makan, dia dengan enteng membuang kopinya ke bak cuci.

Saya pikir kondisi keluarga Nolan mengharuskan mereka untuk tidak membuang-buang makanan, atau minuman. Tapi Katie mempunyai pemikiran begini, “[…..] Menurutku bagus kalau orang seperti kita bisa membuang-buang sesuatu sekali-sekali dan tahu seperti apa rasanya punya banyak uang serta tidak perlu mengemis.”

A Tree Grows in Brooklyn menceritakan kisah demi kisah yang pada akhirnya terangkai menjadi satu. Alurnya maju mundur, dengan potongan-potongan kisah sebagai latar atau jawaban. Saya seperti dibawa untuk mengikuti perkembangan pemikiran Francie. Dia adalah gadis cilik yang kritis dan pengamatannya terhadap apa yang terjadi di sekitarnya sangat mengagumkan. Ada satu momen ketika Francie mempertanyakan keberadaan Tuhan, di momen yang lain dia mengungkapkan pandangannya tentang kasih. Dunia Francie luas karena keluasan berpikir ibunya, jawaban-jawaban abstrak ayahnya, dan kecintaannya pada buku. Francie menyukai perpustakaan dan menganggap tempat itu seindah gereja. Kegiatan favoritnya di akhir pekan adalah duduk di tangga darurat membaca buku sambil makan permen.

Perubahan-perubahan yang terjadi di keluarga Nolan digambarkan dengan halus, meskipun ada rasa kehilangan yang mendalam karena meninggalnya seorang anggota keluarga. Sementara itu, kecintaan Francie pada bacaan membuatnya menjadi pembaca koran di Biro Kliping Press. Saat itu dia sudah berumur empat belas tahun, tapi mesti berbohong dan menyebut usianya dua tahun lebih tua agar mendapat pekerjaan.

Kehidupan Francie dan keluarganya membaik, dia jatuh cinta dan patah hati, dan akhirnya “menjadi seorang wanita” seperti yang diimpikannya. Dia akhirnya mengucapkan selamat tinggal pada sosoknya di masa lalu, tapi saya mempunyai kesan kuat Francie berterima kasih pada masa kecilnya dulu yang membuatnya tangguh.

Kisah seram tentang penguntit di lorong dan pria pedofil cabul memang ada di buku ini. Namun secara keseluruhan, mood buku ini positif dan itu yang saya rasakan.

Buat saya, buku ini memuaskan batin. Saya menyelesaikan membaca buku dengan perasaan penuh. Terima kasih Kimi untuk bukunya!


Ps. Anyway, Kimi juga kembali mengadakan Kuis Sabtu berhadiah buku di sini. Ayo ikutan!

2 comments:

  1. Jujur nih ya, aku tidak sampai selesai baca ini. Soalnya aku nggak tahan bacanya. Menurutku terlalu bertele-tele dan kayaknya ceritanya lamaaa banget.

    Tapi pas baca review kamu ini ternyata bukunya bagus ya. ^_^

    Oh iya, ayo kamu ikutan juga Kuis Sabtunya!

    ReplyDelete
  2. Selera orang beda-beda sih hehe... Kalo aku malah suka sama deskripsinya yang kuat. Dan terjemahan Bahasa Indonesianya itu beneran bagus lho. Salut!

    ReplyDelete