Ketika Kimi mengadakan Kuis Sabtu berhadiah buku pertengahan tahun lalu, saya langsung semangat ikut kuisnya.
Seminggu kemudian pemenangnya diumumkan, saya termasuk salah satu di antara empat
pemenangnya. Dari awal, Kimi sudah memberi tahu kalau dialah yang menentukan
siapa akan mendapatkan buku apa. Melihat judul-judul buku hadiah kuis, saya
berharap mendapat A Tree Grows in
Brooklyn.
Sepertinya saya kembali beruntung
ketika benar buku itu yang diberikan untuk saya. Diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia, judul buku menjadi Sebatang Pohon Tumbuh di Brooklyn, konsisten
dengan judul aslinya. Sebelumnya saya tak pernah tahu buku karangan Betty Smith
itu, padahal buku ini termasuk cerita klasik yang menjadi best seller di banyak negara. Tapi selera orang kadang berbeda. Saya
baca sinopsis di sampul belakang buku, sepertinya menjanjikan.
Banyak orang yang melewatkan kata pengantar
dari sebuah buku, saya nyaris selalu membacanya. Anna Quindlen (belakangan saya
tahu kalau dia adalah penulis, jurnalis, sekaligus kolumnis yang pernah
mendapatkan penghargaan Pulitzer Prize
for Commentary di tahun 1992) menulis kata pengantar sebanyak empat lembar,
tapi itu cukup membuat saya kehilangan minat pada buku itu. Well, sebenarnya hanya satu kalimat.
Quindlen mengatakan “Di Brooklyn Francie
yang tercinta, pemerkosa menguntit di lorong, wanita muda melahirkan di luar
nikah dan dicerca, bahkan diserang, pria tua baik hati di toko rongsokan
bukanlah orang yang patut didekati anak-anak karena berbahaya.”
Tetiba buku itu terlihat muram. Sangat
muram.
Emosi saya gampang terpengaruh oleh buku
yang saya baca. Oleh karena itu, saya menghindari membaca buku-buku yang membuat
perasaan saya terusik tak nyaman. Terlebih Quindlen tak ragu mengungkapkan
kalau “ini adalah kisah yang bersifat
autobiografi; awalnya ditulis sebagai memoar, lalu dirombak menjadi fiksi...” Buku
ini memang termasuk kategori fiksi, tapi ada kenyataan di dalamnya.
Saya belum sanggup membacanya. Akhirnya
buku itu masuk dalam tumpukan buku yang masuk dalam daftar “Akan Dibaca, Tapi
Nanti”. “Nanti” di sini bisa sangat relatif. Butuh waktu hingga setahun untuk
akhirnya saya beranikan diri untuk membacanya.
Saya kembali membaca kata pengantar
dari Quindlen. Ternyata satu tahun bisa mengubah banyak hal. Perasaan saya lebih
ringan saat membacanya, dan secara ajaib buku itu menjadi lebih terang.
Saya mulai membaca halaman pertamanya,
dan teringat kalau Quindlen pernah mengatakan “kemegahan buku ini terletak pada deskripsi-deskripsi mendetail mengenai
setiap adegan serta tokoh-tokohnya.” Quindlen benar. Sejak halaman pertama,
saya dipuaskan dengan kata-kata dan penggambarannya yang detail namun tidak
membosankan.
Buku ini mengisahkan tentang Francie
Nolan, gadis kecil berumur sebelas tahun dari keluarga imigran yang tinggal di
Brooklyn. Ayahnya – Johnny Nolan – merupakan keturunan Irlandia, sementara
ibunya – Katie Nolan – merupakan anak perempuan dari imigran asal Austria.
Francie mempunyai seorang adik lelaki bernama Neeley dan keduanya mengumpulkan
uang sedari kecil dengan memungut barang rombeng dan menjualnya ke pengepul.
Keluarga Nolan adalah tipikal keluarga
miskin Amerika Serikat di tahun 1900-an. Saat itu kehidupan sulit, Brooklyn
tempat tinggal Francie adalah daerah kumuh dimana anak-anak kecil menjadi
pemungut sampah supaya bisa jajan permen. Mereka sering saling ejek dengan
memanggil “tukang pungut sampah!”
pada satu sama lain, dan meskipun itu dianggap hal biasa, Francie tetap merasa
malu setiap kali mendengarnya.
Johnny adalah ayah yang tampan, penyayang,
dengan suara merdu. Dia digambarkan selalu berpakaian rapi dan necis, sering
menyanyikan lagu-lagu Irlandia dengan perasaaan rindu. Saya langsung
menyukainya karena dia memanggil Francie dengan sebutan sayang “prima dona”. Sayang Johnny tidak cakap mencari
pekerjaan. Dia memiliki minat besar untuk menjadi seorang musisi dan penyanyi,
namun kemiskinan menjauhkannya dari cita-cita itu. Kekecewaan pada dirinya
sendiri membuatnya menjadi pemabuk. Semakin hari, keadaannya semakin buruk.
Katie Nolan digambarkan sebagai perempuan
cantik dengan tangan yang indah meskipun tangan itu dia gunakan untuk menyikat
lantai dari pagi hingga sore di tiga rumah susun. Ketidakbecusan Johnny bekerja
membuat beban Katie semakin bertambah.
Keluarga Nolan mempunyai celengan kaleng
untuk menabung. Francie dan Neeley juga selalu menyisihkan uang hasil memungut rongsokan
mereka ke dalam celengan. Saya pikir Katie berhasil menjadikan mereka anak-anak
yang tidak egois. Atau mungkin, keadaanlah yang memaksa mereka.
Hari Sabtu adalah hari istimewa untuk
keluarga Nolan. Kalau sedang beruntung, Francie dan Neeley boleh membeli roti
gula sebagai hidangan penutup. Francie akan mengunyahnya pelan-pelan supaya rasa
manisnya tidak cepat hilang. Di hari biasa, mereka cukup puas dengan roti basi
dan pai basi yang tidak terlalu hancur. Setidaknya mereka bisa makan. Pernah di
rumah benar-benar tak ada makanan dan Katie menyuruh kedua anaknya berpura-pura
menjadi penjelajah di kutub yang harus menahan lapar.
Setiap pagi Katie selalu menyiapkan
kopi untuk kemudian dihangatkan kembali sore dan malam hari. Kopinya sangat
sedikit, tapi Katie menambahkan chicory –
akar tanaman yang bisa dijadikan pengganti kopi – agar kental.
“Kadang
saat kau tidak punya apa-apa dan hujan turun dan kau sendirian di flat, rasanya
menyenangkan bahwa kau punya sesuatu, sekalipun itu hanya secangkir kopi hitam
dan pahit.” Entah kenapa kalimat ini
membuat saya merasa hangat.
Ada yang menarik di sini. Francie sebenarnya
tidak suka kopi, dia lebih suka menangkupkan kedua tangannya di pinggir gelas
yang hangat. Selesai makan, dia dengan enteng membuang kopinya ke bak cuci.
Saya pikir kondisi keluarga Nolan mengharuskan
mereka untuk tidak membuang-buang makanan, atau minuman. Tapi Katie mempunyai
pemikiran begini, “[…..] Menurutku bagus
kalau orang seperti kita bisa membuang-buang sesuatu sekali-sekali dan tahu
seperti apa rasanya punya banyak uang serta tidak perlu mengemis.”
A
Tree Grows in Brooklyn menceritakan
kisah demi kisah yang pada akhirnya terangkai menjadi satu. Alurnya maju
mundur, dengan potongan-potongan kisah sebagai latar atau jawaban. Saya seperti
dibawa untuk mengikuti perkembangan pemikiran Francie. Dia adalah gadis cilik
yang kritis dan pengamatannya terhadap apa yang terjadi di sekitarnya sangat
mengagumkan. Ada satu momen ketika Francie mempertanyakan keberadaan Tuhan, di
momen yang lain dia mengungkapkan pandangannya tentang kasih. Dunia Francie luas
karena keluasan berpikir ibunya, jawaban-jawaban abstrak ayahnya, dan kecintaannya
pada buku. Francie menyukai perpustakaan dan menganggap tempat itu seindah
gereja. Kegiatan favoritnya di akhir pekan adalah duduk di tangga darurat membaca
buku sambil makan permen.
Perubahan-perubahan yang terjadi di
keluarga Nolan digambarkan dengan halus, meskipun ada rasa kehilangan yang
mendalam karena meninggalnya seorang anggota keluarga. Sementara itu, kecintaan
Francie pada bacaan membuatnya menjadi pembaca koran di Biro Kliping Press.
Saat itu dia sudah berumur empat belas tahun, tapi mesti berbohong dan menyebut
usianya dua tahun lebih tua agar mendapat pekerjaan.
Kehidupan Francie dan keluarganya
membaik, dia jatuh cinta dan patah hati, dan akhirnya “menjadi seorang wanita” seperti yang diimpikannya. Dia akhirnya
mengucapkan selamat tinggal pada sosoknya di masa lalu, tapi saya mempunyai
kesan kuat Francie berterima kasih pada masa kecilnya dulu yang membuatnya
tangguh.
Kisah seram tentang penguntit di lorong
dan pria pedofil cabul memang ada di buku ini. Namun secara keseluruhan, mood
buku ini positif dan itu yang saya rasakan.
Buat saya, buku ini memuaskan batin. Saya
menyelesaikan membaca buku dengan perasaan penuh. Terima kasih Kimi untuk
bukunya!
Ps. Anyway,
Kimi juga kembali mengadakan Kuis Sabtu berhadiah buku di sini. Ayo
ikutan!