Sudah dua tahun ini
saya tidak nyaman nonton di bioskop. Ada momen-momen ketika sedang nonton dan
mendadak saya ingin cepat-cepat keluar, agak ‘takut’ entah untuk alasan apa.
Mungkin karena gelap, mungkin karena banyaknya orang, mungkin karena suaranya
yang keras. Kalau tidak terpaksa, saya lebih memilih nonton Netflix di kamar.
Tapi The Lion King beda. Melihat trailernya,
saya tahu saya harus nonton film ini di bioskop. Saya pilih nonton di The Premiere
karena tidak terlalu banyak orang di satu studio. Ada jarak yang lumayan lapang
untuk tiap-tiap kursinya. Saya pikir nonton di sana akan menyenangkan.
Kamis pagi, satu hari setelah rilis The Lion King di bioskop Indonesia. Saya
mengecek aplikasi Cinema 21 di HP dan tetiba punya keinginan kuat untuk
mengajak orang lain nonton bareng. Malam sebelumnya, saya ajak teman genk
nonton di The Premiere Lotte Avenue, sayangnya tidak ada yang bisa. Normalnya,
saya akan langsung ngeluyur nonton sendirian seperti biasanya. Tapi hari itu,
saya ingin ditemani seseorang.
Ada satu nama yang
begitu saja terlintas di pikiran. Zi. Saya tahu dia lewat Twitter. Saya pernah
mengirimkan kartu pos untuknya, juga pernah mendapatkan hadiah Gundam coaster karena menang kuis di blognya. Well, hanya sependek itu kami kenal satu
sama lain. Saya tentunya lebih kenal Zi lewat tulisan-tulisannya di blog, dan
saya pikir, dia minimal ‘ngeh’ dengan saya.
Sempat ragu-ragu, akhirnya
saya kirim email untuk mengajak Zi nonton. Ini random dan absurd sih, karena
seperti yang saya bilang, kami sebetulnya tidak sekenal itu. Dia mungkin sudah
punya rencana nonton, atau mungkin malah sudah nonton di hari pertama. Ternyata
belum! Saya tahu itu dari balasan emailnya. Zi mau diajak nonton dan menanyakan
kapan waktunya. Wow. Saya cek Cinema 21 dan masih ada seat untuk jadwal pukul 18:50 hari Kamis itu. Saya kabari dia
tentang jadwal itu dan Zi bilang, “Harusnya nggak ada masalah sih, Mbak.” Wow.
Ternyata mengajak orang nonton bisa sesimpel ini.
Seharian itu kegiatan
di kantor membuat saya lupa tentang rencana nonton ini. Tapi ketika sore
datang, tiba-tiba ada rasa gugup bertemu orang baru. Saya selalu seperti itu (seperti
yang pernah saya tulis di sini, sini, dan sini) *sigh*. Bagaimana kalau nanti saya membosankan? Bagaimana kalau
nanti obrolan kami tidak nyambung? Bagaimana kalau saya melakukan hal-hal yang
memalukan?
Ketika memilih
pakaian, saya baru sadar kalau bekas merah-memanjang di sepanjang tangan kiri
saya masih kentara. Iya, itu adalah efek kerokan akibat masuk angin minggu
sebelumnya. Daaan, baju-baju main saya rata-rata lengan pendek. Duh. Akhirnya saya
memilih menutupinya dengan sweater.
Selesai sholat
Maghrib, saya sudah siap-siap ke Lotte Avenue. Saya cek email, mungkin Zi
membatalkannya? Sebelum rencana nonton
ini, lewat kartu pos saya pernah mengajak Zi ke kafe kucing karena tahu dia
sangat suka kucing. Ketika mutual kami–Kimi namanya–main ke Jakarta, kami bertiga hampir ke kafe kucing
bareng. Tapi di hari-H, Zi mendadak batal ke sana karena sakit. Jadilah hanya
saya dan Kimi yang menengok kucing-kucing lucu itu.
Tidak ada email masuk
di inbox saya. Belum ada kabar. Saya naik gojek setelah lewat pukul 6 sore, dan
mendadak tangan saya dingin meskipun udara panas. Saya yakinkan diri kalau
semua akan baik-baik saja, bahwa bisa saja Zi akhirnya tidak datang, bahwa rasa
gugup saya bakal sia-sia…
Sampai di Lotte, saya
langsung masuk ke ruang tunggu The Premiere. Seorang pramusaji membawakan buku
menu, yang tak begitu saya pedulikan karena nervous mengalahkan rasa lapar.
Nonton bioskop membuat saya ‘takut’, ditambah bertemu orang baru yang membuat
saya gugup. Entah keberanian atau kesembronoan macam apa yang membuat saya menggabungkannya
jadi satu malam itu.
Meskipun tangan saya
tak lagi dingin, deg-degan saya masih terlampau cepat. Dua puluh menit sebelum
jadwal, saya kembali email Zi, mengabarkan kalau saya sudah sampai. Mungkin dia
tidak jadi datang? Mungkin dia harus lembur? Mungkin dia terjebak macet? Dua
menit setelahnya, ada email baru masuk. Zi bilang dia sudah di Lotte. Satu
menit setelahnya, dia bilang akan segera ke XXI.
Saya menunggunya dan
waktu seperti berjalan pelan. Teramat pelan.
Ini adalah saat-saat
ketika saya aware dengan semua yang
saya rasakan. Saya beberapa kali bertemu teman/kenalan baru, rata-rata yang
saya kenal online, dan jeda menuju pertemuan itu selalu membuat saya gugup,
gelisah, tapi juga sekaligus tertarik. Orang yang biasanya hanya ada di layar
HP, sebentar lagi akan muncul di hadapan!
Saya sengaja duduk
menghadap pintu masuk. Bolak-balik mengalihkan pandangan antara menu dan pintu.
Sebelumnya saya pernah mengenali Zi ketika kami tak sengaja sama-sama nonton
salah satu pertandingan Asian Games hari pertama. Saat itu saya terlalu malu
bahkan untuk menyapa. Jadi ketika sadar sesadar-sadarnya kalau dalam hitungan
menit dia akan memasuki pintu itu, rasanya saya masih belum percaya.
Akhirnya orang yang
saya tunggu-tunggu datang juga. Saya tidak terlalu paham jenis pakaian, tapi
yang jelas dia memakai blouse putih
dan bawahan rok bermotif bunga dengan sepatu kets putih. Dia terlihat bingung
dan mencari-cari. Tentu saja, Zi mungkin bahkan tidak tahu saya seperti apa.
Saya mendatanginya dan memperkenalkan diri. Kami bersalaman, lalu saya
mengajaknya ke ruang tunggu The Premiere.
Sepertinya di
awal-awal percakapan kami, saya agak terlalu banyak tersenyum. Tidak ada lagi
tangan yang dingin, rasa gugup hilang begitu saja. Rasanya…sungguh melegakan.
Saya merasa agak canggung, tapi semuanya baik-baik saja. Dia attentive, dan terlihat berusaha
mendengarkan. Justru saya yang kurang konsen karena masih tidak percaya kalau Zi
betulan datang dan sekarang duduk di hadapan. Salah satu blogger favorit saya!
Kalau diminta memilih satu
hal yang standout dari Zi, itu adalah
suaranya. Iya, gaya berpakaiannya kawaii,
tapi suaranya itu lembuuut dan haluuus banget. Ya ampun.
Zi bilang dia ke Lotte
naik MRT dan turun di Benhil. Dia bilang juga kalau dulu ketika masih kuliah di
UI dia sering ke Lotte untuk nonton film–bisa tiga sekaligus–karena harga
tiketnya yang murah; lebih murah dari XXI di Margo City. Saya bilang padanya
kalau saya suka postingan-postingan blog dia, terutama ketika dia review konser.
Zi bisa membuat orang jadi tertarik untuk ikut mendengarkan lagu-lagu yang dia
review. Spesifik, saya sebutkan kalau postingan dia tentang konser Utada Hikaru
itu keren banget. Saya lupa bilang kalau saya bahkan ikut menonton konsernya di
Netflix saking penasaran.
Waktu ngobrol kami tak
lama sampai akhirnya dipanggil masuk ke Studio 2. Kursi-kursi di The Premiere
beda dengan studio biasa, dan saya lupa cara mengesetnya. Terakhir kali saya
nonton di The Premiere itu delapan tahun yang lalu. Saking tidak ingin tengsin,
sebelumnya di kantor saya sempatkan cari video di YouTube tentang The Premiere
ini. Jadi minimal sekarang saya sudah tahu cara mengeset kursinya dan tahu
dimana mencari selimut hehe…
Film masih belum mulai
ketika kami sudah masuk studio. Saya bilang saya sudah sedia kaos kaki
kalau-kalau tambah dingin. Ketahuan kalau umur memang tidak bisa bohong haha!
Jarak usia kami kira-kira delapan tahun. Kalau ketemu langsung seperti ini
rasanya saya melihatnya seperti bocah. Zi bahkan hanya beda tiga tahun dari
adik saya yang paling kecil.
Minuman kami datang
ketika film baru dimulai. Tak lama, churros pesanannya menyusul. The Lion King sesuai dengan ekspektasi
saya. Kualitas gambarnya memuaskan, dan Simba kecil itu imutnya kelewatan. Ada
beberapa adegan yang ditambah, ada juga yang dikurangi. Eh tapi saya menulis
ini bukan untuk review film kan?
Saya ingin cerita perasaan
saya ketika nonton film ini. Rasa ‘takut’ yang kadang muncul ketika nonton di
bioskop nyaris tidak ada. Beberapa kali saya arahkan pandangan ke tulisan “exit” berwarna merah di sisi kiri hanya
untuk jaga-jaga, tapi saya tetap nyaman duduk selonjor di kursi yang memanjang.
Setelah dua tahun, rasanya baru kali itu saya merasa benar-benar aman nonton di
bioskop.
Ketika sedang nonton,
terkadang terlintas satu pikiran kalau malam itu saya sedang beruntung. Duduk
di samping saya, orang yang sudah lama ingin saya temui. Meskipun tak
melihatnya, saya tahu Zi menangis di adegan ketika Mufasa tewas jatuh dari
tebing (beberapa cewek lainnya di studio juga menangis) dan tertawa setiap kali
ada adegan kocak Timon dan Pumbaa. Setidaknya ada dua adegan yang berhasil
membuat Zi tertawa puas: ketika Timon dan Pumbaa menyelipkan curhatan mereka di
lagu Can You Feel the Love Tonight? dan
ketika Pumbaa tidak ngeh kalau dia akan dijadikan umpan untuk hyena-hyena agar
Simba dan Nala bisa ke Scar.
Ketika akhirnya film
selesai, saya lega bukan main. Dua ketakutan saya–takut nonton di biskop dan
takut bertemu orang baru–tidak saya
rasakan di sisa malam itu. Saya antar Zi sampai depan untuk memesan gojek.
Sambil menunggu, Zi cerita tentang hobinya berjalan kaki (“Asal masih kurang
dari tiga [atau lima?] kilometer sih aku masih bisa.”). Saya yang awalnya mau
pesan gojek, jadi memilih untuk jalan kaki ke kosan donk. Mumpung masih rame. Zi
juga cerita tentang kebiasannya tidak memakai kacamata walaupun minusnya
melebihi minus saya.
“Loh kan nanti jadi nggak
keliatan jelas semuanya? Jadi nge-blur
gitu nggak sih?” tanya saya, yang dia jawab, “Ya justru karena nggak ngeliat
jelas gitu jadi nggak terlalu banyak yang diperhatikan.”
Oh.
Ketika akhirnya abang
gojeknya datang, saya tahu itu adalah waktu untuk berpisah. Tanpa diduga, Zi memberikan
satu rangkulan singkat. Bahagia saya lengkap, bahkan kalaupun kami tak sempat
sempat foto bareng. Itu sudah cukup. Sudah lebih dari cukup. Saya lambaikan
tangan padanya, yang dia balas dengan lambaian tangan pula.
Malam itu saya
berjalan kaki pulang ke kosan. Menyusuri Mega Kuningan, saya lepas kacamata dan
melihat semuanya dengan kabur dan menikmati sensasi baru ini. Sampai akhirnya
saya lihat ke atas dan bulan sedang penuh-penuhnya. Saya kembali memakai kacamata
lagi. Malam itu bulan terlihat benderang, dan kini saya bisa melihat lebih
terang.