Wednesday, 19 September 2012

Tentang Mimpi dan Jepang (iii)

Karena ini program Pemerintah Jepang, kami diterbangkan dengan Japan Airlines (JAL). Saya duduk di kursi tengah, baris kedua dari jendela. Yang unik dari JAL adalah adanya tayangan langsung ketika pesawat take off. Ini bisa dilihat melalui layar kecil di atas. Dengan melihat tayangan ini, saya bisa mengetahui situasi di luar sana meskipun tak duduk persis samping jendela.

Dan oh, lupakan semua mellow yang seharian tak lepas dari pikiran. Yang saya rasakan ketika pesawat hendak take off adalah haru. Belum pernah saya merasakan perasaan seperti ini ketika hendak pergi ke suatu tempat. Musik instrumen mengalun pelan, pas dengan momen ketika saya mengerjap-kerjapkan mata supaya tidak menangis. Perasaan saya campur aduk.

Saya menghabiskan waktu di pesawat dengan tidur. Dan sesekali makan, ketika pramugari datang membawa cemilan. Saya sudah kenyang – dan terlalu mengantuk untuk makan – ketika pramugari datang lagi untuk membawa makanan berat, hingga saya mesti menolaknya. 

Ketika saya terbangun di Minggu pagi, pesawat sudah mengambil posisi untuk landing. Dari layar kecil di atas, saya bisa melihat sawah hijau di bawah sana.



Pesawat semakin turun ke bawah, terus ke bawah, hingga menyentuh landasan. Di detik itu, saya menyapa Jepang dengan sapaan paling hangat di pagi itu.

“Akhirnya kita bertemu juga!” 

Tentang Mimpi dan Jepang (ii)

Akhir Juni, 2012. Sore hari, pada sebuah kamar hotel di Bali. Saya baru selesai mengikuti sebuah acara seharian itu. Pantai Kuta terlihat dari jendela kamar, langit berwarna jingga. Saya mendapat email dari seseorang, mengabarkan ada program lain dari Pemerintah Jepang; saya diminta mendaftarkan diri segera. Saya sudah direkomendasikan untuk mewakili kantor.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, saya tak berharap terlalu banyak. Berbeda dengan program yang lalu, program ini hanya berlangsung dua minggu, 20 – 31 Agustus 2012 di Tokyo. Kembali ke Jakarta, saya siapkan semua yang diperlukan, termasuk medical check up. 

Saya baru sadar kalau jadwal program berbarengan dengan Idul Fitri. Saya telepon bapak dan ibu, meminta pendapat. Idul Fitri adalah hari besar dan sakral bagi keluarga kami. Saya selalu merayakannya di rumah bersama keluarga besar. Membayangkan berlebaran di luar rumah – bagaimanapun – bukan hal yang mudah.

Bapak-ibu rupanya lebih memilih saya menuruti mimpi-mimpi saya. Mereka tahu betul tentang impian saya tentang Jepang.

Begitulah, saya sudah mengusahakan sebisa saya. 20 Juli 2012, saya mendapat email tentang hasil screening panitia atas dokumen-dokumen yang sudah saya kirimkan. Saya resmi menjadi calon peserta!

Tentang Mimpi dan Jepang (i)

Saya tahu, pada suatu waktu saya akan menginjakkan kaki di Jepang. Jauh sebelum Irlandia dan Inggris, hati saya sudah tertambat pada Negeri Matahari Terbit itu. Kecintaan saya semakin menjadi ketika SMP. Saya membuat puisi tentangnya, memikirkan dengan sungguh-sungguh cara untuk menemuinya, membayangkan menyeberangi Samudera Pasifik hanya untuk berjumpa dengannya. Pikiran yang liar, karena saat itu, bahkan melewati batas Pulau Jawa pun belum pernah saya lakukan.

Di suatu siang di sekolah, saya menghitung berapa biaya untuk pergi ke Jepang; berapa banyak saya harus menabung setiap harinya. Uang saku saya seribu rupiah saat SMP. Kedua orang tua saya adalah guru SD, saya tidak pernah memimpikan pergi liburan ke luar negeri dengan uang dari bapak-ibu. Kota kecil saya tidak memberikan kebebasan untuk memikirkan alternatif-alternatif untuk pergi ke Jepang; seperti mencoba meraih beasiswa, misalnya. Yang saya pikirkan saat itu, menabung adalah satu-satunya pilihan paling masuk akal. Saya tahu, suatu saat nanti saya akan menginjakkan kaki di Jepang. Ini hanya masalah waktu.