Sejak tahun pertama membuat blog pada
2011, saya selalu membuat semacam ringkasan tentang apa-apa yang saya pikir
perlu diingat selama rentang setahun untuk kilas balik di akhir tahun. Itu
masih tetap saya lakukan di 2012, namun ‘terlupakan’ di penghujung 2013. Saya
ingin kembali menulis untuk flash back 2014,
dan supaya ingatan tentang 2013 tidak hilang, saya akan menjadikannya satu di
postingan ini dengan melakukan komparasi pada keduanya.
1. Tahun tercapainya
mimpi-mimpi
Kalau ada hal yang bisa menjadi benang
merah antara 2013 dan 2014, itu adalah tercapainya mimpi-mimpi saya – mulai dari kuliah di Eropa hingga menjelajah
London dan bertualang ke kota kelahiran The
Corrs di Dundalk, Irlandia. Pada kilas
balik 2012, ini salah satu yang saya ungkapkan
tentang mencari beasiswa luar negeri, “Ada saat-saat
ketika saya ingin menyerah. Tapi saya pastikan, tahun 2013 bukanlah saatnya.” Terjemahan bebasnya: “Saya sudah hampir menyerah, tapi
hey, mungkin saya bisa mencoba sekali lagi
untuk tahun 2013”. Beruntung saya masih niatkan diri dan terus berusaha
mendapatkan beasiswa di Belanda untuk tahun 2013, yang langsung terbayar dengan
diterimanya saya pada dua skema beasiswa sekaligus. Cerita selengkapnya bisa di
sini. Di tahun 2014, bucket list
untuk pergi ke Inggris dan Irlandia telah saya coret dengan perasaan puas.
Ceritanya bisa dibaca di sini dan sini.
2. Tahun-tahun
kecemasan
Tahun 2013 dan 2014 juga tahun yang
membuat saya cemas karena banyak hal baru yang mesti dijalani. 2013 lebih
membuat saya gelisah karena bayangan kuliah dan
tinggal di Eropa masih terlampau abstrak buat saya. “Bagaimana kalau?”
adalah kalimat tanya yang sering membuat tidur saya gelisah, terutama menjelang
keberangkatan saya ke Belanda. Di awal-awal kuliah, pertanyaan yang sama juga
tak mudah ditepis.
“Bagaimana kalau nilainya jelek?”
“Bagaimana kalau tidak bisa mingle dengan teman-teman?”
“Bagaimana kalau tidak lulus?”
Di tahun 2014, gelisah dan cemas saya
bisa berkurang seiring semakin pahamnya saya tentang sistem belajar di kampus.
Percaya diri saya meningkat di awal tahun, untuk kemudian kembali melorot saat
membuat thesis.
“Bagaimana kalau tidak bisa merampungkan
thesis?”
“Bagaimana kalau thesis defence-nya berantakan?”
“Bagaimana kalau tidak lulus?”
Percayalah, banyak sekali “Bagaimana
kalau?” yang terpikir dari mulai saya akan berangkat ke Belanda di tahun 2013
hingga setelah kembali ke Indonesia di tahun 2014. Melihat ke belakang, saya
bersyukur bisa melewati masa-masa cemas tersebut.
3. K-pop dan K-drama
Akhir 2013, saya mulai kecanduan
k-pop dan k-drama dan semakin menjadi di tahun 2014. Bermodal koneksi internet
cepat di apartemen, saya tonton k-drama lewat situs dramago, juga lagu-lagu
k-pop di YouTube.
K-drama yang pertama saya tonton di
Belanda adalah Prime Minister and I. Jalan
ceritanya sendiri sangat biasa buat
saya. Kalau bukan karena Yoona, saya malas menonton drama itu. Lee Seung Gi
menjadi penyelamat lewat aktingnya yang charming
di King 2 Hearts. Chemistry Park Yuchun dan Han Ji-Min di
serial Rooftop Prince juga saya suka,
bahkan di episode awal-awal membuat saya cekikikan saking lucunya. Karena
rekomendasi teman, saya juga menonton You
Who Came from the Star yang cheesy tapi
enjoyable. Dari serial itu, saya
terpukau dengan karakter Doo Min-joon yang super keren (Doo Min-joon punya
perpustakaan di lantai bawah rumahnya). Drama terbaru Lee Seung Gi di 2014 – You’re All Surrounded – saya ikuti
sampai akhir.
Untuk k-pop, saya mulai suka
lagu-lagu SNSD. Saya bahkan menulis di sini tentang girl group yang menjadi salah satu ikon Korea Selatan ini. Kalau di
tahun 2013 saya masih sering bingung membedakan personel SNSD satu dengan
lainnya, di tahun 2014 saya sudah lulus menghapal nama dan semakin mahir
mengenali suara masing-masing anggota SNSD. I
think it is safe to say that 2013 and 2014 were my k-pop years.
4. Daylight, Brave, A Look Back
Tiga judul lagu di atas adalah lagu
yang ‘saya banget’ di sepanjang 2013
dan 2014. Menjelang akhir 2013, saat saya akan pergi ke Belanda, lagu Daylight-Maroon 5 jadi semacam lagu
perpisahan.
“Here I am waiting.. I’ll have to leave soon. Why am I
holding on?”
Saya ingat menangis sesenggukan
karena lagu itu. Perasaan saya campur aduk antara takut dan cemas. Dalam tempo
setahun, banyak hal yang bisa terjadi. Saya takut ketika kembali nanti,
semuanya jadi berubah.
Perasaan yang berbeda saya rasakan
saat mendengarkan lagu itu setelah saya lulus dan akan kembali ke Indonesia di akhir
tahun 2014. Lagu itu jadi lagu perpisahan untuk teman-teman yang mungkin – mungkin – tidak bisa saya temui lagi
karena beda benua.
“We knew this day would come.. We knew it all along..
How did it come so fast?”
Sementara Daylight jadi lagu sedih, Brave
dari Josh Groban selalu saya dengarkan untuk memberikan semangat. Saya
konsisten mendengarkan lagu itu di awal-awal kuliah ketika saya takut dengan
tugas dan ujian, juga masih konsisten mendengarkan menjelang thesis defence.
“You wanna run away.. run away.. And you say that it
can’t be so
You wanna look away.. look away.. But you stay ‘cause
it’s all so close”
Dan ini lirik favorit saya.
“You can’t hide forever from the thunder.. Look into
the storm and feel the rain…”
A Look Back – musik intrumental ciptaan Keith Kenniff – yang saya
kenal pertama kali dari Facebook menjadi lagu manis penutup 2014. Mendengar
lagu itu, saya diingatkan dengan setahun perjalanan saya di Belanda; mengingat
kota kecil Wageningen yang damai dan menentramkan, kegiatan kampus dan beragam interaksi
dengan teman-teman dari berbagai negara, awkward
moments pada semua yang pertama, apartemen kampus tempat saya merasa paling
nyaman, juga jalan-jalan mulai dari Amsterdam, Ede, Delft, Rotterdam, Den
Bosch, Maastricht, Den Haag, Zwolle, Volendam, Keukenhof di Lisse, Nijmegen,
Groningen, Leeuwarden, hingga perjalanan favorit saya naik Bis 88 ke Arnhem.
Seperti artinya, A Look Back juga membuat saya menengok ke belakang untuk mengingat excursion kampus ke Prancis dan Spanyol,
jalan-jalan dengan teman-teman ke Jerman, dan banyak jalan-jalan solo – yang membuat saya merasa utuh namun juga
merasa tak lengkap di saat yang bersamaan – ke negara-negara wish list seperti Swiss, Norwegia,
Italia, Belgia dan tentu saja negara impian saya: Inggris dan Irlandia.
Lagu itu juga mengingatkan saya pada makanan yang saya
sukai di Belanda (kebab di Wageningen Centrum yang rasanya juara, rice and beef di kantin kampus yang
awalnya saya hindari, juga jajanan kecil macam poffertjes), pada dance yang
saya lakukan malu-malu di party dan
acara kumpul-kumpul lainnya, pada selimut listrik dan coklat panas yang membuat
saya tetap hangat, pada well.. semuanya di
Eropa sana. Tak habis-habis jika saya
ceritakan satu-satu. But I’m sure you got
the idea.
5. Catching Fire dan Mockingjay I
November 2013, untuk pertama kalinya
saya menonton film di bioskop Cinemec Ede, dekat Wageningen. Film yang saya
tonton adalah Catching Fire, sekuel
dari The Hunger Games. Saya coba ajak
teman kampus untuk menonton, tapi tidak ada yang mau. Well, dengan internet kencang 24/7, kita bisa download bajakan film
apapun, menontonnya sambil tiduran di
kasur, dan menghemat 12 euro (bisa untuk makan siang 4x di kantin kampus). Tapi saya tetap ingin menonton di bioskop.
Saya pikir 12 Euro worth-it untuk
pengalaman menonton di tempat yang baru. Begitulah. Saya ke Cinemec sendirian.
Awalnya canggung namun lama-lama terbiasa. Saya tuliskan pengalaman saya di sini.
Setahun kemudian, Desember 2014, saya
sudah di Indonesia. Kali ini, film lanjutan The
Hunger Games saga – Mockingjay I – sudah
masuk Jakarta. Saya berencana menontonnya dengan teman-teman, tapi mereka
malahan menonton sendiri-sendiri. Jadilah saya menonton dengan teman yang baru
dikenalkan oleh teman saya.
The funny thing is that I felt more lonely watching
movie with him than when I watched the movie by myself. Not that because he
didn’t have efforts to talk or anything. He bought us popcorn and drinks and we
had this chit-chat. But it didn’t seem right. It just didn’t feel alright. Kalau boleh memilih, saya mending menonton sendiri.
6. Outliers dan Perfect
Outliers dari Malcolm
Gladwell adalah buku yang
mengingatkan saya pada 2013 dan 2014. Seorang teman baik memberikan buku itu
buat saya sebelum saya pergi ke Belanda. Saya suka isinya, tentang
kejadian-kejadian random yang well.. tidak
begitu random kalau kita mau melihat lebih jeli lagi. Menarik! Karena isinya
yang tidak menuntut untuk dibaca secara terus-menerus, saya mencicil
membacanya. Outliers adalah buku yang
paling sering saya bawa saat bepergian, untuk senjata membunuh waktu
kalau-kalau saya bosan mau melakukan apa. Buku itu saya tamatkan di 2014 dengan
ending yang wow.
Rachel Joyce menarik perhatian saya
lewat bukunya yang pertama saya baca: Perfect.
Awal 2014, saya ingin membaca sesuatu yang baru, sesuatu di luar buku-buku atau penulis yang saya kenal. Saya
memilih Perfect secara acak (well.. saya baca sinopsis di cover belakangnya terlebih dulu sih,
hanya itu). Alur ceritanya yang lambat dan maju-mundur membuat saya
malas-malasan membacanya.
Namun uniknya, seperti ada sesuatu
yang membuat saya terhubung dengan tokoh utama di buku tersebut. Saya merasakan
ikatan dengan karakternya dan di sepertiga akhir buku tersebut – sudah tak
terbendung – saya jatuh pada karakter
tersebut. Sepanjang yang saya ingat, karakter itu adalah karakter pertama dalam
buku yang membuat saya ingin memeluknya dengan kasih.
7. From Sharon Corr to The Celtic Tenors
Tak banyak konser yang saya datangi
di dua tahun terakhir. Bukan masalah, karena pada Desember 2013 akhirnya saya
bisa menonton konser Sharon Corr. Live! Saya
tuliskan kisahnya di sini. Beberapa bulan setelahnya – April 2014 – saya
dan dua orang teman menonton The Celtic Tenors.
Kalau saat nonton konser Sharon Corr
saya beli CD-nya, hal yang sama tak saya lakukan untuk The Celtic Tenors. Saat
itu, tabungan saya terkuras hingga menyisakan 1 Euro di ABN Amro karena membeli
tiket pesawat pp Amsterdam-Jakarta untuk keperluan thesis dengan uang sendiri. Kampus
baru akan menggantinya pada bulan berikutnya. Well, saya masih memegang kartu ATM dari Indonesia sih, untuk
jaga-jaga. Namun waktu itu saya sedang tidak ingin berboros-boros membeli yang
tidak begitu diperlukan. Praktis saya cuma menonton konsernya, tidak punya CD
sebagai kenang-kenangan.
Lanjut ke sini.
No comments:
Post a Comment