Monday, 5 January 2015

2013 vs 2014 (I)


Sejak tahun pertama membuat blog pada 2011, saya selalu membuat semacam ringkasan tentang apa-apa yang saya pikir perlu diingat selama rentang setahun untuk kilas balik di akhir tahun. Itu masih tetap saya lakukan di 2012, namun ‘terlupakan’ di penghujung 2013. Saya ingin kembali menulis untuk flash back 2014, dan supaya ingatan tentang 2013 tidak hilang, saya akan menjadikannya satu di postingan ini dengan melakukan komparasi pada keduanya.

1.     Tahun tercapainya mimpi-mimpi
Kalau ada hal yang bisa menjadi benang merah antara 2013 dan 2014, itu adalah tercapainya mimpi-mimpi saya – mulai dari kuliah di Eropa hingga menjelajah London dan bertualang ke kota kelahiran The Corrs di Dundalk, Irlandia. Pada kilas balik 2012, ini salah satu yang saya ungkapkan tentang mencari beasiswa luar negeri, Ada saat-saat ketika saya ingin menyerah. Tapi saya pastikan, tahun 2013 bukanlah saatnya. Terjemahan bebasnya: “Saya sudah hampir menyerah, tapi hey, mungkin saya bisa mencoba sekali lagi untuk tahun 2013”. Beruntung saya masih niatkan diri dan terus berusaha mendapatkan beasiswa di Belanda untuk tahun 2013, yang langsung terbayar dengan diterimanya saya pada dua skema beasiswa sekaligus. Cerita selengkapnya bisa di sini. Di tahun 2014, bucket list untuk pergi ke Inggris dan Irlandia telah saya coret dengan perasaan puas. Ceritanya bisa dibaca di sini dan sini.

2.     Tahun-tahun kecemasan
Tahun 2013 dan 2014 juga tahun yang membuat saya cemas karena banyak hal baru yang mesti dijalani. 2013 lebih membuat saya gelisah karena bayangan kuliah dan tinggal di Eropa masih terlampau abstrak buat saya. “Bagaimana kalau?” adalah kalimat tanya yang sering membuat tidur saya gelisah, terutama menjelang keberangkatan saya ke Belanda. Di awal-awal kuliah, pertanyaan yang sama juga tak mudah ditepis.

“Bagaimana kalau nilainya jelek?”
“Bagaimana kalau tidak bisa mingle dengan teman-teman?”
“Bagaimana kalau tidak lulus?”

Di tahun 2014, gelisah dan cemas saya bisa berkurang seiring semakin pahamnya saya tentang sistem belajar di kampus. Percaya diri saya meningkat di awal tahun, untuk kemudian kembali melorot saat membuat thesis.

 “Bagaimana kalau tidak bisa merampungkan thesis?”
“Bagaimana kalau thesis defence-nya berantakan?”
“Bagaimana kalau tidak lulus?”

Percayalah, banyak sekali “Bagaimana kalau?” yang terpikir dari mulai saya akan berangkat ke Belanda di tahun 2013 hingga setelah kembali ke Indonesia di tahun 2014. Melihat ke belakang, saya bersyukur bisa melewati masa-masa cemas tersebut.

3.     K-pop dan K-drama
Akhir 2013, saya mulai kecanduan k-pop dan k-drama dan semakin menjadi di tahun 2014. Bermodal koneksi internet cepat di apartemen, saya tonton k-drama lewat situs dramago, juga lagu-lagu k-pop di YouTube.

K-drama yang pertama saya tonton di Belanda adalah Prime Minister and I. Jalan ceritanya sendiri sangat biasa buat saya. Kalau bukan karena Yoona, saya malas menonton drama itu. Lee Seung Gi menjadi penyelamat lewat aktingnya yang charming di King 2 Hearts. Chemistry Park Yuchun dan Han Ji-Min di serial Rooftop Prince juga saya suka, bahkan di episode awal-awal membuat saya cekikikan saking lucunya. Karena rekomendasi teman, saya juga menonton You Who Came from the Star yang cheesy tapi enjoyable. Dari serial itu, saya terpukau dengan karakter Doo Min-joon yang super keren (Doo Min-joon punya perpustakaan di lantai bawah rumahnya). Drama terbaru Lee Seung Gi di 2014 – You’re All Surrounded – saya ikuti sampai akhir.

Untuk k-pop, saya mulai suka lagu-lagu SNSD. Saya bahkan menulis di sini tentang girl group yang menjadi salah satu ikon Korea Selatan ini. Kalau di tahun 2013 saya masih sering bingung membedakan personel SNSD satu dengan lainnya, di tahun 2014 saya sudah lulus menghapal nama dan semakin mahir mengenali suara masing-masing anggota SNSD. I think it is safe to say that 2013 and 2014 were my k-pop years.

4.     Daylight, Brave, A Look Back
Tiga judul lagu di atas adalah lagu yang ‘saya banget’ di sepanjang 2013 dan 2014. Menjelang akhir 2013, saat saya akan pergi ke Belanda, lagu Daylight-Maroon 5 jadi semacam lagu perpisahan.

“Here I am waiting.. I’ll have to leave soon. Why am I holding on?”

Saya ingat menangis sesenggukan karena lagu itu. Perasaan saya campur aduk antara takut dan cemas. Dalam tempo setahun, banyak hal yang bisa terjadi. Saya takut ketika kembali nanti, semuanya jadi berubah.

Perasaan yang berbeda saya rasakan saat mendengarkan lagu itu setelah saya lulus dan akan kembali ke Indonesia di akhir tahun 2014. Lagu itu jadi lagu perpisahan untuk teman-teman yang mungkin – mungkin – tidak bisa saya temui lagi karena beda benua.

“We knew this day would come.. We knew it all along.. How did it come so fast?”

Sementara Daylight jadi lagu sedih, Brave dari Josh Groban selalu saya dengarkan untuk memberikan semangat. Saya konsisten mendengarkan lagu itu di awal-awal kuliah ketika saya takut dengan tugas dan ujian, juga masih konsisten mendengarkan menjelang thesis defence.

“You wanna run away.. run away.. And you say that it can’t be so
You wanna look away.. look away.. But you stay ‘cause it’s all so close”

Dan ini lirik favorit saya.

“You can’t hide forever from the thunder.. Look into the storm and feel the rain…”

A Look Back – musik intrumental ciptaan Keith Kenniff – yang saya kenal pertama kali dari Facebook menjadi lagu manis penutup 2014. Mendengar lagu itu, saya diingatkan dengan setahun perjalanan saya di Belanda; mengingat kota kecil Wageningen yang damai dan menentramkan, kegiatan kampus dan beragam interaksi dengan teman-teman dari berbagai negara, awkward moments pada semua yang pertama, apartemen kampus tempat saya merasa paling nyaman, juga jalan-jalan mulai dari Amsterdam, Ede, Delft, Rotterdam, Den Bosch, Maastricht, Den Haag, Zwolle, Volendam, Keukenhof di Lisse, Nijmegen, Groningen, Leeuwarden, hingga perjalanan favorit saya naik Bis 88 ke Arnhem.

Seperti artinya, A Look Back juga membuat saya menengok ke belakang untuk mengingat excursion kampus ke Prancis dan Spanyol, jalan-jalan dengan teman-teman ke Jerman, dan banyak jalan-jalan solo – yang membuat saya merasa utuh namun juga merasa tak lengkap di saat yang bersamaan – ke negara-negara wish list seperti Swiss, Norwegia, Italia, Belgia dan tentu saja negara impian saya: Inggris dan Irlandia.
Lagu itu juga mengingatkan saya pada makanan yang saya sukai di Belanda (kebab di Wageningen Centrum yang rasanya juara, rice and beef di kantin kampus yang awalnya saya hindari, juga jajanan kecil macam poffertjes), pada dance yang saya lakukan malu-malu di party dan acara kumpul-kumpul lainnya, pada selimut listrik dan coklat panas yang membuat saya tetap hangat, pada well.. semuanya di Eropa sana. Tak habis-habis jika saya ceritakan satu-satu. But I’m sure you got the idea.

5.     Catching Fire dan Mockingjay I
November 2013, untuk pertama kalinya saya menonton film di bioskop Cinemec Ede, dekat Wageningen. Film yang saya tonton adalah Catching Fire, sekuel dari The Hunger Games. Saya coba ajak teman kampus untuk menonton, tapi tidak ada yang mau. Well, dengan internet kencang 24/7, kita bisa download bajakan film apapun, menontonnya sambil tiduran di kasur, dan menghemat 12 euro (bisa untuk makan siang 4x di kantin kampus). Tapi saya tetap ingin menonton di bioskop. Saya pikir 12 Euro worth-it untuk pengalaman menonton di tempat yang baru. Begitulah. Saya ke Cinemec sendirian. Awalnya canggung namun lama-lama terbiasa. Saya tuliskan pengalaman saya di sini.

Setahun kemudian, Desember 2014, saya sudah di Indonesia. Kali ini, film lanjutan The Hunger Games saga – Mockingjay I – sudah masuk Jakarta. Saya berencana menontonnya dengan teman-teman, tapi mereka malahan menonton sendiri-sendiri. Jadilah saya menonton dengan teman yang baru dikenalkan oleh teman saya.

The funny thing is that I felt more lonely watching movie with him than when I watched the movie by myself. Not that because he didn’t have efforts to talk or anything. He bought us popcorn and drinks and we had this chit-chat. But it didn’t seem right. It just didn’t feel alright. Kalau boleh memilih, saya mending menonton sendiri.

6.     Outliers dan Perfect
Outliers dari Malcolm Gladwell adalah buku yang mengingatkan saya pada 2013 dan 2014. Seorang teman baik memberikan buku itu buat saya sebelum saya pergi ke Belanda. Saya suka isinya, tentang kejadian-kejadian random yang well.. tidak begitu random kalau kita mau melihat lebih jeli lagi. Menarik! Karena isinya yang tidak menuntut untuk dibaca secara terus-menerus, saya mencicil membacanya. Outliers adalah buku yang paling sering saya bawa saat bepergian, untuk senjata membunuh waktu kalau-kalau saya bosan mau melakukan apa. Buku itu saya tamatkan di 2014 dengan ending yang wow.

Rachel Joyce menarik perhatian saya lewat bukunya yang pertama saya baca: Perfect. Awal 2014, saya ingin membaca sesuatu yang baru, sesuatu di luar buku-buku atau penulis yang saya kenal. Saya memilih Perfect secara acak (well.. saya baca sinopsis di cover belakangnya terlebih dulu sih, hanya itu). Alur ceritanya yang lambat dan maju-mundur membuat saya malas-malasan membacanya.

Namun uniknya, seperti ada sesuatu yang membuat saya terhubung dengan tokoh utama di buku tersebut. Saya merasakan ikatan dengan karakternya dan di sepertiga akhir buku tersebut – sudah tak terbendung – saya jatuh pada karakter tersebut. Sepanjang yang saya ingat, karakter itu adalah karakter pertama dalam buku yang membuat saya ingin memeluknya dengan kasih.

7.     From Sharon Corr to The Celtic Tenors
Tak banyak konser yang saya datangi di dua tahun terakhir. Bukan masalah, karena pada Desember 2013 akhirnya saya bisa menonton konser Sharon Corr. Live! Saya tuliskan kisahnya di sini. Beberapa bulan setelahnya – April 2014 – saya dan dua orang teman menonton The Celtic Tenors.

Kalau saat nonton konser Sharon Corr saya beli CD-nya, hal yang sama tak saya lakukan untuk The Celtic Tenors. Saat itu, tabungan saya terkuras hingga menyisakan 1 Euro di ABN Amro karena membeli tiket pesawat pp Amsterdam-Jakarta untuk keperluan thesis dengan uang sendiri. Kampus baru akan menggantinya pada bulan berikutnya. Well, saya masih memegang kartu ATM dari Indonesia sih, untuk jaga-jaga. Namun waktu itu saya sedang tidak ingin berboros-boros membeli yang tidak begitu diperlukan. Praktis saya cuma menonton konsernya, tidak punya CD sebagai kenang-kenangan.

Lanjut ke sini.

No comments:

Post a Comment