Oslo
Saya
selalu ingin pergi ke negara Skandinavia. Pilihan saya waktu itu antara Swedia
atau Norwegia. Saya tidak ingin ke Denmark karena terlalu dekat dengan Belanda,
tapi saya juga mencoret Finlandia karena paling jauh. Akhirnya saya jatuhkan
pilihan ke Oslo karena ingin tahu tentang budaya Viking di sana.
Negara-negara
Skandinavia terkenal mahal, tak terkecuali Norwegia. Jadi saya hanya punya
rencana menghabiskan dua hari satu malam saja. Sabtu, 30 Agustus 2014, saya
berangkat naik KLM pukul 09.20 dan sampai di sana pukul 11.05. Sampai di
bandara, saya langsung tukar Euro ke Kroner. Agak pedih juga sih melihat nilai
tukarnya yang lebih mahal.
Stasiunnya pas sepi
Dari
bandara, saya naik kereta ke pusat kota Olso kira-kira 30 menit. Sampai di
stasiun, saya tinggal jalan kaki ke Sentrum Pensjonat & Hostel tempat saya
menginap. Saya pilih private bed supaya
lebih nyaman. Well, jalan-jalan
sendirian memang jadi berat di ongkos. Kalau ada teman pasti lebih murah karena
bisa sharing. Apalagi sekamar
sebenarnya ada dua kasur.
Sampai di hostel
Karena
hanya dua hari, saya tak membuang-buang waktu untuk mengeksplor Oslo. Selesai
menaruh ransel di hostel, saya pergi ke Istana Oslo dan menyaksikan pergantian
penjaga. Walaupun tidak seheboh di Istana Buckingham, tetap ada juga kok yang
menonton upacara ini.
Royal Palace
Pergantian penjaga istana
Salah satu penjaga istana
Salah satu sudut taman. Cantik yah?
Dari sana, saya ke Frogner Park. Cuaca yang sejuk membuat
jalan-jalan jadi menyenangkan. Banyak patung yang absurd bentuknya di sana,
semuanya dipahat telanjang! Salah satu yang banyak mencuri perhatian orang di
Frogner Park adalah The Monolith setinggi 18 meter. Konon The Monolith ini
terdiri dari 121 patung yang saling bertumpuk yang diterjemahkan sebagai hasrat
manusia untuk menuju keilahian. Oya, di taman ini juga saya menemukan sepasang
kakek-nenek yang sedang jalan-jalan bareng sore-sore. Sweet!
Forgner Park
Banyak patung yang absurd di sana
Patung ini apalagi ^^"
Dari sana,
saya naik kereta ke Holmenkollen. Niatnya sih saya ingin masuk ke museumnya,
tapi karena gerimis – saya tidak bawa payung – saya urungkan niat itu. Takut
malah kehujanan. Alih-alih, saya kembali pulang ke pusat kota. Karena tempatnya
di ketinggian, saya bisa melihat pemandangan di bawah meskipun sebagian
tertutup kabut.
Kembali ke pusat kota, saya pergi ke Oslo Opera House. Ini
adalah teater opera nasional di Norwegia. Saya naik ke atasnya dan melihat
banyak poster terpasang. Di seberangnya, saya lihat gedung-gedung modern dan di
sisi yang lain ada kapal pesiar terbesar yang pernah saya lihat. Dari sana saya
tinggal jalan kaki ke hostel.
Oslo Opera House
Danbo juga ikutan
Kapal pesiar
Dari atas Oslo Opera House
Keesokan harinya saya jalan-jalan santai memotret
gedung-gedung yang intagrammable; mulai
dari Oslo City Hall, The Norwegian Parliament, hingga National Theatre. Dari
sana, saya ke Oslo National Gallery dimana salah satu dari empat versi lukisan The Scream karya Edvard Munch ada di
sana. Saking terkenalnya lukisan ini, orang sampai harus mengantri untuk berfoto
di sampingnya. Rata-rata bergaya a ala The
Scream dengan dua tangan ditangkupkan di kedua pipi sambil pura-pura
menjerit. Saya datang agak pagi dan itu keputusan yang tepat. Begitu saya
keluar dari museum, terlihat antrian yang panjang bahkan hingga ke trotoar
jalanan. Wow.
The Scream
Salah satu ruangan di museum. Asik yah?
Di dalam rumah Igloo
Di dalam museum
Antriannya panjang banget buat masuk museum
Tujuan saya selanjutnya adalah Norwegian Folk Museum. Ini
adalah highlight dari jalan-jalan
saya di Oslo. Open-air museum ini
mirip dengan yang ada di Arnhem, Belanda. Bangunannya yang kuno dipertahankan
bentuknya. Berada di sana, saya seperti berada di masa lalu. Betah rasanya
hanya duduk-duduk sambil melihat-lihat rumah kayu.
Berasa kembali ke masa lalu
Kantor pos jaman dulu
Saat melewati salah satu rumah kayu tersebut, saya lihat
ada seorang sukarelawan (yang memang lazim ada di open-air museum): seorang perempuan dengan baju tradisional
Norwegia tapi versi sederhananya. Saya lihat dia sedang menyiapkan bahan-bahan
untuk dimasak. Iya, jadi sukarelawan itu benar-benar melakukan kegiatan seperti
yang biasa dilakukan orang-orang jaman dulu. Dia lalu cerita tentang rumah
tersebut. Dia bilang si pemilik rumah yang asli datang dari keluarga besar.
Saking tempatnya kecil sementara orangnya banyak, mereka terbiasa tidur
sempit-sempitan. Seingat saya sih rumah ini betulan dipindah dari asalnya, jadi
bukan replika.
Ini dibikin seperti aslinya lho
Dari Norwegian Folk Museum, saya baru tahu kalau salah satu indigenous
people (orang asli) Norwegia itu adalah bangsa Sami. Mereka tidak hanya ditemukan
di bagian utara Norwegia, tapi juga Swedia, Finlandia, hingga Rusia. Jadi di Norwegia
dulu ada dua kubu: orang Norwegia dan orang Sami. Walaupun mereka hidup
berdampingan, tapi hubungannya tidak baik. Konon dulu orang Norwegia sering
merendahkan orang Sami, mungkin karena orang Norwegia sudah lebih maju saat
itu. Ada dua kalimat dari Anders Laresn (1949) yang saya temukan di museum yang menggambarkan
bagaimana orang Norwegia jaman dulu merendahkan orang Sami: “First people, then Sami” dan “There’s a difference betweeen people
(humans) and Sami”. Sedih kan, seolah-olah orang Sami itu dianggap bukan
manusia. Tapi kemudian, jaman berubah dan sekarang sudah lazim orang Norwegia
menikahi orang Sami. Meskipun begitu, di beberapa tempat lainnya masih saja ada
rasisme, sampai-sampai orang marah kalau dibilang bahwa dia keturunan Sami.
Setelah
puas di museum, saya lanjutkan perjalanan ke Viking Ship Museum. Di sana terdapat
puing-puing empat kapal Viking yang ditemukan di empat area Fjord Oslo:
Oseberg, Gokstad, Tune, dan Borre. Keempatnya ditemukan antara tahun 1854
hingga 1904. Keempatnya dijadikan kuburan untuk orang-orang yang berkuasa pada
jamannya. Sebenarnya ada dua museum lagi yang berhubungan dengan kapal, yakni
Fram Museum dan Kon-Tiki Museum. Tempatnya juga berdekatan. Tapi saya mesti
lewatkan kedua museum tadi karena saya masih punya satu museum lagi untuk
dikunjungi sebelum ke bandara.
Di Viking Ship Museum
Pengunjung disuruh mikir juga XD
Saya kembali ke hostel untuk check out, kemudian sambil menggedong ransel saya pergi ke Munch
Museum. Saya ke sana karena teman saya Karen menitip poster The Scream. Saya
sendiri hanya membeli pembatas bukunya saja hehe…
Munch Museum
Flight saya dijadwalkan pukul
19.20 dan sampai Amsterdam pukul 21.10. Saya rasa dua hari cukup untuk
jalan-jalan di Oslo. Padahal nih, sebenarnya saya ingin melihat pemandangan fjord Norwedia yang super keren. Fjord itu sendiri adalah laut memanjang
yang berada di antara tebing-tebing. Oslo juga punya fjord, tapi tidak sekeren fjord
yang ada di utara Norwegia. Kalau sedang beruntung, di sana kita juga bisa
melihat aurora.
Tapi lagi-lagi rencana mengeksplor tempat-tempat yang unik
itu terhambat karena saya jalan sendirian. Seriusan, kalau jalan sendiri itu
semuanya jadi lebih mahal. Terlebih untuk tempat-tempat yang transportasi
publiknya sulit. Lebih enak menyewa mobil rame-rame. Selain itu, saya masih
takut kalau jalan sendirian di tempat yang relatif sepi dengan medan yang sulit
(misal memerlukan hiking untuk sampai
ke penginapan). Kalau cuma jalan-jalan di kotanya saja sih gampang.
Setelah mengunjungi Roma yang tua, Oslo jadi terlihat
modern. Vibe di pusat kota juga fresh. Oya, satu hal yang saya
perhatikan, di Oslo ini banyak orang dengan rambut pirang terang; terutama
perempuannya. Mata mereka juga biru cerah. Di negara-negara lain seperti
Belanda, misalnya, warna rambut mereka juga banyak yang pirang, tapi cenderung
lebih gelap. Di Irlandia justru saya melihat banyak orang berambut coklat. Kalo
di Italia sih sudah jelas ya, rambut mereka juga gelap.
Pusat kota Oslo
Kartu pos untuk dikirim ke teman-teman
Anyway…
Lain kali kalau punya kesempatan ke Norwegia lagi
(amien!), saya berharap bisa pergi ke fjord-nya
yang spektakuler. Dan mungkin, saat itu saya juga bisa melihat aurora secara
langsung.
Destinasi
selanjutnya: Brussels!
No comments:
Post a Comment