Sunday 18 June 2017

Empat Kota Banyak Cerita: Brussels



Brussels
September 2014 itu saya sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan thesis. Itu salah satu momen yang membuat saya stres karena deadline hanya tinggal hitungan minggu. Saya butuh waktu buat jalan-jalan dan menyegarkan pikiran. Kebetulan sedang ada tiket promo ke Brussels, Belgia. Jadilah saya langsung pesan tiket pp untuk hari Sabtu tanggal 6 September.

Mendekati tanggal tersebut, saya sempat berencana membatalkan tiketnya. Biarlah saya merelakan tiket EUR46,20, pikir saya waktu itu. Thesis saya stuck, dan rasanya saya ingin menghabiskan akhir pekan untuk benar-benar menyelesaikan thesis.

Tapi kemudian saya pikir, toh pada akhirnya saya pasti akan menyelesaikan thesis. Sementara saya belum tentu punya waktu lagi untuk jalan-jalan ke Brussels. Akhirnya, meskipun dengan agak berat hati awalnya, saya tetap melanjutkan rencana pergi ke sana.

Dibutuhkan waktu tiga jam dari Utrecht ke Brussels. Keberangkatan dari Utrecht pukul 06.59. Agak PR juga sih karena itu artinya saya mesti berangkat pagi-pagi betul dari Wageningen. Dibutuhkan transfer dua kali di Rotterdam Central dan Roosendaal hingga saya akhirnya sampai di Brussel Centraal pukul 10.04.

 Brussel Centraal


Saya duduk di dekat jendela kereta dan mendekati Brussel Centraal, saya bisa lihat area red light district dengan cewek-ceweknya yang ada dalam display ._. 

Anyway, begitu sampai stasiun, yang pertama saya lakukan di sana adalah sarapan! Hehe… Saya menemukan kedai kebab dan sarapan di sana. Setelah kenyang, saya mulai berjalan kaki santai karena saya memang tidak punya tujuan khusus di Brussels ini. 

Kesan pertama saya tentang Brussels ini adalah kota ini mirip banget dengan kota yang ada di Belanda, tapi sedikit lebih kotor. Ketika melewati Mont des Arts, saya bahkan mencium bau pesing. Padahal ini pusat kota lho. Oya, karena bahasa yang dipakai mayoritas warganya adalah bahasa Belanda dan Prancis, maka dua bahasa ini selalu berdampingan. Misalnya saja papan penunjuk arah di sana menggunakan dua bahasa tersebut.


Mont des Arts. Ini tidak jauh dari Brussel Centraal.


 Papan penanda arahnya memakai dua bahasa

Ketika saya sedang jalan selow, saya lihat ada iring-iringan pawai mobil. Entahlah mereka sedang pawai apa. Yang jelas ada satu mobil model pick up dengan empat lelaki yang heboh sambil minum bir. Centrum di sana ramai dan suasanya mirip dengan yang ada di Belanda. Saya ingin masuk ke salah satu café di sana dan beli waffle karena waffle Belgia termasuk yang paling terkenal. Tapi karena masih kenyang habis makan kebab, saya hanya beli waffle satuan untuk dibawa pulang.




Iring-iringan pawai

Royal Museums of Fine Arts of Belgium adalah highlight jalan-jalan saya di Brussels. Saya ngantri beli tiket dan ada beberapa kategori tiket dengan harga yang berbeda-beda. Saya lupa harga tiketnya, yang jelas harga student dan senior citizen lebih murah dibanding kategori lainnya. Giliran saya persis di depan kasir, saya sudah mengeluarkan sejumlah uang untuk kategori adult. Ternyata saya dimasukkan ke kategori student hehe! Lumayan dapat harga diskon.

 Di dalam Royal Museums of Fine Arts of Belgium

Karena santai, saya coba menikmati melihat lukisan-lukisan yang terpajang di dinding. Saya perhatikan detail fashion pada masa itu, seperti kostum, sepatu, dan pernak-pernik perhiasan yang nge-hit pada jamannya. Kadang saya tidak paham dengan lukisan yang ada, tapi yah…mungkin tidak semua lukisan harus dipahami. Buktinya ada cewek yang kelihatan asik melihat lukisan didominasi hitam tanpa objek. Saya tidak tahu apa maksudnya. Tepat ketika saya ingin memotretnya dari belakang, tiba-tiba dia menoleh. Duh!

 Tidak semua yang ada di museum bisa dipahami


 Saya masih tidak paham tentang konsep lukisan itu

Jalan-jalan saya di Brussels memang tidak maksimal. Selain museum dan centrum, saya paling hanya melewati Saint Jacques-sur-Coudenberg – gereja neoklasik – untuk foto-foto. Saya sempat ingin ke Atomium yang jadi ikon Belgia, tapi saya urungkan niat itu. Rasanya seharian itu tidak akan cukup dihabiskan di sana. Saya ingin juga mampir ke kota sebelah – Ghent – yang konon katanya lebih instagrammable dengan kanal-kanalnya. Tapi lagi-lagi saya urungkan karena mesti menginap minimal semalam untuk mengeksplor baik Brussels dan Ghent. Bahkan Manneken Pis yang jadi ikon Belgia saja saya lewati. I mean…itu cuma patung anak kecil yang lagi pipis.


Suasana Centrum yang ramai

 Musik di Centrum juga lumayan asik

Satu-satunya taman yang saya kunjungi adalah Petit Sablon. Selain pepohonan dan bunga-bunga, di taman ini juga tersebar patung-patung. Salah satu yang terkenal adalah patung Egmont Hornes dan Egmont Hoorn. Di taman ini juga saya melihat sepasang lelaki dan perempuan (mungkin suami istri, berumur lima puluhan) turis dari India yang asik foto-foto. Mereka fotonya lama dan gayanya heboh, kadang dibela-belain foto di antara dedaunan haha!

 Petit Sablon. Ada dua turis India yang niat foto di antara dedaunan ini XD
 
Mestinya saya pulang ke Belanda naik kereta pukul lima sore. Tapi saya sudah keburu pulang sebelum itu. Rasanya jalan-jalan ke Brussels ini yang paling muram, karena ternyata saya masih kepikiran revisi thesis. Ini bukan berarti saya menyesal ya jalan-jalan ke sana. Justru sebaliknya, saya senang hari itu saya memilih pergi ke Brussels dibanding duduk di kamar sambil mengetik revisian.

Next stop: Barcelona!

No comments:

Post a Comment