Sunday 18 June 2017

Empat Kota Banyak Cerita: Roma



Ada satu pertanyaan yang kerap kali dilontarkan seseorang ketika ia baru mengetahui saya pernah kuliah di Belanda. Pertanyaan ini tidak ada hubungannya dengan kuliah dan dianggap lebih menarik buat si penanya ketimbang pertanyaan seputar studi saya di sana. (Tentang hasil penelitian saya, misalnya.) Pertanyaan ini juga enak untuk basa-basi, tidak menimbulkan awkward moment, dan saya gampang saja menjawabnya. Minggu lalu saya kembali mendapatkan pertanyaan itu, dan itu artinya sudah lebih dari dua tahun sejak saya lulus kuliah dan balik ke Indonesia.

“Selama di Eropa, sempat jalan-jalan kemana saja?”

Entah berapa kali saya dapat pertanyaan itu. Tapi setiap kali menjawabnya, setiap kali itu pula saya diingatkan untuk lebih bersyukur. I might not be the luckiest girl in the world, but I felt like one.

Selain Belanda, ada sembilan negara lainnya yang saya kunjungi: Irlandia, Inggris, Spanyol, Prancis, Belgia, Jerman, Swiss, Norwegia, dan Italia. Enam kali saya solo traveling dan tiga lainnya (Prancis, Spanyol, Jerman) saya jalan-jalan dengan teman-teman kampus.

Biasanya kalau sedang kangen, saya buka folder album foto dan mengingat-ingat pengalaman yang lalu. Tapi tidak semua foto dapat bercerita; foto tidak bisa menggambarkan perasaan saya saat itu. Kenangan yang lebih detail saya dapatkan dengan membaca ulang tulisan saya di blog, seperti saat panik karena tersesat di pusat kota Dublin menjelang malam, frustasi karena bolak-balik mencari warung East-West Oriental di tengah hiruk-pikuk China Town di London demi semangkok bakso, atau ngos-ngosan ketika jalan kaki dari hotel menuju Basilique du Sacre Coeur di Paris.


Setelah jalan-jalan, biasanya saya update tulisan di blog. Semakin cepat ditulis, semakin valid dan lengkap ceritanya. Tapiii…ada juga perjalanan yang sampai dua tahun masih tidak dijadikan tulisan; seringnya karena males.

Nah, di postingan ini saya ingin tulis pengalaman jalan-jalan ketika ke Italia, Norwegia, Belgia, dan Spanyol. Keempatnya dilakukan pada waktu yang berlainan. Karena sudah dua tahun lebih, jadi banyak hal yang terlewatkan. Saya mesti buka-buka album foto lagi, mengecek booking tiket pesawat dan hotel di email, dan membuka lagi scrapbook yang berisi “sampah jalan-jalan” seperti sobekan tiket museum, karcis bis, peta gratisan, sampai brosur tempat wisata.

Cerita ini dimulai dari timur ke barat; diawali dari Kota Tua Roma, singgah di Oslo, dilanjutkan di Brussels,  dan berakhir di ibukota Katalonia di Barcelona.

Roma
Liburan pada pertengahan musim panas di bulan Juni 2014 saya gunakan untuk pergi ke Roma. Pagi pukul 09.15, saya naik EasyJet – salah satu maskapai budget – dari Schipol. Dua jam kemudian, saya sampai di Fiumicino yang merupakan bandara utama di Roma. Keluar dari terminal kedatangan, saya menuju terminal bis, membeli tiket, dan langsung memilih kursi dekat jendela.

Tujuan saya adalah Roma Termini, yang merupakan stasiun kereta api utama di kota itu. Terminal bis juga ada dekat sana. Tempatnya strategis karena dekat dengan pusat wisata, termasuk Colosseum. Hotel Louisiana tempat saya menginap selama tiga hari ada di daerah itu.

Fiumicino ke Roma Termini ditempuh dalam waktu satu jam naik bis. Pemandangan pertama yang disuguhkan adalah hamparan gulungan jerami keemasan dengan latar langit biru dan gerombolan awan putih. Matahari terlihat terik, yang ternyata tak bertahan lama.

Suasana Roma Termini

Ketika sampai di Roma Termini, impresi pertama saya adalah ruwet untuk ukuran Eropa. Banyak orang lalu lalang. Di pinggiran jalan mudah ditemukan pedagang kaki lima. Ada yang berjualan souvenir, kaos, hingga buah-buahan yang terlihat segar. Ketika tahu ada penjual kebab halal di seberang Roma Termini, saya langsung tak khawatir dengan menu makan saya selama di sana.

Hotel Louisiana berjarak hanya satu kilometer dari Roma Termini. Mestinya bisa ditempuh 15 menit berjalan kaki. Terlihat mudah ketika saya cek di Google Maps sebelum berangkat, tapi kenyataannya lebih sulit dari yang saya kira. Alamat hotel berada di Via Flavia. Petunjuknya sudah ada, tapi banyaknya gang di sekitaran sana membuat saya pusing. Tanpa internet dan Google Maps, saya hanya mengandalkan peta offline

 Banyak jalan-jalan kecil yang bikin bingung XD

Terik matahari telah berubah jadi awan gelap. Saya tanya orang-orang, dan tak satupun yang berbahasa Inggris. Mungkin saya sedang tidak beruntung. Berburu dengan mendung, saya beli peta kota Roma dengan rincian per wilayah. Via Flavia looked so close yet so far. Bahkan ketika sudah menemukan plang nama jalannya, hotel yang saya tuju belum juga terlihat.

Kecemasan saya beralasan ketika hujan turun dengan deras. Ditambah angin pula. Payung yang saya bawa tak kuat menghalau cipratan hujan. Tanggung dan tidak ada tempat berteduh, saya terus berjalan mencari hotel. Akibatnya, celana jeans saya basah, sepatu dan kaos kaki jadi lembab.

Bolak-balik saya melewati jalan yang sama, dan tetap tidak menemukan hotelnya. Saya harus bisa menemukannya sebelum malam, atau keadaan jadi lebih sulit.

Saat itu pastilah saya terlihat berantakan. Untuk menenangkan pikiran sekaligus mencari tempat berteduh, saya masuk ke dalam café dan memesan coklat panas. Sayang mereka tak menyediakannya. Saya keluar dari café dengan perasaan lebih keruh dari sebelumnya.

Karena hujan deras, tak banyak – nyaris tidak ada – orang yang berkeliaran di jalan. Beda dengan Roma Termini yang hiruk-pikuk, daerah sekitaran hotel ini lebih sepi. Seorang lelaki yang saya tanyai menjawab dengan dengan bahasa Italia. Hanya gerakan tangannyalah yang kira-kira bisa saya mengerti. Ada satu restoran yang beberapa kali saya lewati. Ketika saya lihat ada pelayan yang sedang santai di depan restoran, saya dekati dia dan bertanya tentang alamat hotel; berharap dia sedang benar-benar tidak sibuk. Lelaki tadi dan pelayan itu menunjukkan kalau saya sudah berada di tempat yang tepat. Tapi mana hotelnya?

Sampai akhirnya, saya perhatikan satu bangunan yang sedang direnovasi. Tulisan Hotel Louisiana berukuran kecil baru nampak setelah saya pastikan betul. Saya sudah bolak-balik melewatinya! Jadi bangunan itu tak sepenuhnya milik Hotel Louisiana. Sepertinya ada beberapa hotel dalam satu gedung. Lousiana menempati lantai tertentu. Saya lupa lantai berapa.

Setelah check in dan mendapatkan kunci, saya langsung masuk ke kamar dengan perasaan lega. Saya pilih single room dengan kamar mandi dalam. Masalah berikutnya adalah jeans yang lembab dan sepatu yang basah. Karena hanya niat pergi selama tiga hari, saya tak membawa jeans dan sepatu ganti. Ada sih celana panjang lainnya, tapi itu untuk tidur. Saya jadi bete pada diri sendiri.

Ketika dilihat hujan sudah sepenuhnya reda, saya paksakan untuk tetap keluar. Sekalian untuk mengangin-anginkan jeans dan sepatu. Sambil menghapalkan rute termudah, saya kembali ke Roma Termini dengan berjalan kaki. Karena lebih santai, kini saya bisa lebih menikmati bangunan-bangunan kuno yang saya lewati.

 Bundaran ini jadi patokan saya ke Termini dari hotel

Sore itu tujuan utama saya adalah Altare della Patria. Ini adalah monumen yang dibangun untuk mengormati Victor Emmanuel, raja pertama Italia. Ketika saya datang ke sana, terlihat banyak turis yang berfoto dengan bangunan putih itu sebagai latarnya. Kadang saya agak iri juga melihat mereka  itu datang berombongan atau setidaknya datang berdua dan saling memotret. It looked fun. Entah ya, mungkin suasana yang gloomy membuat saya jadi sedikit mellow. Iya, meskipun sempat cerah, langit kembali mendung dan sempat hujan lagi. Sebelum balik ke hotel, saya bungkus makanan dari resto Cina untuk makan malam.

 Beberapa turis asik main sepeda rame-rame dengan latar Altare della Patria

 Saya cuma bawa Danbo

***

Roma itu seperti kota dari masa lalu. Warna-warna kalem mendominasi  kota ini: gradasi kelabu, coklat, atau putih. Dari buku saku Roma yang saya beli, terlihat banyak bangunan bersejarah yang bisa ditempuh dalam walking distance antara satu dan yang lainnya. Saya beri tanda tempat-tempat yang ingin saya datangi. Saking banyaknya, saya bikin skala prioritas dan akhirnya mengerucut jadi empat teratas.

Yang pertama adalah Colosseum. Buat saya, Colosseum untuk Roma itu seperti Menara Eiffel untuk Paris. Sepertinya ada yang kurang sah kalau ke Roma tapi belum ke arena tempat dulu para gladiator bertanding. Dalam bayangan saya, Colosseum itu megah seperti yang sering saya lihat di internet. Tapi ketika saya ke sana, hampir separuhnya sedang direnovasi. Turis luar biasa banyak, sampai antrian masuk saja panjangnya bikin males. Tapi demi ingin melihat langsung seperti apa di dalam Colosseum, saya rela mengantri.

 Colosseum sedang direnovasi

Bentuk Colosseum bagian dalam

Most of times I took a selfie

Danbo was more stylish  

Ketika akhirnya saya masuk Colosseum, yang saya lihat adalah sisa-sisa kejayaan masa lampau. Ada beberapa area yang terlarang untuk turis. Saya sempat ngeri kalau ada bagian bangunan yang lapuk dan runtuh saking tuanya. Karena panas, saya tak bertahan lama. Apalagi ada banyak orang di sana. Dua hal itu adalah kombinasi yang paling membuat saya tidak betah.

Tempat prioritas kedua yang ingin saya datangi adalah Trevi Fountain. Ini adalah salah satu air mancur terkenal di Roma. Konon kalau kita melempar uang ke kolam, keinginan kita bisa terkabul. Saya pikir Trevi Fountain ada di pinggir jalan besar; ternyata untuk ke sana kita harus melewati gang-gang kecil. Di sekitarnya banyak yang jual pernak-pernik oleh-oleh. Sedang ada renovasi pula di sana, jadi sempat zonk juga karena jadi terlihat tidak menarik untuk difoto. Air pancurannya kering dan yang ada malah para pengunjung jadi menonton tukang-tukang yang sedang melakukan renovasi.

 Sedang ada renovasi juga di Trevi Fountain T_T

Selain dua tempat tadi, Vatikan juga ada dalam daftar prioritas saya. Saya mengunjungi Vatikan di hari kedua, dan hujan deras lagi-lagi membuat jalan-jalan saya jadi melambat. Antrian masuk Vatikan lumayan panjang jadi saya hanya melihat-lihat saja di depan. Rasanya agak lucu kalau mengingat bahwa saya – seorang muslim – sudah lebih dulu ke Tanah Suci Vatikan dibanding ke Tanah Suci Mekkah.  Sampai sekarang saat saya menulis ini pun saya belum pernah ke Mekkah. Well…

 Hujan di Vatikan

Tempat prioritas terakhir yang ingin saya kunjungi adalah Pantheon. Seumur-umur saya baru ngeh kalau bangunan yang ada di Athena itu dinamakan Partenon. Selama ini saya sering salah menyebutnya. Saya pikir yang di Yunani itu disebut Pantheon. 

 Banyak turis di Pantheon


 Canon in D dimainkan di depan Pantheon

Anyway, di dalam Pantheon sih biasa saja ya menurut saya. Turis dimana-mana, kebanyakan berfoto-foto untuk kemudian pergi. Well, saya juga begitu sih. Yang menarik perhatian saya justru apa yang ada persis di depan Pantheon. Saya lihat dua orang cowok memainkan Canon in D dengan cello dan gitar elektrik. Musiknya terdengar lebih sentimentil di telinga saya. That was one of the best memories I’ve ever had in Rome!

Selain tempat-tempat prioritas tadi, saya juga ke tempat-tempat turistik lain yang saya anggap bonus jalan-jalan seperti Roman Forum, Piazza Navona, Piazza Venezia, San Luigi dei Francesi, Archbasilica of St. John Lateran, dan lainnya. Secara umum, menurut saya, banyak tempat wisata di Roma yang aslinya tidak seindah tampilan di internet. It’s old, dan sebagian besar yang dilihat memang sisa sejarah. Mungkin akan lebih menarik kalau sebelum ke Roma, saya sudah membaca referensi tentang sebuah tempat. Jadi yang saya lihat bukan hanya bangunan secara fisik saja, tapi juga makna dan latar belakang di baliknya. 

 Salah satu sudut kota Roma

Banyaknya renovasi juga membuat saya kecewa. Selain Colosseum dan Trevi Fountain, Spanish Steps yang saya datangi juga sedang direnovasi. Sepertinya saya datang di waktu yang kurang tepat. Apalagi selama tiga hari di Roma, dua hari dihabiskan dengan hujan.

 Hujan terus :(

Sepertinya tempat-tempat turistik di Roma tidak cocok untuk saya. Terlalu ramai dengan turis, dan ekspektasi saya rupanya terlalu tinggi. Justru saya lebih menikmati melewati jalan-jalan sempit yang lebih hening dengan satu café di pojokan yang masih sepi pengunjung. Itu terasa lebih damai dan menentramkan.

 Roma rame banget turisnya

 Entah kenapa pojokan jalan ini bikin seneng

Oya, saya sempat mampir ke salah satu café di sana dan memesan spaghetti Bolognese dan es krim. Keduanya sama-sama enak, dan akan lebih menyenangkan kalau porsinya tidak terlalu besar. Well, saya salah sih. Mestinya saya pesan salah satu saja untuk makan siang. Rasa spaghettinya lebih asam karena tomat dan cheesy. Seriusan, itu enak di beberapa suapan pertama. Setelah itu, perut terasa begah kekenyangan sehingga saya mesti minta bungkus karena sayang.

 Kekenyangan makan spaghetti

Intermezo sebentar.

Beberapa minggu sebelum saya ke Roma, teman saya Karen dari Filipina pernah mengundang saya makan siang di apartemennya dan dia memasakkan spaghetti untuk saya. Mau tak mau, saya jadi membandingkan keduanya, dan ternyata saya lebih suka buatan Karen. I told her that and she was like, “No way!” Maybe she thought I was joking, but I actually meant it.

Anyway…

Selama di sana saya memakai tiket terusan tiga hari seharga 16,5 euro untuk naik metrobus. Bus di sana seringnya penuh dengan turis. Oya, saya belajar satu hal: kalau ingin mengunjugi tempat populer, ikuti saja rombongan turis Asia hehe.. Saya beberapa kali sengaja turun dari bus menyusul rombongan turis Cina dan diam-diam – sambil menjaga jarak – mengikuti mereka. Karena tidak jago membaca peta, trik ini lumayan menghemat waktu saya untuk mencari-cari lokasi wisata. Bukan hanya bus, subway di Roma juga termasuk padat penumpang, beda tipis dengan KRL di Jakarta. Sebisa mungkin saya menghindari naik subway di sana.

 Keretanya penuh juga

 Cuaca cerah di hari terakhir saya di Roma. Langitnya bagus yah?

Entah ini sedang ada acara apa

Trajan's Column dengan latar Ss. Nome di Maria

Trajan's Market

Selama tiga hari di Roma, kota ini tak begitu meninggalkan kesan buat saya. Too much places to visit, too little time to explore. Mungkin beda cerita kalau saya ke sana dengan Profesor Langdon. 
 
Dari Roma, ayo kita lihat peninggalanViking di Oslo!

No comments:

Post a Comment