Ada satu
pertanyaan yang kerap kali dilontarkan seseorang ketika ia baru mengetahui saya
pernah kuliah di Belanda. Pertanyaan ini tidak ada hubungannya dengan kuliah dan
dianggap lebih menarik buat si penanya ketimbang pertanyaan seputar studi saya
di sana. (Tentang hasil penelitian saya, misalnya.) Pertanyaan ini juga enak
untuk basa-basi, tidak menimbulkan awkward
moment, dan saya gampang saja menjawabnya. Minggu lalu saya kembali
mendapatkan pertanyaan itu, dan itu artinya sudah lebih dari dua tahun sejak saya lulus kuliah
dan balik ke Indonesia.
“Selama di
Eropa, sempat jalan-jalan kemana saja?”
Entah
berapa kali saya dapat pertanyaan itu. Tapi setiap kali menjawabnya, setiap
kali itu pula saya diingatkan untuk lebih bersyukur. I might not be the luckiest girl in the world, but I felt like one.
Selain
Belanda, ada sembilan negara lainnya yang saya kunjungi: Irlandia, Inggris,
Spanyol, Prancis, Belgia, Jerman, Swiss, Norwegia, dan Italia. Enam kali saya solo traveling dan tiga lainnya
(Prancis, Spanyol, Jerman) saya jalan-jalan dengan teman-teman kampus.
Biasanya
kalau sedang kangen, saya buka folder album foto dan mengingat-ingat pengalaman
yang lalu. Tapi tidak semua foto dapat bercerita; foto tidak bisa menggambarkan
perasaan saya saat itu. Kenangan yang lebih detail saya dapatkan dengan membaca
ulang tulisan saya di blog, seperti saat panik karena tersesat di pusat kota Dublin
menjelang malam, frustasi karena bolak-balik mencari warung East-West Oriental
di tengah hiruk-pikuk China Town di London demi semangkok bakso, atau ngos-ngosan
ketika jalan kaki dari hotel menuju Basilique du Sacre Coeur di Paris.
Setelah
jalan-jalan, biasanya saya update tulisan di blog. Semakin cepat ditulis,
semakin valid dan lengkap ceritanya. Tapiii…ada juga perjalanan yang sampai dua
tahun masih tidak dijadikan tulisan; seringnya karena males.
Nah, di
postingan ini saya ingin tulis pengalaman jalan-jalan ketika ke Italia,
Norwegia, Belgia, dan Spanyol. Keempatnya dilakukan pada waktu yang berlainan. Karena
sudah dua tahun lebih, jadi banyak hal yang terlewatkan. Saya mesti buka-buka
album foto lagi, mengecek booking tiket
pesawat dan hotel di email, dan membuka lagi scrapbook yang berisi “sampah jalan-jalan” seperti sobekan tiket
museum, karcis bis, peta gratisan, sampai brosur tempat wisata.
Cerita ini
dimulai dari timur ke barat; diawali dari Kota Tua Roma, singgah di Oslo,
dilanjutkan di Brussels, dan berakhir di
ibukota Katalonia di Barcelona.
Roma
Liburan
pada pertengahan musim panas di bulan Juni 2014 saya gunakan untuk pergi ke
Roma. Pagi pukul 09.15, saya naik EasyJet – salah satu maskapai budget – dari
Schipol. Dua jam kemudian, saya sampai di Fiumicino yang merupakan bandara
utama di Roma. Keluar dari terminal kedatangan, saya menuju terminal bis,
membeli tiket, dan langsung memilih kursi dekat jendela.
Tujuan
saya adalah Roma Termini, yang merupakan stasiun kereta api utama di kota itu. Terminal
bis juga ada dekat sana. Tempatnya strategis karena dekat dengan pusat wisata, termasuk
Colosseum. Hotel Louisiana tempat saya menginap selama tiga hari ada di daerah
itu.
Fiumicino ke Roma Termini ditempuh dalam waktu satu jam naik bis. Pemandangan pertama yang disuguhkan adalah hamparan gulungan jerami keemasan dengan latar langit biru dan gerombolan awan putih. Matahari terlihat terik, yang ternyata tak bertahan lama.
Fiumicino ke Roma Termini ditempuh dalam waktu satu jam naik bis. Pemandangan pertama yang disuguhkan adalah hamparan gulungan jerami keemasan dengan latar langit biru dan gerombolan awan putih. Matahari terlihat terik, yang ternyata tak bertahan lama.
Suasana Roma Termini
Ketika
sampai di Roma Termini, impresi pertama saya adalah ruwet untuk ukuran Eropa.
Banyak orang lalu lalang. Di pinggiran jalan mudah ditemukan pedagang kaki lima.
Ada yang berjualan souvenir, kaos, hingga buah-buahan yang terlihat segar.
Ketika tahu ada penjual kebab halal di seberang Roma Termini, saya langsung tak
khawatir dengan menu makan saya selama di sana.
Hotel
Louisiana berjarak hanya satu kilometer dari Roma Termini. Mestinya bisa
ditempuh 15 menit berjalan kaki. Terlihat mudah ketika saya cek di Google Maps
sebelum berangkat, tapi kenyataannya lebih sulit dari yang saya kira. Alamat
hotel berada di Via Flavia. Petunjuknya sudah ada, tapi banyaknya gang di
sekitaran sana membuat saya pusing. Tanpa internet dan Google Maps, saya hanya
mengandalkan peta offline.
Banyak jalan-jalan kecil yang bikin bingung XD
Terik
matahari telah berubah jadi awan gelap. Saya tanya orang-orang, dan tak satupun
yang berbahasa Inggris. Mungkin saya sedang tidak beruntung. Berburu dengan
mendung, saya beli peta kota Roma dengan rincian per wilayah. Via Flavia looked so close yet so far. Bahkan
ketika sudah menemukan plang nama jalannya, hotel yang saya tuju belum juga
terlihat.
Kecemasan
saya beralasan ketika hujan turun dengan deras. Ditambah angin pula. Payung
yang saya bawa tak kuat menghalau cipratan hujan. Tanggung dan tidak ada tempat
berteduh, saya terus berjalan mencari hotel. Akibatnya, celana jeans saya
basah, sepatu dan kaos kaki jadi lembab.
Bolak-balik
saya melewati jalan yang sama, dan tetap tidak menemukan hotelnya. Saya harus
bisa menemukannya sebelum malam, atau keadaan jadi lebih sulit.
Saat itu pastilah
saya terlihat berantakan. Untuk menenangkan pikiran sekaligus mencari tempat
berteduh, saya masuk ke dalam café dan memesan coklat panas. Sayang mereka tak
menyediakannya. Saya keluar dari café dengan perasaan lebih keruh dari
sebelumnya.
Karena hujan
deras, tak banyak – nyaris tidak ada – orang yang berkeliaran di jalan. Beda
dengan Roma Termini yang hiruk-pikuk, daerah sekitaran hotel ini lebih sepi. Seorang
lelaki yang saya tanyai menjawab dengan dengan bahasa Italia. Hanya gerakan
tangannyalah yang kira-kira bisa saya mengerti. Ada satu restoran yang beberapa
kali saya lewati. Ketika saya lihat ada pelayan yang sedang santai di depan
restoran, saya dekati dia dan bertanya tentang alamat hotel; berharap dia
sedang benar-benar tidak sibuk. Lelaki tadi dan pelayan itu menunjukkan kalau
saya sudah berada di tempat yang tepat. Tapi mana hotelnya?
Sampai
akhirnya, saya perhatikan satu bangunan yang sedang direnovasi. Tulisan Hotel
Louisiana berukuran kecil baru nampak setelah saya pastikan betul. Saya sudah
bolak-balik melewatinya! Jadi bangunan itu tak
sepenuhnya milik Hotel Louisiana. Sepertinya ada beberapa hotel dalam satu
gedung. Lousiana menempati lantai tertentu. Saya lupa lantai berapa.
Setelah check in dan mendapatkan kunci, saya
langsung masuk ke kamar dengan perasaan lega. Saya pilih single room dengan kamar mandi dalam. Masalah berikutnya adalah jeans yang lembab dan sepatu yang
basah. Karena hanya niat pergi selama tiga hari, saya tak membawa jeans dan
sepatu ganti. Ada sih celana panjang lainnya, tapi itu untuk tidur. Saya jadi
bete pada diri sendiri.
Ketika
dilihat hujan sudah sepenuhnya reda, saya paksakan untuk tetap keluar. Sekalian
untuk mengangin-anginkan jeans dan sepatu. Sambil menghapalkan rute termudah,
saya kembali ke Roma Termini dengan berjalan kaki. Karena lebih santai, kini
saya bisa lebih menikmati bangunan-bangunan kuno yang saya lewati.
Bundaran ini jadi patokan saya ke Termini dari hotel
Sore itu
tujuan utama saya adalah Altare della Patria. Ini adalah monumen yang dibangun untuk mengormati Victor Emmanuel, raja
pertama Italia. Ketika saya datang ke sana, terlihat banyak turis yang berfoto dengan bangunan
putih itu sebagai latarnya. Kadang saya agak iri juga melihat mereka itu datang berombongan atau setidaknya datang
berdua dan saling memotret. It looked
fun. Entah ya, mungkin suasana yang gloomy
membuat saya jadi sedikit mellow. Iya, meskipun sempat cerah, langit
kembali mendung dan sempat hujan lagi. Sebelum balik ke hotel, saya bungkus
makanan dari resto Cina untuk makan malam.
Beberapa turis asik main sepeda rame-rame dengan latar Altare della Patria
Saya cuma bawa Danbo
***
Roma itu
seperti kota dari masa lalu. Warna-warna kalem mendominasi kota ini: gradasi kelabu, coklat, atau putih.
Dari buku saku Roma yang saya beli, terlihat banyak bangunan bersejarah yang
bisa ditempuh dalam walking distance antara
satu dan yang lainnya. Saya beri tanda tempat-tempat yang ingin saya datangi.
Saking banyaknya, saya bikin skala prioritas dan akhirnya mengerucut jadi empat
teratas.
Yang
pertama adalah Colosseum. Buat saya, Colosseum untuk Roma itu seperti Menara
Eiffel untuk Paris. Sepertinya ada yang kurang sah kalau ke Roma tapi belum ke
arena tempat dulu para gladiator bertanding. Dalam bayangan saya, Colosseum itu
megah seperti yang sering saya lihat di internet. Tapi ketika saya ke sana,
hampir separuhnya sedang direnovasi. Turis luar biasa banyak, sampai antrian
masuk saja panjangnya bikin males. Tapi demi ingin melihat langsung seperti apa
di dalam Colosseum, saya rela mengantri.
Colosseum sedang direnovasi
Bentuk Colosseum bagian dalam
Most of times I took a selfie
Danbo was more stylish
Ketika
akhirnya saya masuk Colosseum, yang saya lihat adalah sisa-sisa kejayaan masa
lampau. Ada beberapa area yang terlarang untuk turis. Saya sempat ngeri kalau
ada bagian bangunan yang lapuk dan runtuh saking tuanya. Karena panas, saya tak
bertahan lama. Apalagi ada banyak orang di sana. Dua hal itu adalah kombinasi
yang paling membuat saya tidak betah.
Tempat
prioritas kedua yang ingin saya datangi adalah Trevi Fountain. Ini adalah salah
satu air mancur terkenal di Roma. Konon kalau kita melempar uang ke kolam,
keinginan kita bisa terkabul. Saya pikir Trevi Fountain ada di pinggir jalan
besar; ternyata untuk ke sana kita harus melewati gang-gang kecil. Di
sekitarnya banyak yang jual pernak-pernik oleh-oleh. Sedang ada renovasi pula
di sana, jadi sempat zonk juga karena jadi terlihat tidak menarik untuk difoto.
Air pancurannya kering dan yang ada malah para pengunjung jadi menonton tukang-tukang
yang sedang melakukan renovasi.
Sedang ada renovasi juga di Trevi Fountain T_T
Selain dua
tempat tadi, Vatikan juga ada dalam daftar prioritas saya. Saya mengunjungi
Vatikan di hari kedua, dan hujan deras lagi-lagi membuat jalan-jalan saya jadi
melambat. Antrian masuk Vatikan lumayan panjang jadi saya hanya melihat-lihat
saja di depan. Rasanya agak lucu kalau mengingat bahwa saya – seorang muslim –
sudah lebih dulu ke Tanah Suci Vatikan dibanding ke Tanah Suci Mekkah. Sampai sekarang saat saya menulis ini pun
saya belum pernah ke Mekkah. Well…
Hujan di Vatikan
Tempat
prioritas terakhir yang ingin saya kunjungi adalah Pantheon. Seumur-umur saya
baru ngeh kalau bangunan yang ada di Athena itu dinamakan Partenon. Selama ini
saya sering salah menyebutnya. Saya pikir yang di Yunani itu disebut Pantheon.
Banyak turis di Pantheon
Canon in D dimainkan di depan Pantheon
Anyway, di dalam Pantheon sih biasa saja ya menurut saya. Turis
dimana-mana, kebanyakan berfoto-foto untuk kemudian pergi. Well, saya juga begitu sih. Yang menarik perhatian saya justru apa
yang ada persis di depan Pantheon. Saya lihat dua orang cowok memainkan Canon in D dengan cello dan gitar
elektrik. Musiknya terdengar lebih sentimentil di telinga saya. That was one of the best memories I’ve ever
had in Rome!
Selain
tempat-tempat prioritas tadi, saya juga ke tempat-tempat turistik lain yang
saya anggap bonus jalan-jalan seperti
Roman Forum, Piazza Navona, Piazza Venezia, San Luigi dei Francesi, Archbasilica
of St. John Lateran, dan lainnya. Secara umum, menurut saya, banyak tempat wisata di Roma
yang aslinya tidak seindah tampilan di internet. It’s old, dan sebagian besar yang dilihat memang sisa sejarah.
Mungkin akan lebih menarik kalau sebelum ke Roma, saya sudah membaca referensi
tentang sebuah tempat. Jadi yang saya lihat bukan
hanya bangunan secara fisik saja, tapi juga makna dan latar belakang di
baliknya.
Salah satu sudut kota Roma
Banyaknya
renovasi juga membuat saya kecewa. Selain Colosseum dan Trevi Fountain, Spanish
Steps yang saya datangi juga sedang direnovasi. Sepertinya saya datang di waktu
yang kurang tepat. Apalagi selama tiga hari di Roma, dua hari dihabiskan dengan
hujan.
Hujan terus :(
Sepertinya
tempat-tempat turistik di Roma tidak cocok untuk saya. Terlalu ramai dengan
turis, dan ekspektasi saya rupanya terlalu tinggi. Justru saya lebih menikmati
melewati jalan-jalan sempit yang lebih hening dengan satu café di pojokan yang
masih sepi pengunjung. Itu terasa lebih damai dan menentramkan.
Roma rame banget turisnya
Entah kenapa pojokan jalan ini bikin seneng
Oya, saya
sempat mampir ke salah satu café di sana dan memesan spaghetti Bolognese dan es
krim. Keduanya sama-sama enak, dan akan lebih menyenangkan kalau porsinya tidak
terlalu besar. Well, saya salah sih.
Mestinya saya pesan salah satu saja untuk makan siang. Rasa spaghettinya lebih
asam karena tomat dan cheesy. Seriusan,
itu enak di beberapa suapan pertama. Setelah itu, perut terasa begah
kekenyangan sehingga saya mesti minta bungkus karena sayang.
Kekenyangan makan spaghetti
Intermezo
sebentar.
Beberapa
minggu sebelum saya ke Roma, teman saya Karen dari Filipina pernah mengundang
saya makan siang di apartemennya dan dia memasakkan spaghetti untuk saya. Mau
tak mau, saya jadi membandingkan keduanya, dan ternyata saya lebih suka buatan
Karen. I told her that and she was like,
“No way!” Maybe she thought I was joking, but I actually meant it.
Anyway…
Selama di
sana saya memakai tiket terusan tiga hari seharga 16,5 euro untuk naik
metrobus. Bus di sana seringnya penuh dengan turis. Oya, saya belajar satu hal:
kalau ingin mengunjugi tempat populer, ikuti saja rombongan turis Asia hehe.. Saya
beberapa kali sengaja turun dari bus menyusul rombongan turis Cina dan
diam-diam – sambil menjaga jarak – mengikuti mereka. Karena tidak jago membaca
peta, trik ini lumayan menghemat waktu saya untuk mencari-cari lokasi wisata.
Bukan hanya bus, subway di Roma juga
termasuk padat penumpang, beda tipis dengan KRL di Jakarta. Sebisa mungkin saya
menghindari naik subway di sana.
Keretanya penuh juga
Cuaca cerah di hari terakhir saya di Roma. Langitnya bagus yah?
Entah ini sedang ada acara apa
Trajan's Column dengan latar Ss. Nome di Maria
Trajan's Market
Selama
tiga hari di Roma, kota ini tak begitu meninggalkan kesan buat saya. Too much places to visit, too little time to
explore. Mungkin beda cerita kalau saya ke sana dengan Profesor Langdon.
Dari Roma, ayo kita lihat peninggalanViking di Oslo!
Dari Roma, ayo kita lihat peninggalanViking di Oslo!
No comments:
Post a Comment