Monday, 25 February 2019

Empat Kota Banyak Cerita: Barcelona


Berbeda dengan excursion kampus ke Paris yang saya sambut dengan antusias, rencana jalan-jalan ke Barcelona di libur musim semi membuat saya galau. Terentang jarak hampir 1600 km, waktu tempuh Wageningen ke Barcelona sekitar 20 jam naik bus. Belum jalan saja saya sudah merasa capek membayangkannya. Saya sempat memikirkan alternatif jalan-jalan sendiri naik pesawat, tapi budgetnya pasti berkali lipat. Plus, saya mesti menyiapkan itinerary sendiri. Sementara, kalau ikut excursion kampus, saya cuma butuh bawa badan saja. Pihak kampus sudah mengurus semua mulai dari transportasi, hotel, hingga tempat-tempat wisata. Biayanya murah pula! Hanya EUR300 yang didapat dari potongan uang beasiswa per bulan. Saya tinggal packing dan bawa uang jajan. Begitulah. Mengikuti rasa malas, saya putuskan ikut jalan-jalan kampus ke Barcelona.
                                         
Minggu, 27 April 2014. Saya geret koper hot pink menuju Forum. Agak deg-degan karena mepet dengan jadwal keberangkatan. Terlihat beberapa teman juga mengarah ke titik kumpul sore itu. Bus datang tak lama kemudian. Double decker! Bukan bus biasa yang membawa kami ke Paris di akhir tahun sebelumnya.



Sebagian besar dari kami berebut menemukan tempat di bus tingkat atas, dan mulai ribut mencari teman duduk. Saat itu saya berharap Karen ikut excursion dan kami bisa ngobrol berjam-jam sepanjang perjalanan. Sayang dia menghabiskan liburan di tempat lain. (Norwegia, btw. Pantas saja.) Teman-teman lain yang saya kenal rupanya sudah memutuskan mau duduk bersebelahan dengan siapa. Jadilah saya duduk dengan orang asing yang beda jurusan, di bus bagian bawah. (Di atas sudah penuh.) Satu-satunya yang membuat saya senang adalah karena saya duduk dekat jendela. Tapi selebihnya, saya merasa perjalanan akan terasa jauuuuh lebih panjang. Dan membosankan.

Sebelum bus meninggalkan Forum, staf kampus kembali mengingatkan kami untuk membawa paspor. Staf juga menyampaikan ada toilet di bus ini untuk keadaan ‘darurat’. Ia bilang bus akan berhenti beberapa kali untuk toilet break, dan kami diminta memanfaatkan break itu sebaik-baiknya. Break ini selain saya manfaatkan untuk ke toilet, juga saya gunakan untuk sholat jamaah dengan teman-teman sesama muslim. Dua kali kami sholat; yang pertama di depan sebuah resto, yang kedua di tengah taman. Hanya saya seorang yang perempuan. Meskipun berusaha khusyu, saya masih bisa merasakan tatapan ganjil dari orang-orang yang lalu lalang melihat kami sholat. Beberapa terang-terangan menghentikan langkah untuk mengamati kami.

Sudah gelap ketika kami meninggalkan Belanda. Bus yang kami naiki dilengkapi dengan sound system dan video. Sepanjang malam itu, kami menonton Les Miserables. Saya hanya fokus saat Anne Hathaway dicepak rambutnya sambil bernyanyi I Dreamed a Dream dengan hati patah. Selebihnya, saya paksakan tidur walau badan sudah terasa pegal-pegal.

***

Keesokan harinya, mood saya sudah jauh membaik dibanding semalam. Apalagi saat saya lihat ke luar jendela, nampak gunung-gunung dengan putih salju di pucuknya. Kami sempat berhenti di rest area dan sarapan di sana. Saya foto-foto dengan Patience dan Wenusha dengan latar pegunungan berselimut salju itu.

Perjalanan dilanjutkan dan kini lagu-lagu khas Spanyol mulai disetel di bus. Staf kampus menyelingi dengan cerita dan anekdot mengenai Barcelona. Tujuan pertama kami adalah Hotel Neptuno, tempat kami menginap selama tiga malam. Letaknya di dekat Pantai Calella, 45 km dari Barcelona. Menjelang sore, kami sampai di sana disambut udara hangat dan hawa pantai yang segar. Kalau dulu saat excursion di Paris saya dapat kamar sendiri, sekarang di Barcelona saya berbagi kamar dengan Judie, Yeshi, dan Eva. Hotel kami ternyata hanya 250 meter dari bibir pantai. Berjalan kaki, saya dan teman-teman ke pantai untuk menikmati suasananya.

Birunya laut menjadi yang pertama kali tampak mata. Ombaknya lumayan tenang. Beberapa kapal kecil terlihat berlabuh, dan kursi-kursi pantai sewarna langit terlihat mengundang.  Terbawa suasana, saya beli topi jerami dan sandal jepit. Harga-harga di Barcelona lebih murah dibanding di Belanda, saya jadi betah. Saya pulang ke hotel membawa dua kaos dan dua jaket yang tidak saya rencanakan beli.





Makan malam di hotel sebenarnya termasuk dalam paket jalan-jalan ini, tapi demi melihat steak dengan harga oke di salah satu resto dekat pantai, saya pun tergoda. Bersama Judie dan lainnya, saya makan malam di sana. Saya sudah membayangkan steak dengan gravy yang gurih, tapi ternyata yang saya dapat hanya steak dengan saus tomat tanpa gravy. Agak kecewa, tapi ya…sudahlah.

Kami pulang lebih awal untuk menyaksikan tarian flamenco di hotel. Rupanya ini adalah hiburan rutin setiap Senin malam. Orang-orang sudah terlihat duduk di kursi menghadap dua orang penari. Musik dinyanyikan dan kedunya menari dengan lincah. Mereka memakai dress didominasi hitam dengan rumbai putih di bawahnya. Keduanya juga memakai topi, menambah aksen pada rambut hitam mereka. Penari yang lebih muda terlihat cantik memukau, tetapi keluwesan geraknya kalah dibandingkan seniornya. Di akhir sesi, mereka mengundang beberapa pengunjung untuk ke depan dan menari bersama. What a fun night!



***

Selasa pagi pukul 9, kami sudah bersiap-siap ke pusat kota Barcelona. Tempat duduk bus kembali dipilih acak, dan kini saya pastikan untuk duduk dengan teman yang sudah dikenal. Hasilnya, saya lebih excited dengan jalan-jalan ini!

Seperti biasa, staf kampus menyambi sebagai tour guide. Ketika kami melewati Torre Glories, dia cerita kalau bangunan yang dimaksudkan berbentuk seperti peluru ini sering disangka sebagai mentimun. Atau lebih buruk dari itu haha! 

 Si Mentimun


Tempat pertama yang kami datangi adalah La Sagrada Familia. Ini adalah gereja Roman Katolik yang didesain oleh Antoni Gaudi sejak 1883. Sesaat saya jadi teringat Mitha. Sahabat saya itu ingin sekali pergi ke sana. Ketika menemukan satu versi mininya pada sebuah magnet kulkas, saya langsung membelinya untuk Mitha. Secara personal, saya tidak merasakan sesuatu yang istimewa dengan landmark Barcelona ini. Saat kami ke sana, bangunannya sebagian tertutup karena proses konstruksi. Praktis kami hanya foto-foto di depannya. Saya justru lebih tertarik dengan toko souvenir yang ada di dekatnya. Saya beli beberapa kartu pos, termasuk empat lembar untuk murid-murid di Pantarijn. Saya pernah janji akan mengirimi mereka kartu pos dari Barcelona.



Dari sana, kami meluncur ke daerah perbukitan untuk memandangi Barcelona skyline. Dari atas sini, La Sagrada Familia dan Torre Glories memang terlihat mencolok. Jika kita memandang ke arah berbeda, Pelabuhan Barcelona juga nampak terlihat.



Tak lama, kami menuju La Rambla setelah sebelumnya mampir sebentar ke stadium olimpiade. La Rambla adalah nama jalan paling terkenal di Barcelona. Surganya pejalan kaki, tempat ini dinaungi oleh kanopi pohon. Suasana unik, nyeni, dan touristy langsung terasa saat berjalan menyusurinya. Saya lihat ada museum erotik dengan Marilyn Monroe-look alike sedang dadah-dadah di salah satu jendela atas. Ada pula museu de cera atau museum lilin, yang terlihat seperti versi sederhana dari Madame Tussauds London. 





Sepanjang jalan banyak artis jalanan yang menawarkan jasa lukis hingga kaligrafi. Nampak pula macam-macam street performer yang bertingkah seperti patung dan hanya bergerak jika diberi koin. Saya jalan-jalan sendirian dan sungguh menikmati ambience penuh gairah ini.










Saya sempat masuk ke pasar La Boqueria, namun urung mengeksplor lebih jauh karena banyaknya orang di dalam. Ditambah lagi pasar ini tertutup atapnya, jadi terasa makin sesak. Kelak, setiap kali melihat-lihat foto di La Boqueria ini, saya menyesal tidak sempat mencicipi buahnya yang segar atau jajanan pasar lainnya.



Tahu tidak apa yang saya cari untuk makan siang hari itu?

Kebab.

Iya, kebab. Makanan ini gampang ditemukan, relatif murah, (kemungkinan besar) halal, dan rasanya enak. Kenyang makan, saya berjalan santai menyusuri Port Vell melalui Rambla de Mar. Terlihat satu-dua cruise dan puluhan yacht berlabuh. Orang-orang menikmati matahari sore dengan duduk-duduk dan sebagian tiduran di dermaga.





Saya kembali ke bus pada waktu yang telah ditentukan. Pulang ke hotel, saya merasa lelah namun puas.

***

Hari ketiga di Barcelona. Tujuan pertama kami adalah Els Encants; pasar loak dengan konsep semi terbuka. Well, sebetulnya tidak hanya barang bekas sih yang dijual di sini, barang baru pun ada, tetapi dengan harga yang miring. Segala rupa barang ada di situ, mulai dari barang pecah-belah, alat elektronik, mainan anak, buku, lukisan, instrumen musik, hingga furniture. Entah kenapa pagi itu saya kurang tertarik melihat-lihat dengan lebih detail. Pertama, saya tidak bisa menawar. Kedua, saya malas repot-repot membawanya; apalagi dua hari yang lalu saya sudah belanja banyak. Selesai mengelilingi pasar, saya ditemani Patience ke tingkat dua dan sarapan di situ. Baru sedikit café yang sudah buka. Saya pesan coklat panas.





 Langit-langit Els Encants yang memantulkan bayangan


Ketika mau kembali ke bus, saya lewat jalan yang berbeda. Ternyata di sana dijual pula baju-baju, tas, juga sepatu baru. Saya lihat ada tas ransel imut, dan demi melihat harga yang sangat murah, saya beli satu. Padahal sebelumnya saya sudah niat tak mau beli apapun.

Kami tak lama di Els Encants. Setelahnya kami langsung menuju markas FC Barcelona yang terkenal dengan sebutan Camp Nou. Teman-teman cowok terlihat antusias dan lebih bersemangat. Kalau saya sih biasa saja. Saya lebih excited ketika dulu mampir ke Stamford Bridge-nya Chelsea.



Well, harus saya akui Camp Nou ini lebih mewah dibanding Stamford Bridge. Dari awal saja kita sudah disuguhi pajangan trofi yang berderetan dan memorabilia para legenda. Ruang ganti pemainnya lebih luas, ada kasur buat pijat plus jacuzzi! Camp Nou juga mengemas kedekatan fans dan klub dengan tayangan video personal yang menarik. 






Melewati kapel, saya yang sejak awal jalan bareng Linda langsung ke lapangan rumputnya dan mengantri untuk mendapatkan foto polaroid. Lalu, saya ke luar setelah melewati toko offisialnya. (Tidak ada yang saya beli di sana.) Beberapa teman sudah nampak keluar dari stadion, termasuk Patience. Kami masih punya beberapa waktu lagi, dan saya ikut-ikutan Pat iseng foto-foto dengan pose tiduran begini. Entah apa yang saya pikirkan waktu itu.


 Kapel kecil di Camp Nou


 Danbo ikut mejeng di markas FC Barcelona

Tempat oleh-oleh

Karena sudah waktunya makan siang, kami ke food court untuk mengganjal perut. Ternyata ramai sekali di sana sampai sulit mencari tempat duduk. Akhirnya saya cuma beli kentang goreng dan air mineral.

Sorenya, kami mampir lagi ke La Rambla. Tujuan saya kali ini adalah Maremagnum; semacam mall dekat Rambla del Mar. Pas kebetulan saya menemukan resto Jepang di sana. Saya langsung pesan udon kering. Meskipun rasanya beda jauh dengan yang aslinya di Jepang, tapi lumayan lah untuk mengobati kangen.

 Udon penunda lapar, pemicu kangen


Polisi siap siaga 86


Perjalanan pulang ke hotel terasa lebih cepat. Hari itu saya tahu saya sedang bahagia. Malamnya, saya tulis kartu pos untuk bocah-bocah Pantarijn. Saya dan teman-teman sekamar juga mulai berkemas karena besok kami sudah harus check out dari hotel. Judie yang belanjaannya paling banyak terlihat kerepotan saat berkemas. Sampai-sampai kopernya harus diduduki supaya bisa ditutup XD

***

Kamis, 1 Mei 2014. Pukul 9 pagi kami sudah bersiap-siap di bus menuju Wageningen. Tak ingin perjalanan 20 jam membosankan seperti hari pertama, saya inisiatif memilih tempat dan teman untuk duduk bareng. Perjalanan terasa jauh…jauh lebih menyenangkan dengan beragamnya topik obrolan. Menuju perbatasan Prancis, kami berhenti sebentar di Museum Dali. Salvador Dali adalah surealis kelahiran Figueres, Catalonia. Karya-karyanya unik dan nyentrik. 

Ngantri panjang di Museum Dali




Antrian masuk museum ini sangat panjang. Begitu masuk, saya langsung merasa…apa ya…asing dan agak ‘ngeri’. Salah satu yang paling terkenal adalah sebuah ruangan dengan sofa berbentuk bibir dan pediangan berbentuk hidung. Di temboknya, tergantung dua buah lukisan. Karya ini bisa dinikmati ketika kita mundur menjauhi ruangan tersebut, dan melihat semuanya melalui sebuah pintu yang bergelombang seperti rambut. Dus, nampaklah wajah seorang perempuan dengan rambut pirangnya.

 Udah keliatan bentuk wajah, belum?


Selesai dari Museum Dali, kami melanjutkan perjalanan pulang. Keesokan harinya, Jumat pagi menjelang siang kami sampai di Wageningen. Meskipun musim semi, udara terasa lebih dingin dan basah. Suasana terasa lebih muram. Mungkin karena kami baru saja menghabiskan liburan di sunny Barcelona.

Anyway, ini adalah cerita keempat sekaligus terakhir dari seri Empat Kota Banyak Cerita yang saya tulis sejak 2017. Dimulai dari Roma, Oslo, Brussels, kini ditutup oleh Barcelona.

See you when I see you! Petualangan yang lain sedang menunggu!