Berbeda dengan excursion
kampus ke Paris yang saya sambut dengan antusias, rencana jalan-jalan ke
Barcelona di libur musim semi membuat saya galau. Terentang jarak hampir 1600
km, waktu tempuh Wageningen ke Barcelona sekitar 20 jam naik bus. Belum jalan
saja saya sudah merasa capek membayangkannya. Saya sempat memikirkan alternatif
jalan-jalan sendiri naik pesawat, tapi budgetnya pasti berkali lipat. Plus,
saya mesti menyiapkan itinerary sendiri.
Sementara, kalau ikut excursion kampus,
saya cuma butuh bawa badan saja. Pihak kampus sudah mengurus semua mulai dari
transportasi, hotel, hingga tempat-tempat wisata. Biayanya murah pula! Hanya
EUR300 yang didapat dari potongan uang beasiswa per bulan. Saya tinggal packing dan bawa uang jajan. Begitulah.
Mengikuti rasa malas, saya putuskan ikut jalan-jalan kampus ke Barcelona.
Minggu, 27 April 2014. Saya geret koper hot pink menuju Forum. Agak deg-degan karena mepet dengan jadwal
keberangkatan. Terlihat beberapa teman juga mengarah ke titik kumpul sore itu.
Bus datang tak lama kemudian. Double
decker! Bukan bus biasa yang membawa kami ke Paris di akhir tahun
sebelumnya.
Sebagian besar dari kami berebut menemukan tempat di bus
tingkat atas, dan mulai ribut mencari teman duduk. Saat itu saya berharap Karen
ikut excursion dan kami bisa ngobrol
berjam-jam sepanjang perjalanan. Sayang dia menghabiskan liburan di tempat
lain. (Norwegia, btw. Pantas saja.)
Teman-teman lain yang saya kenal rupanya sudah memutuskan mau duduk
bersebelahan dengan siapa. Jadilah saya duduk dengan orang asing yang beda
jurusan, di bus bagian bawah. (Di atas sudah penuh.) Satu-satunya yang membuat
saya senang adalah karena saya duduk dekat jendela. Tapi selebihnya, saya
merasa perjalanan akan terasa jauuuuh lebih panjang. Dan membosankan.
Sebelum bus meninggalkan Forum, staf kampus kembali mengingatkan
kami untuk membawa paspor. Staf juga menyampaikan ada toilet di bus ini untuk
keadaan ‘darurat’. Ia bilang bus akan berhenti beberapa kali untuk toilet break, dan kami diminta
memanfaatkan break itu
sebaik-baiknya. Break ini selain saya
manfaatkan untuk ke toilet, juga saya gunakan untuk sholat jamaah dengan
teman-teman sesama muslim. Dua kali kami sholat; yang pertama di depan sebuah
resto, yang kedua di tengah taman. Hanya saya seorang yang perempuan. Meskipun
berusaha khusyu, saya masih bisa merasakan tatapan ganjil dari orang-orang yang
lalu lalang melihat kami sholat. Beberapa terang-terangan menghentikan langkah
untuk mengamati kami.
Sudah gelap ketika kami meninggalkan Belanda. Bus yang kami naiki
dilengkapi dengan sound system dan
video. Sepanjang malam itu, kami menonton Les
Miserables. Saya hanya fokus saat Anne Hathaway dicepak rambutnya sambil
bernyanyi I Dreamed a Dream dengan hati
patah. Selebihnya, saya paksakan tidur walau badan sudah terasa pegal-pegal.
***
Keesokan harinya, mood
saya sudah jauh membaik dibanding semalam. Apalagi saat saya lihat ke luar
jendela, nampak gunung-gunung dengan putih salju di pucuknya. Kami sempat
berhenti di rest area dan sarapan di
sana. Saya foto-foto dengan Patience dan Wenusha dengan latar pegunungan
berselimut salju itu.
Perjalanan dilanjutkan dan kini lagu-lagu khas Spanyol mulai
disetel di bus. Staf kampus menyelingi dengan cerita dan anekdot mengenai
Barcelona. Tujuan pertama kami adalah Hotel Neptuno, tempat kami menginap
selama tiga malam. Letaknya di dekat Pantai Calella, 45 km dari Barcelona. Menjelang
sore, kami sampai di sana disambut udara hangat dan hawa pantai yang segar. Kalau
dulu saat excursion di Paris saya
dapat kamar sendiri, sekarang di Barcelona saya berbagi kamar dengan Judie,
Yeshi, dan Eva. Hotel kami ternyata hanya 250 meter dari bibir pantai. Berjalan
kaki, saya dan teman-teman ke pantai untuk menikmati suasananya.
Birunya laut menjadi yang pertama kali tampak mata. Ombaknya
lumayan tenang. Beberapa kapal kecil terlihat berlabuh, dan kursi-kursi pantai
sewarna langit terlihat mengundang. Terbawa
suasana, saya beli topi jerami dan sandal jepit. Harga-harga di Barcelona lebih
murah dibanding di Belanda, saya jadi betah. Saya pulang ke hotel membawa dua
kaos dan dua jaket yang tidak saya rencanakan beli.
Makan malam di hotel sebenarnya termasuk dalam paket
jalan-jalan ini, tapi demi melihat steak dengan
harga oke di salah satu resto dekat pantai, saya pun tergoda. Bersama Judie dan
lainnya, saya makan malam di sana. Saya sudah membayangkan steak dengan gravy yang
gurih, tapi ternyata yang saya dapat hanya steak
dengan saus tomat tanpa gravy. Agak
kecewa, tapi ya…sudahlah.
Kami pulang lebih awal untuk menyaksikan tarian flamenco di
hotel. Rupanya ini adalah hiburan rutin setiap Senin malam. Orang-orang sudah
terlihat duduk di kursi menghadap dua orang penari. Musik dinyanyikan dan
kedunya menari dengan lincah. Mereka memakai dress didominasi hitam dengan rumbai putih di bawahnya. Keduanya
juga memakai topi, menambah aksen pada rambut hitam mereka. Penari yang lebih
muda terlihat cantik memukau, tetapi keluwesan geraknya kalah dibandingkan
seniornya. Di akhir sesi, mereka mengundang beberapa pengunjung untuk ke depan
dan menari bersama. What a fun night!
***
Selasa pagi pukul 9, kami sudah bersiap-siap ke pusat kota
Barcelona. Tempat duduk bus kembali dipilih acak, dan kini saya pastikan untuk
duduk dengan teman yang sudah dikenal. Hasilnya, saya lebih excited dengan jalan-jalan ini!
Seperti biasa, staf kampus menyambi sebagai tour guide. Ketika kami melewati Torre
Glories, dia cerita kalau bangunan yang dimaksudkan berbentuk seperti peluru
ini sering disangka sebagai mentimun. Atau lebih buruk dari itu haha!
Si Mentimun
Tempat pertama yang kami datangi adalah La Sagrada Familia.
Ini adalah gereja Roman Katolik yang didesain oleh Antoni Gaudi sejak 1883.
Sesaat saya jadi teringat Mitha. Sahabat saya itu ingin sekali pergi ke sana.
Ketika menemukan satu versi mininya pada sebuah magnet kulkas, saya langsung
membelinya untuk Mitha. Secara personal, saya tidak merasakan sesuatu yang
istimewa dengan landmark Barcelona
ini. Saat kami ke sana, bangunannya sebagian tertutup karena proses konstruksi.
Praktis kami hanya foto-foto di depannya. Saya justru lebih tertarik dengan
toko souvenir yang ada di dekatnya. Saya beli beberapa kartu pos, termasuk
empat lembar untuk murid-murid di Pantarijn. Saya pernah janji akan mengirimi
mereka kartu pos dari Barcelona.
Dari sana, kami meluncur ke daerah perbukitan untuk
memandangi Barcelona skyline. Dari
atas sini, La Sagrada Familia dan Torre Glories memang terlihat mencolok. Jika
kita memandang ke arah berbeda, Pelabuhan Barcelona juga nampak terlihat.
Tak lama, kami menuju La Rambla setelah sebelumnya mampir
sebentar ke stadium olimpiade. La Rambla adalah nama jalan paling terkenal di
Barcelona. Surganya pejalan kaki, tempat ini dinaungi oleh kanopi pohon.
Suasana unik, nyeni, dan touristy langsung
terasa saat berjalan menyusurinya. Saya lihat ada museum erotik dengan Marilyn
Monroe-look alike sedang dadah-dadah
di salah satu jendela atas. Ada pula museu
de cera atau museum lilin, yang terlihat seperti versi sederhana dari
Madame Tussauds London.
Sepanjang jalan banyak artis jalanan yang menawarkan jasa
lukis hingga kaligrafi. Nampak pula macam-macam street performer yang bertingkah seperti patung dan hanya bergerak
jika diberi koin. Saya jalan-jalan sendirian dan sungguh menikmati ambience penuh gairah ini.
Saya sempat masuk ke pasar La Boqueria, namun urung
mengeksplor lebih jauh karena banyaknya orang di dalam. Ditambah lagi pasar ini
tertutup atapnya, jadi terasa makin sesak. Kelak, setiap kali melihat-lihat
foto di La Boqueria ini, saya menyesal tidak sempat mencicipi buahnya yang
segar atau jajanan pasar lainnya.
Tahu tidak apa yang saya cari untuk makan
siang hari itu?
Kebab.
Iya, kebab. Makanan ini gampang ditemukan, relatif murah,
(kemungkinan besar) halal, dan rasanya enak. Kenyang makan, saya berjalan
santai menyusuri Port Vell melalui Rambla de Mar. Terlihat satu-dua cruise dan puluhan yacht berlabuh. Orang-orang menikmati matahari sore dengan
duduk-duduk dan sebagian tiduran di dermaga.
Saya kembali ke bus pada waktu yang telah ditentukan. Pulang
ke hotel, saya merasa lelah namun puas.
***
Hari ketiga di Barcelona. Tujuan pertama kami adalah Els
Encants; pasar loak dengan konsep semi terbuka. Well, sebetulnya tidak hanya barang bekas sih yang dijual di sini,
barang baru pun ada, tetapi dengan harga yang miring. Segala rupa barang ada di
situ, mulai dari barang pecah-belah, alat elektronik, mainan anak, buku,
lukisan, instrumen musik, hingga furniture. Entah kenapa pagi itu saya kurang
tertarik melihat-lihat dengan lebih detail. Pertama, saya tidak bisa menawar.
Kedua, saya malas repot-repot membawanya; apalagi dua hari yang lalu saya sudah
belanja banyak. Selesai mengelilingi pasar, saya ditemani Patience ke tingkat
dua dan sarapan di situ. Baru sedikit café yang sudah buka. Saya pesan coklat
panas.
Langit-langit Els Encants yang memantulkan bayangan
Ketika mau kembali ke bus, saya lewat jalan yang berbeda.
Ternyata di sana dijual pula baju-baju, tas, juga sepatu baru. Saya lihat ada
tas ransel imut, dan demi melihat harga yang sangat murah, saya beli satu.
Padahal sebelumnya saya sudah niat tak mau beli apapun.
Kami tak lama di Els Encants. Setelahnya kami langsung menuju
markas FC Barcelona yang terkenal dengan sebutan Camp Nou. Teman-teman cowok
terlihat antusias dan lebih bersemangat. Kalau saya sih biasa saja. Saya lebih excited ketika dulu mampir ke Stamford
Bridge-nya Chelsea.
Well, harus saya akui Camp Nou ini
lebih mewah dibanding Stamford Bridge. Dari awal saja kita sudah disuguhi
pajangan trofi yang berderetan dan memorabilia para legenda. Ruang ganti
pemainnya lebih luas, ada kasur buat pijat plus jacuzzi! Camp Nou juga mengemas kedekatan fans dan klub dengan tayangan
video personal yang menarik.
Melewati kapel, saya yang sejak awal jalan bareng Linda
langsung ke lapangan rumputnya dan mengantri untuk mendapatkan foto polaroid.
Lalu, saya ke luar setelah melewati toko offisialnya. (Tidak ada yang saya beli
di sana.) Beberapa teman sudah nampak keluar dari stadion, termasuk Patience.
Kami masih punya beberapa waktu lagi, dan saya ikut-ikutan Pat iseng foto-foto
dengan pose tiduran begini. Entah apa yang saya pikirkan waktu itu.
Kapel kecil di Camp Nou
Danbo ikut mejeng di markas FC Barcelona
Tempat oleh-oleh
Karena sudah waktunya makan siang, kami ke food court untuk mengganjal perut.
Ternyata ramai sekali di sana sampai sulit mencari tempat duduk. Akhirnya saya
cuma beli kentang goreng dan air mineral.
Sorenya, kami mampir lagi ke La Rambla. Tujuan saya kali ini
adalah Maremagnum; semacam mall dekat Rambla del Mar. Pas kebetulan saya
menemukan resto Jepang di sana. Saya langsung pesan udon kering. Meskipun
rasanya beda jauh dengan yang aslinya di Jepang, tapi lumayan lah untuk
mengobati kangen.
Udon penunda lapar, pemicu kangen
Polisi siap siaga 86
Perjalanan pulang ke hotel terasa lebih cepat. Hari itu saya
tahu saya sedang bahagia. Malamnya, saya tulis kartu pos untuk bocah-bocah
Pantarijn. Saya dan teman-teman sekamar juga mulai berkemas karena besok kami
sudah harus check out dari hotel.
Judie yang belanjaannya paling banyak terlihat kerepotan saat berkemas.
Sampai-sampai kopernya harus diduduki supaya bisa ditutup XD
***
Kamis, 1 Mei 2014. Pukul 9 pagi kami sudah bersiap-siap di
bus menuju Wageningen. Tak ingin perjalanan 20 jam membosankan seperti hari
pertama, saya inisiatif memilih tempat dan teman untuk duduk bareng. Perjalanan
terasa jauh…jauh lebih menyenangkan dengan beragamnya topik obrolan. Menuju
perbatasan Prancis, kami berhenti sebentar di Museum Dali. Salvador Dali adalah
surealis kelahiran Figueres, Catalonia. Karya-karyanya unik dan nyentrik.
Ngantri panjang di Museum Dali
Antrian masuk museum ini sangat panjang. Begitu masuk, saya
langsung merasa…apa ya…asing dan agak ‘ngeri’. Salah satu yang paling terkenal
adalah sebuah ruangan dengan sofa berbentuk bibir dan pediangan berbentuk
hidung. Di temboknya, tergantung dua buah lukisan. Karya ini bisa dinikmati
ketika kita mundur menjauhi ruangan tersebut, dan melihat semuanya melalui
sebuah pintu yang bergelombang seperti rambut. Dus, nampaklah wajah seorang
perempuan dengan rambut pirangnya.
Udah keliatan bentuk wajah, belum?
Selesai dari Museum Dali, kami melanjutkan perjalanan pulang.
Keesokan harinya, Jumat pagi menjelang siang kami sampai di Wageningen.
Meskipun musim semi, udara terasa lebih dingin dan basah. Suasana terasa lebih
muram. Mungkin karena kami baru saja menghabiskan liburan di sunny Barcelona.
Anyway, ini adalah cerita keempat sekaligus terakhir dari seri Empat Kota Banyak
Cerita yang saya tulis sejak 2017. Dimulai dari Roma, Oslo, Brussels, kini
ditutup oleh Barcelona.
See you when I see you! Petualangan yang lain sedang menunggu!