Sunday, 19 June 2011

Sunset. Pink Sky. Blue Sea. A Cup of Milo.

Kalau disuruh memilih antara gunung atau laut, tanpa berpikir panjang, saya akan menjawab gunung. Saya tinggal dekat laut. Kota kecil saya terkenal dengan sebutan Kota Bahari. Mestinya saya lebih akrab dengan deburan ombak. Mestinya saya lebih cinta dengan aroma laut. Tapi tidak. Hati saya sudah jatuh pada pegunungan yang menghijau. Laut tidak pernah membuat saya begitu terkagum-kagum, sampai peristiwa kemarin.

Jadi, akhir minggu ini saya ke Semarang. Karena sudah kangen, saya memutuskan untuk pulang sebentar ke rumah, sebelum kembali ke Jakarta. Saya mencoba Kaligung Mas, kereta eksekutif Semarang-Tegal. Sebelumnya, Kaligung hanya menyediakan kelas ekonomi dan bisnis saja. Dengan harga tiket yang lebih mahal, Kaligung Mas menyediakan fasilitas yang nyaman. Tidak ada lagi panas-panasan dalam kereta. Tidak ada lagi kursi yang keras. Kaligung Mas menyediakan kursi yang empuk dan AC yang sejuk. Perjalanan sore itu saya bayangkan akan menyenangkan. Untuk menghangatkan badan, saya pesan Milo panas pada pramusaji kereta.

Saya duduk di deretan kursi bagian kanan, dekat dengan jendela. Padahal spot favorit saya ada di deretan kiri. Sederhana saja alasannya. Dengan duduk di sebelah kiri, saya bisa puas memandang pegunungan, sementara kanan, laut-lah yang akan saya lihat.

Seharusnya saya tahu, laut sore hari bisa jadi sangat cantik.

Sore itu, langit membias dominasi warna pink dan bergradasi dengan warna merah jingga. Perpaduan warna langit seolah dilukis kuas dengan gaya abstrak. Matahari senja terlihat bulat penuh. Sinarnya tak lagi menyilaukan. Laut mulai berwarna biru gelap, deburan ombaknya kecil-kecil menghantam bebatuan terjal di depannya. Suasana sore yang hening membuat hati saya larut dalam tenang. Melihat itu semua, saya seolah dilempar ke lukisan dalam postcard.

Saat tengah menikmati keindahan di balik jendela kereta, Milo panas pesanan saya datang. Saya minum sedikit-sedikit, sementara mata saya tak lepas memandang ke luar. Manisnya menggambarkan perasaan saya saat itu. Panasnya menceritakan perasaan saya yang bersemangat, sembari berharap malam agak menunda untuk datang.

Sore itu, Milo terasa sepuluh kali lebih lezat. Sore itu, saya tak lagi menoleh ke jendela sebelah kiri.

Sunday, 12 June 2011

Nonton Film India

Hidup itu penuh drama, seperti film India.

Okay, kalimat pembuka yang aneh :p Saya sedang tidak ingin bercerita tentang drama dalam kehidupan saya. Saya ingin cerita tentang saya dan film India. Film India? Iya. Banyak orang yang memandang sebelah mata film India. Terlalu dramatis lah, terlalu banyak tarian dan lagunya lah, terlalu panjang lah (*minimal 3 jam sekali tayang, belum ditambah iklan, sampai kadang dibagi jadi dua sesi tayang kalau diputar di TV), terlalu lebay mungkin. Tapi saya tak bisa memungkiri kalau film India dekat dengan kehidupan saya dari dulu. Mungkin lebih dekat dibanding film-film Indonesia di era Suzanna.

Pertama kali saya nonton film India adalah saat saya berumur tiga tahun, berjudul Putri Rimba. Apakah saya masih ingat setiap adegannya? Tentu tidak. Apakah saya kenal pemainnya? Lebih-lebih. Mungkin malah saat itu saya ketakutan karena melihat orang sebesar raksasa dengan suara menggelegar di ruangan gelap gulita. Mungkin juga saya ketiduran karena lelah dengan kehidupan saya sebagai balita. Ah, saya lupa. Saya juga tahu hal ini dari buku harian yang ibu beri untuk saya. Memori saya tentang film itu hilang seperti saya lupa kapan saya terakhir kali mengangkat gelas dengan dua tangan.

Sunday, 5 June 2011

Jendela

Beberapa bulan terakhir ini saya sering bolak-balik ke Bandara Soekarno-Hatta untuk urusan dinas. Kalau tidak sedang buru-buru, saya biasanya naik bis Damri dari Stasiun Gambir. Setiap 15 menit, bis akan mengantarkan penumpang ke bandara.

Yang paling saya suka dari bis Damri selain murahnya (hanya Rp 20.000 tanpa tambahan uang tol) adalah jendelanya yang lebar dan bersih. Sebisa mungkin saya memilih untuk duduk di kursi dekat jendela. Kalau sedang lancar, perjalanan ditempuh dalam waktu 45 menit sampai 1 jam. Selama rentang waktu tersebut, biasanya saya akan memandang ke luar melalui jendela sambil mendengarkan lagu-lagu dari iPod saya. Terlebih seringnya saya jalan sendirian. Bagi saya, saat seperti itu adalah saat me-time yang personal. Saya punya waktu untuk diri sendiri.