Tuesday, 24 January 2012

Something Personal


Apa Kabar Kaset?

Sabtu pagi. Bayangan libur panjang membuat saya bersemangat memulai hari. Akan ada banyak yang bisa dikerjakan. Membereskan lemari, mengganti sprei, menata buku, merapikan koleksi cd/dvd, semuanya ada dalam daftar saya sepagian itu. Saya suka membersihkan kamar. Bukan hanya karena saya senang bernyaman-nyaman di kamar yang rapi, tapi juga biasanya ada saja hal terlupa yang kembali diingatkan dengan beres-beres kamar ini: buku yang belum selesai dibaca, film yang belum sempat ditonton, baju yang jarang dipakai, atau mungkin… kaset yang lama tak diputar.

Saya ‘menemukan’ lagi kaset-kaset saya ketika sedang menata ulang cd/dvd musik. Saya menaruh ketiganya di tempat yang sama, tampak mata, namun kaset nyaris tak pernah menjadi pilihan untuk diputar. Cd/dvd – dengan segala macam keunggulannya – sudah mengambil porsi yang banyak. Terlalu banyak. Saking lama tak tersentuh, kaset di tumpukan paling atas berdebu tipis; sementara cd/dvd di sebelahnya bersih dengan cover mengkilap.

Saya ambil kaset paling atas itu, saya bersihkan dengan tissue. Unplugged – The Corrs. Tempat kasetnya sudah mulai buram. Ada retak di ujung kanan atas. Saya buka cover-nya, dan langsung mengenali tulisan tangan yang ada di dalamnya.


Wednesday, 18 January 2012

Just Another Project: Maybe by Ingrid Michaelson




This is my second movie maker project after this one. I can say it’s getting easier now. I choose Maybe by Ingrid Michaelson for two reasons: I like the song and I like the song.

Enjoy!

#iThinkThey'reCuteUntil...


Monday, 16 January 2012

/neil yatsugoo meier

Saya tahu saya mulai kecanduan facebook dan twitter ketika saya me-refresh laman keduanya dalam hitungan beberapa menit sekali, terlebih setelah update status terbaru. Kadang disengaja. Kadang pula tangan secara reflek membuka jejaring sosial tersebut di komputer atau handphone. Dimanapun, kapanpun, facebook dan twitter selalu jadi yang utama untuk dibuka. Kadang hanya untuk mengecek notifikasi dan mention, kadang hanya iseng melihat-lihat status teman dan timeline, ataupun trending topic.

Saya tahu saya mulai kecanduan facebook dan twitter ketika keduanya mempengaruhi mood saya. Ini mulai serius. Mood saya bisa berubah senang ketika ada orang-orang tertentu yang me-like ataupun memberikan komentar pada status yang saya tulis. Mood bisa tiba-tiba menjadi jelek ketika mention tak dibalas. Selama beberapa waktu, status dibuat untuk menarik perhatian, mencari dukungan orang-orang tertentu. Dan yang lebih tidak menyenangkan, tidak adanya like, komentar, mention ataupun reply bisa membuat saya merasa sepi. Ini salah, dan saya tahu harus segera menemukan langkah.

Itulah kenapa, dimulai dari Selasa minggu pertama Januari, saya memutuskan berhenti total – sementara – dari facebook dan twitter. Menyepi sebentar. Saya masih belum bisa menutup akun kedua jejaring sosial itu. Lagipula tujuan utama saya bukannya untuk menghapus akun di facebook dan twitter, tapi lebih untuk mengobati kecanduan sebelum terlanjur akut. Saya tentukan waktu tujuh hari sebagai awalnya.

Neil yatsugoo meier. Itu status terakhir yang saya tulis saat itu pada facebook dan twitter. Itu adalah tanda, penguat kalau saya hendak pergi – meski sejenak. Selama tujuh hari itu, saya tidak akan membuka facebook dan twitter sama sekali. Baik di kantor ataupun di kos. Baik melalui komputer ataupun lewat handphone. Untuk lebih memuluskan rencana, saya nonaktifkan iPhone saya selama tujuh hari juga. Akan susah untuk menahan godaan membuka jejaring sosial jika gadget yang ada memungkinkan untuk melakukannya hanya dengan satu sentuhan. Beruntung masih ada Sony Ericsson C510

Sepertinya rencananya sudah matang.

Niat + (- iPhone) = Tujuh hari tanpa facebook dan twitter.

Atau saya kira begitu.

Monday, 9 January 2012

Nonton Bareng Teman

Rabu sore.

[16:15]
Teman (T): Aku udah otw nih.
Saya (S): Wait for me! Aku juga otw.

[16:40]
S: Sampai! Duduk di kursi no berapa?
T: Hey.. Hey..  Aku di D7. Hayok… Udah beli hot choco.

[16:45]
S: Eh.. kita sebelahan. Aku di D6 dunk. Aku masih kenyang. Gak usah beli popcorn aja ya.. Selamat menonton lebih dulu!
T: Hehehe… Iya, aku juga abis ini makan. Gak pake popcorn deh! Ni masih intro.

[16:56]
T: Belom terasa lucu.. Iya sih ini kan film adventure.

[16:57]
S: Aku baru aja masuk. Masih intro. Di sampingku anak kecil cowok dunk.
T: Hahahahaha… Baiklah, jangan sampe kamu ngobrol sama dia kayak ngobrol ke
     aku.

[17:16]
S: Jadi pengin nonton Spy Kid. Kayanya bagus. Ni udah dimulai.

[17:19]
S: Tintin pun ke perpustakaan dunk buat nyari info.
T: Iyaahhh… Seru yah. Aku jadi pengen jadi anggota perpustakaan lagi.

[17:47]
S: Put your hands up! Haha!
T: Hahahaha…

[18:03]
S: Di sini penontonnya heboh.
T: Yaaahhh.. di sini tenang banget. Orang-orangnya dun get the joke too.

[18:29]
T: Aku udah selese dunk.
S: Aku 15 menit lagi berarti. Laper.

[18:33]
T: Ni aku makan CFC.

[18:49]
S: Selesai! Terima kasih untuk nonton barengnya. Ni mau makan di Solaria.

Terentang 822 kilometer, beda jeda 15 menit, 1 provider.

Friday, 6 January 2012

PopoX Goes Wild

PopoX vs Dragon

PopoX's Planking

Saya dan Toko Buku Bekas

“Kalau aku masuk ke dalamnya, itu...seperti...surga.”

Tanpa bertatap muka langsung, saya tahu, ratusan kilometer dari tempat saya bicara, ekspresi yang paling mungkin tampak di wajah teman saya adalah o.O. Atau mungkin =|

Malam itu saya sedang menelepon seorang teman. Untuk teman yang ini, biasanya saya menelepon tanpa ada maksud tertentu. Kadang saya memang hanya ingin mengobrol. Jadilah kami bercerita apa saja. Sebelum menutup telepon, saya cerita tentang toko buku favorit saya.

Bicara tentang toko buku favorit, lupakan sejenak Gramedia, Kinokuniya, Periplus, Trimedia, Times, dan toko-toko buku serupa. Saya suka semuanya *ketjup satu-satu*, tapi yang saya maksud saat itu adalah sebuah toko buku bekas.

Saya selalu merasa punya hubungan istimewa dengan toko buku bekas. Errr...tidak harus benar-benar berbentuk toko sih, bisa saja itu berupa lapak-lapak di pinggiran jalan atau pasar malam. Di salah satu postingan awal-awal blog, ini yang saya tulis:

“Perkenalan saya dengan buku bekas dimulai ketika saya baru masuk kelas 1 SMP. Malam minggu, Bapak mengajak saya dan adik jalan-jalan di alun-alun kota kecil kami. Bosan duduk-duduk di sana, Bapak membawa kami ke pasar buku bekas dekat alun-alun. Entah kenapa saya tak memperhatikan pasar ini sebelumnya. Saya tahu ada pasar malam, namun yang jelas, itu kali pertama saya menyadari ada buku bekas dijual di sana, selain baju dan segala macam poster artis.

Apa yang saya rasakan saat itu? Surga.”

Saya hampir-hampir lupa selalu merujuk toko buku tertentu dengan kata ‘surga’.