Monday, 7 January 2013

20(12) Part II



7
Setelah menunggu cukup lama, Ice Age 4: Continental Drift dan Madagascar 3: Europe’s Most Wanted akhirnya muncul di 2012. Saya menyukai seri pertama kedua film itu dan tanpa sadar punya ekspektasi berlebih pada dua film animasi ini. Tawa adalah yang saya cari dalam keduanya. Bukan hanya sekedar laugh – tawa – saja, namun juga laugh echo. Ini adalah jenis tawa yang bisa terus berulang hanya dengan mengingat suatu kejadian lucu. Saya punya banyak laugh echo untuk adegan-adegan di Ice Age 3 dan Madagscar 2, namun sayangnya, tak terulang di dua film terbaru ini.

Untuk penggemar pahlawan super, di tahun 2012 setidaknya ada 3 film yang bisa memuaskan mereka. Dimulai dari The Avengers yang mengibur, Batman: The Dark Knight Rises yang gelap, serta The Amazing Spiderman yang segar tanpa Tobey Maguire. Ketika The Avengers dan The Amazing Spiderman lebih seperti hiburan, Batman: The Dark Knight Rises lebih serius dan berkarakter. Kehancuran Kota Gotham sungguh membuat senewen. Meskipun akhirnya – seperti akhir kisah-kisah film pada umumnya – kebaikanlah yang memenangkan pertempuran.

Di tahun ini pula Twilight Saga berakhir dengan kehadiran Breaking Dawn (Part II). Sebagai informasi, saya punya love and hate relationship dengan Twilight. Saya benci dengan tata rias yang aneh dan berlebihan di film yang pertama, saya benci dengan akting datar Kristen Stewart dan karakter Bella Swan yang lemah, saya benci eksploitasi tubuh berotot Jacob yang terlalu memaksakan, saya benci cengiran Edward Cullen, namun toh tetap menonton filmnya.

Saya selalu mengeluh dan komplain setiap kali menonton film-film Twilight Saga, tapi tak mau kehilangan momen nonton filmnya di bioskop. Saya sering menghina-hina Twilight, membandingkannya dengan Harry Potter, tapi tetap juga menonton hingga filmnya tamat.

Tapi Breaking Dawn (Part II) berbeda. Bella Swan tampil mempesona setelah ia diubah menjadi vampir. Kristen Stewart lebih hidup, atau mungkin saya sudah terbiasa dengan aktingnya. Edward Cullen lebih dewasa, dan saya jatuh cinta pada senyumnya ketika ia bermain piano dengan Renesmee, putrinya. Dan Jacob, ah, ia masih saja pamer tubuhnya. Banyaknya vampir yang terlibat dari seluruh penjuru dunia mengingatkan saya pada Harry Potter and The Goblet of Fire ketika sekolah sihir bukan hanya Hogwarts. Pertempuran antara Cullens dan pembelanya versus Volturi adalah klimaks dari keseluruhan film Twilight Saga. Ini adalah klimaks yang ditunggu-tunggu sejak empat tahun yang lalu!

Yang lebih luar biasa adalah twist-nya yang tak terduga. Beberapa orang kecewa dengan ending-nya, tapi bagi saya itu juara. Breaking Dawn (Part II) membuat perasaan saya naik turun dengan cepat seperti roller coaster. Film ini ditutup dengan lagu A Thousand Years Christina Perry feat. Steve Kazee yang manis. Dalam closing­-nya, semua pemain film-film Twilight Saga dimunculkan dari film yang paling pertama, semacam reuni. Kali itu, saya tak mau beranjak dari bioskop hingga Bella Swan muncul sebagai penutup. Film ini menjadi salah satu yang paling berkesan buat saya.

Namun di antara semua film yang saya tonton di 2012, yang menempati posisi puncak adalah Life of Pi. Ide cerita yang unik dan tata visual yang cantik sudah lebih dari cukup untuk membuat saya betah berlama-lama menonton. Adegan penutup yang memberikan kebebasan pilihan manusia atas eksistensi Tuhan membuat saya terpukau, dan menjadi agak filosofis sampai selesai menonton. Ini adalah film yang wajib ditonton.


6
What Makes You Beautiful ­– One Direction, No Other – Super Junior, dan Beautiful Cause You Love Me ­– Girls Aloud adalah tiga lagu yang mengingatkan saya pada 2012 untuk alasan yang kadang tak harus ada. Khusus untuk No Other, saya bahkan sempat menuliskannya di sini. Silahkan menikmati ketiga lagu di bawah ini.






5
The Book of (Holiday) Awesome saya beli di tahun ini melengkapi kedua buku Neil Pasricha yang lain. Di tahun 2012 ini pula, saya punya kecanduan baru untuk mengumpulkan buku-buku Diary of a Wimpy Kid. The Izu Dancer saya temukan di tengah-tengah pesta diskon Periplus. Mestinya saya senang berhasil mendapatkan buku yang sudah lama saya cari, namun ternyata versi Inggris buku itu mengecewakan. Tidak ada bahasa puitis seperti Penari Izu yang diterjemahkan oleh Ajip Rosidi. Beberapa kejadian bahkan ada yang dihilangkan.

Perkenalan saya pada buku-buku Mitch Albom adalah yang terbaik untuk tahun 2012. Dimulai dari One More Day, saya mulai mengumpulkan buku-bukunya yang lain seperti The Five People You Meet in Heaven, Have a Little Faith, Tuesdays with Moorie, sampai bukunya yang terbaru The Time Keeper. Selain Dan Brown dan JK Rowling, Albom adalah orang yang bisa membuat saya ingin segera melompat ke halaman tiga bahkan ketika saya masih membaca halaman pertama. Albom adalah penulis yang paling hebat di tahun ini buat saya.


4
Saya lumayan sering bepergian ke luar kota di tahun ini. Namun di antara semuanya, Ambon, Manado, dan Mataram adalah tiga kota yang paling berkesan untuk saya.

Ambon sudah memukau saya begitu mobil yang saya tumpangi meninggalkan bandara Pattimura. Kota ini eksotis, sulit membayangkan seringnya pecah kerusuhan berlatar belakang SARA di sini. Saya sempat ke pemandian air panasnya dan pergi melihat belut berukuran super. Belut-belut ini hidup di sungai-sungi jernih dekat dengan pemukiman warga. Ia berada di gorong-gorong dan hanya muncul ketika dipancing dengan aroma telur mentah oleh seorang pawang. Ukuran jumbo belut-belut itu sempat membuat saya bergidik.

Manado punya cerita yang berbeda. Itu adalah kali pertama saya ke Manado. Dari Manado, saya sempat ke Lahendong untuk mengunjungi salah satu PLTU di sana. Jalanannya yang berbukit-bukit membuat saya berusaha terjaga – untuk menikmati pemadangan – di tengah godaan kantuk. Pulang dari Lahendong, hujan turun. Selepas hujan, giliran kabut yang bergelayut, menutupi rimbun pepohonan dengan putihnya. Tahu yang saya bayangkan pertama kali? Forks. Yeah. That Forks from Twilight.

Mataram dan Pantai Senggigi-nya termasuk yang ada di hati saya juga. Saya selalu menginap di Hotel Jayakarta Lombok, dan setiap senja, saya akan pergi ke bibir pantai yang ada persis di belakang hotel. Saya akan duduk di atas pasir bertelanjang kaki, menikmati langit jingga sementara matahari perlahan-lahan mulai turun. Jika beruntung, Gunung Agung akan tampak di sisi sebelah kanan. Itu adalah momen yang menenangkan, momen yang mendamaikan jiwa.


3
Tahun 2012 adalah tahun yang penuh dengan mimpi-mimpi. Saya ralat. Tahun 2012 adalah tahun terwujudnya mimpi-mimpi. Seorang teman baik berhasil mendapatkan beasiswa kuliah S2 di Australia, sementara dua teman yang lain berhasil travelling hingga ke Amerika. Bertahun-tahun yang lalu, kami hanya memimpikannya. Bertahun-tahun kemudian, mimpi itu tetap terjaga dan BUMMM... menjadi nyata!


2
Salah satu mimpi saya pun terwujud di tahun ini. Sejak masih anak-anak, saya selalu ingin pergi ke Jepang. Saya tahu, suatu saat saya pasti akan ke sana. Entah dengan uang sendiri, entah dengan memenangkan sebuah undian. Namun saya tak pernah tahu kalau pada akhirnya saya ke sana dengan biaya Pemerintah Jepang.

Saya mendapat training selama dua minggu di Tokyo. Di sela-sela training, saya jalan-jalan mengelilingi Tokyo mulai dari Tokyo Sky Tree Tower yang modern hingga Istana Kaisar yang mengingatkan saya pada jaman dulu. Di akhir pekan, saya pergi ke Gunung Fujiyama bersama dua teman Jepang dan satu teman dari Indonesia. Itu pertama kalinya saya menyaksikan kemegahan Gunung Fujiyama secara langsung.

Ada enam postingan tentang Jepang yang saya tulis di blog ini. Tapi rasanya, enam pun belum cukup untuk menceritakan semua yang ingin saya bagi.


1
Highlight of 2012: Meet Hayley Westenra!! Enough said.


Itulah 12 cerita untuk 2012. Dan meskipun agak telat, saya ingin tetap menyapa.

Halo, 2013!

20(12) Part I

1 Januari 2013


Riuh petasan masih terdengar sesekali. Lamat-lamat, suaranya jauh. Memang tidak sesering malam sebelumnya, tapi itu adalah tanda. Jangan tanyakan tentang peniup terompet-terompet itu. Gaduh. Suara Kugy tersaingi hingga saya mesti mengeraskan volume TV ketika menonton Perahu Kertas. Tapi terompet-terompet itu juga adalah tanda. Sepertinya, perayaan tahun baru – untuk beberapa orang – masih belum usai.

Libur panjang selama empat hari kemarin saya habiskan bersama teman-teman terdekat. Kontemplasi dan resolusi, dua kata yang identik dengan Tahun Baru, sempat terucap di sela-sela bincang-bincang santai. Namun sepertinya lazimnya kata-kata lisan, ia mudah dilupakan. 

Ini juga berlaku pada (beberapa) peristiwa. Sepuluh, dua puluh tahun mendatang, mungkin saya akan lupa dengan apa-apa yang terjadi di sepanjang tahun 2012 kemarin. Oleh karena itu, saya menuliskannya di blog ini sebagai pengingat. Ah ya, karena ini personal blog, tentunya yang saya tulis adalah yang ada dalam jangkauan radar saya.

Dan, karena ini adalah kisah tentang (20)12, saya akan ceritakan 12 hal yang terjadi di tahun itu. Ada yang penting (buat saya), ada yang tak mengapa untuk dibaca sambil lalu. Inilah 12 cerita itu. 


12 
Awal tahun 2012 dimulai dengan niatan saya yang semakin tinggi untuk mendapatkan beasiswa di luar negeri. Sebelum semuanya, saya tahu, menguasai Bahasa Inggris adalah yang paling penting. Kalau buku adalah jendela dunia, Bahasa Inggris adalah pintunya. Ini yang sebenarnya membuat frustasi. Saya belajar Bahasa Inggris sejak SMP, pun saya ikut Klub Bahasa Inggris semasa kuliah. Tapi saya tak merasa kemampuan saya bertambah signifikan, terutama untuk speaking. Saya sering speechless, tak tahu harus bicara apa, tak tahu harus menjawab bagaimana.

Demi melatih speaking, saya dan seorang teman kantor (yang juga hendak apply beasiswa) sepakat untuk belajar bersama. Sepulang kantor, kami akan bertemu untuk saling bicara dalam Bahasa Inggris. Tujuan kami saat itu sama: dapat skor yang bagus untuk tes iBT TOEFL.

Setelah tes TOEFL selesai, selesai pula sesi latihan sore hari. Tak puas hanya sampai di situ, saya berlatih dengan teman yang lain; kali ini melalui telepon. Saya akan meneleponnya sekitar satu jam, berbicara sepenuhnya dalam Bahasa Inggris. Teman latihan saya yang ini adalah lulusan Sastra Inggris dengan predikat cum laude. Berbeda dengan teman sebelumnya yang sama-sama belajar, dengan teman yang sekarang saya lebih berposisi sebagai murid. Ia akan memberi tahu ketika grammar saya salah, ia juga akan memberikan beberapa kata baru sebelum saya menutup telepon.

Tidak cukup sampai di situ, saya ingin juga berlatih speaking dengan orang asing. Cara yang paling mudah tanpa resiko adalah dengan ikut les Bahasa Inggris. Bulan April saya mulai belajar di EF yang paling dekat dengan kosan. Pengajarnya dari Inggris. Selama tiga bulan saya ikut les. Karena saat itu tidak ada Conversation Class, saya ambil program Real English. 

Bulan Agustus, saya kembali mendaftar di EF. Kali ini mengambil Conversation Class. Kelas ini lebih hidup, karena memang dibuat agar para murid ‘bicara’. Teman-teman di kelas yang baru ini lebih antusias, lebih menyenangkan. Mereka bahkan setuju untuk meluangkan waktu selama 15 menit selepas kelas untuk ngobrol-ngobrol biasa menggunakan Bahasa Inggris.

Secara personal, saya punya beberapa kiat tersendiri sebagai upaya untuk menguasai Bahasa Inggris. Saya merekam monolog Bahasa Inggris saya dalam recorder, membeli picture dictionary terbitan Oxford dan menghapalkan kata-kata baru setiap harinya, mencoba menonton film dengan menghilangkan subtitle-nya, membaca buku-buku dan memperbanyak hapalan lagu-lagu berbahasa Inggris. Saya memulai beberapa di antaranya bahkan sebelum ikut les yang kedua. Dengan berlatih, percaya diri saya naik sekian derajat. Ini sangat bermanfaat ketika akhirnya saya mengikuti training di Jepang, di bulan Agustus.

Selepas Jepang, selepas les di EF, selepas latihan dengan teman, masalah awal saya muncul lagi. Saya berhenti berlatih. Sepertinya saya harus terus dan terus dan terus dan terus dan terus dan... terus berlatih berbahasa Inggris.

Dan ngomong-ngomong soal beasiswa, tahun 2012 masih bukan tahun saya. Meski sempat diterima di salah satu universitas di Belanda, saya justru tak mendaftar beasiswa apapun karena kalah cepat dengan deadline program beasiswa. Memang ada beasiswa dari negara-negara lain, tapi tujuan saya hanyalah Belanda. Titik.

Seseorang pernah berkata “One of the hardest parts of life is deciding whether to walk away or try harder.” Ada saat-saat ketika saya ingin menyerah. Tapi saya pastikan, tahun 2013 bukanlah saatnya. Satu acceptance letter dari universitas yang lain di Belanda sudah ada dalam genggaman. Saya akan mencoba lebih keras. Setelah itu, tidak ada yang tahu. 


11 
Tahun 2012, DKI Jakarta punya hajatan besar untuk memilih gubernur dan wakil gubernur. Ada enam pasang calon yang bertarung. Pilkada putaran pertama memenangkan Fauzi Bowo – Nara dan Jokowi – Ahok untuk melaju ke putaran kedua.

Persaingan kedua pasang calon ini berlangsung seru. Isu agama hingga ras kuat berhembus. Kedua calon sama-sama punya peluang, susah menentukan siapa yang akan jadi pemenangnya. Fauzi Bowo yang merupakan incumbent tentu punya keuntungan tersendiri. Terlebih ia didukung mayoritas partai. Sementara Jokowi – yang namanya melejit lewat mobil Esemka – segera saja menjadi media darling dan populer di mata masyarakat. Ia dianggap lebih membumi, lebih rendah hati.

Saling serang di antara keduanya bukan hanya terbatas pada iklan-iklan di televisi atau janji-janji kampanye, mereka juga merambah internet lewat jejaring sosial. Beberapa akun Twitter anonim disinyalir digerakkan oleh tim kampanye masing-masing calon.

Partai vs Rakyat. Itu yang saya lihat dari pertarungan dua calon pemimpin DKI tersebut. Ketika hasil akhir pemungutan suara diumumkan, tahulah saya kalau rakyatlah yang menang. Terpilihnya Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta adalah kejadian politik di Indonesia yang paling memorable buat saya.

Sementara itu, kejadian politik paling panas yang saya ikuti dari luar negeri terkait dengan hak kepemilikan senjata api di Amerika Serikat. Pro-kontra tentang senjata api muncul ketika dua penembakan massal paling sadis terjadi dalam rentang waktu tak lebih dari enam bulan di negara adidaya itu.

Kejahatan bersenjata api di Amerika memang yang tertinggi di dunia. Ini tak lepas dari hak setiap warga di sana untuk memiliki senjata api untuk perlindungan diri – yang sayangnya, seringkali disalahgunakan. Ada banyak kasus penembakan, namun yang paling lekat adalah penembakan di sebuah bioskop di Aurora dan Sandy Hook School di Newtown.

Kedua penembakan ini sangat menyakitkan hati, mengusik nalar. Kita seperti diingatkan bahwa manusia, bisa menjadi sangat kejam. Puluhan korban meninggal, puluhan atau mungkin ratusan yang lain luka-luka. Dan rasa trauma, akan terus berbekas. Tanpa mengecilkan para korban penembakan di Aurora, hati saya lebih terluka melihat korban di Sandy Hook School. Penembakan yang terjadi beberapa hari menjelang Natal itu terjadi di sekolah, tempat orang tua seharusnya aman menitipkan putra-putrinya. Beberapa korban masih sangat belia, anak-anak umur 5 hingga 10 tahun. They were just babies! 

Pro-kontra tentang kepemilikan senjata api masih terus bergulir. Apapun hasilnya, semoga di tahun-tahun mendatang tak perlu lagi saya menulis tentang penembakan massal. 


10 
Kuningan City dan Kota Kasablanka, dua mall yang mulai dibuka di 2012. Setelah Setiabudi One, Mall Ambassador, ITC Kuningan, Plasa Festival, dan Epicentrum Walk, dua pusat belanja tadi semakin meramaikan pasar-pasar modern di daerah saya tinggal.

Kabar baiknya, saya jadi punya lebih banyak tempat alternatif untuk jalan-jalan. Kumpul-kumpul dengan genk pun sekarang seringnya di Kuningan City. Beda dengan Kota Kasablanka yang hiruk-pikuk, Kuningan City cenderung lebih tenang; bahkan nyaman untuk hanya duduk-duduk merasakan AC dingin dengan wifi gratisan. Tempat sholat pun lumayan luas (bandingkan dengan Plasa Semanggi yang hanya secuil itu), meskipun mukena yang tak bersih bisa jadi nilai minus.

Kuningan City punya XXI yang membuat saya semakin betah nonton film di bioskop, apalagi ketika harga promo yang cuma dibandrol Rp15.000 per tiket. Sekarang sih harga sudah normal lagi. Tak jauh dari Kuningan City, mulai tanda-tanda akan dibangun Lotte Mart. Terlalu banyak mall. Apa kabar taman kota? 


9 
Di awal tahun, saya bersama teman-teman menikmati konser Tahun Baru yang dibawakan oleh The Soloist of Symphonia Vienna. Saya ceritakan kisahnya di sini. September, berselang sehari dari kepulangan saya dari Jepang, saya menonton Konser Kemerdekaan di Taman Ismail Marzuki. Di konser itu, saya sempat merinding ketika lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Itu juga kali pertama saya menyaksikan penampilan Ananda Sukarlan. Pulang dari konser, rasa nasionalisme saya terangkat beberapa senti.

Itu pula yang saya rasakan saat menonton konser The Great Indonesian Songbook: Sound from The East di Ritz Carlton pada 12 Desember (12/12/12) yang lalu. Saya mendapatkan tiket konser ini dari seorang teman baik yang memenangkan kuis @GNFI. Setiap pemenang memperoleh dua tiket, dan ia mengajak saya. Saya pun sebenarnya ikut kuisnya, tapi kalah. Well, setidaknya saya masih tetap bisa ikut menonton konsernya. 

Sound from The East menampilkan lagu-lagu dari daerah timur Indonesia. Yang paling spektakuler adalah opening-nya. ‘Dinding’ panggung terbelah menjadi dua, dan tampaklah puluhan orang dari Molluca Bamboowind Orchestra memainkan alat musik daerah dengan latar paduan suara.

Layar paling belakang berwarna jingga kemerahan, seperti matahari senja. Lagu Rayuan Pulau Kelapa mengalun, membius ribuan penonton berbaju batik yang memadati ruangan. Di detik-detik itu – hanya di detik-detik itu – saya melupakan impian saya menjelajah Inggris. Keinginan berpetualang di negeri sendiri menguat, pun rasa sayang saya pada Indonesia.

Glen Fredly menjadi yang paling ditunggu-tunggu. Ia dengan pintarnya mengajak penonton untuk menari hanya dengan menyelipkan kata ‘Malaysia’ yang membuat gerah telinga. Ini ia lakukan saat menyanyikan Rasa Sayange, lagu yang sempat diklaim oleh negara tetangga itu.

Dari Glen Fredly pulalah saya mendapat kutipan yang sangat bagus. “Jika Indonesia Timur tersenyum, tersenyum juga Indonesia.”  Kurang-lebih seperti itu. Sebuah kalimat yang sangat kuat menurut saya, sangat filosofis.

Selain konser-konser itu, ada satu lagi yang saya tonton, ini yang paling unik. Saya menonton Silent Movie Night with Live Music (by The Batavia Madrigal Singers and Capella Amadeus) bertajuk Nosferatu di Taman Ismail Marzuki.

Perlu saya jelaskan bahwa saya sangat anti film horor. Dari skala 1-10, rasa benci saya pada film bergenre itu bertengger kokoh di angka 10. Saya tak punya firasat apapun saat seorang teman baik mengajak saya menonton film itu. Yang saya tunggu-tunggu adalah konsep film bisu dengan live music-nya. Sembari menunggu masuk ke dalam gedung, saya coba google tentang Nosferatu. Lemas sudah ketika saya tahu itu film tentang hantu. Drakula. Penghisap darah.

Rasanya saya ingin pulang, kalau tak ingat si teman sudah berbaik hati mendaftarkan saya menonton film ini. Iya, ini adalah acara gratisan. Asal sudah mendaftar dan masih ada kuota, kita bisa mendapat jatah kursi.

Saya dan teman duduk di kursi deretan agak depan, pas dengan arah dan jarak pandang ke panggung. Saya sudah pasrah ketika film baru dimulai. Aroma seram sudah tercium lewat tulisan dengan font model kuno.

Dan oh, saya ingin menangis ketika sosok Nosferatu mulai muncul. Tanpa bicara, gambar yang ada di layar membuat rasa takut muncul dengan alamiah. Tanpa efek dan teknik macam-macam – cenderung sederhana malah, film bisu itu membuat seram yang ditampilkan lebih ‘murni’, lebih original.

Ketika adegan Nosferatu muncul tiba-tiba di kamar si pria – dengan ekspresi wajah datarnya – ingin rasanya saya menarik selimut tebal untuk menutup wajah. Ketika adegan si pria gemetar dan berusaha melarikan diri, saya pun gemetar ingin memeluk ibu atau bapak. Menonton film itu, rasanya saya seperti kembali menjadi anak kecil yang takut dengan dongeng-dongeng tentang nenek sihir. 

Standing ovation layak ditujukan pada semua pengisi musik dan paduan suara film bisu ini, terutama Pierre Oser sang konduktor. Mereka membuat film ini bernyawa, menciptakan atmosfir seram berlipat-lipat. Di salah satu adegan, mereka mengeluarkan bunyi desis seperti ular. Meskipun saat itu saya takut setengah mati, separuh diri saya ingin sekali bertepuk tangan keras-keras untuk penampilan yang luar biasa itu. 

Keseluruhan acara Silent Movie Night with Live Music ini sangat memuaskan. Indah. Seram dan ngeri yang dirasakan sebanding dengan kenikmatan mendengarkan musiknya dan menonton visualnya. Meskipun begitu, saya mungkin akan berpikir-pikir lagi jika diminta menonton film serupa. 


8 
Il Divo, Christina Perry, dan David Foster. Tiga konser musik dari penyanyi luar yang saya tonton sepanjang tahun 2012 ini. Ketiganya menyuguhkan penampilan yang berbeda dengan kekhasan masing-masing. Il Divo tampil elegan dalam balutan jas yang necis dan klimis. Urs yang jadi favorit saya terlihat lebih pendiam dibanding tiga yang lain. Muncul dengan potongan rambut barunya yang pendek, Urs semakin membuat saya terpesona.

Ketika Il Divo melelehkan hati fans (yang didominasi perempuan) dengan kata-kata rayuan dan suara spektakulernya, Christina Perry mengharu-biru penonton konser dengan A Thousand Years-nya yang fenomenal. Saking kuatnya lagu pengisi OST Breaking Dawn (Part I) ini, sampai-sampai dibilang kalau Perry lebih berhasil memberikan feel pada Twilight Saga ketimbang seluruh filmnya dijadikan satu.

Beda lagi dengan apa yang dilakukan oleh David Foster pada konsernya yang ketiga di Jakarta. Seperti selalu, ia membawa rombongan penyanyi kelas dunia dan memberikan kesempatan pada satu penyanyi Indonesia untuk tampil – yang dalam konser kemarin dipercayakan pada Raisa. Foster bukan hanya seorang pencetak lagu-lagu hits – The Hit Man – tapi ia adalah performer yang luar biasa. Interaksinya dengan penonton begitu luwes dan mengagumkan. Ia terlihat menikmati konsernya, tak sungkan melempar senyum pada ribuan orang di hadapannya.

Itulah tiga konser yang saya tonton di sepanjang tahun ini. Saya pernah menuliskannya di sini, sini, dan sini.

(lanjut ke part II)