Monday, 30 September 2013

Uhmm.. Hello, NL!

Kamis, 19 September 2013, pukul 01.45. Saya sudah duduk di kursi 21C. Sebelah kiri dan kanan saya orang Indonesia. Di ujung paling kanan, saya lihat ada Zaskia Sunkar dan Shireen Sunkar. Dini hari itu, Etihad Airways akan membawa saya terbang ke Eropa.

Belum lama tertidur, saya bangun karena pramugari membagikan makanan. Saya menolak, hanya minta teh panas untuk menghangatkan badan. Sambil minum teh, saya pilih-pilih film untuk ditonton. Pilihan saya jatuh pada 20 Ans d’ecart, film Prancis tentang seorang editor majalah terkenal yang pura-pura jatuh cinta pada seorang pemuda dengan usia jauh lebih muda, supaya dianggap rebel seperti ikon majalahnya.

Pukul enam pagi, pesawat mendarat di Abu Dhabi untuk transit. Tiga jam kemudian, pesawat mulai take off menuju Amsterdam. Saya kembali duduk di kursi dengan nomor sama.


Tak lama, pramugari datang membawakan makanan. Pagi itu saya sarapan kari ayam dan kentang. Meskipun tak terlalu suka, saya paksakan makan. Saya tak ingin kelaparan selama sisa penerbangan.

Film kedua yang saya tonton adalah film dari Mesir. Saya lupa judulnya. Film itu berkisah tentang seorang wanita muda single yang independen, cerdas, dan kaya. Suatu hari dia bangun dari tidurnya dan mendapati dirinya menjadi ibu rumah tangga biasa dengan tiga orang anak. Film komedi ini tak terlalu lucu sih, saya hanya senang bisa melihat film lain selain film Holywood yang mainstream. Saya sempat menonton film lain dari Jerman, namun tak menyelesaikannya karena terlanjur ngantuk.

Oya, sepanjang penerbangan kali ini, saya duduk bersebelahan dengan orang Belanda. Dari ngobrol-ngobrol dengannya, saya tahu kalau dia pernah tinggal di Indonesia selama dua tahun sejak tahun 1987. Dia mengajar Bahasa Inggris di Universitas Muhammadiah Purwokerto. Selama dua tahun itu, dia tinggal di Dukuh Waluh.

Pukul 14.30 waktu setempat, pesawat mendarat di Bandara Schiphol. Total 18 jam penerbangan saya isi dengan tidur, makan, nonton film, ke toilet, begitu seterusnya. Pegal juga rasanya. Tapi semua hilang ketika saya akan melewati Imigrasi.

Well, Imigrasi adalah pintu yang harus saya lewati untuk masuk ke Belanda. Saya mulai menyiapkan jawaban yang kira-kira diperlukan.

Alhamdulillah semua lancar. Petugas Imigrasi hanya menanyakan tujuan saya ke Belanda dan untuk berapa lama. Setelahnya, saya mengambil bagasi dan berjalan menuju meeting point untuk menemui perwakilan Van Hall Larenstein (VHL) di sana.


Schiphol sangat luas. Yang membuatnya tidak nampak seperti bandara adalah karena adanya Schiphol Plaza di tengah bandara. Itu lebih seperti… mall. Papan petunjuknya jelas sehingga saya tak kesulitan menemukan meeting point yang berbentuk kotak dengan warna merah-putih. Saya lihat ada VHL di papan informasi, saya tunggu di situ. Tak lama, seorang perempuan menyapa saya. Dia bertugas menjemput mahasiswa baru VHL dari Schiphol. Belakangan, saya tahu kalau namanya adalah Ms. Aska.

Ms. Aska mengantar saya ke bis tempat saya menaruh koper super besar yang saya bawa. Kami keluar Schiphol, dan itulah pertama kalinya saya merasakan udara Eropa. Suhu masih 14 derajat, belum terlalu dingin. Tapi tetap saja dingin untuk saya. Saya merasakan udara dengan tangan, menghirup udaranya yang segar. Ah Eropa, akhirnya kita bertemu juga!

Ms. Aska bilang saya harus menunggu rombongan mahasiswa lain sebelum ke temporary housing di Maurits Ede. Rentang waktu yang ada saya manfaatkan untuk jalan-jalan mengelilingi Schiphol, menikmati suasananya. Saya perhatikan gaya berpakaian orang-orang yang lalu-lalang di hadapan. Semuanya nampak modis dengan syal, blazer dan boot. Saya sendiri hanya memakai jeans, jaket merah tebal, dan sepatu kets.

Pukul 7 malam, bis mulai jalan menuju Ede. Kampus saya ada di Wageningen, tapi temporary dorm saya ada di Maurits Ede. Baru sepuluh menit di atas bis, saya sudah mengantuk.

Saya terbangun di saat yang tepat, ketika Ms. Aska menjelaskan siapa mendapat dorm di mana. Untunglah. Ms. Aska – berdiri paling depan – juga menjelaskan program seminggu ke depan.

Sembari mendengarkan penjelaskan Ms. Aska, saya melempar pandangan ke luar kaca jendela. Hari mulai petang. Saya melihat ladang-ladang dengan sapi-sapi gemuk tersebar. Rumah-rumah khas Belanda muncul, dengan kaca bening lebar tak bertirai. Saya melihat sebuah keluarga bercakap-cakap; sepertinya hangat di dalam sana.

Ede ataupun Wageningen memang desa. Saya tahu itu jauh sebelum saya sampai ke sini. Suasananya tenang, hanya sedikit mobil yang lewat. Bis yang saya tumpangi mulai berbelok, memutar, berbelok lagi, hingga akhirnya bis berhenti di Maurits Buiding 9/10. Perjalanan dari Schiphol ke Ede memakan waktu satu jam. Beberapa orang mulai turun. Saya tetap tinggal. Bis kembali berjalan, kemudian berhenti di Maurits Building 85/86. Ini adalah tempat saya tinggal sampai beberapa minggu ke depan.

Begitu turun, angin dan udara dingin langsung menyerbu. Saya masukkan tangan ke saku jaket. Ms. Aska memberikan kunci satu per satu pada kami. Saya dapat kamar 19b.

PR selanjutnya adalah menyeret koper seberat 30 kilo sendirian menuju dorm. Jalanan yang tidak rata dan menanjak membuat beban semakin berat. Saya…langsung kangen rumah.

Beruntung kamar saya ada di lantai dasar. Good luck untuk yang kamarnya di lantai 3! Tidak ada lift, yang ada hanya tangga. Setelah berhasil membawa masuk koper ke kamar, saya langsung masukkan baju ke lemari. Menata yang perlu. Ada selimut, sprei, dan bantal yang masih baru. Saya membukanya dan mulai merapikan tempat tidur.


Kamar saya cukup luas, itu karena memang dimaksudkan untuk berdua. Cukup nyaman. Ada heater ­pula, jadi kamar selalu hangat. Ada kasur satu lagi di sebelah kanan saya, belum tersentuh. Saya menunggu beberapa menit namun tak ada teman sekamar yang datang. Saya pikir, besok pastilah dia baru sampai ke dorm.


Kamar mandi dan toilet ada di luar, berbagi dengan teman-teman lain; begitupun juga dengan dapur. Saya langsung membersihkan diri dan wudlu untuk sholat. Setelah sholat, saya langsung tertidur. Hari ini adalah hari yang panjang. Malam ini saya ingin tidur tenang.

Thursday, 26 September 2013

Farewell (II)


Kalau berpisah dengan teman saja sedemikian sedihnya, bagaimana saya bisa berjauhan dengan keluarga di rumah?

Enam hari sebelum keberangkatan, saya mengajukan cuti di kantor dan mudik ke rumah. Itu setelah semua urusan administrasi telah selesai. Namun sebelum saya cerita tentang rumah, saya akan ceritakan tiga farewell yang lain.

Setelah sedih-sedih berpikir tidak bisa bertemu Mitha lagi, ternyata seminggu setelahnya saya malah diajak oleh dia untuk ikut acara ulang tahun Backpacker Dunia yang keempat, tanggal 7 September di Museum Mandiri. Saya mengajak Mbak Tami ikut serta. Mbak Vita sayangnya sudah ada rencana di hari itu.

Saya dan Mitha datang lebih awal, Mbak Tami belakangan karena terjebak macet. Kami duduk di deret kursi nomor dua, menyimak dengan semangat kisah-kisah para backpacker yang sudah keliling dunia. Mitha memberi saya sebuah bingkisan dan membawakan serabi Notosuman untuk sarapan. Duh.. baiknya

Kami tak mengikuti acara sampai selesai. Apalagi Mitha masuk kerja sore pada hari itu. Saat Mitha menyeberang ke Stasiun Kota untuk pulang ke BSD, saya berpikir itulah terakhir kalinya saya bertemu Mitha sampai tahun depan. Beruntung masih ada Mbak Tami untuk menghalau mellow. Setelah Mitha sudah tak nampak lagi, saya dan Mbak Tami ke Sarinah dan makan siang di sana. Kami sempat mampir pula sebentar ke Mall Ambassador.

Pun, mellow kembali datang ketika tiba saatnya berpisah dengan Mbak Tami. Itu seperti.. ada yang hilang satu per satu. Dan itu rasanya tidak enak.

Tanggal 9 September, ada farewell party dengan teman-teman satu bagian di kantor. Saya cuma nebeng saja, karena acara ini sebenarnya untuk bos saya yang baru pensiun.

Rabu tanggal 11, Mbak Vita mengajak ketemuan di Kuningan City setelah pulang kerja. Mbak Tami juga bisa ketemuan pada hari itu. Jadilah kami bertiga bertemu lagi sebelum saya pergi.

Sebenarnya ada satu orang lagi yang seharusnya ada malam itu: Mbak Nisa. Kami berempat biasa hang out bareng. Sejak tahun lalu, dia kuliah di Australia; mendapat beasiswa dari kantornya. Karena dia pulalah saya semakin terdorong untuk mencoba hal yang sama. Meskipun jauh, toh dia tetap memberi semangat melalui kartu-kartu dan buku yang dia kirim dari sana. Ini bunyi salah satu kartunya: “You believed you could so you did.” Baik yah?

Kami mengobrol banyak sambil makan malam. Mbak Vita dengan baik hati memberi saya pernak-pernik khas London, percaya bahwa suatu saat saya akan mampir ke sana. Sebelumnya Mbak Tami memberi saya mukena supaya saya tidak lupa sholat selama kuliah di luar.

Ketika tiba saat berpisah, saya memeluk mereka lebih erat dari biasanya, lebih lama dari biasanya.

Oh ya, ada satu hal lagi. Kamis tanggal 12 September adalah hari terakhir saya bekerja sebelum cuti. Mbak Dina, teman satu ruangan saya, tak disangka mengajak Nuha putrinya ke kantor sore hari menjelang pulang.

“Sengaja aku bawa Nuha, supaya Anggie tahu. Nanti Nuha sudah gede kalau Anggie balik ke sini lagi,” kata Mbak Dina.

Nuha hampir berumur tiga tahun. Sudah pintar bicara dan lucu. Terakhir saya melihatnya, Nuha masih kecil dan baru sedikit kosakatanya. Saya jadi terharu. Saya peluk-peluk dia, saya ajak main. Sebelum pulang, Nuha pamit pada saya. Pintarnya!

Setelah beres-beres meja, saya pulang ke kosan dan langsung ke Gambir. Tak seperti biasa, kali ini Ibu juga ikut menjemput saya di stasiun. Biasanya cuma Bapak.

Hari-hari setelahnya berlalu cepat. Mulai dari menjemput Ema di terminal Cirebon, malam mingguan di Slawi, pergi ke Bojong, hingga pergi ke rumah Mbah di Brebes untuk pamit. Selasa malam saya kembali ke Jakarta dengan Bapak, Ibu, dan Ema. Nanda tidak bisa mengantar karena dia tidak diijinkan bolos sekolah oleh Bapak-Ibu.

Kami menginap di rumah saudara di Pademangan, dan besok malamnya, saya sudah diantar ke bandara.

Setelah berkali-kali mengecek semua yang dibutuhkan, saya berangkat ke bandara pukul 10 malam. Flight pukul 01.45 menggunakan Etihad Airways.  Sepanjang jalan saya mencoba positif, mencoba tidak menangis. Saya pikir, Ibu pun melakukan hal yang sama.

Ibu akan tenang melepas saya pergi kalau saya senang, begitu pun saya akan senang kalau Ibu bisa melepas saya dengan tenang. Ini seperti peraturan tak tertulis di antara kami. Itulah kenapa saya tak pernah melihat Ibu menangis ketika saya pertama tinggal di Purwokerto, ketika saya pamit untuk kerja di Jakarta, atau ketika Ema mulai kos di Bandung. Tangisan Ibu hanya akan membuat saya dan Ema gundah. Dan lemah. Itulah kenapa pembicaraan telepon kami seringnya berkisar tentang hal-hal yang menyenangkan. Ibu cenderung menyembunyikan masalah – jarang mengeluh; tak ingin hal itu memberatkan pikiran anak-anaknya. Kecuali benar-benar penting, Ibu tidak akan memberi tahu saya masalahnya. Saya pun tanpa sadar melakukan hal serupa.

Sampai di bandara, saya hanya sempat berpelukan dengan Bapak, Ibu, dan Ema; menciumi pipi-pipi mereka. Melihat mereka lebih lama hanya akan membuat lebih sedih.

Saya masuk ke Terminal 2D dengan perasaan mengambang.

Kalau ada satu hal saja yang membuat saya terhibur, itu adalah kedatangan Mitha ke bandara untuk say goodbye. Iya, Mitha datang ke bandara lewat jam 10 malam, selepas pulang kerja, dengan badan yang kurang sehat karena flu hanya untuk say goodbye.

Kami bertemu di Gate 1. Saya melihat Mitha diantar teman kerjanya.

“Tunggu sebentar,” saya bilang padanya. Niatnya, saya akan masuk ke dalam untuk check in, kemudian keluar lagi supaya bisa ngobrol lebih lama dengan Mitha.

Saya masuk ke dalam gedung terminal dengan porter yang membawa koper saya, dan demi melihat antrian check in yang super panjang, saya langsung balik lagi ke depan. Porter tetap di dalam, mulai mengantri.

This is it.

Empat jam sebelum take off. Saya harus segera masuk ke dalam untuk check in. Kami berpelukan ketika saya mendengar Mitha terisak.

Saya masuk ke dalam dengan perasaan lebih sedih. Bukan.. bukan sedih, tapi haru. Mitha, entah untuk kali ke berapa semenjak kami berteman, memberikan saya kado lagi. Belakangan Mitha bilang kalo mestinya dia membeli serabi Notosuman juga, tetapi lupa dan baru ingat setelah naik taksi. Sebelum melewati metal detector, saya menoleh sekali lagi, Mitha masih ada di sana.

Keberangkatan saya ke Belanda membuat saya memikirkan banyak hal, terutama mengenai hubungan-hubungan pertemanan, keluarga, dan teman kantor. Itu adalah saat-saat ketika saya melihat siapa saja yang benar-benar peduli, siapa yang tidak. Saya bersyukur dikelilingi oleh banyak orang baik, saya sangat bersyukur untuk itu. Keberangkatan saya ke Belanda membuat saya menyadari betapa pentingnya mereka buat saya, betapa beruntungnya saya memiliki mereka.

Farewell (I)


Saying goodbye doesn’t hurt. What sucks is the empty heart you feel after you say it.

Masih beberapa minggu sebelum keberangkatan saya ke Belanda. Rasanya tidak ingin cepat-cepat pergi. Rumah semakin terasa nyaman, teman-teman semakin hangat dan menyenangkan. Hanya kesibukan di kantor saja yang membuat saya ingin rehat sejenak.

Minggu-minggu itu adalah minggu-minggu farewell party, dimulai tanggal 24 Agustus dengan Mbak Vita dan Mbak Tami. Kami makan-makan di Billie Chick, Kota Kasablanka. Belum berasa sedih karena saya tahu kami bisa bertemu lagi di minggu-minggu berikutnya. Dua hari setelahnya, tanggal 26 Agustus, saya makan-makan dengan teman kantor seruangan ditambah Mr. Yano dan sekretarisnya, Mbak Hafni. FYI, Mr. Yano adalah orang Jepang yang merekomendasikan saya untuk ikut pelatihan di Jepang tahun kemarin. Mengetahui saya akan sekolah di luar, Mr. Yano justru yang antusias untuk mengadakan farewell party. Awalnya dia berbaik hati untuk mengundang saya dan teman-teman ke apartemennya. Merasa tak enak, saya pindahkan farewell party-nya ke I-ta Suki di Kota Kasablanka. Kami makan siang di sana. Tipikal orang Jepang, Mr. Yano memberikan saya kado seusai acara, pun demikian dengan Mbak Hafni.

Akhir Agustus, saya main ke kosan Mitha di BSD. Saya berencana menginap di kosannya. Untuk pertama kalinya, saya naik kereta ke sana. Itu kali ketiga saya ke BSD setelah sebelumnya naik bis Trans BSD dan taksi. Muti, teman SMP saya, kebetulan sedang ada acara di Jakarta. Dia menginap di rumah saudaranya di daerah Ciputat. Sebelum ke kosan Mitha, saya main ke Ciputat untuk bertemu Muti. Lagipula, Sabtu itu Mitha masih kerja. Dia – juga dua teman saya yang lain, Reni dan Mufri – akan menyusul sore harinya.

Saya sampai di Stasiun Sudimara sekitar pukul 12 siang. Saya tunggu Muti sekitar 10 menit sebelum akhirnya kami naik angkot ke rumah saudara Muti. Kami ngobrol banyak, cerita ini-itu, hingga Mitha datang. Tak lama, giliran Mufri, Mas Ade dan dede Ardell yang main. Reni dan Nizar datang belakangan.

Saat itu perasaan saya campur aduk. Senang sekaligus.. sedih. Itu bisa jadi hari terakhir saya bertemu mereka sampai tahun depan. 365 hari itu tidak sebentar. Saya bahagia ngobrol-ngobrol dengan mereka, menikmati setiap momennya. Sudah lama sejak kami bisa ngobrol bersama-sama seperti saat itu. Saya sempat berharap bisa menghentikan waktu sejenak supaya bisa lebih lama dengan mereka.

Malamnya, kami ke Summarecon Mall untuk makan malam. Summarecon di malam Minggu sangat penuh oleh pengunjung. Ada Festival Jajanan di sana, tapi tak terlihat ada meja yang kosong. Kami masuk ke dalam mall, sama penuhnya. Akhirnya kami makan di food court lantai atas. Beruntung masih ada meja panjang untuk kami semua. Meskipun harus pesan makanan masing-masing, setidaknya kami masih bisa makan satu meja.

Sudah larut malam ketika kami pulang. Ardell belum tidur, masih aktif malahan untuk anak seusia dua tahunan. Kami diantar oleh Mas Ade ke rumah masing-masing. Saya dan Mitha diantar sampai kosan Mitha. Sebelum benar-benar berpisah, saya memeluk teman-teman saya satu persatu dan well.. seperti ada yang hilang melihat mereka pergi. Harusnya saya tahu, mellow sudah menggelayut sejak malam itu.

Paginya, saya dan Mitha ke Pasar Modern untuk membeli serabi Notosuman. Sejak makan serabi itu di Solo, saya memang langsung menjadikannya salah satu cemilan favorit. Apalagi yang putih, enak! Dari sana, kami sarapan di taman jajan BSD.

Setelah itu, waktu cepat sekali bergulir. Melihat jam sudah menunjuk angka empat, saya merapikan tas dan bersiap pulang.

Saya sudah membonceng Mitha, duduk manis untuk diantarkan sampai stasiun. Mitha tiba-tiba mengajak saya ke Karawaci.

“Tidak akan lama di sana,” katanya.

Well.. tidak akan lama kalau saja Mitha tidak mengantarkan saya ke Books and Beyond dekat UPH. Tempatnya nyaman sekali. Saya betah di sana, semakin tidak ingin cepat pulang.

“Aku tahu kamu pasti suka tempat ini!”, kata Mitha.

Ya, ya.

Rencana mampir sebentar jadi lama. Kami akhirnya memutuskan untuk makan malam di Rumah Kayu, sekalian sholat Maghrib di sana.

Semuanya itu seperti sekelebatan saja hingga akhirnya saya mesti ke stasiun. Saya sampai di sana berbarengan dengan datangnya kereta. Terburu-buru, saya memeluk Mitha sebentar, lalu berlari-lari menuju kereta.

Begitu saya duduk, kereta mulai berjalan pelan. Akumulasi mellow sejak kemarin membuat saya sedih. Itu adalah sedih yang paling sedih selama saya mempersiapkan keberangkatan ke Belanda. Ditambah, otak saya yang penuh drama mengiringi perjalanan kereta malam itu dengan Daylight – Maroon 5 sebagai backsong. Thank you, Brain! Thank you!

Ada banyak hal yang membuat sedih sepulang saya dari BSD. Pertemanan saya dengan Mitha, Reni, Muti dan Mufri tak selamanya mulus. Pernah putus kontak, pernah saling tak tahu kabar masing-masing karena kesibukan yang berbeda-beda. Saya berharap bisa jadi teman yang lebih baik untuk mereka. Melihat mereka datang hanya untuk mengucapkan selamat jalan, rasanya saya tak ingin benar-benar pergi.

“..and when the daylight comes I’ll have to go
But tonight I’m gonna hold you so close
Cause in the daylight we'll be on our own
But tonight I need to hold you so close..”

Persiapan ke Belanda


Time flies

Sepertinya baru kemarin saya mendapat e-mail dari Neso Indonesia, memberi tahu kalau saya mendapatkan beasiswa StuNed. Sepertinya belum lama ketika Nuffic mengirimkan e-mail beberapa hari setelahnya, mengabarkan kalau permohonan beasiswa NFP saya diterima. Seperti yang pernah saya tulis di sini, akhirnya NFP-lah yang saya ambil dengan pertimbangan yang sudah saya jelaskan pula di tulisan tersebut.

Dua hal itu terjadi di awal Mei 2013, empat bulan yang lalu. Setelahnya, waktu seperti terbang.

Saya mulai mempersiapkan ini-itu, dimulai dengan kursus Akulturasi dan Bahasa Belanda yang dimulai tanggal 20 Mei dan berakhir 3 Juli di Taalcentrum, Kedutaan Belanda. Dalam seminggu, kursus dilaksanakan dua kali pada hari Senin dan Rabu mulai pukul 18.00 – 21.00. Sebagai pemegang LoA (Letter of Acceptance) dari universitas di Belanda, saya digratiskan mengikuti kursus tersebut. Hanya saja, saya mesti deposit uang sebesar Rp650.000,- yang bisa diambil lagi di akhir kursus, dengan beberapa persyaratan. Di antaranya adalah mengikuti kursus minimal 11 kali pertemuan – dari total 14 pertemuan – dan mengikuti ujian akhir.

Kursus diajar oleh orang Indonesia, dengan Bahasa Indonesia pula. Dalam rentang tiga jam, kursus dibagi menjadi dua sesi: akulturasi (pengenalan budaya di Belanda) dan Bahasa Belanda. Ada belasan orang yang mengikuti kursus ini, rata-rata penerima beasiswa juga.

Sayangnya, selama rentang Mei sampai Juli itu saya sedang banyak tugas dinas ke luar kota. Saya jadi banyak bolos, bahkan tidak bisa ikut ujian karena berbarengan dengan dinas saya ke Solo. Uang deposit pun tidak bisa diambil kembali. Meskipun cuma beberapa kali hadir di kelas, lumayan juga sih pengetahuan yang didapat. Saya paling suka kalau sesi pengenalan budaya Belanda, lebih menyenangkan dibanding sesi bahasa. Ada hal-hal unik yang saya tahu, mulai dari kebiasaan orang Belanda yang suka memasang kalender di pintu toilet untuk mengingat hari ulang tahun sampai kebiasaan cium pipi tiga kali. Nanti akan saya konfirmasi tentang dua hal itu.

Selain kursus Akulturasi dan Bahasa Belanda, saya juga mengambil dua kursus lain. Dua-duanya kursus Bahasa Inggris. Hanya saja, yang satu lebih ke speaking, sementara yang lain lebih ke academic writing.

Untuk memperlancar speaking, saya mengambil les privat dengan Miss Vanka. Saya tahu tentang dia dari iklan di Kaskus. Orangnya masih muda, masih kuliah malahan. Tapi dia sudah mengajar di sebuah lembaga bahasa Inggris. Bahasa Inggrisnya bagus, dan sikapnya yang ramah membuat saya nyaman. Total pertemuan saya dengan Miss Vanka hanya 4 kali, masing-masing 2 jam tiap minggunya. Biasanya sih Sabtu atau Minggu pagi. Saya mulai les tanggal 25 Mei dan berakhir tanggal 15 Juni. Les seringnya di kosan saya, tapi pernah sekali saya ajak Miss Vanka ke Pasar Festival ketika saya sedang suntuk.

Selain les privat untuk speaking, saya juga les privat untuk writing. Saya ambil les di AIM Manggarai untuk 5 kali pertemuan, masing-masing 2 jam. Karena privat, saya bebas menentukan tanggal dan harinya, biasanya malam dari jam 7 sampai 9. Saya mulai les tanggal 24 Mei dan berakhir 21 Juni. Dalam 5 kali pertemuan, dua kali saya diajar oleh bule dan sisanya orang Indonesia.

Sekian tentang les-les yang saya ikuti.

Sabtu 20 Juli, saya ikut Pre-departure Briefing yang diselenggarakan oleh Neso Indonesia di Erasmus Huis Jakarta. Acara ini terbuka untuk siapa saja yang akan studi di Belanda. Tidak wajib sih, tapi sayang kalau sampai melewatkannya. Dalam acara ini ada pengenalan tentang Belanda dan sedikit pelajaran tentang Bahasa Belanda yang sering dipakai sehari-hari. Ada kuisnya juga dengan pertanyaan seputar pengetahuan umum mengenai Negeri Kincir Air itu. Yang paling penting adalah penjelasan mengenai apa-apa saja yang harus disiapkan sebelum dan setelah di sana.

Untuk yang terakhir itu, ada drama simulasi yang dipentaskan oleh alumni universitas di Belanda. Ini bagian yang paling saya suka. Kita diberi tahu situasi di sana, termasuk cara mengatasi homesick yang pasti – PASTI – melanda. Di akhir acara, ada pertemuan dengan alumni universitas Belanda berdasarkan kota. Saya segera mencari meja dengan tulisan Wageningen, dan bergabung dengan dua orang alumni yang sudah ada di sana.

Calon mahasiswa yang akan belajar di Wageningen ternyata lumayan banyak juga. Kami antusias bertanya pada alumni tentang apa saja, mulai dari housing, kuliah, sampai rencana setelah lulus. Alumni yang helpful membuat kami betah hingga tak terasa ngobrol lama.

Enaknya mendapat beasiswa NFP, semua keperluan saya sudah diurus kampus. Mulai dari penjemputan di bandara hingga housing. Itu membuat persiapan keberangkatan saya jadi lebih ringan. Masalah visa pun sudah diurus hingga saya hanya perlu ke Kedutaan satu kali untuk mengambilnya. Tanggal 27 Agustus, visa sudah ada di tangan.

Mendekati keberangkatan tanggal 19 September, saya mulai menyelesaikan urusan kantor, kosan, dan keluarga di rumah.

Urusan kantor sifatnya administratif, seperti pembuatan SK Tugas Belajar dan Surat Penugasan dari Setneg. Saya juga memberi tahu teman kantor tentang pelimpahan tugas-tugas saya ke mereka selama setahun nanti. Alhamdulillah teman kantor saya baik-baik. Mereka sangat supportive dan banyak membantu. Untuk kosan, saya pamit pada ibu kos dan teteh setelah sebelumnya saya membayar uang kos selama setahun ke depan. Setelah melakukan beberapa pertimbangan, akhirnya saya memang memutuskan untuk tidak pindah dari kosan yang sekarang. Saya sudah merasa nyaman di sana, sudah cocok juga dengan teteh yang beres-beres kosan. Bayangan harus mencari kosan baru setelah saya pulang ke Indonesia nanti membuat saya tak enak. Untuk keluarga di rumah, saya sudah instalkan Whatsapp untuk ibu. Inginnya sih instal Skype juga, tapi belum sempat. Yang penting saya tetap berkomunikasi setiap hari dengan bapak-ibu, itu sudah cukup.

Menjelang hari keberangkatan, saya mulai membeli perlengkapan yang sekiranya dibutuhkan di sana, terutama pakaian musim dingin. Masih musim gugur di Belanda, tapi kisaran 9-14 derajat tetap saja dingin buat saya. Saya catat yang kira-kira perlu, dan mempersiapkan atau membelinya satu per satu. Sampai satu hari menjelang hari-H, semua sudah lengkap. Semua sudah siap. Kecuali mungkin, well.. persiapan mental.