8. I stand on the right side
Tahun 2014 adalah tahun politik untuk
Indonesia. Di tahun itu, ada pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang
akan menentukan mau dibawa kemana hubungan kita Indonesia di lima tahun
ke depan. Meskipun berada ribuan mil dari Jakarta, saya terus memantau
perkembangan politik di negeri ini.
Saya bersyukur KBRI di Belanda sangat
mempermudah warga Indonesia yang ingin menggunakan hak pilihnya. Tak perlu
datang langsung ke TPS di Den Haag, saya bisa memilih lewat surat yang dikirim
pos. April 2014, saya memilih calon anggota DPR untuk daerah pemilihan Jakarta
II. Saya melakukan riset sebelum menentukan pilihan. Saya ingin bisa
mempertanggungjawabkan pilihan saya.
Juni 2014, giliran saya memilih untuk
orang nomor satu di Indonesia. Saya kembali memilih menggunakan pos, yang hemat
waktu dan biaya. Awalnya saya tak terang-terangan mendukung capres pilihan
saya, tapi demi melihat banyak kesimpangsiuran berita ditambah maraknya fitnah,
saya mulai sadar untuk menentukan posisi. Saya tidak ingin diam.
Gerakan mendukung salah satu capres
mulai gencar di Twitter. Saya juga mendukung capres tersebut. Seorang relawan
mengusulkan untuk mengganti profile
picture di Twitter dengan foto diri kita dan angka 2 bertuliskan “I stand on the right side” di
bawahnya. Awalnya tak tergoda, saya pun mulai memasang foto berlatar merah
tersebut di Twitter. Menjelang puncak pemilihan, foto yang sama saya pasang di
Facebook yang jangkauannya lebih luas. Capres pilihan saya menang. Namun
carut-marut pilpres masih bergejolak hingga akhirnya pada Oktober 2014, capres
pilihan saya resmi menjadi Presiden Republik Indonesia.
9. We love you, Chelsea. We do!
Juli 2013, Chelsea datang ke Jakarta.
Antusiasme langsung saya rasakan, meskipun saya sebenarnya bukan the real True Blue. Kedua adik saya yang
pantas mendapat sebutan itu. Saya tulis di sini tentang kedatangan
Chelsea ke Indonesia.
10. Mencari rumah
Di tahun 2013, keinginan untuk
mempunyai rumah tak terpikirkan oleh saya. Hal itu berbanding terbalik di tahun
2014 ketika saya kembali ke Indonesia. Memiliki rumah sendiri menjadi salah
satu prioritas untuk saya. Cerita selengkapnya bisa dibaca di sini.
11. Jalan-jalan
bareng bapak-ibu
Awal Januari 2013, saya mengajak
bapak-ibu untuk jalan-jalan ke Penang, Malaysia. Saya ceritakan di sini.
Desember 2014, saya kembali mengajak bapak-ibu jalan-jalan, kali ini ke
Singapura. Kalau jalan-jalan ke Penang sudah saya niatkan dari lama,
jalan-jalan ke Singapura adalah rencana mendadak yang terpikirkan ketika saya
masih di Belanda. Setelah menjelajah sepuluh negara di Eropa, saya ingin
menambahkan satu lagi: Yunani. Saya hampir booking
tiket pesawat ke Athena ketika sesuatu terlintas di benak saya. Rasanya ada
yang salah kalau saya sudah kemana-mana, sementara bapak-ibu belum pernah
menginjakkan kaki di Singapura.
Well, Penang memang
menyenangkan, tapi suasananya tidak luar negeri banget, beda dengan Singapura. Saya ingin bapak-ibu punya
pengalaman merasakan ‘luar negeri’ yang sebenarnya di Singapura. Hari itu juga,
alih-alih membeli tiket ke Yunani, saya beli tiga tiket Jakarta-Singapura untuk
bapak-ibu dan saya. Keputusan yang tepat; bapak-ibu sangat menikmati
jalan-jalan ke Singapura. Mereka terkagum-kagum dengan negeri Singa tersebut.
Satu misi kembali terselesaikan. Semoga saya bisa mengajak bapak-ibu ke
tempat-tempat menarik lainnya.
12. Musibah
Malaysia Airlines dan AirAsia
Tahun 2014 menjadi tahun yang muram
bagi maskapai yang berpusat di Malaysia: Malaysian Airlines dan AirAsia. 8
Maret 2014, MH370 milik Malaysia Airlines hilang saat terbang dari Kuala Lumpur
ke Beijing. Sampai saya menulis ini, keberadaan MH370 masih menjadi misteri.
Kesimpulan terakhir menyebutkan, pesawat jatuh ke laut.
Tak berselang lama, 17 Juli 2014,
MH17 dari Amsterdam ke Kuala Lumpur ditembak di daerah konflik Ukraina. Itu
hanya berselang dua hari dari saat kepulangan saya ke Indonesia untuk
mengerjakan thesis. Meskipun saya naik Emirates, rute yang dilalui bisa jadi
sama. Beberapa teman dan keluarga menelpon untuk menanyakan apakah saya
baik-baik saja. Itu terulang di akhir 2014.
Tanggal 28 Desember 2014, pesawat
AirAsia QZ8501 dari Surabaya ke Singapura hilang kontak. Itu terjadi satu hari
setelah saya sampai di Jakarta dari jalan-jalan ke Singapura bersama bapak-ibu
naik AirAsia. Memang rute yang dilalui berbeda, namun tetap saja beberapa orang
khawatir dan menanyakan kabar. Tiga hari dari saat hilang kontak, AirAsia
QZ8501 ditemukan di Selat Karimata, Kalimantan Tengah. Cuaca buruk (awan Cumulonimbus) ditengarai menjadi
penyebab jatuhnya QZ8501. Saya berduka untuk para keluarga korban, juga untuk
maskapai favorit saya AirAsia.
13. Perpisahan-perpisahan
Awal hingga pertengahan tahun 2014
adalah masa-masa yang sulit untuk saya, terlepas dari teraihnya mimpi-mimpi di
waktu yang bersamaan. Februari 2014, saya dengar kabar kalau Budhe saya di
Serpong meninggal. Beberapa minggu sebelumnya saya tahu kalau Budhe dirawat di rumah
sakit, tapi saya pikir Budhe bisa bertahan. Budhe masih muda, lebih muda dari
umur ibu saya malahan. Saya memikirkan dua anaknya yang masih butuh sosok ibu.
Saya sedih membayangkannya.
Mei 2014, kabar duka kembali datang.
Nenek saya meninggal. Saya pernah cerita tentang beliau di sini. Mbah
Amin memang sudah sepuh. Lahir tahun
1918, Mbah meninggal di usia 95 tahun – sebulan sebelum ulang tahunnya yang
ke-96. Mbah sudah sakit-sakitan, saya merasa sangat egois mengharapkannya tetap
ada sementara Mbah mungkin sudah ikhlas. Tapi tetap saja, ketika kabar itu
datang, saya merasa sedih sampai pada titik saya tidak merasakan apa-apa. Numb.
Saya hanya mengabarkan berita duka
ini ke teman-teman terdekat di Indonesia yang kenal atau tahu tentang Mbah.
Saya tak menceritakan ini ke teman-teman kampus karena takut reaksi mereka
membuat saya lemah. Teman-teman kampus akan memberikan kata-kata penghibur,
juga pelukan – kontak fisik yang tak saya dapatkan dari keluarga dan teman di
Indonesia. Mereka mungkin akan mengecek apakah saya baik-baik saja. Tapi mereka
tak selalu ada. Kembali ke kamar, sendirian, akan terlalu menyakitkan.
Alih-alih, saya menjalani hari seperti tidak ada apa-apa. Saya tak membiarkan
memori tentang Mbah muncul.
Pada akhirnya, saya tak bisa
menahannya sedemikian lama. Skype saya dengan keluarga di rumah untuk pertama
kalinya sejak Mbah sudah tidak ada, diselingi off dan on beberapa kali
karena saya tak tahan untuk tidak menangis. It
was painful. Saat saya pulang ke Indonesia bulan Juli untuk mengerjakan
thesis, untuk kali pertama saya ke makam Mbah. Saya panjatkan doa-doa. Dan demi
melihat anak ayam berjalan tertatih-tatih di hadapan, saya mengingat
kenangan-kenangan bersama Mbah dari yang paling pertama; termasuk saat saya
diberi kado seekor ayam oleh Mbah saat saya masih kecil. It was too painful.
14. Malam tahun
baru 2013 dan 2014
Kalau malam tahun baru 2011 dan 2012
saya habiskan dengan jalan-jalan bersama teman-teman dekat di sekitaran
Bundaran HI, malam tahun 2013 saya nikmati sendirian. Saya punya tiga teman
dekat yang selalu merayakan malam tahun baru bersama-sama. Namun 2013 adalah
pengecualian. Saya berada di Belanda, satu teman sedang di Amerika Serikat, dan
dua yang lain ada di Indonesia. Kami merayakannya sendiri-sendiri dengan tiga
zona waktu yang berbeda.
Malam tahun 2014, kami kembali
berkumpul di Jakarta. Hanya saja tidak lengkap berempat karena satu teman
memilih merayakan di Surabaya. Sedang mujur, kami mendapat jatah satu kamar
hotel gratisan dari kantor seorang teman. Kami mengawali perayaan tahun baru
dengan makan malam di Lotte Avenue, kemudian langsung menuju sebuah hotel di
Jakarta Pusat.
Tak banyak yang kami lakukan kecuali
menikmati pergantian tahun tanpa hingar-bingar. Saya dan seorang teman sempat
ke swimming pool party namun saya
kembali ke kamar setelah sepuluh menit. Rasanya lebih nyaman menikmati kembang
api dari jendela kamar ketimbang berbaur dengan orang-orang yang tak saya
kenal.
Anyway, begitulah
empat belas cerita kilas balik dua tahun kemarin. Semoga tahun ini lebih baik
dari tahun-tahun kemarin. Amien!