I
Ketika masih SMP, saya
suka membaca majalah Kartini. Nenek saya membeli majalah Kartini bekas dari
tetangga; seorang pengepul buku dan majalah bekas. Dengan uang seribu perak,
nenek bisa membawa pulang beberapa majalah Kartini yang terlihat masih baru
meskipun edisi lama. Nenek biasanya menggunting rubrik tips dan mengklipingnya jadi
sebuah buku. Dari majalah Kartini, saya jadi tahu tentang Museum Madame
Tussauds di London, jadi mengerti tentang kisah-kisah keluarga Kerajaan
Inggris, jadi tahu tentang cerita seorang bocah yang mengirim surat ke Presiden
Soeharto dan diundang ke istana. Dari majalah Kartini pula, saya mulai mengenal
Penari Izu.
Kartini
seringkali menyisipkan bonus novelet, salah satunya adalah Penari Izu karya
Kawabata Yasunari yang diterjemahkan oleh Ajip Rosidi. Novelet sisipan itu saya
copot dari majalah, untuk kemudian saya simpan di lemari meja belajar.
Pindahan
rumah yang terjadi pada kurun waktu itu rupanya mengacaukan semua yang sudah
tertata pada tempatnya. Novelet itu hilang dan sejak saat itu, saya tak pernah
melihatnya lagi. Saya pernah menuliskan cerita tentang itu di sini.
Sejak
menuliskannya di blog ini, beberapa orang mengomentarinya. Tapi pencarian saya
masih clueless, hingga pada suatu
hari saya menemukan buku terjemahan Inggrisnya di Book & Beyond. Sepertinya
daya pikat versi Bahasa Inggrisnya kurang mengena buat saya. Ini saya tulis
ulang kalimat pembukanya untuk perbandingan:
Versi
Bahasa Indonesia:
“Ketika kukira jalan berliku-liku mendaki yang kutempuh
itu mendekati puncak Gunung Amagi, hujan pun turun renyai, membuat hutan sagi
nampak putih meruap naik dari kaki gunung mengejarku dari belakang.”
Versi Bahasa Inggris:
“A shower swept toward me
from the foot of the mountain, touching the cedar forest white, as the road
began to wind up into the pass.”
Membaca terjemahan
Inggrisnya, saya tidak merasakan rasa hangat yang sama seperti ketika membaca terjemahan
Ajip Rosidi yang cemerlang. Yang saya cari adalah Penari Izu, bukan The Izu
Dancer. Setelah mencari bertahun-tahun dan tak menemukan hasil, saya
menyerah dan mulai melupakannya.
***
II
Pertama kali mendengar Bokutachi
wa Tatakawanai, saya langsung suka pada 3 detik pertama dan 17 detik
selanjutnya menentukan awal sejarah hobi idoling saya untuk AKB48. Versi
pertama yang dengar adalah versi pendek berdurasi sekitar satu menit pada April
2015. Meskipun official release-nya baru ada sebulan kemudian, bocoran
versi lengkapnya sudah ada sejak pertengahan Mei.
Sebagai lagu baru, Bokutachi
wa Tatakawanai seringkali ditampilkan di berbagai acara sampai beberapa
bulan setelahnya. Saya download penampilan AKB48 membawakan lagu itu di
berbagai event.
Setiap penampilan terasa
berbeda karena formasi member yang berubah-ubah. Hanya saja, dari semua video
yang sudah saya download, tak pernah sekalipun saya lihat Matsui Rena
tampil membawakannya. Saya mengira-ira; mungkin itu karena Rena bukanlah
seorang AKB, beda dengan Jurina yang merangkap member di SKE dan AKB. Mungkin
juga karena saat itu Rena sudah mulai disibukkan dengan persiapan kelulusannya.
Sebagai orang yang
menjadikan Rena sebagai member favorit, saya ingin Rena punya banyak scene di
Bokutachi wa Tatakawanai. I want my favourite member to appear more in my favourite
AKB48 song. Tapi jangankan tampil live, bahkan di official PV-nya
saja Rena hanya muncul tidak lebih dari dua detik dari total sebelas
menit!
Hingga akhirnya Rena graduate,
saya tak juga menemukan ia perform di lagu itu. Sejak saat itu, saya
tak berharap lagi.
***
III
Awalnya saya suka Himawari
karena furicopy (meniru gerakan idol) yang dilakukan oleh wota saat menonton
setlist Boku no Taiyou (Matahari Milikku) dari Team KIII JKT48. Lama-lama
didengarkan, ternyata lagunya enak juga. Liriknya juga menyemangati, meskipun
agak kacau dalam penerjemahannya dari Bahasa Jepang.
Himawari menjadi salah satu lagu favorit dan saya rela menonton
satu setlist penuh hanya untuk melihat satu lagu itu ditampilkan.
Karena sedang meng-oshi-kan
Rena, saya berharap ia masuk daftar member yang pernah membawakan lagu itu.
Alih-alih Matsui Rena, yang saya temukan justru Matsui Jurina yang
menyanyikannya dengan Itano Tomomi, Miyazawa Sae, dan Umeda Ayaka.
Saya mencari video Rena
membawakan Himawari pada berbagai situs mulai dari YouTube, DailyMotion
hingga Jpopsuki. Nihil. Belajar dari Bokutachi wa Tatakawanai, saya pun
kembali melupakannya.
***
Saya adalah orang yang
percaya bahwa mengirim mention ke seorang seleb akan membuat kita
memiliki peluang untuk dibalas meskipun perbandingannya adalah satu banding
jutaan. Tidak mengirim = tidak mempunyai peluang = 0.
Saya percaya jika kita
mengirimkan sebuah undian, kita punya peluang untuk memenangkannya bahkan
kalaupun yang kita kirim hanya satu sachet kosong kopi atau bungkus mie
instan yang sudah tidak ada isinya. Yang penting adalah mengirimkannya. Yang
penting adalah membuat kita jadi punya peluang. Itu adalah cara lain memelihara
harapan.
Akan tetapi, ada kalanya
juga saya tak punya harapan sama sekali atas sesuatu karena merasa itu di luar
jangkauan saya. Well, mungkin semesta punya caranya sendiri.
Tentang terjemahan Penari
Izu yang saya cari bertahun-tahun, sudah saya lupakan hingga tiba-tiba
seseorang mampir ke blog dan mengomentari postingan saya tentang Penari Izu. Ia
bilang ia punya terjemahan Indonesianya, and guess what, ia mengetiknya
ulang dari awal sampai akhir.
Mengetahui itu, saya
langsung meng-copy untuk kemudian saya print.
Saya bawa 21 halaman hasil print
tadi saat naik kereta untuk mudik Tahun Baru. Saya baca pelan-pelan dan
mengingat-ingat yang saya rasakan saat pertama kali membacanya. Apa yang saya
cari akhirnya saya temukan justru ketika saya sudah mulai melupakannya.
Pun sama dengan penampilan
Rena di Bokutachi wa Tatakawanai yang saya harapkan. Saya pikir ia
memang tidak pernah tampil untuk lagu itu secara live di studio. Sampai
akhirnya entah dapat petunjuk darimana, saya menonton ulang video yang dulu
pernah saya download. Kualitas gambar video itu buruk karena ukuran
pixelnya yang kecil. Para member terlihat sama, kecuali yang ada di deretan
depan.
Tiba-tiba sekelebatan ada
tulisan kanji tentang nama-nama para penampil untuk lagu tersebut. Saya lihat ada nama Rena dan ternyata benar. She
was there all this time! Saya kira ia adalah Takahashi Juri yang kebetulan
memiliki potongan rambut dan poni yang sama. I didn’t recognise my oshi –
something that I’m not proud of.
Lebih dari itu, saya temukan
video lainnya dimana Rena juga ikut tampil bersama member SKE48 lainnya. Saking
senangnya, saya buat meme ini.
Saya sudah positif 100% Rena
tidak pernah membawakan Himawari hingga hari ini – saat saya menulis ini
– seorang teman merekomendasikan konser SKE yang paling bagus. Saya baca
susunan lagunya dan tertulis di situ bahwa di hari konser paling terakhir, Himawari
dinyanyikan oleh delapan orang. Matsui Rena termasuk salah satu di
antaranya.
Saya konfirmasi ini ke teman
dan malamnya – baru saja – ia mengirimkan video singkat Rena yang ikut
menyanyikan Himawari.
Sama seperti cerita yang ini,
saya seperti kembali diingatkan kalau keajaiban-keajaiban kecil bisa datang
dari arah yang tak terduga.
It may sound exaggerating, but I felt
my eyes were wet with tears reading Penari Izu on the train. I did cry
watching Rena performing Bokutachi wa Tatakawanai with her fellow SKE members. And
I also felt asdfjkl to finally see her singing Himawari.
Why?
Because those miracles appeared when
I gave up on them.
Sekarangpun saya masih punya
harapan-harapan yang sudah jatuh jauh di dalam sana. Yang lebih penting dari
sekedar novelet atau lagu. Yang bahkan memikirkannya saja membuat saya
mempertanyakan diri sendiri.
That’s why I’m happy to find all
those little yet important things to me. Saya kembali belajar untuk percaya.