Wednesday, 20 January 2016

Keajaiban-keajaiban Kecil



I

Ketika masih SMP, saya suka membaca majalah Kartini. Nenek saya membeli majalah Kartini bekas dari tetangga; seorang pengepul buku dan majalah bekas. Dengan uang seribu perak, nenek bisa membawa pulang beberapa majalah Kartini yang terlihat masih baru meskipun edisi lama. Nenek biasanya menggunting rubrik tips dan mengklipingnya jadi sebuah buku. Dari majalah Kartini, saya jadi tahu tentang Museum Madame Tussauds di London, jadi mengerti tentang kisah-kisah keluarga Kerajaan Inggris, jadi tahu tentang cerita seorang bocah yang mengirim surat ke Presiden Soeharto dan diundang ke istana. Dari majalah Kartini pula, saya mulai mengenal Penari Izu.

Kartini seringkali menyisipkan bonus novelet, salah satunya adalah Penari Izu karya Kawabata Yasunari yang diterjemahkan oleh Ajip Rosidi. Novelet sisipan itu saya copot dari majalah, untuk kemudian saya simpan di lemari meja belajar.

Pindahan rumah yang terjadi pada kurun waktu itu rupanya mengacaukan semua yang sudah tertata pada tempatnya. Novelet itu hilang dan sejak saat itu, saya tak pernah melihatnya lagi. Saya pernah menuliskan cerita tentang itu di sini.

Sejak menuliskannya di blog ini, beberapa orang mengomentarinya. Tapi pencarian saya masih clueless, hingga pada suatu hari saya menemukan buku terjemahan Inggrisnya di Book & Beyond. Sepertinya daya pikat versi Bahasa Inggrisnya kurang mengena buat saya. Ini saya tulis ulang kalimat pembukanya untuk perbandingan:

Versi Bahasa Indonesia:
“Ketika kukira jalan berliku-liku mendaki yang kutempuh itu mendekati puncak Gunung Amagi, hujan pun turun renyai, membuat hutan sagi nampak putih meruap naik dari kaki gunung mengejarku dari belakang.”

Versi Bahasa Inggris:
A shower swept toward me from the foot of the mountain, touching the cedar forest white, as the road began to wind up into the pass.”

Membaca terjemahan Inggrisnya, saya tidak merasakan rasa hangat yang sama seperti ketika membaca terjemahan Ajip Rosidi yang cemerlang. Yang saya cari adalah Penari Izu, bukan The Izu Dancer. Setelah mencari bertahun-tahun dan tak menemukan hasil, saya menyerah dan mulai melupakannya.

***
II

Pertama kali mendengar Bokutachi wa Tatakawanai, saya langsung suka pada 3 detik pertama dan 17 detik selanjutnya menentukan awal sejarah hobi idoling saya untuk AKB48. Versi pertama yang dengar adalah versi pendek berdurasi sekitar satu menit pada April 2015. Meskipun official release-nya baru ada sebulan kemudian, bocoran versi lengkapnya sudah ada sejak pertengahan Mei.

Sebagai lagu baru, Bokutachi wa Tatakawanai seringkali ditampilkan di berbagai acara sampai beberapa bulan setelahnya. Saya download penampilan AKB48 membawakan lagu itu di berbagai event.

Setiap penampilan terasa berbeda karena formasi member yang berubah-ubah. Hanya saja, dari semua video yang sudah saya download, tak pernah sekalipun saya lihat Matsui Rena tampil membawakannya. Saya mengira-ira; mungkin itu karena Rena bukanlah seorang AKB, beda dengan Jurina yang merangkap member di SKE dan AKB. Mungkin juga karena saat itu Rena sudah mulai disibukkan dengan persiapan kelulusannya.

Sebagai orang yang menjadikan Rena sebagai member favorit, saya ingin Rena punya banyak scene di Bokutachi wa Tatakawanai. I want my favourite member to appear more in my favourite AKB48 song. Tapi jangankan tampil live, bahkan di official PV-nya saja Rena hanya muncul tidak lebih dari dua detik dari total sebelas menit!

Hingga akhirnya Rena graduate, saya tak juga menemukan ia perform di lagu itu. Sejak saat itu, saya tak berharap lagi.

***
III

Awalnya saya suka Himawari karena furicopy (meniru gerakan idol) yang dilakukan oleh wota saat menonton setlist Boku no Taiyou (Matahari Milikku) dari Team KIII JKT48. Lama-lama didengarkan, ternyata lagunya enak juga. Liriknya juga menyemangati, meskipun agak kacau dalam penerjemahannya dari Bahasa Jepang.

Himawari menjadi salah satu lagu favorit dan saya rela menonton satu setlist penuh hanya untuk melihat satu lagu itu ditampilkan.

Karena sedang meng-oshi-kan Rena, saya berharap ia masuk daftar member yang pernah membawakan lagu itu. Alih-alih Matsui Rena, yang saya temukan justru Matsui Jurina yang menyanyikannya dengan Itano Tomomi, Miyazawa Sae, dan Umeda Ayaka.

Saya mencari video Rena membawakan Himawari pada berbagai situs mulai dari YouTube, DailyMotion hingga Jpopsuki. Nihil. Belajar dari Bokutachi wa Tatakawanai, saya pun kembali melupakannya.

***

Saya adalah orang yang percaya bahwa mengirim mention ke seorang seleb akan membuat kita memiliki peluang untuk dibalas meskipun perbandingannya adalah satu banding jutaan. Tidak mengirim = tidak mempunyai peluang = 0.

Saya percaya jika kita mengirimkan sebuah undian, kita punya peluang untuk memenangkannya bahkan kalaupun yang kita kirim hanya satu sachet kosong kopi atau bungkus mie instan yang sudah tidak ada isinya. Yang penting adalah mengirimkannya. Yang penting adalah membuat kita jadi punya peluang. Itu adalah cara lain memelihara harapan.

Akan tetapi, ada kalanya juga saya tak punya harapan sama sekali atas sesuatu karena merasa itu di luar jangkauan saya. Well, mungkin semesta punya caranya sendiri.

Tentang terjemahan Penari Izu yang saya cari bertahun-tahun, sudah saya lupakan hingga tiba-tiba seseorang mampir ke blog dan mengomentari postingan saya tentang Penari Izu. Ia bilang ia punya terjemahan Indonesianya, and guess what, ia mengetiknya ulang dari awal sampai akhir.

Mengetahui itu, saya langsung meng-copy untuk kemudian saya print.

Saya bawa 21 halaman hasil print tadi saat naik kereta untuk mudik Tahun Baru. Saya baca pelan-pelan dan mengingat-ingat yang saya rasakan saat pertama kali membacanya. Apa yang saya cari akhirnya saya temukan justru ketika saya sudah mulai melupakannya.

Pun sama dengan penampilan Rena di Bokutachi wa Tatakawanai yang saya harapkan. Saya pikir ia memang tidak pernah tampil untuk lagu itu secara live di studio. Sampai akhirnya entah dapat petunjuk darimana, saya menonton ulang video yang dulu pernah saya download. Kualitas gambar video itu buruk karena ­ukuran pixelnya yang kecil. Para member terlihat sama, kecuali yang ada di deretan depan.

Tiba-tiba sekelebatan ada tulisan kanji tentang nama-nama para penampil untuk lagu tersebut.  Saya lihat ada nama Rena dan ternyata benar. She was there all this time! Saya kira ia adalah Takahashi Juri yang kebetulan memiliki potongan rambut dan poni yang sama. I didn’t recognise my oshi – something that I’m not proud of.

Lebih dari itu, saya temukan video lainnya dimana Rena juga ikut tampil bersama member SKE48 lainnya. Saking senangnya, saya buat meme ini.


Saya sudah positif 100% Rena tidak pernah membawakan Himawari hingga hari ini – saat saya menulis ini – seorang teman merekomendasikan konser SKE yang paling bagus. Saya baca susunan lagunya dan tertulis di situ bahwa di hari konser paling terakhir, Himawari dinyanyikan oleh delapan orang. Matsui Rena termasuk salah satu di antaranya.

Saya konfirmasi ini ke teman dan malamnya – baru saja – ia mengirimkan video singkat Rena yang ikut menyanyikan Himawari.

Sama seperti cerita yang ini, saya seperti kembali diingatkan kalau keajaiban-keajaiban kecil bisa datang dari arah yang tak terduga.

It may sound exaggerating, but I felt my eyes were wet with tears reading Penari Izu on the train. I did cry watching Rena performing Bokutachi wa Tatakawanai with her fellow SKE members. And I also felt asdfjkl to finally see her singing Himawari.

Why?

Because those miracles appeared when I gave up on them.

Sekarangpun saya masih punya harapan-harapan yang sudah jatuh jauh di dalam sana. Yang lebih penting dari sekedar novelet atau lagu. Yang bahkan memikirkannya saja membuat saya mempertanyakan diri sendiri.

That’s why I’m happy to find all those little yet important things to me. Saya kembali belajar untuk percaya.

Saturday, 16 January 2016

Kontemplasi 2015 (III)


Tentang Perubahan-perubahan
Ada yang bilang kalau pernikahan adalah awal berubahnya pertemanan. Yang dulunya gampang ditemui, sekarang susah. Yang biasanya gampang diajak jalan bareng, sekarang tidak. Yang sebelumnya di-whatsapp cepat balas, sekarang lama. Yang biasanya bisa curhat tentang apa saja, sekarang tidak, karena well, mereka sudah punya kehidupan sendiri.

Seorang teman baik saya menikah menjelang pertengahan tahun 2015. Sebelum itu, saya sudah mempersiapkan diri kalau pertemanan kami akan berubah. Maksudnya, tidak mungkin lagi kami saling menginap di kosan dan ngobrol sampai tengah malam, jalan-jalan bareng seperti dulu, atau saling tukar kabar kalau ada tiket promo AirAsia. Saya pikir akan sulit, tapi ternyata tidak. Itu…terasa alami buat saya.

Di tahun 2015 pula ada lebih banyak pernikahan yang saya hadiri. Total ada empat sepupu yang menikah: di Tegal, Serpong, Bekasi, dan Sidoarjo. Hanya di Tegal saja yang tidak bisa saya hadiri karena resepsinya tidak di akhir pekan dan saya sedang sulit cuti saat itu.

Perubahan yang lain juga ada pada keluarga di rumah karena adik bungsu sudah mulai kuliah di Yogyakarta. Kurang satu orang saja di rumah terasa bedanya. Mudik jadi terasa berbeda. Di awal-awal, setiap kali kami makan di luar, ibu pasti ingat si bungsu.

Tahun ini – seperti tahun-tahun yang lalu – tak lepas dari perubahan-perubahan. Tapi saya pikir saya sudah cukup dewasa untuk berdamai dengan perubahan-perubahan tersebut.

Jalan-jalan dengan Teman Kantor
Untuk pertama kalinya, di awal Desember 2015 saya jalan-jalan dengan teman-teman kantor bukan untuk urusan kantor. Kami pilih Singapura yang paling dekat. Total ada delapan orang dan kami merencanakan ke Singapura selama dua hari satu malam lewat Batam.

Jalan-jalan kami hanya di seputaran Merlion dan Chinatown, dan di hari kedua kami ke Gardens by The Bay. Untuk pertama kalinya saya masuk ke Cloud Forest di sana yang ternyata dingiiiin. Yang paling berkesan di Cloud Forest adalah movie theater mereka yang menampilkan film berjudul +5 Degree Celcius. Film itu berkisah tentang perubahan iklim dan kondisi bumi yang terjadi di tahun 2050 kalau temperatur naik sampai lima derajat celcius. It means disaster. Makanya sebelum itu terjadi, kita harus sama-sama peduli dengan bumi. Kalau habis nonton film seperti itu, biasanya saya jadi lebih sayang dengan bumi. Tapi setelah itu seringnya lupa…

Anyway, jalan-jalan dengan teman kantor ternyata lumayan menyenangkan juga. Mungkin karena lebih banyak yang sepantaran dengan saya. Dari total delapan orang itu, kami bagi jadi dua karena ada bapak-bapak dan ibu-ibu yang tidak kuat jalan lama memilih pulang lebih cepat ke Batam. Jadilah saya ikut rombongan tim muda yang terdiri dari empat orang.

Selebihnya, “jalan-jalan” dengan teman kantor banyak dilakukan karena acara kantor: sosialisasi di Yogyakarta, Semarang, Serang, Banjarmasin, acara fungsional di Denpasar dan Cirebon, juga seminar dan media visit ke Makassar.

Tabula Rasa dan Simfoni Bhineka Tunggal Ika
Selain nonton penampilan JKT48, saya juga nonton dua konser di tahun 2015 ini: Tabula Rasa dan Simfoni Bhineka Tunggal Ika. Konser Orkestrasi Angklung XII bertajuk Tabula Rasa: Indulge Your Senses digelar oleh Keluarga Paduan Angklung (KPA) SMA Negeri 3 Bandung. Guest star yang hadir adalah tenorist Christopher Abimanyu, harpist Rama Widi, soprano Regina Handoko, dan PSM Unpad. Acara ini digelar di Aula Simfonia Jakarta pada 28 Maret 2015.

Konser ini menampilkan sejumlah repertoire musik klasik dari komposer ternama seperti Beethoven, Strauss Jr., dan lainnya. Yang paling saya tunggu-tunggu adalah Clair de Lune dari Debussy karena seorang teman menyukainya. Meskipun masih asing mendengarkan angklung memainkan musik klasik, saya beri apresiasi pada KPA 3 karena upayanya menyebarkan kecintaan pada alat musik tradisional angklung.

Simfoni Bhineka Tunggal Ika – Twilite Orchestra saya tonton di Lotte Avenue pada 16 Agustus 2015. Lagu-lagu yang dimainkan adalah yang biasa kita dengar di Garuda Indonesia saat selesai landing. Lagu-lagu ini ada dalam album The Sounds of Indonesia. Saya menonton bersama teman-teman dan memakai baju putih sesuai dresscode. Setidaknya ada dua menteri yang juga menonton: Menteri Pendidikan Anies Baswedan dan Menteri ESDM Sudirman Said.

Ada momen di salah satu lagu dimana bendera merah-putih kecil dibagikan ke para penonton. Kami sama-sama menyanyikan lagu sambil mengkibar-kibarkan bendera itu. Pas saya lihat bendera saya, ternyata kebalik putih-merah jadi bendera Polandia. Jadilah saya seorang yang tidak mengibarkan bendera itu. Dari seluruh momen konser, entah kenapa justru itu yang paling diingat .______.

Membeli Rumah
Di tahun 2015 saya membeli rumah. Untuk pertama kalinya saya merasa menjadi orang dewasa. Cerita tentang itu saya tulis di sini.

Cicilan saya bayarkan secara teratur dan seperti yang saya prediksi, pengaturan keuangan saya tidak terganggu dengan adanya cicilan bulanan ini. Tapi..tapi kadang saya berandai-andai kalau saja saya lebih berani mengambil resiko dengan memilih rumah yang lebih dekat Jakarta atau lebih besar atau lebih-lebih lainnya. Tapi kemudian saya ingat kalau saya telah menetapkan pilihan. Saya sudah pertimbangkan baik-baik, malah sampai membuat analisis SWOT segala.

Saya telah menentukan pilihan, saya mesti berani bertanggung-jawab juga atas pilihan itu. Kini setiap kali saya merasa tak puas hati, saya ingat-ingat kata-kata Raja George V: teach me neither to cry for the moon nor to cry over spilt milk.

Tentang Indonesia dan Dunia
Apa kabar Indonesia di 2015? Ada banyak hal yang terjadi, tapi ini yang saya ingat: Indonesia membuat heboh dengan hukuman mati bagi para pengedar narkoba. Kasus Mary Jane dari Filipina jadi yang paling kontroversial dan dramatis. Hukuman mati untuknya ditangguhkan karena mendadak dia diposisikan sebagai korban dan segala macam masalah sosial dimunculkan sebagai latar belakangnya. Karena hukuman mati ini pula, Brasil meradang dan sempat menarik duta besarnya dari Indonesia. Australia pun marah dan sempat membuka kembali cerita bantuan mereka pascatsunami Aceh yang dibalas dengan pengumpulan koin receh dari warga Indonesia.

Gaduh jadi kata yang sering terdengar dan dilekatkan untuk Kabinet Kerja di bawah Presiden Jokowi karena antarmenteri yang sering berseberangan jalan. Contohnya, Menko Rizal Ramli mengomentari masalah Freeport dan listrik prabayar yang bagaimanapun terkait dengan kementerian yang mengurusi masalah energi.

Setya Novanto jadi salah satu bintang dalam pentas politik setelah (yang diduga) rekaman percakapannya dengan Freeport dibuka oleh Menteri ESDM Sudirman Said. Hasilnya, ia tidak lagi menjabat sebagai Ketua DPR sementara proses persidangan masih terus berlangsung.

Kontroversi Gojek dan transportasi berbasis online lainnya sempat pula mewarnai berita di koran-koran. Metromini juga sempat menjadi isu publik karena beberapa kecelakaan berturut-turut yang menewaskan total puluhan orang. Kasus Salim Kancil menjadikan saya bertanya-tanya tentang penegakan hukum di Indonesia dan manusianya. Saya tahu Indonesia masih jauh dari sempurna, tapi menyiksa seseorang hingga meninggal di tengah hari dekat tempat anak-anak bersekolah adalah sebuah tindakan di luar nalar saya.

Menjelang akhir 2015, pimpinan KPK dipilih dan entah kenapa saya merasa tidak seyakin sebelumnya. Rasa frustasi ini pernah saya bagi ke Kimi ketika ia berkunjung ke Jakarta pada liburan Natal, dan ternyata Kimi juga punya pemikiran yang sama.

Untuk skala lebih besar, bom di Paris menjadi salah satu yang paling memorable. Sejak saat itu, saya merasa Eropa sudah tidak aman lagi. Sebelumnya, berita mengenai pengungsi dari Timur Tengah yang membanjiri Eropa juga memenuhi halaman berita. Kejadian ini hampir diabaikan dunia hingga satu peristiwa muncul tentang bocah lelaki kecil asal Suriah yang meninggal di tepi pantai ketika keluarganya hendak mengungsi. Aylan Kurdi, nama bocah itu, ditemukan dalam posisi telungkup dengan kaos merah dan celana biru. Karena kematiannya, dunia jadi lebih peduli dan negara-negara Eropa mulai mencari jalan keluar untuk para pengungsi.

Well, untuk cerita yang lebih ringan, di tahun 2015 ini pula ada salah sebut saat penganugerahan Miss Universe 2015. MC menyebutkan juaranya adalah Miss Colombia, padahal seharusnya Miss Philippines. Ini adalah kejadian di ajang Miss Universe yang paling unik buat saya, menggeser Miss Universe 2008 saat Miss USA terpeleset saat akan tampil.

Begitulah kisah-kisah 2015 yang memorable buat saya. Ada juga tentang hal lainnya tapi saya pikir terlalu personal untuk ditulis di sini. Tahun baru 2016 saya rayakan di rumah saudara di Arum Indah bersama keluarga dengan cemilan pempek kapal selam. Lima tahun berturut-turut sebelumnya saya rayakan di Jakarta dan sekali di Wageningen di 2013.

Menyambut 2016, saya bersemangat karena dua hal: saya sudah punya tiket ke Seoul pada April ini dan guess what, saya juga (akhirnya) membeli tiket ke Tokyo untuk September nanti.

I.CAN’T.WAIT!

Tiba-tiba saya yakin 2016 akan jadi tahun yang menyenangkan.

- Fin

Kontemplasi 2015 (II)


Kalau di postingan ini saya cerita tentang haluan yang berpindah dari k-pop ke j-pop, lalu apa kabar Korean Wave yang dulu sempat membuat saya demam? Well, sebenarnya di akhir 2014, saya sudah excited karena SNSD masuk dalam line up konser Best of The Best di Jakarta (bersama dengan Shinee, Bangtan Boys, dan Winner) yang dijadwalkan awal Januari 2015. Saya sudah beli tiketnya sejak November 2014. Menjelang tanggal konser, ada pemberitahun dari promotor kalau konser diundur jadi Mei 2015. Promotor memberikan dua opsi bagi kami untuk refund tiket atau tetap memegang tiket untuk konser bulan Mei dengan tambahan privilage. Saya pilih opsi kedua.

Bulan Maret 2015, SH Entertainment selaku promotor menyatakan konser akhirnya dibatalkan dan mereka menjanjikan akan memberikan refund secara bertahap. Mendengar konser dibatalkan, well, ternyata saya biasa-biasa saja. Mestinya saat itu saya tahu, demam Korea saya sudah mulai reda. Setelah melalui proses administrasi beberapa kali, pada 23 Juni 2015 refund tiket baru bisa saya terima.

Sementara efek Hallyu buat saya sudah mulai memudar, teman genk justru sedang suka-sukanya dengan Korea. Pada Juni 2015 mereka mengajak saya untuk ikut ke Seoul dengan tiket promo dari AirAsia untuk keberangkatan April 2016. Karena sedang tak tertarik dengan Korea, saya jadi malas-malasan. Tapi demi ingin ikut trip bareng teman-teman, saya booking tiket juga ke Seoul pada tanggal 23 Juni 2015. You see, itu adalah tanggal yang sama saya mendapat refund tiket konser. Jadi uang refund itu saya belikan tiket ke Korea; saya hanya perlu menambah tak lebih dari satu juta.

Anyway, sekian tentang Korea. Saya coba ingat-ingat lagi kejadian paling memorable buat saya di 2015.

The Return of The Corrs
Ketika pertama kali tahu kalau The Corrs akan hiatus setelah album Home di 2005, saya selalu yakin kalau mereka akan kembali. Saya yakin mereka pasti akan kembali. Tapi tahun-tahun terus berlalu dan alih-alih ada rencana untuk reuni, masing-masing Corr punya project sendiri-sendiri. Andrea punya dua solo album, begitu pula dengan Sharon. Saya punya album solo mereka, tapi saya lalu sadar kalau saya suka mereka sebagai The Corrs. Musik yang saya suka adalah musiknya The Corrs. The Corrs adalah empat orang dengan segala macam keunikannya secara individu, tapi dijadikan satu, mereka jauh melampaui itu semua.

Keyakinan saya bahwa The Corrs akan kembali semakin menipis seiring waktu berganti. Kecuali Sharon yang masih aktif di dunia musik, yang lain sepertinya telah menikmati kehidupan mereka yang telah settle. Bagaimanapun juga, mereka telah melewati masa-masa cemerlang sebagai The Corrs terutama di awal 2000-an.

April 2015, ayah mereka Gerry Corr meninggal di usia 82 tahun. Tak lama setelah itu, mereka mengumumkan sebuah reuni untuk album baru yang didedikasikan bagi Gerry. Sebelumnya, di tahun 2000, The Corrs juga pernah mengeluarkan album bertajuk In Blue  yang dipersembahkan untuk mendiang ibu mereka.

Album terbaru ini mereka beri judul White Light dengan Bring on The Night sebagai single pertama. Perasaan saya campur-aduk saat pertama kali mendengarnya. They are back! Saya sudah menunggu selama sepuluh tahun untuk ini.

“…and I miss you forever
Let’s hope we’ve always summer…”

*brb crying*

Tak membuang waktu, saya langsung pesan CD White Light. Sampai saat ini, The Corrs adalah satu-satunya band yang kaset/CD-nya selalu saya beli bahkan sebelum saya tahu lagu-lagu di dalamnya. Mereka seperti punya jaminan mutu kalau lagu-lagunya pasti saya suka.

7 Desember 2015, CD White Light sampai di tangan saya. Saya dengarkan dan…lagu-lagunya The Corrs banget! Setelah sepuluh tahun dan delapan Corr kecil, mereka tetap sama. Yang lebih menyenangkan, di sampul CD-nya juga ada lirik untuk semua lagunya. Saya jadi bisa lebih menghayati T_T Entah kenapa saya punya feeling kalau ini akan benar-benar jadi album terakhir mereka.

FYI, saat menulis ini, saya sedang mendengarkan CD mereka biar lebih baper.

The Corrs juga punya MV untuk single Bring on The Night. Saya lebih suka versi yang di studio ketimbang versi official-nya. Oh yes they look older, but they are still awesome for me. Di akhir tahun 2015, sempat ada kabar kalau The Corrs akan ikut Java Jazz Festival 2016 di Jakarta. Kabar ini cepat menguap dan sampai sekarang belum ada tanda-tanda kalau kabar itu bisa jadi kenyataan.

Film-film 2015: Dari Pejuang Pemberontakan, Penyewaan Kucing, hingga Oshin
Saya mengikuti petualangan Katniss sejak ia mengorbankan dirinya untuk Primrose di ajang Hunger Games. Saya punya buku komplit Hunger Games dan sudah membacanya sampai tamat beberapa tahun yang lalu, tapi selalu excited dengan filmnya. Tahun 2015 ini Mockingjay jilid dua yang menjadi penutup petualangan Katniss sudah mulai tayang dan saya menontonnya dengan bestie. Di adegan Katniss melampiaskan kemarahannya ke seekor kucing karena Primrose meninggal, entah kenapa, membuat saya lebih kasihan ke kucingnya =( I have soft spot for cats.

Ngomong-ngomong soal kucing, saya menonton film Jepang berjudul Rentaneko yang berkisah tentang perempuan muda yang menyewakan kucing-kucingnya. Iya, memang absurd. Mungkin karena sedang PMS ketika menontonnya, film lucu itu malah membuat saya menangis. Hal yang sama juga terjadi ketika saya menonton Paddington di awal tahun 2015.

Tentang menangis ini, ada dua film yang membuat saya konstan menangis dari awal sampai akhir. Dua-duanya dari Jepang: Oshin dan 1 Litre of Tears. Oshin yang saya tonton adalah versi terbaru dengan tokoh Oshin lebih kecil dan imut dari yang sebelumnya. Dari awal menonton, saya sudah menangis dan sepertinya film itu tidak memberikan saya ruang untuk tidak emosional barang sejenak. Adegan paling sedih itu..well..banyak ternyata T_T Tapi yang paling berkesan adalah ketika Oshin memohon-mohon untuk dipekerjakan selama dua tahun dengan imbalan lima karung beras. Anak sekecil itu!!

*lie down*
*try not to cry*
*cry a lot*

Adegan yang menusuk-nusuk hati juga saya rasakan ketika Oshin tidak sengaja melihat ibunya baru keluar dari semacam rumah hiburan. My heart broke a little… a little too much. Saking sedihnya, selama menonton film ini saya sediakan tissue yang bolak-balik saya ambil. Watching this movie, I feel like emotionally torturing myself.

Sedih yang sama juga saya rasakan ketika menonton 1 Litre of Tears karena seorang teman merekomendasikan film itu. Saya menontonnya di akhir tahun 2015 menjelang libur panjang Natal. Akting luar biasa Asae Onishi sebagai Aya Kito jadi poin paling kuat di film ini. Perubahan kesehatan tokoh Aya yang terus menurun terlihat natural. Melihat film itu, saya seperti diingatkan bahwa manusia bisa jadi sangat baik, bisa jadi sangat ignorant. Saya semakin sedih karena tahu kalau film ini diangkat dari kisah nyata T_T

Saya juga menonton Jurassic World yang opening-nya saja sudah membuat merinding dengan backsound khasnya. Sayangnya, jalan ceritanya biasa-biasa saja dan pertempuran klimaks antara dua dinousaurus kurang heboh. Ted 2 saya tonton dan meskipun terganggu dengan humornya yang kasar, saya tertawa mendengar omongan Ted yang ngasal namun lucu. Film Korea yang paling saya suka di tahun 2015 adalah The Royal Tailor dan salah satu quote yang saya ingat justru dari Sang Ratu yang bilang, “We are sad people” ketika mengetahui Sang Raja hendak mengeksekusi si Penjahit.

Film kartun yang saya tonton antara lain Inside Out yang membuat saya jadi memikirkan tentang emosi manusia dan The Little Prince simply karena oshi suka membaca bukunya.

Demikianlah sebagian film yang saya tonton tahun lalu. Dari semua itu, saya pikir Oshin adalah film paling memorable buat saya di 2015.

Shiroi Shirt dan Remeh-Temeh Kantor lainnya
Di pertengahan 2015, kantor saya mulai punya tradisi memakai seragam kantor setiap hari Senin. Mencontoh Presiden dengan kemeja putihnya, seragam kami juga sederhana dengan atasan putih dan bawahan berwarna krem. Meskipun banyak yang kontra karena dianggap membosankan, diam-diam saya senang juga dengan kebijakan ini karena setiap Senin pagi saya tak perlu repot memilih baju. Di awal-awal, saya suka mendengarkan lagu Shiroi Shirt (Baju Putih) baik dari AKB48 ataupun dari JKT48 saat memakai seragam supaya lebih bersemangat mengawali pekan.

Selain seragam, tidak banyak yang berubah tentang kerjaan di kantor. Hanya saja, monitoring berita kini tidak lagi dilakukan secara manual karena pusat sudah mempermudah dengan sistem mereka. Di tahun 2015 pula saya mulai turun tangan untuk urusan desain dan editing majalah terbitan kantor dan untuk itu saya mulai belajar Adobe InDesign yang jadi pengalaman baru untuk saya. Secara fungsional, saya naik tingkat dan sudah lulus ujian sertifikasi yang sempat membuat stres. Kantor kami juga mempunyai bos baru level dua yang humble dan menyenangkan. Pak Bos bisa mengapresiasi kerja kami dan selalu menyemangati dengan pikiran-pikiran yang positif. Saya berharap beliau bisa berlabuh lama di kantor kami.

- To be continued