Pertemuan dengan Orang
Baru
My goal was our journey,
not our destination. Kalau ada satu saja hal yang saya pelajari dari jalan-jalan
ini, itu adalah pertemuan dengan orang baru. Saya selalu kagum dengan
orang-orang yang mudah berteman dengan orang asing, people that have charms to make connections. Saya banyak belajar
dari teman-teman selama lima hari di Seoul: mulai dari seorang teman yang akrab
dengan ahjussi penjaga (pemilik?) guesthouse saking dia sedang
semangat-semangatnya belajar Bahasa Korea hingga teman lain yang bisa ngobrol
lama dengan traveler dari Malaysia
yang sama-sama menginap di Yacht Guesthouse. Traveler dari Malaysia ini sepasang suami-istri, mungkin berumur
50-an. Saking ingin menjaga diri dari makanan haram, mereka membawa makanan (termasuk beras!) ke
Seoul! Mereka selalu memasak sendiri, tidak pernah mencoba makanan Seoul
kecuali jajanan ringan. Meskipun saya rasa itu merepotkan, tapi saya salut
dengan niatnya yang luar biasa.
Di hari yang lain, kami sarapan bareng bule Prancis yang
sudah tinggal lebih lama di Seoul. Sambil minum susu dan roti tawar dengan
selai, teman-teman saya asik ngobrol dengan si bule. Kalau saya jalan-jalan
sendiri, pasti saya memilih sarapan di kamar dan menghindari percakapan. Tapi
jalan dengan teman membuat saya belajar bahwa ngobrol-ngobrol dengan sesama traveler itu bisa jadi menyenangkan.
Karena ngobrol-ngobrol inilah Mbak Nisa – beberapa tahun
lalu saat backpacking ke New York –
bertemu dengan Ellie. Kini saat dia bisa
ke Korea, Ellie jadi orang yang dia hubungi untuk sebuah meet up. Jalan-jalan kami ke Insadong
adalah pertemuan kami yang kedua dengannya, karena yang pertama adalah di
tempat hang out daerah Hongik University.
Mbak Nisa bisa saja sih menemui Ellie sendirian, tapi
karena saat itu saya sedang niat bertemu orang baru, saya minta ikut. Kami ke
sana setelah dari SMTOWN @coexartium. Mbak
Vita dan Mbak Wina berencana ke tempat lain buat belanja.
Saya dan Mbak Nisa menunggu Ellie di The Coffee Bean and Tea Leaf. Memakai light coat warna krem dengan rambut ikal panjang terurai, Ellie
terlihat rapi khas cewek kantoran newbie dengan
masa depan cemerlang. She’s twenty something, but she
looked younger than her age.
Dari sana, kami berencana makan yangnyeom tongdak; ayam goreng lagi. Jalanan sangat ramai.
Ini sepertinya salah satu tempat hang out
anak gaul Seoul. Oh well, kami ke
sana ketika malam Minggu. Pantas banyak terlihat couple di sana-sini.
Saya lebih banyak mendengarkan ketika Mbak Nisa dan Ellie
ngobrol. Namun saya tidak canggung di berada di tengah-tengah obrolan itu. I felt comfortable. Ellie cerita tentang
pekerjaannya, keluarganya, dan bagaimana dia biasa menghabiskan weekend. Ketika saya tanya k-pop group
yang dia suka, Ellie menjawab beberapa yang saya tidak familiar. Apparently she’s not really into k-pop
songs.
Setelah makan ayam goreng, kami masih mau ngobrol-ngobrol
santai. Jadilah kami ke kedai soju; masih di daerah yang sama. Mungkin karena
suasana yang semakin hangat, mungkin karena adaptasi kami tak butuh waktu lama,
obrolan kami di kedai soju semakin seru.
Range topik kami tersebar mulai
dari pendidikan, budaya, sosial, ekonomi, sedikit politik, hingga yang paling
saya minati: sejarah. Ellie menceritakan latar belakang terpisahnya Korea Utara
dan Korea Selatan, menjelaskan tentang kebangkitan ekonomi Korea Selatan yang
dikenal dengan istilah Han River Miracle,
serta efeknya hingga kini. Menarik!
Cerita-cerita menarik lainnya juga saya dapatkan dari
cewek yang duduk di sebelah saya naik pesawat dari Seoul menuju Kuala Lumpur
untuk transit. Dia orang Malaysia, sehingga obrolan kami diseling antara bahasa
Indonesia/Melayu dengan bahasa Inggris.
Dia calon dokter, umurnya lima atau enam tahun di bawah
saya. Dia mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi
di Bangalore, India. Katanya, banyak orang Malaysia yang mengambil pendidikan
kedokteran di sana.
Karena suka k-pop, dia pergi ke Seoul di tengah-tengah
liburan semester. Cewek ini pergi ke SMTOWN @coexartium juga, di hari yang sama
dengan saya. Hanya saja, dia lebih sore di sana.
Dia memakai jilbab dan terlihat kalem, tapi dia terlihat
antusias saat cerita tentang k-pop, apalagi ngobrol tentang BigBang. I could feel her enthusiasm, bikin saya
jadi senyum-senyum juga. Saya bisa lihat dia senang ketika dia tahu saya tahu lagu BigBang, walaupun hanya satu: Blue. Dari situ, obrolan kami meluas ke
hal lainnya.
Salah satu hal yang dia lakukan di Bangalore adalah
memberikan edukasi tentang sanitasi ke warga sekitar. Dia ceritakan
kompleksitasnya karena budaya yang sulit diubah. Yang menarik, dia juga cerita
tentang sistem kasta yang masih sangat kuat di sana.
“Bahkan kalaupun kau mampu membelinya,” ujarnya, “kau
tidak boleh memakai sandal bagus kalau kastamu rendah.”
Perempuan dengan kasta rendah di sana juga harus mengepang
rambutnya. Rambut yang terurai hanya untuk mereka dengan kasta tinggi. Duh!
Ngobrol-ngobrol dengan cewek ini – yang bahkan tidak saya
tahu namanya – membuat jarak Seoul ke Kuala Lumpur terasa pendek.
My goal was our journey,
not our destination. Saya merasa goal telah tercapai. Saya pulang ke Indonesia dengan
hati yang penuh.
***
Ada yang berbeda pada jalan-jalan dengan besties kali ini. Dulu saat kami jalan
bareng ke Thailand atau Malaysia, kami selalu pergi mendahului terbit matahari
dan pulang ketika matahari sudah lama tenggelam. Sekarang semuanya lebih
lambat, lebih santai, lebih memprioritaskan kenyamanan. We were not in rush anymore. Kami juga tidak memaksakan harus
melihat semua tempat, alih-alih kami lebih menikmati tiap-tiap tempat yang kami
kunjungi.
Kalaupun ada yang masih sama, itu adalah sikap toleransi
yang sudah level dewa. We know each other
that much. Ada satu momen ketika kami tersasar jauuuuuh dari tujuan.
Mungkin bagi orang lain, itu bisa jadi awal saling menyalahkan atau saling
mutung karena sudah lelah. Namun kami masih baik-baik saja. Saya ingat, bahkan
saat itu pun saya bersyukur karena saya tersasarnya bareng mereka.
Kalau di hari pertama saya nge-tweet begini: not sure if the food is really delicious here or I'm just happy, di hari terakhir di Seoul – menjelang kepulangan ke
Jakarta – saya bisa confirm kalau
makanan di Seoul benar-benar enak dan
saya benar-benar happy di sana.
No comments:
Post a Comment