Ketika Juni tahun lalu teman saya mengajak jalan ke Korea
Selatan, saya hampir menolak ajakannya. Seperti yang pernah saya ceritakan,
haluan saya berubah dari Korean Wave ke Jejepangan di tahun 2015
itu. Kalau di tahun 2013 dan 2014 saya setengah mati ingin ke Seoul,
pertengahan tahun 2015 saya putar arah tujuan ke timur menuju Tokyo, fokus pada
satu titik di Akihabara sana. Saya ingin pergi ke Jepang di 2016. Dan rasanya
agak berat kalau harus ke Korea juga di tahun yang sama: mulai dari membagi
jatah cuti hingga masalah finansial yang mesti dipikirkan.
Begitulah. Sementara tiga orang teman baik sudah booking tiket pp Jakarta-Seoul, saya
masih ragu. Namun seperti ada memori menyenangkan yang muncul setiap kali saya
mengingat jalan-jalan bareng mereka. Saya pernah jalan-jalan dengan berbagai
jenis orang dalam berbagai rombongan, tapi jalan-jalan dengan besties adalah yang terbaik. Mengingat
itu, saya lupakan sejenak tentang Jepang dan langsung pesan tiket ke Korea. Mumpung
masih diberi kesempatan jalan bareng, mumpung masih ada waktu. Sehari
setelahnya, seorang teman yang lain menyusul booking tiket juga. Belakangan, seorang teman baik yang kini
tinggal di US juga menyesuaikan rencana kedatangannya ke Korea supaya bisa
bertemu dengan kami yang datang dari Indonesia. Total ada enam orang untuk
jalan-jalan kali ini.
Jelang keberangkatan pada April 2016, kami mulai intensif merancang
itinerary, mempersiapkan akomodasi
hingga mengurus visa. Karena kami tersebar di Jakarta, Semarang, Surabaya
hingga Vancouver, sebagian besar komunikasi kami lakukan via Whatsapp atau email.
Di antara kami berenam, ada Mbak Vita dan Mbak Wina yang
paling rajin mencari info. Ini persis seperti jalan-jalan ke Penang dulu.
Mereka yang menyusun itinerary dan
mencari akomodasi; saya yakin saja dengan pilihan mereka.
Kalau solo traveling
saya selalu menyiapkan semuanya dengan detail, maka jalan-jalan dengan besties membuat saya punya keleluasaan untuk
membiarkan perjalanan mengalir saja. My
goal was our journey, not our destination. Saya bahkan sengaja tak mencari
tahu ada apa saja di Seoul, saya sedang ingin kejutan. Well, saya request ke Mbak Vita sih untuk memasukkan COEX dalam itinerary untuk melihat-lihat koleksi
SMTOWN. Asal sudah ke sana, saya sudah puas.
Malam hari tanggal 20 April kami bertolak ke Seoul setelah
sebelumnya transit di Kuala Lumpur. Itu adalah awal dimulainya jalan-jalan
menyenangkan dengan besties.
***
Seoul: Kesan Pertama
Pesawat AirAsia yang kami tumpangi mendarat di Bandara
Incheon pukul 08.20. Saya lihat ke luar, pagi itu agak sedikit berkabut. Kami
naik kereta bandara menuju konter Imigrasi, yang ternyata sedang padat luar biasa. Kami
mesti menunggu hingga satu jam sampai akhirnya mendapatkan cap di paspor.
Kalau berdasarkan itinerary,
mestinya dari bandara kami langsung menuju Ittaewon tempat kami menginap
untuk menaruh barang. Check in baru
bisa dilakukan pukul 15.00. Tapi karena sudah lelah karena transit di Kuala Lumpur
semalam, kami memutuskan untuk sarapan dan leyeh-leyeh di bandara. Dan oh,
foto-foto pastinya. Oya, ketika sedang menunggu itu saya melihat cewek yang
mirip ex-member SKE48 Matsui Rena. Selain itu, ada juga yang mirip karakter Bo
Ra dari Reply 1988. Bahkan people
watching saja terasa menyenangkan karena saya merasa excited
dengan tempat baru.
Bandara Incheon terkesan modern dan asik untuk dieksplor.
Banyak resto dengan macam-macam pilihan; mulai dari yang khas Korea hingga fast food a la Barat. Incheon juga punya
bioskop CGV. Ada dua film yang sebentar lagi tayang saat itu: film Korea The Last Ride dan Snow White and The Huntsman. Karena ingin punya pengalaman nonton
film Korea di Korea langsung, saya dan Mbak Nisa nonton film yang pertama
sementara tiga teman yang lain nonton film yang kedua.
Bioskop CGV di Incheon
Film The Last Ride ini
berbahasa Korea (tentu saja!) tanpa terjemahan Inggris. Jadilah saya hanya
menebak-nebak jalan ceritanya. Meskipun begitu, film genre drama komedi ini
punya satu scene lucu yang bikin saya
cekikikan walau tidak tahu satu kalimatpun. Di akhir-akhir, jalan cerita
filmnya jadi membosankan dan saya sukses tertidur karena kombinasi mengantuk,
kursi empuk, dan ruangan ber-AC yang sejuk.
Setelah nonton, kami membeli T-money – kartu untuk naik
transportasi umum. Punya saya dibandrol lebih mahal, karena edisi spesial
bergambar karakter LINE Cony. Belakangan, teman saya dapat harga lebih murah
karena edisi biasa yang – well –
gambarnya ternyata Seoul banget. Tahu
begitu saya pilih yang biasa saja!
Dari Incheon kami naik kereta ke Ittaewon. Saya
melihat-lihat pemandangan di luar: berganti-ganti mulai dari pepohonan
kecoklatan hingga laut dengan cahaya berkilauan. Hawa di dalam kereta hangat,
namun saat pintu terbuka, udara dingin menyerbu masuk. Saya eratkan jaket,
memasukkan kedua tangan ke dalam kantongnya.
Setelah sampai di Stasiun Ittaewon, kami mesti berjalan
naik tangga menuju pintu keluar. Mind
you, tangganya tidak cuma satu. Mbak Wina dan Mbak Dee yang membawa koper
jadi repot karena mesti mengangkatnya; beda dengan kami yang lain yang membawa
ransel.
Udara di luar baru terasa benar-benar dingin. Padahal
masih musim semi. Saya kembali ingat rasanya dingin seperti ini saat di
Wageningen dulu. Saya pakai beany,
lumayan membuat badan lebih hangat.
Well, ternyata tantangan naik
turun tangga bukan hanya di stasiun. Saat menuju Yacht Guesthouse tempat kami
menginap pun jalan berundak yang mesti kami lalu. Seriusan itu membuat saya
kehabisan napas. Good luck buat Mbak
Dee dan Mbak Wina dengan kopernya!
Yacht Guesthouse tempat kami menginap. Recommended karena bersih dan rapi!
Jalanannya naik turun :')
Kami mendapat satu kamar besar untuk lima orang di Yacht
Guesthouse. Di sebelah kami, ada kamar private.
Mbak Ranilla dari Vancouver sudah lebih dulu sampai dan menginap di sana.
Seperti biasa, kami langsung heboh ketika bertemu Mbak
Ranilla. Dia sudah mengeksplor beberapa tempat, jadi kami minta sarannya saat
menentukan tempat untuk makan malam.
Ittaewon termasuk daerah yang ramai. Banyak pub dan café
yang didominasi makanan western. Kami
berjalan agak jauh ke seberang – lagi-lagi naik turun – untuk menemukan resto
tradisonal makanan Korea.
Suasana di Ittaewon. Kalau malam lebih nge-hype.
Karena lapar ditambah udara dingin, kami pesan makan
dengan cepat. Asal tidak mengandung pork,
bolehlah. Sembari menunggu, pelayan memberikan kami side dishes berupa kimchi, telur dadar, sayuran, dan teri.
Masing-masih ditaruh di tempat yang kecil-kecil. Ketika nasi putih hangat
datang, kami langsung menyantapnya – bahkan sebelum menu utamanya datang.
Rasanya enak! Nasi Korea sama seperti nasi Jepang, nasinya tanak dengan
kualitas istimewa. Makan apa saja rasanya enak dengan nasi seperti itu.
Ketika ramen pesanan kami datang, kami makan rame-rame.
Pun demikian ketika sayuran dengan daging ayam (duh, saya lupa nama
makanannya!) mulai dihidangkan. Semuanya enak sampai saya ingin menangis. Malam
itu, saya nge-tweet
begini: Not sure if the food is really delicious here or I'm
just happy.
Pulang dari tempat makan, kami jalan-jalan santai sambil
melihat-lihat kiri-kanan. Banyak tempat makan atau kedai kopi yang lucu untuk
foto-foto. Ketika tiba-tiba melihat poster neon SNSD, saya langsung heboh
sendiri dan minta difoto. Bagaimanapun, mereka pernah jadi alasan saya untuk
pergi ke Korea.
Ini apalah .__.
Sebelum pulang, kami mampir ke LINE dan membeli
pernak-pernik khas LINE. Sama seperti pengunjung lainnya, kami juga foto-foto
di spot yang lucu. Yang paling menarik perhatian pasti giant Brown dengan muka datarnya. Anyway, Sally itu ternyata
ayam, bukan bebek.
Brown ngumpet
Selama jalan-jalan seharian pertama itu, ada dua kesan
tentang Seoul yang paling terasa: jalanan yang naik-turun dan makanannya yang
super enak.
Cerita selanjutnya.
Cerita selanjutnya.
No comments:
Post a Comment