Banyak kejadian nasional dan
internasional yang memorable di tahun
2016. Di awal tahun, kasus kematian Mirna yang diduga diakibatkan karena racun
kopi sianida menjadi headline di hampir semua media massa. Kasus ini kemudian
menyeret Jessica Wongso, teman Mirna yang memesankan kopi untuknya. Banyak hal
yang janggal di kasus ini. Meskipun Jessica dianggap mempunyai motif dan
peluang untuk membunuh, namun tidak ada satupun yang dapat membuktikan kalau
dia benar menaruh racun di kopi Mirna. Sidang Jessica dalam kasus Mirna
disiarkan langsung di beberapa stasiun TV berita dan selalu menyedot perhatian
masyarakat. Endingnya, Jessica dituntut hukuman penjara selama 20 tahun namun
dia akan mengajukan banding. Kasus ini masih panjang belum jelas ujungnya.
Kasus hukum juga menjerat Ahok karena
kata-kata yang dia lontarkan saat kunjungan ke Pulau Seribu dalam kapasitasnya
sebagai Gubernur DKI Jakarta. Pernyataannya dianggap sebagai sebuah penistaan
agama, ditambah hiruk-pikuk pilkada DKI Jakarta, jadilah kasus ini melebar dan
menjadi perhatian nasional. Ini juga yang mengakibatkan demo besar-besaran,
diawali dengan aksi 411 (4 November) dan aksi 212 (2 Desember). Jutaan orang
turun ke jalan, mendesak pemerintah memproses kasus hukum Ahok dan mengusutnya
hingga tuntas.
Saya sempat khawatir Jakarta akan
rusuh, kejadian Mei 1998 terulang, dan itu sungguh ngeri. Alhamdulillah Jakarta
relatif aman. Aksi berlangsung damai, yang sayangnya sempai ternodai dengan
penjarahan di daerah Jakarta Utara dan percikan konflik antara massa dan aparat
saat demo 411. Aksi 212 berganti konsep dari long march ke doa bersama. Di tengah guyuran hujan deras, massa
memenuhi Monas hingga melebar ke jalanan sekitarnya. Presiden Jokowi yang tak
nampak saat aksi 411 secara mengejutkan hadir saat aksi 212; berjalan kaki
dengan membawa payungnya sendiri. He
definitely stole someone’s thunder.
Pilkada DKI Jakarta digelar pada
Februari 2017, namun gaungnya sudah ada sejak pencalonan calon gubernur dan
calon wakil gubernur di pertengahan 2016, atau bahkan jauh sebelumnya. Ada tiga
calon yang melaju ke kompetisi: Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni,
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) – Djarot Saeful Hidayat, dan Anies Baswedan –
Sandiana Uno. Perang viral antara ketiga pendukung calon sudah sengit sejak
saat itu. Dan war game masih terus
berlangsung hingga sang pemenang terpilih di 2017 nanti.
Dari politik nasional yang memanas,
mari kita beralih ke sektor olahraga. Piala AFF 2016 menumbuhkan harapan baru akan
Timnas Indonesia. Meskipun tampil dengan skuad yang tak maksimal karena masalah
internal dan sempat hampir tersingkir sejak awal, Timnas ternyata mampu
membalikkan keadaan dimulai saat unggul 2-1 lawan Singapura. Timnas melaju ke
semifinal menghadapi Vietnam yang sebelumnya menyingkirkan Tuan Rumah Myanmar.
Pertandingan leg pertama Indonesia vs Vietnam berlangsung di Stadion Pakansari Cibinong
karena Stadion Gelora Bung Karno tengah dipersiapkan untuk Asian Games 2018.
Indonesia unggul dengan mudah 2-1 di kandang tapi saat bertandang ke Vietnam,
tim lawan luar biasa tangguh. Pertandingan Indonesia vs Vietnam di leg kedua
untuk mendapatkan tiket ke final sangat seru, penuh drama hingga menit-menit
terakhir. Harus saya akui daya juang Tim Vietnam layak membuat mereka
memenangkan pertandingan, namun pertahanan Indonesia juga rapi dan berganti
menyerang menjelang akhir pertandingan. Indonesia akhirnya memastikan melaju ke
final dengan skor agregat 4-3.
Di final, Timnas berhadapan dengan
Thailand. Leg pertama di kandang dimenangkan dengan relatif mudah, meskipun
cedera Andik Firmansyah di laga tersebut membuat Timnas kehilangan striker terbaiknya untuk pertandingan di
leg berikutnya. Indonesia menang 2-1 dan masyarakat gegap-gempita merayakannya
seolah kita sudah juara. Di leg kedua di Rajamangala Stadium Thailand, tim dari
Thailand tampil dengan kekuatan penuh setelah Siroch Chatthong kembali ke
lapangan setelah di leg pertama absen. Pemain ini juga yang melesakkan gol dua
kali ke jaring Timnas. Endingnya, Indonesia kalah agregat 3-2. Sedih karena
Indonesia gagal juara, lagi.
Di dunia
internasional, setidaknya ada dua berita yang happening di 2016.
Kemenangan pendukung Brexit menandai keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa.
Sentimen antiimigran sempat muncul dan viral di media sosial. Beralih ke
Amerika Serikat, 2016 menjadi pertarungan Hillary Clinton dan Donald Trump
untuk menjadi orang nomor satu di negara itu. Masing-masing (pendukung) calon
saling serang dan bahasan tentang Hillary dan Trump tak pernah habis diberitakan
media.
Hillary tersandung kasus penyalahgunaan
email pribadi saat menjabat Menteri Luar Negeri namun Trump tak kalah banyak
skandalnya. Trump dianggap rasis dan bocoran rekamannya menjelang pemilu
disebut cabul karena merendahkan perempuan. Ide Trump untuk membangun dinding
pembatas antara Amerika Serikat dan Meksiko dianggap konyol dan tak masuk akal.
Di dunia viral, Hillary menang. Namun
ternyata banyak silent majority yang
tak sependapat dengan apa yang ada di media sosial. Trump yang awalnya tak
dipercaya bakalan menang, ternyata membalikkan keadaan. Dia dengan jargon Make America Great Again (MAGA) berhasil
menarik banyak orang untuk memilihnya. Dunia tersentak dan imbas ke depannya,
perdamaian dunia bisa menjadi taruhannya.
Brexit dan terpilihnya Trump seperti
tak berkaitan, tetapi dua hal itu mengerucut pada upaya ‘menutup diri’ dari
imigran. Sama seperti kejadian di Inggris Raya, di Amerika Serikat pun kejadian
rasisme muncul di sana-sini saat Trump memenangkan pemilu. Para pendatang
menjadi orang yang paling riskan terkena dampaknya, terlebih lagi pendatang
muslim.
Melihat arah dunia ke depannya, terus
terang saya khawatir. ISIS di Timur Tengah mulai meluas dan menyatakan
bertanggung jawab atas beberapa serangan di Eropa. Gemanya semakin kentara
muncul di negara-negara Asia termasuk Indonesia. Paham ekstrimisme berkembang.
Sementara negara paling berpengaruh di dunia dipimpin oleh seorang Trump yang
kata-katanya dipenuhi amarah dan kebencian. Rasa aman menjadi semakin mahal
harganya. Perang Dunia Ketiga rasanya bisa terjadi sewaktu-waktu. Saya berharap
ini cuma perasaan parno saya saja yang bicara. Semoga manusia bisa belajar dari
sejarah bahwa perang hanya akan menambah luka peradaban manusia.
No comments:
Post a Comment