Tuesday, 24 May 2011

Halo, Kamu

*lebay alert

Iya, kamu. Aku mau cerita. Boleh?

Beberapa minggu kemarin, aku ikut pelatihan. Tempatnya di sebuah hotel di daerah Duren Tiga. Bukan pelatihannya yang ingin aku ceritakan, tapi kejadian setelahnya.

Sore itu langit mendung. Teman-teman satu per satu pulang. Aku sudah keluar dari hotel, mencari ojek. Jalanan di depan hotel sudah penuh dengan kendaraan, dan satu-satunya yang bisa menyelamatkan dari macet panjang adalah ojek.

Sayangnya, tidak ada ojek di sana. Mungkin kombinasi mendung dan macet membuat tukang ojek enggan bepergian. Mungkin mereka lebih suka bergelung sarung sambil merokok atau minum kopi.

Aku pun mulai mencari-cari taksi.

Kamu tahu, bahkan tak ada taksi yang kosong. Kopaja penuh sesak dengan penumpang yang bergelantungan. Bis Transjakarta jauh dari jangkauan. Lagipula, dengan kemacetan seperti tadi, semua kendaraan berjalanan dengan kecepatan orang pacaran. Pelan.

Gerimis satu-satu mulai terasa. Angin terasa lebih kencang dan dingin dari sebelumnya. Aku buka payungku, masih menunggu di seberang hotel. Entah karena rintik hujan, entah karena angin kencang, entah karena suasana serba pelan di sekelilingku, entah karena warna payungku, hatiku jadi biru.

Tiba-tiba, aku bahkan tidak tahu apa yang sedang aku tunggu. Seandainya saja ada kamu. 

Kalau ada kamu, aku pasti akan mengabarimu. Tanpa aku minta, kamu akan datang menjemput. Kalau ada kamu, setidaknya ada orang yang bisa aku telpon atau sms. Setidaknya aku tahu kalau kamu ada. Karena tidak ada kamu, yang aku lakukan hanya membuka facebook atau ym atau games di Sony Ericssonku-ku; seolah-olah sibuk padahal tidak.

Setelah lama menunggu, akhirnya ada juga ojek yang datang. Terima kasih, Tuhan.

Aku pakai helm seadanya; helm yang sewaktu-waktu bisa terbang kalau tidak kupegang. Kami melewati jalan kecil untuk menghindari macet. Seperti biasa, aku memuaskan mata untuk melihat tempat yang belum pernah kulewati.

Ah, seandainya yang sedang mengendarai motor di depanku adalah kamu.

Aku membayangkan punggungmu yang terbalut jaket. Aku membayangkan wangi pria yang kamu tebar. Mungkin aku akan memasukkan jari-jari tanganku di saku jaketmu agar tetap hangat. Aku tak perlu risau dengan helm yang aku pakai, karena kamu akan membawakan helm paling aman dengan gambar paling lucu untukku. 

Perjalanan akan kita isi dengan obrolan. Kamu akan menceritakan tentang pekerjaanmu di kantor dan menanyakan pelatihanku. Aku akan menceritakan kegundahanku saat tadi maju presentasi dan menanyakan menu makan siangmu. 

Setiap kali melewati tempat makan yang terlihat menarik, kita akan membuat rencana untuk mencobanya kapan-kapan. Setiap kali melewati rumah dengan halaman luas di depan, aku akan mengingatkanmu bahwa rumah seperti itulah yang aku idamkan. Kamu akan tertawa karena sudah seratus kali aku mengatakannya padamu. Tawamu hanya akan membuatku semakin erat memasukkan jari-jari tanganku ke saku jaketmu.  

Kamu dan motor. Selalu itu yang kubayangkan. Bukan mobil atau kuda. Kamu dan motor. Itu sudah cukup buatku. Meskipun nanti, aku ingin kamu juga yang ada di sampingku saat kita pertama kali menaiki VW putih kita. 

Tapi bukan kamu yang di depanku saat ini. Aku masih naik ojek. Memikirkanmu membuat waktu berlalu cepat. Aku sudah menunggu-nunggumu sedari lama. Tak tahukah kamu? 

Mendekati Gatot Subroto, motor tiba-tiba mogok. Aku dilimpahkan ke tukang ojek lainnya yang kebetulan sedang mangkal. Bahkan ojek yang kutumpangi seolah tidak rela berlama-lama denganku. Semesta sedang tidak ramah.

Aku jadi semakin merindukanmu.. Bolehkah? 

Kamu tidak akan membiarkanku turun di tengah jalan sendirian, saat langit semakin gelap. Kamu tidak akan membuatku merasa sendiri. Semesta yang sedang tidak ramah tak akan kupedulikan, karena aku berbagi semesta denganmu.

Halo, kamu.

Sudah dengar ceritaku?



Ps. Sweetheart, bukankah sudah waktunya kamu datang sebelum Juli ini menjelang?

No comments:

Post a Comment