Senin, 5
Desember 2011
Hari terakhir di Penang.
Kami kembali bangun pagi agar tak telat naik bis menuju bandara. Beruntung kami
tak perlu menunggu terlalu lama. Bis masih sepi penumpang. AC yang dingin
membuat badan saya menggigil.
Bye, Super 8!
Pukul sembilan, pesawat
sudah lepas landas. Saya duduk dekat jendela. Semakin lama, Penang semakin
mengecil hingga akhirnya menghilang di balik awan.
Kembali ke Jakarta yang
panas dan sumpek, membuat saya berpikir tentang negeri ini. Apa yang salah
dengan Indonesia? Pemimpinnya? Rakyatnya? Sistemnya?
Dulu saya berpikir Malaysia
tak beda jauh dengan Indonesia. Saya salah. Malaysia telah melesat sementara
Indonesia masih sibuk mengatur barisan. Saya tahu jumlah penduduk yang berbeda
jauh membuat dua negara ini tak bisa disandingkan untuk dicari perbandingannya.
Tapi bukankah negara kita juga lebih luas? Bukankah penduduk yang
seharusnya tersebar merata bisa mengurangi ketergantungan terhadap Jakarta? Jakarta sudah
terlalu lelah. Bebannya terlalu banyak. Warganya sudah tak tahan, tapi tak bisa
keluar dari kota sumber penghidupannya.
Saya jadi berandai-andai.
Seandainya Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang berani; yang sanggup membuat
keputusan tidak populer demi Indonesia masa depan. Dan untuk Jakarta, sungguh,
perlu ada pembatasan kendaraan bermotor. Apa gunanya membangun jalan layang
baru kalau jumlah kendaraan tidak dibatasi? Itu sama saja menunda kemacetan.
Duh, maaf kalau kesannya
jadi pesimistis dengan bangsa sendiri. Tapi bangsa Indonesia
serius harus berbenah, termasuk saya, kamu, kita. Tidak semalam di Malaysia
membuat saya belajar banyak.
Sekian tentang curhatan
saya. Lebih baik saya ganti topik.
Perjalanan ke Malaysia dengan teman-teman dekat akan selalu saya ingat. Bukan
Penang, Kuala Lumpur, atau Malaysia-nya secara umum yang pertama kali akan saya
kenang, tapi perasaan saya saat berjalan bersama mereka bertiga: senang :)
Berjalan dengan teman dekat
membuat kejadian seburuk apapun terasa lebih ringan. Menunggu menjadi terasa
sekejap. Jokes bertebaran
dimana-mana, begitu juga dengan senyum dan – okay – tawa kami. Foto-foto yang diambil punya angle yang bagus. Terima kasih untuk Mbak Nisa, fotografer favorit
saya. Melihat-lihat foto di Malaysia, saya tahu senyum saya karena senang,
bukannya harus karena sadar kamera. Gayanya pun macam-macam. Mulai dari gaya
ala Cherrybelle hingga tampang sok cool.
Semuanya nyaman saja.
Toleransi yang ditampilkan
sudah tingkat dewa hingga kadang alih-alih marah atau ngambek, kami akan
tertawa mendapati teman lain yang lama berbenah, lambat mengikuti langkah, atau
beda pendapat tentang tempat makan. Bahkan urutan mandi pun bisa diselesaikan
dengan damai melalui hompimpa. Kalau
masih kurang bukti, Mbak Wina bahkan menyilakan saya mandi duluan – karena saya
berencana beli makan – padahal ia yang seharusnya lebih dulu berdasarkan hasil
hompimpa.
Baik ya teman-teman saya?
Thank you, Coaches. Ketjup untuk kalian
bertiga!
No comments:
Post a Comment