Jumat, 2 Desember 2011
Lewat pukul dua dini hari. Di luar hujan lebat. Taksi yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan sedang, memercikkan air ke badan taksi setiap kali melewati genangan. Duduk di belakang bersama dua teman membuat saya merasa hangat. Seorang teman yang lain duduk di depan, sibuk dengan ponselnya. Kantuk masih terasa karena tidur yang kurang dari dua jam. Lapar membuat martabak dingin yang dibeli beberapa jam sebelumnya dijadikan camilan sepanjang jalan. Sampai di Bandara Soekarno-Hatta, belum ada tanda-tanda Terminal 3 sudah dibuka.
Hampir pukul tiga dini hari. Di luar hujan rintik. Udara malam masih menyisakan dinginnya. Seorang teman yang kedinginan menyesap Milo panas. Seorang teman yang lain mulai menjajal kameranya. Seorang lainnya berkeliling, melihat-lihat papan jadwal, tak betah hanya duduk diam.
Sudah pukul lima pagi. Kami berempat sudah siap dengan tas ransel masing-masing. Memori kamera sudah mulai berkurang. Paspor dan tiket sudah diamankan di tempat terpisah. Langit masih gelap ketika kami menaiki pesawat yang identik dengan warna merah. Pagi itu, kami tengah bersiap menuju Malaysia.
Di Malaysia, bukan Kuala Lumpur yang kami tuju, melainkan Penang. Berkat promo dari maskapai asli negara tersebut, kami berempat bisa menikmati harga murah untuk penerbangan ke Penang. Kami sudah booking tiket dari jauh-jauh hari sebelumnya. Terima kasih untuk Mbak Vita dan Mbak Wina yang sudah dengan susah payah senang hati mengurus semuanya, sementara saya dan Mbak Nisa dengan polos tinggal melunasi biaya kami. Dari merekalah saya tahu ada promo murah. Mereka juga yang booking tiket pesawat, booking hotel, membuat itinerary, googling wisata kuliner khas Penang, sampai membuat rincian pengeluaran selama di sana. Detail. Hari per hari. Jam per jam. Ketjup untuk mereka berdua!
Saya habiskan waktu di pesawat dengan tidur. Sempat ada goncangan sebentar, tapi tak bisa mengalahkan rasa kantuk yang sudah dibawa sejak semalam. Jam delapan lewat, kaki kami sudah menginjak tanah Penang. Jarum jam tangan segera saya majukan satu jam, menyesuaikan waktu lokal.
Pagi di Bandara Internasional Penang
Dari bandara, kami naik bis ke Georgetown. Jaraknya lumayan jauh, mungkin bisa sampai 45 menit. Tapi kami membayar murah karena naik bis. Tidak terbayang kalau harus naik taksi. Terima kasih lagi untuk Mbak Vita atas risetnya yang lengkap tentang bis-bis di Penang.
Yang pertama saya perhatikan dari Penang adalah bersihnya. Rapi, lebih tepatnya. Jalanan dan bangunannya mengingatkan saya pada Singapura. Kenyamanan melihat-lihat kiri-kanan jalan ditunjang dengan bis ber-AC. Tidak ada desak-desakan. Semuanya terlihat tertib. Tidak ada macet parah di jalan. Saya langsung suka dengan salah satu negara bagian Malaysia ini.
Turun dari bis, kami mencari-cari Hotel Super 8 tempat kami akan menginap. Kami tanya orang-orang sekitar, tidak ada yang tahu. Sepertinya itu hotel baru. Saya sudah membayangkan hotel dengan kamar sempit untuk kami berempat, mengingat harga yang murah per malamnya; hanya tiga ratus ribu sekian. Ketika kami sampai di hotel naik taksi, kesangsian saya terbantahkan. Kamar kami luas. Sangat nyaman untuk berempat. Ada dua kasur untuk masing-masing dua orang. Ada TV dan AC dan kamar mandi, lengkap dengan air panas.
Selesai menaruh barang di kamar, kami ke mall dekat hotel untuk makan siang. Kami sempat pula membeli tiket bis untuk perjalanan ke Kuala Lumpur esok hari. Selepas itu, kami menjelajah Penang mulai dari Penang Hill sampai Batu Ferringhi. Sudah larut ketika kami kembali ke hotel.
Saya tak akan bicara banyak tentang dua tempat itu. Foto-foto sudah bisa menunjukkan bagusnya Penang Hill; mulai dari kereta menuju atas bukit yang menanjak dengan kemiringan curam hingga pemandangan kota yang terhampar di bawah kaki bukit. Terlebih dengan adanya Jembatan Penang yang menghubungkan Bayan Lepas di Penang dengan Seberang Prai di daratan Malaysia. Indah. Dengan panjang 13,5 km, jembatan ini menjadi salah satu yang terpanjang di Asia Tenggara. Dan oh, Google juga sudah banyak menjelaskan tentang Batu Ferringhi. Tentang apartemen-apartemen dan hotel mewah di sepanjang jalannya, juga tentang lautnya yang – sayangnya – tak terlalu biru. Saya tak harus menjelaskan dengan rinci.
Yang ingin saya bagi di sini adalah pikiran yang terus melekat di benak saya sejak hari itu. Transportasi adalah hal pertama yang menarik perhatian saya. Kemana-mana naik Rapid Penang – semacam bis umum – membuat saya mau tak mau membandingkannya dengan naik kendaraan umum di Jakarta. Saya terus terang kagum dengan sistem transportasi di sana. Bis bisa dipantau kedatangannya melalui layar monitor yang ada di terminal. Calon penumpang bisa tahu berapa menit lagi bis-nya akan datang. Bis tidak bisa berhenti seenaknya. Sudah ada halte-halte sebagai tempat pemberhentian. Tidak semua penumpang duduk, ada pula yang berdiri. Tapi sungguh, itu masih manusiawi dibandingkan desak-desakan di Transjakarta atau ala kopaja. Jalanan juga terkadang macet, tapi tetap menyisakan ruang, tak seperti Jakarta yang setiap jengkalnya sudah terisi penuh hingga berjalan pun susah.
Sistem transportasi adalah salah satu tolak ukur kenyamanan hidup yang bisa diberikan Pemerintah pada warga negaranya. Di hari pertama di Malaysia, saya sudah iri sebagai orang Indonesia.
No comments:
Post a Comment